Share

Chapter 4: Pilu

"Endi bedule?" (Mana babinya?) teriak salah satu warga.

"I-ikah mana! Melayue ning kebun-kebun" (I-itu sana! Larinya ke kebun-kebun) jelas pak Saman.

"Wis! Ayu digedag!" (Sudah! Ayo dikejar!) pinta salah satu warga.

Aku, pak Saman dan beberapa warga pun, mulai mengejar yang dikatakan pak Saman babi jadi-jadian.

Bermodalkan obor dan ada yang bawa senter, serta para warga yang membawa batu sama kayu, kita mulai masuk kearea kebun yang berada di seberang pos.

"Apa kien jare mbah Raksa? Sing diarani baka mareki deweke bisa sugih?" (Apa ini kata mbah Raksa? Yang dibilang kalau mendatangi beliau bisa kaya?"

Malam ini sunyi sepi, hanya ditemani suara binatang malam yang menemani kesunyian ini.

Karena aku lebih memilih berdiam dipos ronda sendiri dan masih mencerna dari setiap kejadian yang baru saja terjadi.

Aku beralasan tidak ikut pergi untuk mengejar mengejar babi, karna tidak mungkin  membiarkan pos dalam keadaan kosong.

Ya! Itu alasan yang ku ucapkan, ketika warga hendak pergi mengejarnya.

(Sedikit penjelasan tentang kejadian malam ini, atau tempat ronda.)

Jadi pos menghadap kearah utara, dan disebelah utara area perkebunan salah waktu warga yang terkenal akan kekayaannya.

Yaitu, bu Ijah. Orang yang bisa dilihat sederhana, tetapi memiliki area perkebunan yang begitu luas.

Konon, walau dia kaya tetapi betah tinggal didesa ini.

(Untuk memperindah cerita, kita bisa sebut Desa ini, Desa Eceng Gondog. Kecamatan Eceng duwur, Kabupaten Ilalang.)

Pos tepat disebrang jalan kecil yang membelakangi rumah warga.

Pos ini hanya beralaskan bambu, dan disetiap sudut pos terdapat 4 tiang yang mengarah keatas dan tertutup genteng asbes.

Walau ini pos, sudut pandangnya begitu luas, bisa melihat kesemua arah. Karena tidak ada tembok atau papan yang bisa menghalangi.

(Kita mundur beberapa saat sebelum para warga datang dan mengejar babi ngepet.)

Waktu itu, tepat 50 meter disebelah timur, sosok yang mencoba menutupi dirinya dengan pohon jambu kecil.

Aku penasaran dengan sosok tersebut, karena begitu mirip dengan sosok yang ku kenal.

Tetapi pak Saman yang sedikit ketakutan berucap, " Bedul dadi-dadian ...! Bedul dadi-dadian ...! (Babi jadi-jadian ...! Babi jadi-jadian ...!)

Karena penasaran, aku tidak melepaskan pandangan dari sosok itu, sampai pak Saman lari membunyikan kentongan.

Namun aku tak menghiraukan pak Saman dan tak melepaskan pandangan!

Kaget juga, karena sebelum lari ke samping, bayangan itu lari mendekat.

Dari situ aku tahu, kalau sosok tersebut kak Warkam.

(Lanjut setelah kejadian ....)

Suara ranting kering bergesekan, puluhan langkah kaki terdengar menyusuri kebun milik bu Ijah.

Warga masih mencari keberadaan sang babi.

Tetapi, sekan hilang ditelan bumi.

Dengan penuh kekecewaan, warga berbondong-bondong keluar kebun dan kembali ke pos ronda.

"Jo! Sira si kurang sregep! Bener beli kuh, langsung ngilang!" (Jo! Kamu mah kurang cepat! Benar kan, langsung menghilang!) suara dari salah satu warga yang mulai kembali ke pos.

Kemungkinan sebelum sosok tersebut menghilang, warga sudah mengepungnya.

Aku menyimpulkan hal tersebut, karena adanya percakapan itu.

"Wor! Ngelamun bae? Kelaran?" (Wor! Melamun terus? Sakit?) tanya pak Somad dari balik kerumunan.

"Iya pak! Lagi kelaran!" (Iya pak! Lagi sedang sakit!) jawabnya.

"Ya wis! Balik bae yu?" (Ya sudah! Pulang saja yu?) ajak pak Somad kepada pemuda itu.

"Ayolah ...!" balasnya.

Kedua orang itu pun pergi, kemudian disusul sama warga lain.

Satu persatu para warga meninggalkan pos ronda, tetapi masih ada beberapa warga yang menetap, untuk berjaga.

"Pak Saman! Kirun balik dikit ya?" (Pak Saman! Kirun pulang dulu ya?) teriakku sambil langsung memutar badan hendak pulang.

"Hey! Wayae jaga malah balik!" (Hey! Waktunya jaga malah pulang!) cetus pak Saman, namun aku tak meladeninya dan meneruskan untuk melangkah.

Tetapi sebenarnya, pulang bukanlah tujuan awalku.

Karena, aku malah mampir ke rumah Kak Warkam untuk memastikan kalau apa yang aku lihat tidaklah benar!

Sesampainya di rumah kak Warkam, aku mengetuk pintu, seraya memanggil-manggil namanya.

Tak lama, pintu dibuka!

Aku kaget! Karena kak Warkam ada di rumah dan berada persis disamping mbak Raeni yang masih memegangi daun pintu.

"Tengah wengi gedar-gedor umae uwong! Ana apa?" (Tengah malam gedor-gedor rumah orang! Ada apa?) ketus mbak Raeni.

"Mung mastiaken, kang Warkam ana ning umah beli," (Cuma memastikan, kak Warkam ada di rumah atau tidak,) jawabku dengan senyuman bingung.

"Kih! Kakangira! Ana perlu apa?" (Nih! Kakakmu! Ada perlu apa?) tanya mbak Raeni sambil sesekali melirik kearah kak Warkam.

"O-ora papa si, mbak! Mung pengen weruh kondisie bae! Sukur, lamon bli pa-pa," (Ti-tidak apa-apa si, mbak! Cuma mau tahu kondisinya saja! Syukur, kalau tidak kenapa-napa,) jawabku meringis.

"Awas lamon ngomong ning uwong! Anake sira tak dadekaken wadal!" (Awas kalau bilang sama orang! Anakmu ku jadikan tumbal!) sela kak Warkam dengan nada menggema dan tatapan datar.

" DEG "

Aku langsung syok, tubuh pun bergetar hebat!

Selama pulang dari P, inilah ucapan pertama kak Warkam yang tak bisa aku percaya.

Tanpa permisi, aku langsung melangkah pergi dengan keringat dingin dan kaki yang bergetar.

Lemas! Tetapi aku harus segera pulang ....

Aku pulang dengan pikiran mengambang.

Takut, bercampur kekecewaan.

Sampai di rumah pun, aku memilih diam dan berusaha untuk tidur.

Namun mata enggan terjepam, hingga azan subuh berkumandang.

Aku bergegas ke kamar mandi dan selesai mandi, langsung memakai perlengkapan salat.

Sebelum keluar kamar, aku memandang Jamilah dan Suci dengan tatapan haru.

Karena takut kalau apa yang dikatakan kak Warkam, itu terjadi.

Lamunanku begitu lama, sampai tak sadar waktu salat pun, terlewat sudah.

Sesegera aku keluar kamar dan pergi ke musalah.

Namun, sudah sepi.

"Pengen subuan? Ayo, bareng!" (Mau subuhan? Ayo, bareng!) ucap Ahmad, menepuk pundakku dari belakang.

"Aduh, Mad! Ngageti bae," (Aduh, Mad! Ngagetin saja,) gerutuku menatap dia yang ada dibelakang.

"Sira si ngelamun bae! Sing mau gah wis ana ning guriane sira!" (Kamu si melamun saja! Dari tadi juga sudah ada dibelakangmu!) jelas Ahmad.

Ya! Aku masih melamunkan akan hal itu.

Masih tak percaya dan hawatir kalau kak Warkam bakal menumbalkan Suci.

Pagi hari, sekitar pukul 9.

Aku duduk sendiri di teras rumah, melamuni nasib sebagai seorang pengangguran.

"Durung ana sing ngecak kerja, Mas? Beras ning pawong wing pan entok!" (Belum ada yang mengajak kerja, Mas? Beras di dapur sudah mau habis!) ujar Jamilah dari dalam rumah sambil menyapu.

Namun, aku memilih diam dan mengabaikannya.

Sambil terus mengamati lalu lalang warga yang lewat dibdepan rumah.

Curi dengar dari salah seorang warga yang lewat, kalau mbak Raeni mendatangi orang-orang yang perlu pinjaman uang.

Dan yang satu laginya bilang, kalau malam itu kak Warkam pergi, karena ada yang mengajak bisnis.

Aku tak bertanya kepada orang tersebut, hanya mendengarkan saja.

Karena entah mengapa, aku menjadi benci dengan kakakku sendiri.

Disetiap malam menjelang tahlil, kak Warkam sudah tak ada di rumah.

Dan pulang, setengah jam setengah acara tahlilan sudah selesai diselenggarakan.

Walau seperti itu, tak ada warga yang curiga.

Karena mbak Raeni bilang, kalau jam segitu suaminya pergi berbisnis dengan seseorang.

Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu.

Aku dengar, mbak Raeni tengah mengandung.

Jamilah yang memberitahukan akan hal itu.

Aku tak tahu akan hal itu, karena sebulan terakhir bekerja di desa lain, tuk merenovasi rumahnya.

Kembali merenung didepan teras rumah, dengan disandingkan kopi.

Seperti biasa, ramai lalu lalang para warga melewati jalan kecil depan rumah.

"Ana sing ngejak kerja maning beli ya?" (Ada yang ngajak kerja lagi gak ya?) tanyaku dalam hati.

Ditengah lamunan, ada seseorang mendekatiku.

Bak orang kaya baru, memakai perhiasan banyak tuk di pamerkan.

Gelang emasnya saja, sampai lengan dan anting panjang mirip ondel-ondel.

"Run! Masih kerja ning kana?" (Run! Masih kerja disana?) tanya orang itu, yang tak lain adalah mbak Raeni.

"Wis ora, mbak," (Sudah tidak, mbak,) jawabku singkat.

"Kakangira tuku kebun sing ning sebelahe kebun dake bu Ijah. Gelem beli, sira sing garap?" (Kakakmu beli kebung yang disebelah kebun milik bu Ijah. Mau tidak, kamu mengelolanya?) tanya mbak Raeni lagi.

"O ...." belum sempat menjawab 'oke', Suci langsung keluar dari rumah, memotong pembicaraanku.

"Yah! Siska mau ngomong sama Ayah!" seru Suci.

Suci kecilku, sekarang sudah menginjakkan kaki di bangku sekolah dasar.

Tepatnya, sudah kelas 3.

Dan hari ini adalah hari liburnya, hari minggu.

Makanya Suci ada di rumah.

"Siska?" tanyaku dengan nada berbisik.

"Sampun ditampi! Nek panjenengan nampi tawaranipun, panjenengan lan sakulawarga badhe celaka! " (Jangan diterima! Bila anda menerima tawarannya, anda dan sekeluarga akan celaka!)

Terdengar suara yang begitu lirih, namun jelas terdengar.

Seakan jauh, namun terasa begitu dekat.

Seketika kaget, bercampur merinding. Karena kata-kata yang dia ucapkan.

"Lah, malah ngelamun! Gelem beli?" (Lah, malah melamun! Mau tidak?) tanya mbak Raeni dengan nada lantang.

"Maaf mbak, Kirune ora bisa! Ora ilok ngerti masalah perkebonan," (maaf Mbak, Kirunnya tak bisa! Tak mengerti masalah perkebunan,) jawabku dengan alasan yang baik tuk menolak.

"Ngomong baka beli gelem! Buang-buang waktu bae! Waktu adalah uang!" (Ngomong kalau tidak mau! Jangan buang-buang waktu! Waktu adalah uang!) ketus mbak Raeni, "Ya wis, kon wong sejen bae!" (Ya sudah, suruh orang lain saja!) timpanya.

Mbak Raeni berbalik dan langsung pergi, dengan jalan ala bebek kepanasan.

Aku langsung melihat ke belakang, tepatnya dimana Suci berada.

"Suci! Ayah kan nganggur! Kenangapa jare bature bloli?" (Suci! Ayah kan nganggur! Kenapa kata temanmu gak boleh?) tanyaku.

"Kogah weruh!" (Nanti juga tahu!) jawab Suci, membalikan badan dan masuk lagi kedalam rumah.

Bersambung ... .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status