Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku.
"Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menikaKeesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.
Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge
Aku tersentak kaget saat tiba-tiba Mas Dio, suamiku, menyerahkan segepok uang berwarna merah tepat di hadapan mukaku. "Ini, untuk pegangan kamu selama nanti aku bekerja di luar kota, ya!" ucapnya dengan santai sambil menunggu aku menerima pemberiannya itu.Perlahan, dengan tangan yang gemetar aku mengulurkan tangan dan menerima uang tersebut. Ini untuk pertama kalinya aku melihat uang sebanyak ini selama enam tahun menjadi istri lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu. Ia hanya seorang tukang ojek online, penghasilannya tak pernah menentu. Paling besar lima puluh ribu ia berikan tiap harinya. Tapi sayangnya hal itu jarang terjadi, seringnya ia hanya bisa memberikan di bawah nominal tersebut."Apa ini gak terlalu besar, Mas?" tanyaku masih takjub atas apa yang diberikannya. Mas Dio menyunggingkan senyum, lalu menjatuhkan tubuhnya dan merangkul pundakku. "Nanti sebagian uangnya kamu belikan baju-baju yang cantik, ya! Biar kamu gak pakai baju yang itu-itu terus. Jangan lupa juga belik
"Silvi ..., kunci mobilnya ada gak?"Suara panggilan dari Mas Dio di luar membuatku tersadar bahwa mereka sedang menungguku di luar sana. Gegas saja aku menutup kembali dompet kunci itu, tak ingin sampai ketahuan jika aku telah mengetahui bahwa Mas Dio-lah pemilik mobil itu.Sebenarnya ingin sekali aku langsung menanyakan padanya soal semua ini, tapi pasti ia akan mengelak dan mencari alasan untuk menutupinya. Memang seperti itu kan cara kerja seorang pembohong, mereka akan terus melakukan kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya yang sudah mereka buat Jika memang Mas Dio tak berniat menyembunyikan apa pun, seharusnya dia jujur sejak awal, bukan malah berbohong seperti ini. Sepertinya untuk saat ini aku harus mencoba mengikuti permainan mereka dan berusaha mencari tahu sendiri tentang apa yang mereka sembunyikan dariku."Ini Mas, kunci mobilmu!" Sengaja aku memberikan kunci itu pada Mas Dio, ingin tahu apa reaksinya ketika aku mengatakan bahwa itu mobilnya. Tapi sepertinya Mas Di
[Mas, tadi aku ke rumah Ibu, ternyata sedang di renovasi, ya? Kata Pak Slamet kamu yang biayai, apa benar, Mas?] Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku memutuskan untuk menanyakan langsung terkait renovasi rumah yang katanya suamiku-lah yang membiayainya. Ingin tahu juga apa dia akan mengatakan yang sebenarnya padaku, atau memilih kembali tidak jujur.Semenjak Mas Dio bekerja di luar kota, komunikasi kami tidak lancar. Aku harus menunggu lebih dari satu jam untuk menunggu balasan darinya. Bahkan sering juga ia baru membalas di tengah malam.Jika aku mau menelepon pun, aku harus membuat janji terlebih dahulu. Sudah seperti menghubungi orang penting saja. Pernah aku tanyakan kenapa ia jarang membalas pesanku, katanya ia tidak diperbolehkan membawa ponsel saat bekerja. Ia harus bersembunyi dulu di kamar kecil jika mau melihat ponselnya.Sambil menunggu jawaban dari Mas Dio, aku membuka warung kecil-kecilanku. Kebetulan banyak anak-anak yang sedang bermain. Pasti akan ramai pembeli. D
"Ada apa, Silvi? Kenapa wajahmu tiba-tiba lesu?" tanya Kak Gema seraya mengernyitkan keningnya.Apa sebegitu terlihatnya di wajahku tentang kegelisahan yang tengah kuhadapi ini?"Kenapa? Cerita padaku, kamu sedang bertengkar dengan Dio? Apa Dio bersikap tidak baik padamu? Atau ... dia selingkuh? Jangan bilang kalian sedang pisah ranjang, Silvi!" Kak Gema memberondongku dengan pertanyaan. Raut khawatir terlihat jelas di wajahnya."Silvi, jangan pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku, aku tidak akan tinggal diam jika Dio menyakitimu!" tegas Kak Gema kali ini sambil menatapku sungguh-sungguh.Sepertinya aku memang harus memberitahukan padanya, walau sebenarnya aku sangat menghindari membahas masalah rumah tangga dengan Kak Gema. Sebisa mungkin ingin membuktikan bahwa aku bahagia menjadi istri Mas Dio walau dalam keterbatasan.Masih teringat jelas di benak saat Kak Gema pernah mengatakan ingin menjadikan aku istrinya walau dengan nada bercanda. Hal itulah yang membuatku segera mendesak
"Ka-kamu Silvi? Ke-kenapa bisa tahu kami ada di sini?" tanyanya tak percaya. Aku hanya tersenyum puas, berhasil membuat kejutan pada Ibu dan Kak Desi."Harusnya kamu bilang kalau mau kesini! Jadi kami bisa siap-siap lebih dulu!" Ujar Ibu setelah Dita kuminta untuk kembali duduk tenang di ruang tamu. Raut wajah Ibu dan Kak Desi tampak tak suka akan kedatanganku. Pastinya, karena mereka memang tak mengharapkanku."Bagaimana aku bisa bilang, Bu? Ibu dan Bapak kan gak ada ponsel, nomor Kak Desi pun gak aktif lagi," jawabku sambil menata kue-kue yang kubawa di piring agar bisa dinikmati bersama."Ada apa perlu apa kemari?" tanya Ibu sambil melipat kedua tangannya di dada, tak sedikit pun menatapku."Dita kangen pada Ibu dan Bapak, sudah lama juga kita gak ketemu!" "Ya sudah kalau begitu, Bapak ada di kamarnya, aku mau keluar dulu sebentar. Kalau mau apa-apa ambil sendiri saja, ya!" ujar Ibu sambil berlalu pergi meninggalkanku begitu saja. Sementara Kak Desi entah berada di mana.Sepertin
Karena merasa makin diabaikan di sini, aku pun memilih untuk pulang saja. Dari pada terus berada di rumah mertuaku dan hanya menjadi obat nyamuk saja. Segera kuajak Dita untuk segera pulang. Untuk apa berlama-lama di sini jika hanya terus memakan hati? Toh ku pun tak bisa mengorek informasi apa pun.Demi sopan santun, aku menghampiri Ibu mertua untuk berpamitan, tapi ia hanya memandangku sekilas, mengangguk mengiyakan, lalu kembali fokus melanjutkan perbincangannya dengan Arni dan Kak Desi.Kembali sebuah rasa sedih menyeruak di dada. Kemana ibu mertuaku yang dulu? Yang walaupun kami tak pernah terlalu dekat, tapi ia masih menganggapku ada. Menghargai aku sebagai seorang istri dari anaknya, walau perhatiaannya hanya sebatas memberikan sedikit bingkisan oleh-oleh untuk kubawa pulang ke rumah.Kuabaikan rasa sakitku. Berjalan keluar rumah berdua saja dengan Dita. Memang aku yang salah, tetap memilih datang padahal jelas mereka tak inginkan kehadiranku."Mba Silvi ...." Tiba-tiba sebuah