(POV Davina)Sumpah demi apa? Aku bertemu dengan bi Imah. Sejak kapan dia pergi ke kota ini? Tidak, mas Rendi tidak boleh tahu kalau dia adalah bibiku dari kampung.“Mas, sebaiknya kita pulang sekarang. Aku capek ingin istirahat,” ajakku kepada mas Rendi.“Davina, ini kamu, kah? Ini Bibi, Vin, Bi Imah. Bibi sudah lama mencari kamu,” ujar bi Imah.“Vin, dia bibi kamu?” tanya mas Rendi.“Jangan dengarkan dia, aku tidak kenal sama dia,” sanggahku, tak mau mengakuinya. Aku sangat malu jika mas Rendi tahu dia bibiku. Bibiku yang sangat miskin di kampung.Aku menarik tangan mas Rendi supaya menjauh dari bi Imah. Kami berdua hendak masuk ke dalam mobil.“Tunggu, Davina. Ini Bibi, masa kamu lupa sama Bibi kamu sendiri. Bibi yang merawat kamu sejak kecil. Bibi kangen sama kamu.” Bi Imah mengetuk-ngetuk kaca mobil mas Rendi.“Jalan, Mas!” pintaku.“Tapi, Vin, dia ….”“Jalan saja, Mas, nggak usah menghiraukan dia. Aku tidak kenal sama dia,” potongku.Mas Rendi pun mengalah, dia melajukan mobilny
(POV Bi Imah)Aku terus mengejar mobil yang ditumpangi Davina. Aku tak tahu kenapa Davina seperti itu. Seolah-olah dia tidak kenal denganku.“Davina ….” Aku berjalan sempoyongan, karena rasa lapar yang sudah tidak tertahankan. Aku tak menyangka Davina bisa bersikap seperti itu. Dahulu saat kami masih tinggal bersama di kampung, Davina begitu baik dan sopan. Aku sudah menganggapnya sebagai putriku sendiri, karena aku yang merawatnya dari semenjak dia masih kecil usia 1 tahun. Ibu dan ayahnya meninggal dunia, saat musibah kebakaran terjadi di rumahnya. Kakaknya pun selamat dari insiden itu, dia dimasukkan ke panti asuhan, karena kerabatnya yang lain tak ada yang mau merawatnya. Jika saja aku orang mampu, aku akan dengan senang hati akan merawat dan menganggap kakaknya Davina sebagai anakku sendiri. Tapi apa daya, suamiku hanya pekerja serabutan, jadi aku memutuskan untuk merawat Davina saja. Namun aku dan suamiku sudah berpisah karena suamiku memutuskan untuk merantau ke kota, dan dia
(POV Risa)“Jona, kalau kamu masih sakit, sebaiknya kamu tidak usah ikut aku ke acara itu. Biar aku saja tidak apa-apa. Ada Bu Lela dan suaminya juga kok yang bantu,” imbuhku pada Jona di dalam sambungan telepon.“Tidak apa-apa, Risa. Aku kuat kok, ini aku lagi masang sepatu, sebentar lagi aku kesana. Kan ada yang bantu, aku bakalan kuat kok,” sahut Jona bersikukuh ingin ikut aku untuk mengantarkan pesanan catering ke acara nikahan.“Ya sudah kalau kamu maksa mau ikut. Kami tunggu disini, kamu juga nggak usah ngebut bawa motornya. Ini masih subuh, jadi waktu kita masih banyak,” ujarku.Aku mengakhiri panggilan telepon itu. Aku berniat hendak mandi dan mempersiapkan kebutuhan catering. Di rumah sudah ada Bu Lela dan Pak Yanto. Mereka akan bantu-bantu, karena jika aku hanya berdua sama Jona, pasti akan kewalahan.“Risa, Ibu senang sekali akhirnya kamu bisa bangkit seperti ini. Kamu beruntung dipertemukan sama teman kamu, siapa itu? Jo … Jona, ya? Semangat kamu jadi bangkit lagi, setelah
(POV Risa)“Ya!” Aku mengangguk menuruti perkataan ibu-ibu itu.Aku segera menyiapkan dua porsi makanan untuk kedua calon pengantin.Aku menghela nafas dalam, lalu membuangnya perlahan. Seperti yang aku katakan tadi pada Jona, aku harus profesional dalam pekerjaan ini. Aku harus melakukan pekerjaan ini semaksimal mungkin.Aku mulai berjalan membawa dua porsi makanan itu ke dalam rumah. Aku mencari dimana kedua pengantin itu.“Maaf, Mbak, pengantinnya dimana, ya? Saya mau mengantarkan sarapan buat calon pengantin,” tanyaku pada seorang wanita disana.“Disana,” tunjuknya pada sebuah kamar.Aku mengangguk, kemudian berjalan hendak masuk ke kamar itu.“Permisi, makanannya mau ditaruh dimana?” tanyaku saat sudah berada di kamar.Terlihat Davina sedang fokus di rias, namun dia tak melihat ke arahku sama sekali.Aku pun tak melihat sama sekali dimana Rendi.“Taruh di meja sana, Mbak!” sahutnya tanpa menoleh ke arahku.Aku langsung menaruh makanan itu di atas meja sesuai permintaannya.Lalu s
(POV Risa)Semua orang menatapku tajam. Aku menggelengkan kepala, aku tidak tahu menahu soal racun. Yang aku tahu, makanan yang aku masak semuanya aman. Tidak mungkin aku meracuni mereka semua. Aku tidak mungkin setega itu.“Lah, kami disini yang makan nggak kenapa-kenapa, kok. Kenapa tiba-tiba mereka keracunan?” tanya salah seorang dari mereka, yang masih berada di acara nikahan Davina.“Bapak belum terkena efeknya saja. Nanti setelah beberapa menit, perut Bapak akan sakit dan bolak balik kamar mandi,” timpal laki-laki itu.“Maaf semua, saya tidak pernah mencampurkan racun ke dalam makanan ini. Saya tidak serendah itu, ya. Saya tidak mungkin meracuni mereka,” jelasku.“Halah … mana ada maling ngaku. Yang ada penuh itu penjara!” sanggah laki-laki itu, yang tidak aku ketahui namanya.“Aduh … perut saya mulas!” Bapak-bapak yang tadi berbicara, memekik kesakitan sambil memegangi perutnya. Wajahnya pun berkeringat seperti menahan sakit.“Aduh, kok saya juga mulas!” Disusul dengan yang lai
(POV Risa)“Loh … loh … loh! Ini kan tadi yang teriak-teriak menuduh makanan kita beracun. Tak disangka, ternyata maling teriak maling,” imbuh pak Yanto sambil geleng-geleng kepala.Pasalnya di dalam foto bu Lela saat di nikahan Davina tadi, yang dijadikannya sebuah wallpaper. Terlihat laki-laki tadi tertangkap kamera, di belakang bu Lela, sedang menuangkan sesuatu dari dalam kertas kecil, pada kuah sayur di dalam panci.Tak berselang lama, penyidik yang menyelidiki kasus ini sudah selesai dari kamar kecil. Tanpa menunggu lama, pak Yanto langsung memperlihatkan foto tersebut kepada penyidik.“Pak, lihat ini. Tadi istri saya Selfi di tempat nikahan tadi. Lihat di belakang istri saya, laki-laki itu nggak sengaja kefoto sama istri saya,” tutur pak Yanto menggebu-gebu. Tampak dia sangat geram dengan laki-laki itu.Kemudian penyidik itu membawa keluar ponsel bu Lela. Kami bertiga masih menunggu di dalam. Berharap penuh ingin pulang malam ini juga. Kami sangat lelah, ingin segera beristirah
(POV Rendi)Akhirnya setelah seharian lelah menerima tamu undangan, aku bisa istirahat juga. Aku merebahkan diri di ranjang pengantin, menunggu Davina selesai mandi.Kring! Kring! Kring!Ponselku yang berada di atas nakas berdering. Gegas aku mengambilnya dan melihat siapa yang sedang melakukan panggilan ke nomorku.“Adul, ada apa dia menelepon?” gumamku.Aku langsung mengangkat telepon darinya.“Halo, Dul. Ada apa? Kan bayarannya sudah saya kasih,” sapaku kepadanya.“Bukan masalah itu, Pak Rendi. Jadi begini, saya mendapat info, kalau polisi sedang mencari saya. Ternyata saat saya memasukkan obat pencahar di makanan tadi, nggak sengaja kefoto sama ibu-ibu catering tadi yang sedang Selfie. Sekarang saya lagi sembunyi, saya harus gimana, ini? Saya takut ditangkap, bagaimanapun juga kan, saya melakukan itu atas dasar perintah dari Pak Rendi. Jadi Pak Rendi juga bertanggung jawab atas semua itu, bukan saya saja,” sahut Adul.Aku mengacak rambut kasar, tak menyangka si Adul bisa seceroboh
(POV Risa)Kring! Kring! Kring!Aku yang tengah duduk santai di depan rumah, mendengar suara ponselku berdering dari dalam rumah. Gegas aku mengambilnya, kemudian aku kembali lagi ke teras.“Jona!” Senyumku terbit melihat nama yang tertera di layar ponsel.Aku segera mengangkat telepon darinya.“Halo,” sapaku.“Halo, Risa, kamu lagi apa? Bagaimana kabar Bu Imah, apa dia nyaman tinggal dengan kamu?” tanya Jona dari seberang telepon.“Aku lagi duduk-duduk saja di teras. Alhamdulillah, sepertinya sih dia betah. Sekarang aku jadi ada teman, tidak merasa kesepian lagi di rumah,” jawabku.“Syukurlah, oh iya, aku sudah memesan makanan buat kalian. Mungkin sebentar lagi sampai di rumah kamu. Rencananya hari ini aku mau ngajak kamu mengunjungi makam Kania. Itu juga kalau kamu nggak sibuk,” imbuh Jona.“Terima kasih, Jona. Aku jadi nggak enak kamu sudah repot-repot memesan makanan buat kami. Aku nggak sibuk, kok. Aku mau ikut, aku juga sangat rindu dengan anakku,” sahutku antusias.“Iya, Risa.