Wajah Aini tampak sempurna dalam guyuran lampu kristal di kamar pengantinnya, harum bunga melati dan hiasan bunga hidup yang menjadi dekorasi kamar bernuansa putih berpadu dengan warna -warni bunga itu semakin menyempurnakan indahnya kamar Aini.Tak butuh waktu lama untuk menunggu seorang dokter Fadhil melamar dan menetapkankan tanggal pernikahan mereka. Laki-laki sejuk dan lembut itu ternyata memiliki tekad yang keras dan kuat. Cinta nya besar dan tak terukur.Hari ini disaksikan orang tua dan kerabat dua belah fihak, Aini dan dokter Fadhil akan resmi mengikrar kan cinta mereka didalam ikatan pernikahan yang Sah dan indah.Perkawinan bukan hanya menjanjikan lautan cinta tak bertepi tapi juga menjadi ladang ibadah terlama dalam hidup.Wajah cantik Aini tampak berbinar lembut dalam rona kebahagiaan yang terpancar dalam sorot mata dan senyumannya yang menawan.Dengan penuh debar Aini menanti dirinya keluar kamar untuk melaksanakan ikrar pernikahan dirinya dengan imam seorang Fadhil yang
Adakah yang lebih manis dari madu perkawinan yang bahagia dan penuh cinta?Adakah anugerah terindah dalam mengarungi bahtera rumah tangga selain memiliki pasangan yang tulus mencintai kita dengan sepenuh hati dan jiwa?Aini mendesah. Malam semakin larut, desir angin di luar sana yang terdengar syahdu laksana kidung cinta nan indah ditelinga dua insan yang sedang bersusah payah saling meredakan getaran rasa yang kian membara.Entah berapa kali dokter Fadhil mengusap dahinya yang tiba-tiba terasa berkeringat.Tolong Aini, ajarkan aku memiliki dirimu malam ini seutuhnya. Bukankah aku bukan yang pertama bagimu.Pandang mataku, Cinta. Jangan terus menunduk membuatku malu harus memulai dari mana. Bisik gati dokter Fadhil gemuruh.Lama keduanya terdiam. Meresapi sunyi yang tiba-tiba hadir.Aini perlahan menengadah, menepis segala kekakuan yang sempat tercipta. Mengukir lengkung manis di bibirnya. Fadhil adalah imamnya kini, betapapun rasa malu dan rikuh berpadu satu, sudah kewajibannya untuk
Udara dingin menusuk tubuh Aini yang masih tergolek dalam dekapan tangan kokoh suaminya.Seketika paras Aini memerah saat merasakan kalau tubuh polosnya beradu dengan dada bidang dokter Fadhil yang sedikit berkeringat.Aini merasa begitu malu dan bersiap meraih gaunnya agar segera bisa bangkit untuk membersihkan diri.Matanya sekilas menatap jam yang sudah beranjak sepertiga malam. Aini sudah terbiasa bangun dan melaksanakan solat lail.Tapi masalahnya malam ini tidak sesederhana biasanya, ada tangan kokoh yang dengan erat memeluk tubuhnya.Ada wajah yang begitu tenang yang nyaris menempel dengan wajahnya. Wajah tampan yang semalam menciuminya penuh cinta. Duh."Sayang, sudah bangun?" Dokter Fadhil tiba-tiba membuka mata, mungkin gerakan tubuh Aini yang bersiap bangkit membangunkannya "Mas juga sudah bangun?"Dokter Fadhil mengangguk."Mas, terbiasa bangun jam segini. Rasanya ada yang hilang saat tidak melaksanakan solat lail."Mata Aini membulat tak percaya, jika suaminya memiliki
Fadhil menyendokan nasi goreng pertama buatan Aini ke mulut. Hari ini, hari pertama mereka resmi menjadi suami istri. Setelah membereskan tempat tidur dan memberikan dokter Fadhil sebuah kecupan lembut yang membuat pria muda itu tersipu dan sibuk menenangkan hasratnya yang kembali, Dengan cekatan Aini pergi ke dapur dan menyiapkan segala kebutuhan suaminya di pagi hari.Sementara Bi Darsih sibuk berbenah di dalam rumah, dan Mang Enggkus tampak tengah asik memotong rumput dan dan merapikan taman di luar rumah. Ada yang sedikit berbeda dari suasana Seminggu sebelumnya. Rumah sedikit lebih sepi. Tak ada celoteh dan tangis menggemaskan Bella. Seminggu lalu Miranti membawanya pulang ke rumah mereka.Tampak Aini cukup berat berpisah dengan bayi cantik Bella, tapi apa yang dilakukan Miranti benar.Bella harus pulang, dia punya ibu yang berkewajiban merawat dan mencintainya.Mirna harus memaksakan diri merawat Bella. Apalagi Aini sekarang punya suami. Tentu ada yang lebih wajib untuk dilay
Tak terasa dua bulan sudah semenjak Aini dan dokter Fadhil menikah, waktu begitu saja berlalu menyisakan sejuta kisah pahit dan manis silih berganti. Ada tawa, ada air mata, ada suka adapula luka datang dan pergi silih berganti.Itulah kehidupan ibarat panggung sandiwara semua peran berganti dengan sempurna. Adakalanya kita mendapat peran yang manis dan Penuh tawa ada pula peran yang pahit penuh air mata dan kecewa. Kita diciptakan beraneka warna oleh sang pencipta, agar kita sebagai makhluk bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah menjadi goresan takdir dalam hidup.Saat Allah ciptakan luka dan air mata, di sanalah Allah mengajarkan kita arti kesabaran, dan saat Allah menciptakan rasa bahagia dan canda tawa, di sanalah Allah tengah mengajarkan bagaimana rasa bersyukur dan berbagi.Afwan tepekur menatap sederet angka di layar ATM. Lama berdiri di depan mesin canggih itu, tidak juga merubah apapun. Saldonya tetap tidak berubah.Angka yang jauh dari cukup untuk biaya hidup sebul
POV MirnaAku meraba pipi yang terasa panas dan sedikit perih. Tak menduga kalau Afwan, pria bucin yang selama ini puas kupermainkan hati dan perasaannya sanggup menamparku. Pria yang rela membohongi wanita sekaya Aini dan memilih hidup bersamaku, kini menatapku dengan pandangan penuh kebencian. Sialan.Afwan menamparku demi membela Miranti? Perempuan jelek yang enggak ada manis-manisnya itu? Apa otak dia sudah sepaneng atau Oneng? Ibaratnya aku boneka Berbie dan Miranti boneka orang-orangan di sawah? Kalau sampai Afwan membela Miranti, pasti ada yang korsleting dengan otaknya. Aku mendengus dengan sisa rasa percaya diriku yang sempat hancur gara-gara tamparan Afwan.Tunggu. Kata Si Bibi yang membukakan gerbang rumah Miranti mereka sudah menikah seminggu yang lalu. Apa betul pria setampan Afwan bisa jatuh cinta pada kakakku?Aku sangsi kalau Afwan benar mencintai perempuan songong itu dengan tulus. Kalau gak ada maunya pasti diguna-guna. Awas kamu Miranti, desis ku dalam hati penuh
Adakalanya ujian Allah hadirkan, agar seseorang mengerti caranya berjuang dan bersyukur, cinta dan keikhlasan.***Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Udara di luar yang menerobos lobang angin di kamar yang ditempati Aini, terasa lembab. Hujan yang turun di sore hari menguarkan bau tanah dan semerbak bunga yang banyak tumbuh di halaman rumah.Wajah Aini memerah sendu saat matanya kembali menyapu ruangan kamarnya yang sepi.Ruangan kamar yang di dominasi warna putih dan krem itu kini menyisakan lengang. Ruangan besar dan luas itu rasanya sepi tanpa tangis dan celoteh bayi mungil yang akan membuat suasana semarak dan hangat.Sejak Bella diambil kembali oleh Miranti rasanya hati Aini begitu sepi. Apalagi setahun pernikahan dengan dokter Fadhil seperti belum ada tanda-tanda dirinya hamil. Padahal kata dokter yang sempat Aini kunjungi untuk melakukan konsultasi, dirinya dan suami baik-baik saja. Hanya belum saatnya dan harus sedikit bersabar.Aini tahu, dia harus sabar menunggu
Aini hanya tersenyum getir. Menyadari ucapan Sinta betul adanya. Mungkin dirinya adalah perempuan terbodoh yang merelakan suaminya mendua cinta."Aku mungkin bodoh, Sinta. Tapi aku tidak mampu melihat seorang perempuan seperti Afifah terluka dan terhina." Mata Aini menerawang menembus langit."Aku tahu bagaimana rasanya dicampakkan dan dihina, aku bisa merasakan bagaimana seorang Afifah yang terluka, trauma dan putus asa."Sinta mengerjap, tak menduga kalau ketulusan Aini begitu dalam."Aku tahu bagaimana sakitnya dikhianati, tapi aku yakin lebih sakit menjadi seorang perempuan ternoda karena sebuah tindak kejahatan. Aku bahkan tidak membayangkan kalau itu terjadi padaku." Aini tersenyum menatap bola mata Sinta yang tidak berkedip."Kamu pikir, mudah menerima Fadhilmu berbagi hati, Aini?" Sinta yang terlihat sedikit gemukan kembali bertanya.Sinta memang perempuan tegar. Saat dia mendapati Heru suaminya berselingkuh dengan Mirna, dia mantap memilih hidup sendiri dan menggugat cerai. B