Bab 4. Suamiku Membujuk Pindah Ke Rumahku
========
“Gak mungkinlah! Yati itu hanya pembantu! Ngapain Darfan masuk ke kamarnya! Kamu ada-ada aja, ah! Ayo kita kembali masuk kamar!” Mama mertua kembali mencengkram pergelangan tanganku, lalu menyeretku dengan kasar kembali menuju kamar.
“Buktinya, kunci mobilku ada di kamar Mbak Yati, Ma!” sergahku berusaha meloloskan kembali pergelangan tanganku.
“Itu bukan kunci mobil kamu! Kamu pasti salah lihat. Palingan juga mainan anak si Yati.”
“Aku pastiin aja, Ma! Mama duluan, aja, masuk kamar!”
Gegas aku berjalan ke depan. Tak kuhiraukan larangan wanita paruh baya itu. Tak perlu membuka pintu untuk melihat ke arah halaman. Dinding rumah yang terbuat dari papan memudahkanku untuk mengintip ke luar melalui celah antara papan.
Deg!
Jantungku berpacu kencang. Kecurigaanku terbukti benar. Mobilku terparkir di dekat teras sempit rumah ini. Astaga! Jadi benar, itu tadi kunci mobilku dan Mas Dar tidur di kamar Yati. Kenapa Mas Dar tidur di kamar Yati. Jangan-jangan mereka selingkuh? Kenapa Mas Dar selingkuh di malam pertama pernikahan kami? Ya, Tuhan, ada apa sih, ini?
“Sayang!”
Aku tersentak kaget. Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Spontan aku menoleh. Mas Dar telah berdiri tepat di belakangku.
“Kamu ngintip apa? Kamu gak betah ya, di rumah ini? Maaf, ya! Beginilah suasana rumah ini, Sayang. Kamu, gak nyesal, kan, nikah sama aku?”
Wajah Mas Dar berubah memelas. Sorot matanya memancarkan kesedihan. Sesaat aku merasa iba. Tapi ragu, ini beneran sedih atau sandiwara. Aku jadi bigung.
“Mas, kamu udah pulang dari tadi, kan? Kenapa gak masuk kamar kita? Kenapa malah masuk kamar Mbak Yati?” tuduhku berusaha tak terpengaruh dengan sikap memelasnya.
“Ha? Kamar Yati? Ngapain aku masuk ke kamar Yati?” sanggahnya dengan mata membulat sempurna. Sepertinya dia begitu terkejut dengan tuduhanku. “Kamu aneh, deh! Yati itu pembantu, Sayang! Udah punya anak dua lagi, masak iya aku sosor juga. Secara aku itu udah punya istri, yaitu kamu, Sayang!”
Tangannya terjulur mengelus pucuk kepalaku, segera kutepis dengan kasar.
“Buktinya kamu gak datang ke kamar kita, Mas! Kamu ke kamar Mbak Yati, aku ngelihat seseorang di atas kasur Mbak Yati. Meskipun tertutup selimut, aku curiga itu adalah kamu, postur tubuhnya persis sepeti kamu. Aku juga sempat lihat kunci mobil aku tergeletak di atas nakas di kamar itu! Jangan mungkir, Mas!”
“Astaga! Kamu cinta banget sama aku, Sayang! Sampai segitu cemburunya. Dengar, ya! Saat aku pulang tadi, aku mau langsung masuk kamar kita, tapi ada Mama di dalam. Gak enak mau bangunin orang tua, apalagi nyuruh pindah. Jadi aku yang bobok di kamar Mama. Kunci mobil kamu juga masih aku tinggal di kamar Mama, kalau gak percaya, ayo, kita lihat!”
Mas Dar memeluk bahuku, lalu membimbingku menuju kamar Mama di belakang. Penasaran, aku mengikutinya. Benar saja, kunci mobilku ada di atas bufet kecil yang sudah reot di kamar itu. Selimut tipis juga tampak berantakan di atas tempat tidur ukuran tiga kaki. Sepertinya baru dipakai oleh seseorang.
“Aku tadi tidur di sini, Sayang. Aku terbangun karena mendengar suara pintu dibanting. Rupanya suara pintu kamar si Yati.”
“Gitu, ya?”
“Iya, Sayang. Kamu percaya, ya, sama aku! Aku gak mungkin macam-macam sama pembantu.”
“Maafin aku, ya, Mas! Sempat curiga sama kamu!”
“Gak apa-apa, Sayang! Sekarang lanjut bobok, ya! Kamu ke kamar sana! Bobok bareng Mama!”
“Lho, kenapa? Kan, kamu udah pulang, Mas!”
“Gak enak, dong nyuruh Mama pindah.”
“Gak apa-apa, Mama juga udah janji kalau kamu pulang, Mama akan balik ke kamarnya!”
“Jangan repotin Mama, dong, Sayang! Bolak-balik pindah kamar itu, ngerepotin. Kasihan Mama, tidurnya terganggu.”
“Ya, udah, aku ikut kamu tidur di sini aja!”
“Di sini sempit, lho, Mel! Liat, gak muat buat berdua!”
“Gitu, ya!”
“Gini aja. Besok pagi telepon Papa kamu. Bilang kamu gak bisa tidur di rumah ini. Minta izin agar kita boleh nempati salah satu rumah kalian, gimana, Sayang? Jadi kita bisa tidur bareng, iya, kan? Gak perlu ngerepotin Mama buat nemanin kamu bobok saat aku belum pulang karena urusan bisnis seperti tadi, iya kan?”
“Emmm, besok pagi aku akan telepon Papa. Sekarang aku balik ke kamar kalau gitu!”
“Iya, Sayang, selamat bobok, ya!” Mas Dar mengecup keningku. Segera aku berjalan menuju kamar depan.
“Oh, iya satu lagi, Sayang!” Mas Dar menghentikan langkahku. “Kalau nanti kita udah jadi tinggal di rumah kamu, gak usah cari ART, ya! Si Yati aja kita bawa, dia itu rajin, bersih dan pinter masak, kamu setuju, kan?” usulnya mengagetkanku.
“Si Yati, ikut kita? Maksudnya?” sergahku tak percaya.
“Iya, dia itu janda. Di sini dia tidak pernah digaji, lho. Cuma sekedar numpang makan dan tempat tinggal saja. Hitung-hitung nolongin seorang janda, Sayang. Kamu setuju, kan?” bujuk Mas Dar sedikit memaksa.
“Aku akan pikirkan malam ini, Mas!” jawabku kemudian berlalu.
**
“Mbak duluan!”
“Aku, dong!”
“Mbak udah dari tadi antri, Bagas!”
“Tapi aku dah gak tahan, Mbak! Udah mau keluar, nih!”
“Antri-antri! Tunggu giliran masing-masing!”
Aku terjaga karena teriakan-teriakan itu. Sepertinya anak-anak Mbak Dina, Mbak Dinda dan Mbak Yati sudah bangun dan sedang memperebutkan sesuatu. Entah apa. Kepalaku terasa pening dan berdenyut. Mungkin karena hampir tidak bisa tidur sepanjang malam ini. Seluruh tubuh juga terasa sakit. Berdiri seharian kemarin untuk menyalami para tamu undangan di resepsi pernikahanku sungguh menguras tenaga.
Kupaksa membuka mata yang terasa begitu sepat. Seperti ada lem perekat di kelopaknya. Tetapi aku harus segera bangun. Ini rumah mertua, jangan sampai mertua dan ipar-iparku mencap aku perempuan malas.
Kulirik ke arah samping, kosong. Mama mertuaku rupanya sudah duluan bangun. Pelan aku bangkit, duduk di pinggir kasur. Menatap pantulan diri di cermin buram yang terpasang di lemari pakaian. Kuteliti wajah lelahku. Duh, lingkaran panda terbentuk di sekitar mata. Ditambah dengan minyak yang membanjir di sekitar hidung pesekku. Ih, wajahku jorok.
Aku harus cepat-cepat mandi. Aku malu menunjukkan wajah sejelek ini di hadapan Mas Dar. Belum lagi rambut ikal tebalku ini. Kalau tidak diikat ke belakang akan menggimbal. Seperti orang yang tidak penah sisiran. Itu akan membuat kepalaku tampak sangat besar.
Entah kenapa aku diberi penampilan sejelek ini? Untung Mas Dar mau menikahiku. Kalau tidak, mungkin selamanya aku akan jadi perawan tua. Meskipun sampai hari ini aku masih perawan. Mas Dar belum menyentuhku sama sekali. Dia hanya kecup kening saja. Tapi, itupun sudah sangat melenakanku. Meskipun berharap lebih. Aku harus bersabar. Mungkin nanti malam. Bila kami sudah pindah ke salah satu rumah Papa.
“Bu Amel!”
Ketukan halus di pintu kamar mengagetkanku. Siapa penghuni rumah ini yang memanggil aku dengan sebutan Ibu?
“Ya, masuk aja, gak dikunci!” sahutku buru-buru mengikat rambut gimbal di kepalaku.
“Bu Amel udah bangun?”
“Mbak Yati?”
Aku terpana. Kenapa wanita ini berubah sangat hormat dan sopan padaku?
******
Bab 5. Kejutan Di Pagi Hari“Maaf, saya ganggu pagi-pagi, Buk!” ucapnya berjalan masuk dan berdiri tak jauh di depanku.Aroma sampho menguar dari rambut basahnya. Sepertinya dia sudah mandi, keramas lagi. Kenapa dia keramas, coba? Bukankah dia seorang janda? Bukankah aku yang harusnya keramas pagi ini? Entah kenapa pikiranku ngelantur ke mana-mana?“Ada apa, Mbak? Gimana keadaan Mbak Yati? Bercak-bercak merah di dada dan leher Mbak udah ada kurangnya? Kalau belum, mau kita berobat sekarang?” cecarku meneliti lehernya yang tertutup rambut basahnya.“Udah, kok, Buk. Saya gak sakit. Mereh-merah itu karena tadi malam gatal-gatal mungkin di gigit kutu kasur, jadi saya garuk. Makanya gak pake baju saya tadi malam, gatal semua. M
Bab 6. Terbongkar (Mereka Zina Atau Bukan?)“Mas, udah, dong! Aku udah keramas, lho! Masa iya, aku di suruh mandi lagi!”“Ayolah! Tadi malam tanggung! Pas lagi enak-enaknya, si kribo bikin ulah! Gak apa-apalah, kamu mandi lagi, Sayang, ya! Pening, nih!”“Ya, udah, jangan lama-lama! Cepatan!”“Iya, Sayang, makasih, ya!”Kutajamkan pendengaran, beringsut pelan ke arah dinding kamar. Sela-sela berlubang antara papan lapuk dinding ini, sepertinya bisa kujadikan sarana untuk mencari tahu situasi di kamar sebelah. Mohon ampun pada Tuhan, maaf, ya Allah, bukan aku mau tahu urusan orang. Kali ini saja, izinkan aku mengintip. Sebab aku curiga,
Bab 7. Kujadikan Maduku Sebagai Babu=======“Pagi Papa! Papa sehat?” sapaku melalui ponsel. Kutelepon Papa pagi ini.Pembalasanku kepada suami durjanaku harus segera dimulai. Sengaja aku menelepon Papa di hadapan seluruh keluarga Mas Dar. Kuaktifkan pengeras suara ponsel, agar mereka bisa mendengar.“Sehat, Sayang! Gimana keadaan kamu di situ? Kamu senang, kan? Keluarga suami kamu memperlakukan kamu dengan baik, kan?” tanya Papa.“Senang, Pa. Amel bahagia banget di sini. Tapi, anu ….” Sengaja kujeda ucapanku. Itu membuat perhatian mereka sontak tertuju padaku. Sorot gelisah terpancar dari wajah-w
Bab 8. Papa Amelia Mulai Mengontrol“Sayang, kita baru aja pindahan. Kok, si Yati langsung disuruh kerja berat, gitu? Mana anak-anaknya masih kecil-kecil lagi! Kan, repot, Sayang! Kalau di rumah Mama, Mama bisa jagain anak-anaknya. Kalau di sini, gimana? Kasihan, lho!” protes Mas Dar tampak sangat tidak suka.“Lah, bukannya Mbak Yati itu pembantu kita? Tugasnya bersih-bersih, dong! Lagian, dia aku izinin, kok, kerja sambil momong anak!” sergahku. “Ayo, dong, Mas! Antarin aku!” perintahku tak peduli akan ketidak senangannya.“Sebenarnya kita mau ke mana? Masih capek, kan, Sayang? Kalau mau ngontrol peternakan, besok aja, ya! Uang penjualan gak mungkin diselewengkan oleh kasir kamu, kan?”
Bab 9. Papa Amelia Terkapar“Kenapa, Pak?” tanyaku tak kalah kalah kaget.Pak Anwar menunjukku dengan tangan gemetar. Kenapa dia? Kertas yang bertuliskan Kartu Keluarga ada di tangannya. Kertas yang ditunjukkan oleh Bagas putra sulungku. Kartu Keluarga? Astaga! Jadi, kertas yang disodorkan bagas tadi adalah kartu keluarga kami?“Ja – di, Dar – fan, su - a – mi, ka – mu? Ka … li … an, pe … ni … pu!” ucap Anwar terbata-bata. Lelaki paruh baya itu jatuh tiba-tiba terkapar.“Pak! Pak Anwar!” Spontan aku menghampirinya. “Bapak kenapa, Pak?” tanyaku seraya mengguncang-guncang tubuhnya. Tapi pria itu tetap diam, t
Bab 10. Keluarga Parasit Mulai Mendekat “Sabar, ya, Sayang!” Darfan yang sudah datang, duduk di sisinya. “ Tenang, ya!” hiburnya lagi seraya mengelus bahu Amelia. Kali ini tak ada lagi kalimat meninggal dari mulutnya. Khawatir karena Amel telah mengancamnya. Amelia segera menepis kasar elusan tangan pria licik itu. Hampir dua jam mereka menunggu, Dr Frans akhirnya keluar dari ruangan. Amel segera memburunya. “Gimana Papa, Dok? Papa gak meninggal, kan, Dok?” tanya Amelia masih diiringi isak ketakutan. Darfan ikut berdebar. Pria itu berusaha melongokkan kepala ke dalam ruangan untuk mengintip situasi di dalam. Dia tak sabar mengetahui kondisi papa mertua yang diharapkannya 
Bab 11. Gagal Menguasai Kartu ATM Amelia “Kenapa, Pa? Papa mau bilang apa?” tanya Amel mendekati ranjang pasien. “Ough! Eeeeegh!” Kembali sang papa bergumam tak jelas. Lidahnya yang kaku membuat pria itu kesulitan untuk berkata-kata. “Amel gak ngerti, Pa! Papa tenang, ya! Kita pulang setelah Mas Dar urus administrasinya,” bujuk Amelia lembut. “Uuuuuugh!” Anwar malah semakin gelisah. “Mas, sepertinya Papa mau bilang sesuatu, aku gak ngerti. Tolong, deh, Mas yang tanyain! Duduk sini, Mas! Biar aku aja yang turun!” Gadis itu mendorong tubuh Darfan dan mendudukkannya di kursi samping ranjang. “Papa ngomong sama Mas Dar, ya, Pa!
Bab 12. Malam Pertama Yang Tertunda Sejatinya, semua mahkluk yang bernama wanita itu cantik sempurna. Namun, banyak pria yang tak mampu melihat kecantikan yang sesungguhnya. Mereka tertipu dengan netra. Padahal, penglihatan kadang bisa berubah menjadi iblis yang memperdaya. ***** Pukul sepuluh malam, mereka tiba di rumah. Amel langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Darfan menunggu dengan sabar. Pria itu tengah menyiapkan suatu rencana. Dia harus melakukan sesuatu untuk memudahkan mencapai tujuannya. Sejauh ini, belum ada hasil apa-apa. Mobil sang mertua yang dia incar gagal dia dapat. Kartu ATM, Kartu Kredit dan lainnya, sama sekali tak bisa dia kuasa