(POV Rendi)Sekitar empat hari kemudian, Bams menghubungiku dan memberitahu bahwa ada calon pembeli yang ingin melihat-lihat rumahku. Dengan semangat aku langsung menyetujuinya. Rencananya hari ini juga Bams dan calon pembeli rumahku akan datang kesini.Setelah menunggu sekitar dua jam. Aku melihat mobil mewah masuk ke dalam pekarangan rumahku.“Rendi, maaf sudah membuat kamu menunggu. Kenalkan ini Pak Ogah yang mau melihat-lihat rumah kamu,” ujar Bams yang baru saja datang.“Saya Rendi, senang bertemu dengan anda. Kalau mau langsung melihat rumah saya, silahkan, Pak. Rumah saya masih dalam keadaan bagus, gaya modern dan lumayan besar dibandingkan rumah-rumah lainnya di tempat ini,” imbuhku.Aku memandu pak Ogah melihat keadaan rumahku. Setelah sekitar setengah jam melihat semua ruangan, halaman depan, dan halaman belakang. Kami pun duduk di ruang tamu.“Jadi bagaimana, Pak Ogah? Apakah Bapak tertarik dengan rumah ini?” tanyaku.Pak Ogah mengangguk sambil memainkan jenggotnya.“Ya, sa
(POV Mona)Aku harus cepat-cepat pergi dari rumah mas Rendi. Aku takut jika ketahuan mereka, kalau aku yang mengambil semua uangnya.Aku melakukan hal seperti ini, karena aku butuh uang-uang ini. Aku cinta sama mas Rendi, tapi aku lebih butuh uangnya.Apalagi sebentar lagi Davina akan memiliki anak, otomatis semua perhatian dan biaya dari mas Rendi akan lebih condong kepadanya. Aku sakit hati, kenapa mas Rendi tak kunjung mau menikahiku, dia malah sibuk dengan kehamilan istrinya. Sementara aku, hanya dijadikan pembantu olehnya. Cinta macam apa ini? Jika ditanya dulu siapa yang pernah membuat Davina sakit perut seharian? Maka akulah orangnya, ya, akulah pelakunya. Walaupun Davina tidak pernah berbuat kasar ataupun galak selama aku bekerja, tapi tetap saja aku benci kepadanya, karena perhatian mas Rendi harus terbagi.Aku segera memesan tiket bus, pergi dari kota ini, sejauh-jauhnya. Tak ada waktu membawa barang-barangku yang masih berada di kontrakan ku, tapi tidak apa-apa, masih ada u
(POV Davina)“Vin … kok uang buat modal nggak ada. Apa kamu yang ambil?” tanya mas Rendi mendekatiku di dapur, saat aku sedang sibuk memasak.“Uang? Bahkan aku nggak tahu kamu menyimpannya dimana. Coba cari yang benar, siapa tahu kamu lupa menyimpannya,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya.Mas Rendi kembali ke dalam kamar, namun selang beberapa menit dia kembali lagi ke dapur.“Nggak ada, Vin … aduh, kemana ya uang-uang itu?” imbuh mas Rendi.Aku yang sedang membolak-balik nasi goreng di wajan, sontak menghentikan gerakan tanganku dan mematikan kompornya.Aku berbalik ke arah mas Rendi. “Kamu kenapa?” tanya mas Rendi.Tanpa menjawab pertanyaannya, aku melangkah pergi ke kamar Mona. Entah kenapa aku malah curiga dengan Mona, karena disaat Mona tidak tahu kemana, uang kami pun raib tanpa sebab.Mas Rendi berjalan mengikutiku menuju kamar Mona.Kini kami berdua berada di dalam kamar Mona yang tidak dikunci.“Kenapa kita masuk ke kamar Mona?” tanya mas Rendi.Lagi-lagi aku tak menjawab per
(POV Jona)“Kamu sudah siap, sayang?” bisik ibu yang duduk di belakangku bersama Tante Tia.“Ya!” sahutku singkat.Hari ini mungkin adalah hari kebahagiaan ibu. Namun justru akan menjadi awal kehancuran hatiku.Seharusnya Risa yang duduk di sampingku saat aku menjabat tangan penghulu, bukan Adya.“Kamu jangan murung begitu, malu dilihat orang, Jona. Senyum dong, sayang. Ibu yakin kamu akan bahagia dengan pilihan Ibu. Karena tidak ada seorang Ibu yang menginginkan anaknya tidak bahagia,” bisik ibu lagi.Aku menghela nafas kasar. Antara berat hati, sedih, sakit dan pasrah bercampur menjadi satu. Aku bagaikan terkurung di dalam sangkar, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sejatinya seorang lelaki sudah seharusnya memperjuangkan cintanya terhadap wanita yang teramat dicintai. Namun nyatanya saat ini aku berada di dalam situasi yang sulit. Menolak pun mungkin akan membuat Ibu marah bisa jadi penyakitnya kambuh.“Aku mau ke toilet dulu,” pamitku.“Mau ngapain? Sebentar lagi acara akad nika
(POV Jona)Entah aku harus bersedih atau justru senang, saat akhirnya Adya meninggal dunia dan itu artinya ada peluang besar untukku kembali kepada Risa. Tapi walaupun aku tidak mencintai Adya, namun ada rasa sedih saat mendengar kabar bahwa dia meninggal dunia. Baru saja Adya merasakan kebahagiaan, namun itu hanya sesaat.Tante Tia dengan cepat membuka pintu ruang ICU, dan masuk ke dalam. Om Boni, ibu dan ayah pun menyusulnya masuk. Aku pun tak tinggal diam, aku juga ingin melihat Adya untuk yang terakhir kali.Di dalam sana, aku melihat Adya sudah ditutupi kain dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tante Tia dengan cepat menyibak kain itu, dan seketika terlihat wajah pucat Adya dengan mata terpejam namun di bibirnya menyiratkan senyum damai.“Adya, kenapa kamu harus pergi secepat ini, Nak. Kamu harus bangun, Nak, lihat suamimu ada disini. Kamu sangat mencintainya, kan? Lihat, Nak dia ada disini berdiri menemani kamu,” ujar tante Tia menangis sesenggukan.“Mama yang sabar, ya! Lihat a
(POV Risa)“Ini apa?” tanyaku penasaran dengan kertas yang diberikan oleh Jona.“Baca saja nanti, sekarang aku mau pulang. Permisi,” jawabnya.Jona pun melenggang pergi dari area tempat pemakaman umum. Aku yang masih berdiri mematung, segera memasukkan kertas berisi surat wasiat itu ke dalam tas kecilku yang sedari tadi disampirkan di bahu.Aku tidak menyangka jika pernikahan Jona menjadi seperti ini. Entahlah aku bingung dengan perasaanku. Antara senang atau sedih mendengar kabar ini. Namun jika aku merasa senang, betapa jahatnya aku.Malam hariAku berada di dalam kamarku duduk di depan meja hias. Aku memegang surat wasiat pemberian dari Jona. Aku penasaran, apa sebenarnya isinya, dan kenapa mesti diberikan kepadaku. Lalu apa hubungannya denganku?Aku membuka lipatan kertas itu, dan terlihat tulisan tangan seseorang di dalam sana.Aku membacanya dengan seksama, namun setelah selesai membacanya, tiba-tiba air mataku menetes begitu saja.“Ya Tuhan … apakah ini hanya mimpi atau kenyata
(POV Risa)Aku menunduk kala bu Diva sedari tadi memperhatikanku tanpa ekspresi dan tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun itu membuatku merasa was-was.“Risa, rencananya kami mau mengajak kamu makan bersama. Apakah kamu sedang tidak sibuk?” tanya pak Willy.“Em … rencananya hari ini kami mau keliling lagi jualan, Pak,” jawabku.“Begini saja, semua jualan kamu biar saya borong semuanya untuk makan siang semua karyawan di kantor. Saya akan panggil rendra untuk datang kesini menjemput semua makanan itu. Sekarang kamu dan Ibu kamu segera bersiap-siap. Saya ingin mengenal lebih dekat dengan calon menantu saya,” imbuh pak Willy.Aku pun menyetujui permintaannya. Aku meminta izin untuk bersiap berganti pakaian, begitupun dengan bu Imah.Di dalam kamar, aku segera berganti pakaian dengan pakaian terbaik menuurutku yang aku punya. Semoga aku tidak malu-maluin dengan penampilan ini.Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar dan bergabung kembali dengan keluarg
(POV Risa)“Risa!” teriak Jona, bu Imah dan pak Willy kompak.Tubuhku terhempas ke sisi jalan raya saat aku berusaha menyelamatkan bu Diva dari pengendara motor yang ugal-ugalan. Tubuhku rasanya sakit, namun beruntung aku tidak sampai pingsan.“Ya Tuhan, dahi dan kaki kamu berdarah.” Jona panik melihat keadaanku.Sementara pak Willy membantu bu Diva berdiri.“Tolong bawa Risa ke rumah sakit, Nak Jona. Kasihan dia pasti kesakitan,” imbuh bu Imah terlihat khawatir.Tanpa berlama-lama, Jona mengangkat tubuhku dan memasukkan ku ke dalam mobilnya.Beberapa kali aku mengaduh kesakitan. Dahiku terasa perih, terlebih kakiku selain berdarah mungkin juga terkilir.Dengan cepat Jona membawaku ke rumah sakit dekat-dekat sini.“Kamu yang kuat ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jona.Aku hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di rumah sakit. Aku segera ditangani oleh dokter. Dahi dan kakiku diperban supaya darah tidak terus menerus men