3
Beberapa minggu berlalu setelah kepergian sang paman untuk menjemput paksa Puspita. Sekalipun pria paruh baya itu pergi dengan marah-marah, setengah diusir, paman Puspita tidak kembali lagi.
Mungkin itu karena ucapan Pram juga, yang mengatakan bahwa sekalipun Puspita diseret pulang, ia tidak akan bisa dinikahi karena sudah menjadi istri Pramudya.
Harusnya Puspita merasa senang dan lega. Masalahnya selesai.
Namun, kalimat yang dikatakan Pram padanya setelah itu membuatnya tidak mudah.
“Sekarang kau bisa tenang di sini sebagai nyonya muda, hm? Menikmati kemewahan karena sudah menikahi laki-laki kaya, demi menaikkan derajatmu.” Pram mendengus. “Selamat. Wanita picik.”
Puspita berusaha meluruskan kesalahpahaman itu, karena bukan seperti itu pernikahan impiannya. Namun, Pram tidak mau dengar.
Hingga akhirnya, Puspita menyerah. Ia di sini bukan untuk mengambil hati Pram, melainkan untuk merawat Soraya dan putrinya, sesuai pekerjaan dan janjinya pada wanita baik hati itu.
“Sebentar ya, Bu. Saya siapkan dulu obatnya.” Puspita berucap sebelum menyiapkan obat Soraya di samping tempat tidur.
Kesehatan kakak madunya itu makin memburuk saja hingga hari ini benar-benar drop. Puspita sudah berusaha menelepon Pram untuk memberi kabar, tapi tidak kunjung diangkat hingga Puspita memutuskan untuk mengirimkan pesan saja. Entah akan dibaca atau tidak oleh pria yang membencinya itu.
“Kenapa kamu masih memanggilku ‘ibu’, Pita?” Soraya bertanya lemah. “Aku kakak madumu.”
Puspita tersenyum sopan. Tidak berniat menjawab.
Beruntung, saat itu, tiba–tiba Puspita mendengar suara langkah kaki di lorong depan kamar, disusul oleh pintu yang terbuka dengan terburu, menampilkan Pramudya yang tampak panik. Napasnya memburu.
“Pak,” ucap Puspita, menyapa pria itu. Ia bersyukur paling tidak majikannya itu membaca pesannya. “Ibu–”
Pram mengabaikannya. Tatapannya lurus ke arah Soraya dan langsung menghampiri sang istri di tempat tidur. “Bagaimana kondisimu?” tanyanya. “Apa yang kamu rasakan?”
“Aku baik-baik saja, Mas,” jawab Soraya dengan suara lemah. “Jangan khawatir.”
Puspita diam saja, berdiri tidak jauh dari mereka. Gadis itu bisa menyaksikan Pram masih saja tampak cemas dan gelisah. Pria itu menggenggam tangan Soraya dan menciumi wajahnya yang pucat dengan penuh kasih.
“Mas kok sudah pulang?” tanya Soraya kemudian.
“Aku dapat kabar.” Pram menjawab singkat, tanpa mengatakan apa pun soal Puspita. “Soraya. Bagaimana kalau kita ke rumah sakit?”
Soraya menggeleng. “Tidak perlu, Mas. Aku tidak apa-apa.”
Jawaban itu membuat Pram menghela napas berat.
Puspita paham kenapa. Di satu sisi, Soraya selalu mengatakan bahwa ia lelah. Bolak-balik ke rumah sakit untuk pasien yang harinya sudah bisa dihitung mungkin terdengar hanya menghabiskan waktu dan tenaga. Soraya lebih memilih untuk tetap di rumah, bersama dengan keluarganya.
Namun, di sisi lain, Puspita juga memahami desakan Pram. Pria itu ingin istrinya hidup lebih lama, bahkan meski satu hari saja. Pramudya sudah sering membujuk Soraya, bahkan mendatangkan dokter untuk mengawasi istrinya di rumah.
Tapi tidak. Menurut pendapat Puspita, nyonya sekaligus kakak madunya itu sudah lelah berusaha.
“Soraya. Sayang.” Pram berucap lebih lembut. “Kalau di rumah sakit, akan ada dokter dan staf rumah sakit yang mengawasi. Akan lebih aman dan terjaga. Kamu–”
“Mas.” Soraya menyela. “Sudahlah. Untukku, kamu, Prilly, dan Puspita sudah cukup. Apalagi Pita sudah baik sekali.”
Baru saja Puspita hendak pergi karena merasa dia tidak dianggap di ruangan itu, namanya disebut. Diikuti dengan pandangan Pram yang akhirnya terarah padanya.
Namun, berbeda dengan pandangan penuh kehangatan yang Pram tujukan pada Soraya, pria itu menatapnya dengan dingin. Penuh dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan.
“Kamu bilang apa pada istri saya?” Pram bertanya dingin.
Puspita tergeragap. “S-saya tidak–”
“Mas, Mas ini kenapa? Jangan begitu pada Puspita.” Soraya langsung membela Puspita, meskipun suaranya lemah. “Dia sudah melakukan banyak hal untukku. Dia sangat tulus sama kita. Sama aku, kamu, dan anak kita. Jangan menyakiti hati–"
Tiba-tiba napas Soraya sekaan tersendat, membuat baik Pram maupun Puspita panik.
“Soraya!” Pram bergegas menggenggam tangan sang istri.
"Mas," panggil Soraya lagi dengan napas pendek, seolah oksigen sulit masuk ke rongga dadanya. Wanita itu memejamkan matanya lemah, lalu kembali menarik napas dengan susah payah. "Sepertinya … waktuku tidak akan lama lagi.”
“Kamu bicara apa?” tukas Pram. “Jangan ngawur, Soraya.”
"Jika aku sudah tak lagi bersama kalian, aku mohon, jaga Prilly dan Puspita ya, Mas.”
Pram menggeleng. “Kamu harus tetap bersamaku,” tegasnya. “Ayo kita ke rumah sakit–”
Ucapan Pram terpotong suara ribut-ribut dari luar kamar, yang kemudian dilanjutkan dengan dibukanya pintu kamar dengan kasar.
"Kalian di sini rupanya!" teriak seorang wanita paruh baya yang baru saja datang. Ibu Pram. beliau tampak marah. "Apa-apaan ini, Pram? Kenapa Ibu bisa dengar kalau kamu menikahi seorang pembantu!?”
“Ibu.” Pram langsung berdiri. “Mohon jangan berteriak. Soraya sedang kurang sehat.”
Wanita paruh baya itu mengibaskan tangannya. "Dia memang sakit-sakitan sejak lama, kan? Memang ya, buah dari karma itu ada!”
"Karma?" Puspita yang sejak tadi berdiri terpaku memegangi pintu bergumam. Ia baru beberapa kali bertemu ibu Pram karena wanita itu jarang berkunjung tapi memang kesannya tidak pernah baik.
"Jaga bicara Ibu.” Pram memperingatkan. “Ayo kita keluar, Bu. Kita bicara di depan saja."
Pram meraih tangan ibunya, mencium punggung tangannya sebelum mengajaknya keluar.
"Kamu jangan mengalihkan perhatian, Pram." Bu Hasna—ibu Pram menepis tangan anaknya. "Soraya itu sakit menahun karena karma akibat memaksa nikah sama kamu tanpa restu Ibu."
"Astagfirullah…."
Kalimat itu digumamkan tiga mulut: Pram, Soraya, dan Puspita.
"Dan sekarang, kamu sok-sokan poligami tanpa restu Ibu lagi? Apa kamu tidak takut hal sama akan menimpa istri barumu?" Bu Hasna mendengus, lalu menatap Puspita yang masih diam. "Kamu menikah lagi tanpa meminta restu Ibu? Ibu doakan istri barumu kena kanker juga seperti Soraya!"
Langit begitu cerah siang itu. Awan tipis berarak pelan seakan ikut merayakan pencapaian besar yang tengah dirasakan Puspita.Setelah acara inti wisuda selesai di aula yang megah, semua orang bergerak ke luar ruangan. Dan di sana, suasana jauh lebih riuh. Gelak tawa, sorak-sorai, dan bunga-bunga yang memenuhi tangan para wisudawan menjadi pemandangan sejauh mata memandang.Taman kampus yang luas, dihiasi dengan tenda-tenda putih dan hamparan bunga musim semi yang bermekaran, menjadi tempat sesi foto dan perayaan kecil-kecilan yang diatur oleh pihak kampus.Puspita mengenakan toga kebanggaannya, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Tangannya masih menggenggam buket bunga yang diberikan Pramudya begitu ia turun dari podium. Pram, lelaki yang menjadi suaminya, ayah dari anaknya, dan juga satu-satunya pelabuhan hidupnya—berdiri di sampingnya, mengenakan batik biru senada dengan putra kecil mereka.Tiba-tiba kerumunan kecil masuk ke area taman. Prabu datang bersama keluarganya. Ia terliha
Lima tahun kemudian …Pelukan itu hangat. Nyaman. Namun juga sedikit menyebalkan.“Mas …,” desis Puspita sambil berusaha melonggarkan lengan kekar suaminya yang melingkar erat di pinggangnya. “Lepas dulu, aku belum selesai pasang jarum pentul hijab ini, tahu nggak?”Puspita berdiri di depan cermin, tangannya cekatan merapikan kerudung satin warna krem yang selaras dengan kebaya brokat yang membalut tubuhnya yang kini sedikit berisi. Ia menghela napas, menyelipkan anak rambut yang bandel ke balik ciput. Hari ini adalah hari besar—hari di mana ia akhirnya menyandang gelar Sarjana Hukum setelah lima tahun perjalanan yang berliku. Tak mudah, tapi akhirnya sampai juga.Sejak tadi Pram terus saja mengganggunya. Tak membiarkan istrinya berdandan dengan tenang. Hanya karena menurutnya Puspita terlalu cantik. Seharusnya tidak bermake-up saja agar tidak menarik perhatian kaum Adam.Pram menatap pantulan cermin. Matanya teduh, bibirnya tersenyum. Wajah Puspita yang bermake-up flawless membuat na
“Kamu iri sama Puspita?” tanya Prabu hati-hati. Ia menatap luruh wajah Andini yang malam ini lebih banyak diam daripada biasanya.“Kalau kamu mau, kita juga bisa segera punya anak. Kita bisa lepas IUD kamu kapan saja,” lanjut Prabu seraya menggenggam tangan sang istri.“Besok kita ke dokter, ya? Aku yakin Oma juga akan melakukan hal yang sama ke kamu kalau kamu hamil.”Andini tersenyum, lalu menggeleng—cepat dan pasti.“Aku belum siap, Mas. Raja masih kecil. Aku belum ingin menjalani kehamilan. Belum sekarang. Rasanya… berat. Aku belum sanggup.”“Tapi aku bisa menambah babysitter kalau kamu mau. Aku tidak akan membiarkan kamu kerepotan mengurus anak-anak.”“Bukan itu, Mas. Lebih ke mental aku saja. Aku benar-benar belum siap menambah anak. Aku takut lebih cenderung ke anak yang lahir dari rahimku. Sedangkan anak-anak Mbak Irena juga butuh ibu. Aku takut tidak bisa adil, Mas. Kasihan mereka—sudah ditinggal ibu kandungnya, masa ibu barunya hanya sibuk dengan anak kandungnya? Tolong, ber
“Apa? Puspita hamil?” seru Oma dengan suara nyaring, nyaris membuat telinga Pram berdengung dari seberang telepon.Tak lama, terdengar denting gelas jatuh menghantam lantai marmer. Hening sejenak. Tapi bukan kemarahan yang terdengar setelahnya, melainkan... tawa. Tawa haru, yang menggetarkan dada.“Anak itu hamil! Hamil!” serunya lagi, kali ini kepada siapa pun yang ada di dekatnya. “Opa! Pa! Puspita hamil!” Ia berseru lagi, kini sambil berjalan tergopoh-gopoh mencari suaminya. “Kita rayakan malam ini juga! Di restoran paling mewah! Semua harus datang!”Pram belum sempat menjawab saat Oma sudah sibuk mencari Opa dan memerintah asistennya untuk segera memesan ruang VIP restoran bintang lima. Tak tanggung-tanggung, ia ingin semuanya hadir malam itu juga untuk merayakan kehamilan Puspita. Satu lagi calon cicit akan hadir hingga menambah ramai anak keturunan Bimantara.Pram tersenyum lebar setelah menutup sambungan telepon. Ia menjadi orang yang sangat bahagia mendapat kabar ini, meskipun
Matahari siang sudah lebih condong ke barat. Mahasiswa mulai keluar dari gedung-gedung fakultas, sebagian berjalan sambil tertawa, yang lainnya mengeluh soal tugas. Puspita menyampirkan tas ranselnya dan melangkah pelan keluar kelas. Badannya terasa pegal, kepalanya sedikit pening. Mungkin karena ini hari pertama kuliah. Duduk berjam-jam dalam satu posisi membuat tubuhnya sangat lelah.Apa ini karena ia terlalu tua untuk menjadi mahasiswi baru? Atau karena tulang-tulang dan tubuhnya pernah rusak parah hingga sempat lumpuh?Rasanya ia tak bisa menyamai mereka yang masih berusia belasan, yang semangat belajarnya masih sangat tinggi. Atau mungkin, ini hanya soal belum terbiasa?Terkadang, terbersit keinginan untuk berhenti saja. Toh, ia punya suami yang bertanggung jawab. Lebih dari cukup untuk menanggung hidupnya. Ia juga salah satu keturunan Bimantara. Rasanya, tidak akan kekurangan secara materi. Namun, kembali lagi, ia punya cita-cita yang ingin dicapai. Bukankah ia ingin menjadi sese
agi itu, matahari memancarkan sinarnya dengan lembut, menelusup melalui jendela kamar Puspita. Aroma embun dan rumput basah menyusup dari celah ventilasi, membawa suasana segar yang jarang dirasakan Puspita akhir-akhir ini.Dia berdiri di depan cermin, merapikan kerudungnya dengan hati berbunga-bunga. Hari ini adalah hari pertamanya kembali ke bangku kuliah. Setelah semua yang dilaluinya—perjalanan hidup yang berat, pernikahan, hingga lumpuh lama dan sembuh perlahan—kini ia mulai menapaki kembali jalan mimpinya. Menjadi mahasiswi. Kuliah untuk mencapai cita-citanya. Lebih tepatnya meng-upgrade diri meski mungkin ujung-ujungnya tetap di rumah menjadi ibu rumah tangga.Ya, menyadari kodratnya sebagai wanita dan ibu rumah tangga, tentunya kelak ia tetap harus mengutamakan keluarga. Berkaca pada Andini yang meski seorang insinyur perminyakan—pekerjaan yang pasti sulit didapatkan—tapi saat suami menghendaki ia di rumah saja mengurus rumah tangga, ia harus tetap siap.Karena di rumah pun pe