Sepintas aku ragu apa itu Mas Dio atau bukan, karena meski mirip, penampilannya sangat jauh berbeda dengan Mas Dio yang kukenal. Lelaki itu berpenampilan necis dengan kemeja berwana biru muda yang menempel di badannya.
Gegas aku memberi kode pada Kak Gema yang ternyata juga sama sedang memerhatikannya."Silvi, kamu ikuti Dio, jangan sampai kehilangan jejaknya, aku harus membayar makanan ini dulu!" titahnya sambil bergegas berdiri.Tak ingin membuang waktu, aku pun segera membawa Dita sambil sedikit berlari kearah pintu keluar. Berharap tak sampai kehilangan sosoknya.Aku sempat keheranan ketika kulihat para pramusaji yang berpas-pasan membungkuk hormat pada Mas Dio. Apa ia sebegitu dihormatinya di sini? Namun, ternyata saat aku melintasi pramusaji di pintu, ia pun sama membungkuk padaku. Emmh ... mungkin memang begitu cara pramusaji itu menghormati para tamunya.Aku kembali fokus mengikuti Mas Dio sambil tetap berusaha menjaga jarak dengannya. Aku tak tahu apa akan langsung menghampirinya atau tidak. Kulihay Mas Dio kini tengah berbincang dengan salah seorang sekuriti, lalu tak lama sebuah mobil pun berhenti tepat di hadapannya. Seorang lelaki yang kuduga supir membukakan pintu bagian belakang mobil dan mempersilahkan Mas Dio untuk masuk.Segera saja kuambil ponsel dan memoto semuanya, termasuk plat nomor mobil tersebut barangkali nanti dibutuhkan.Setelah Mas Dio pergi, Kak Gema belum datang juga. Entah apa yang membuatnya lama sekali. Lalu aku pun berinisiatif menanyakan perihal Mas Dio pada sekuriti yang tadi berbincang dengannya. Semoga saja ada informasi yang bisa kuambil."Permisi, Pak, kalau boleh tahu, lelaki yang barusan bicara dengan Bapak tadi siapa, ya?""Ooh ... yang barusan banget ya, Bu? Itu tadi Pak Anandio, kepala operasional Granita Grup. Bagaimana Bu, apa ada yang bisa saya bantu?" jawab sekuriti tersebut sambil menyunggingkan senyuman ramah."Kepala operasional?" Tiba-tiba Kak Gema sudah ada di sampingku."Apa Anda tidak salah? Yang tadi itu Anandio Dwi Prasetya kan?" tanya Kak Gema, meyakinkan lagi."Ya, betul. Pak Anandio Kepala operasional kami. Bagaimana Pak, Bu, apa ada yang bisa kami bantu?"Aku dan Kak Gema hanya bisa saling tatap, tak percaya akan semuanya."Kalau boleh tahu, sejak kapan dia bekerjal di sini, ya Pak?" tanyaku penasran"Maaf, Bu, boleh saya tahu apa kepentingan Anda?" Sekuriti itu sepertinya mulai merasa tak nyaman."Ti--tidak Pak, sa-saya hanya penasaran saja," ucapku tergugup karena panik melihat senyuman ramah di wajahnya yang berubah raut garang kini."Okey, Pak, terima kasih atas penjelasannya, kami permisi dulu." Tanpa aba-aba terlebih dahulu, Kak Gema menarikaku supaya segera meninggalkan sekuriti itu menuju ke parkiran."Mereka tak akan memberikan informasi begitu saja, Silvi. Bisa-bisa kita malah dicurigai nantinya!" ujar Kak Gema saat kami sudah berada di mobil. "Tapi ubtungnya kita sudah mendapat informasi penting itu. Granita Group. Ternyata Dio bekerja di sana.""Granita Gruop itu ... apa sih, Kak?"Aku sungguh tak memiliki bayangan apa pun tentang yang di sampaikan sekuriti iti sebelumnya. Melihat Mas Dio dengan penampilan necis dan diperlakukan bak seorang bos saja membuatku tak dapat percaya."Silvi ... suamimu sudah menjadi orang penting sekarang. Kau tahu, Granita Grup itu adalah salah satu perusahaan jaringan hotel dan restoran yang cukup besar dan sudah memiliki beberapa cabang di berbagai kota besar. Dan suamimu ..., menjabat sebagai kepala operasionalnya! Dia bosnya, Silvi ...!"Tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit mencerna informasi ini, apa semua yang Kak Gema katakan itu benar? Apa Mas Dio-ku kini sudah menjadi orang sukses? Jadi ..., haruskah aku berbahagia atas semua ini?"Kak Gema, kurasa aku ingin bertemu dengan suamiku di sini dan menanyakan semua secara langsung padanya," pintaku saat Kak Gema bertanya apa rencanaku selanjutnya setelah mengetahui kebenaran tentang pekerjaan Mas Dio.Aku merasa butuh kejelasan atas semuanya, mendengar dari mulut Mas Dio langsung tentang pekerjaannya kini dan kenapa ia harus berbohong padaku dengan mengatakan hanya menjadi seorang sekuriti."Aku takut dia akan kembali berbohong jika sudah berada di rumah nanti. Jika kita memergokinya langsung di sini, Mas Dio tak akan bisa mengelak lagi, kan?" Lanjutku lagi.Kak Gema mengangguk-angguk setuju atas ideku. "Baiklah kalau begitu! Bagaimana kalau kamu menginap di salah satu hotel milik Granita Gruop? Siapa tahu suamimu juga ada di sana?" usul Kak Gema yang terdengar amat cemerlang sekali. Aku pun dengan antusias menyetujuinya."Tapi ... malam ini aku gak bisa nemenin kamu, Silvi. Aku ada sedikit urusan. Besok pagi baru aku akan menjemputmu dan kita bisa mengatur rencana
"Masa, Mba,? Bisa tolong pastikan lagi? Kamarnya nomor 156, Mba" Pasti ia sudah salah melihat datanya. Tidak mungkin tidak ada namaku di situ."Maaf Bu, sudah saya pastikan berulang kali tapi tidak ada nama ibu di sini. Kamar nomor 156 juga sudah di isi dan bukan atas nama ibu," terangnya lagi dengan sungguh-sungguh.Seketika membuatku makin panik, jika begini bagaimana aku bisa masuk? Bahkan ponselku pun tertinggal di kamat hotel, jadi aku tak bisa menghubungi Kak Gema sama sekali.Ah, iya aku aku telah melupakan sesuatu. Aku lupa bahwa nama kak Gema-lah yang dipakai untuk memesan kamar di sini. Karena tadi kak Gema tidak meminta tanda pengenal apa pun padaku"Mba, maaf saya salah. Nama pemesannya adalah Gema Pratama, dia adalah kakak saya, tadi dia yang mengurus semuanya,""Maaf Bu, saya tidak bisa membantu. Kami hanya bisa memberikan kartu akses cadangan pada tamu yang terdaftar di daftar pemesan yang dapat menunjukkan tanda pengenalnya saja,""Tapi aku benar datang bersama Gema
Aku hanya pasrah saja mengikuti sekuriti tersebut. Sungguh pikiranku amat kalut kini. Aku tidak bisa kembali ke kamar hotel sementara semua barangku berada di sana, tak bisa menghubungi Kak Gema sama sekali karena ponselku juga ada di kamar dan parahnya lagi, sepertinya aku telah salah informasi tentang Mas Dio. Dia bukanlah seorang bos seperti yang dikatakan sekuriti di restoran tersebut. Bahkan tak ada yang mengenalnya sama sekali di hotel ini.Hah ... kedatanganku ke Jakarta ini rupanya sia-sia saja, bukannya mendapat titik terang, malah membuatku mendapat kesialan seperti ini.Kutatap wajah Dita yang masih terlelap di kursi. Kasihan anak itu, harus ikut menanggung semua ini karena ulah ibunya yang kekeuh ingin ke Jakarta."Mohon maaf, sebaiknya Ibu segera pergi dari hotel ini ya setelah anak ibu nanti bangun!" tegas seorang sekuriti yang tadi membawaku pergi dari meja resepsionis."Tega kalian memgusirku? Kalau begitu, biarkan aku membawa barang-barangku, Pak! Minimal ponsel dan
"Silvi ...!" Tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahku.Seketika saja membuat jantungku berdebar dengan kencang. Aku mengenal suara itu, sangat mengenalnya. Sebuah suara dari orang yang telah memporak-porandakan hatiku beberapa hari ini karena rasa curiga, ketakutan dan khawatir. Sebuah suara yang juga menjadi penyebab utama yang membuatku memilih datang ke Jakarta kemudkan terlantar di hotel ini."Ayaaah ...," Dita segera melepaskan genggaman tangannya dariku dan berlari menuju Mas Dio yang berdiri di dekat pintu masuk hotel.Perlahan aku pun membalikkan badan, dapat kulihat sosok lelaki yang masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang kulihat siang tadi di restoran menyambut Dita dengan pelukan hangat.Berjuta rasa kembali membuncah di hati, marah, sedih, kecewa, tapi juga lega. Betapa menyenangkannya bisa bertemu sosok yang membuatku merasa aman setiap kali melihatnya.Dengan mantap Mas Dio menghampiriku yang masih berdiri mematung sambil Dita tetap berada dipangkuannya. Ia
Aku terbangun dari tidur lelap karena mencium wangi masakan yang begitu mengguggah. Badanku terasa pegal dan lelah sekali seperti habis melakukan pekerjaan yang berat. Kembali kucoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum pagi ini datang.Ya, kemarin aku ke Jakarta untuk membuntuti suamiku, lalu aku tak bisa masuk ke kamar hotel, kalang kabut dibuatnya karena harus berdua saja dengan Dita tanpa ada kepastian kapan bisa kembali.Lalu tiba-tiba saja Mas Dio datang dan ia mengajak aku dan Dita kembali pulang ke kampung tanpa menunggu Kak Gema terlebih dahulu.Ah iya ..., aku jadi teringat jika aku belum memberi kabar pada Kak Gema sejak semalam karena ponselku mati kehabisan baterai. Gegas aku pun menyalakan ponsel dan memberi pesan pada Kak Gema. Tak mau membuat ia khawatir karena aku sudah tak ada lagi di Jakarta.[Kak, maafkan aku, semalam aku bertemu dengan Dio dan sekarang aku sudah pulang ke kampung lagi diantar Mas Dio. Maaf baru bisa memberitahu. Semalam ponselku mati kehabi
"Mmmh ... aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat, Silvi. Sebenarnya aku takut kalau ini hanya sementara karena masa kerjaku masih percobaan. Jadi aku gak berani bilang sama kamu dulu," jawabnya dengan wajah yang teramat meyakinkan.Entahlah, aku bingung apa harus memercayainya atau tidak. Apakah semua yang dikatakannya benar, atau hanya bagian dari kebohongannya untuk menutupi kebohongan-kebohongan yang lainnya? Ah ... rasanya sulit untuk memercayai seseorang yang sudah pernah membohongi kita. Yang kutahu ada banyak kejanggalan dari ceritanya, walau aku sendiri telah memastikan sendiri bahwa yang dikatakannya benar. "Oh ya, Mas. Tentang rumah Ibu yang direnovasi itu ..., jujur padaku apa itu memakai uangmu juga, Mas?" selidikku lagi, penasaran akan jawabannya."Emmmh ...," Mas Dio seketika mengedarkan padangannya seperti sedang mencari jawaban. "Seperti yang aku bilang sebelumnya Silvi, aku hanya menyumbang sedikit aja kok," jawabnya ragu-ragu."Lalu ... darimana uangnya dong, Ma
Tin ... tin ....Suara klakson mobil tiba-tiba menganggetkanku yang sedang berusaha membuka isi ponsel Mas Dio, yang ternyata terkunci itu.Gegas kulihat siapa yang datang, ternyata di depan sana terparkir dengan manis mobil yang sama dengan mobil yang dikendarai Arni ketika itu. Benarkah itu Arni? Untuk apa dia datang kemari? Apakah ini berarti benar wanita itu ada hubungan dengan suamiku?Kembali kusimpan ponsel Mas Dio pada tempat semula, mungkin nanti aku akan mencari cara lain agar bisa melihat isinya. Lalu dari depan rumah terdengar suara ketukan pintu.Benar saja Arni kini berdiri dengan manis di pintu masuk bersama Mas Dio yang tampak kaget."Arni, a-apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya tergagap.Arni lalu tersenyum manis menatapku, "Silvi ..., apa kabar?" ucapnya seraya menghampiriku dan mengabaikan Mas Dio begitu saja."Aku kemari untuk bertemu denganmu! Kemarin aku minta alamat rumahmu pada Ibu!" ucap Silvi lagi sambil memelukku dan mengecup pipi kanan dan kiriku seakan
"Kalau hubunganmu dengan suamiku?" Aku tak dapat menahan diri lagi untuk menanyakannya. Arni tampak kebingungan dan salah tingkah mencari menjawabnya."Silvi ...." Tiba-tiba Mas Dio keluar kamar dan memanggilku. "Kepalaku pusing banget nih, bisa tolong belikan obat?" pintanya dengan wajah yang memelas. Rasanya aneh, padahal sedari tadi dia tampak baik-baik saja."Sekarang, Mas?" tanyaku memastikan."Iya, tolong ya, aku sudah gak kuat nih."Ah ... aku jadi curiga ini hanya alasannya untuk bisa berduaan dengan Arni."Tapi ada Arni kan, Mas. Masa aku tinggalkan dia begitu saja?" ujarku berusaha supaya bisa tidak pergi tak ingin memberikan kesempatan mereka berduaan."Tolonglah, kurasa Arni gak kenapa-kenapa jika kau tinggal sebentar saja!" ucapnya lagi, disusul dengan Arni yang menyetujui ucapan Mas Dio."Iya, Mba, gak apa-apa, biar aku tunggu di sini saja. Lagi pula aku santai kok!" ucap Arni.Sepertinya aku tak dapat mengelak lagi, mereka memang ingin aku pergi dari rumah ini walau seb