Keesokan harinya, dengan diantar Kak Gema aku berangkat ke Jakarta. Pagi-pagi sekali Kak Gema sudah berada di rumah dengan membawa mobil. Segera aku dan Dita menaiki mobil tersebut.
"Mobil siapa ini, kak?" tanyaku penasaran setelah mobil melaju memecah dinginnya pagi.Kak Gema menatapku sambil sedikit tertawa geli. "Gak pantes ya aku punya mobil?""Eh, punya kak Gema? Waaah ... makin sukses aja nih, kakak kesayanganku!" pekikku. Sungguh aku tak menyangka bahwa ia kini sudah jauh lebih sukses. Masih teringat jelas saat-saat hidup susah kami ketika kecil, bahkan untuk membayangkan bisa menjadi orang kaya pun aku tak berani kala itu.Ayahku dan dan Kakaknya--orang tua angkat Kak Gema-- hanyalah seorang tukang jahit di pabrik tas dan sepatu. Gajinya tentu tak seberapa, itu pun dihitung dari jumlah tas yang berhasil selsai setiap harinya. Jika tidak ada pesanan atau proyek, otomatis orang tua kami tak ada pemasukan. Maka untuk bertahan hidup sehari-hari kami hanya mengandalkan hasil kebun yang tak seberapa saja.Senang rasanya melihat Kak Gema kini makin sukses, setelah kemarin ia bisa merenovasi rumah bude, sekarang ia pun sudah memiliki kendaraan sendiri.Tapi ... tiba-tiba aku teringat sesuatu tentangnya. "Kak, memangnya kamu gak kerja hari ini? Kok malah sibuk antar aku ke Jakarta seperti ini.""Kau ingin aku bekerja? Kalau gitu, turun sana, biar cari saja sendiri suamimu di Jakarta!" ucapnya dengan nada tak suka sambil tetap fokus pada jalanan."Eh ..., ya gak gitu sih, Kak. Aku cuman jadi gak enak, Kak Gema jadi gak berangkat kerja karena aku!""Sudah, gak usah gak enak hanya karena hal ini, sekarang fokus saja menemukan suamimu dan kita cari tahu apa yang dilakukannya. Aku juga penasaran sebenarnya apa yang sedang dilakukan Dio," tegas Kak Gema sambil terus fokus mengendarai mobilnya.****Untuk menemukan Mas Dio, Kak Gema kembali harus mencari posisi terbarunya lagi, khawatirnya kini Mas Dio berada di tempat berbeda lagi.Ternyata benar saja, saat ini posisi Mas Dio berada di salah satu hotel yang berbeda lagi dari posisi terakhir yang Kak Gema ketahui.. Kami pun segera menuju tempatnya berada, berharap tidak kehilangan momen dan dapat bertemu dengannya.Sesampainya di hotel yang dimaksud, kami memutuskan untuk membagi tugas. Kak Gema akan masuk dan mencari keberadaan Mas Dio di dalam, sedangkan aku bagian yang mengamati bagian luar pintu utama juga parkiran.Sudah hampir satu jam kami berada di hotel yang tampak cukup luas dan modern ini, tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Mas Dio sama sekali.Tiba-tiba saja kulihat Kak Gema datang terburu-buru menghampiriku dengan raut wajah serius. "Dio bergerak lagi ketempat lainnya. Sepertinya dia lewat pintu samping hotel. Kita harus segera mengikutinya," tegasnya seraya duduk di kursi kemudi dan memajukan mobil dengan cepat.Sepanjang perjalanan Kak Gema tampak serius mengikuti arah yang ditunjukkan ponselnya. Jika aku tak salah menangkap seharusnya posisi kami dan Mas Dio tidaklah jauh. Mungkin hanya terhalang beberapa kendaraan saja. Tapi sayangnya kami tak tahu di kendaraan yang mana Mas Dio berada, hanya bisa mengikuti sebuah titik penanda keberadaan Mas Dio di ponsel Kak Gema saja.Kulihat titik itu kini berhenti dan kami pun memasuki sebuah restoran yang cukup besar. Lagi-lagi tak bisa aku ketahui di kendaraan mana Mas Dio berada."Kita turun bersama saja, sekalian makan di dalam. Kasihan Dita, dia sudah bosan berada di dalam mobil terus!" ujar Kak Gema meminta aku untuk segera bersiap.Memang sih, sejak di hotel tadi Dita terus merengek kebosanan. Harusnya memang aku tak membawa serta Dita dalam proses pencarian ini. Tapi aku tak tahu harus menitipkan Dita di mana. Rasanya aku juga tak akan tenang jika Dita tak ada di sisiku walau sebentar saja.Dita tampak antusias ketika memasuki restoran berdesain alam terbuka ini. Seingatku ini pertama kalinya bagi Dita datang ke restoran yang cukup mewah seperti jni.aku hanya pernah mengajaknya makan di salah satu tempat makan di super market di saja.Kami pun akhirnya makan sambil tetap mengawasi sekitar, barangkali menemukan sosok Mas Dio. Ternyata makan dengan seperti membuatku tak dapat menikmati makanan yang tersaji. Padahal menu-menu yang dipesan adalan menu yang jarang sekali aku nikmati.Saat sedang mengedarkan pandangan ke seleuruh ruangan sambil mencari sosok Mas Dio, saat itulah aku melihat seorang lelaki yang amat mirip dengan suamiku tengah berjalan cepat menuju pintu keluar.Kutajamkan pandanganku. Menerka-nerka apa benar memang dia Mas Dio-ku?****Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge
Keesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.
Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku. "Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menika
Setahun kemudian.Acara gathering dari Tathir Corp, perusahaan tempat aku bekerja bersama Kak Gema dan Pak Abi, dilaksanakan untuk pertama kalinya. Kami semua berencana membawa keluarga masing-masing untuk menginap bersama di sebuah tempat pemandian air panas."Kamu mau bawa siapa, Gema?" tanya Pak Abi. Saat kami sedang makan siang.Awalnya hanya aku sendiri yang makan di ruangan rapat ini. Ruangan yang paling nyaman untuk menyendiri. Tapi tiba-tiba Kak Gema menyusul, begitu juga Pak Abi. Akhirnya kami pun berkumpul bersama.Kulihat Kak Gema menatap sinis sahabatnya itu. "Aku bawa kamu! Karena aku tahu kamu gak akan bawa pasanganmu! Iya, 'kan?" jawab Kak Gema sambil melemparkan sepotong kerupuk pada sosok lelaki di seberangnya itu."Iiih ... ogah!" timpalnya sambil bergidik ngeri.Aku yang sedari tadi memerhatikan mereka hanya bisa tertawa menahan geli."Memang kamu mau bawa siapa, Abi?" tanya Kak Gema balik."T
Aku tak bisa menjawab apa pun, memang bagiku cukup aneh Arni ada di kampung itu tanpa memberitahukan apa pun padaku. Padahal sebelumnya ia selalu mengatakan kemana pun dia pergi."Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya. Bisa kan?" tanyanya lagi."Untuk apa aku membantumu? Tak ada untungnya untukku!" elakku. Tak mau mengurusi sesuatu yang tidak penting sama sekali."Demi Silvi, Dita dan juga mertuamu! Walau kalian akan segera bercerai tapi walau bagaimana pun mereka pernah ada di hidupmu! Apa kamu tidak kasihan pada mereka?"Ucapannya sedikit mengusik hatiku. Tapi, tetap saja ini bukan urusanku atau pun dia. Polisi saja tidak melakukan penyelidikan. Kenapa harus aku yang malah repot?"Aku tidak mau membantumu! Aku sudah banyak urusan, tak mau lagi pusing dengan masalah lainnya! Kalau memang Arni bersalah, biar saja polisi yang menindaknya!" elakku."Sekarang sebaiknya kamu pergi saja! Jangan ganggu aku lagi!" Aku pun segera mempersilahkannya untuk pergi. Kulihat Ab
Sungguh, jika tidak ingat ada anak-anak di sini pasti sudah kuhabisi lelaki tak bertanggung jawab sepertinya itu."Kalau begitu, setidaknya kamu berusaha bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anakmu! Atau minimal untuk dirimu sendiri. Bukannya ongkang-ongkang kaki begini!""Hei ..., baru seperti ini saja kalian sudah berisik begini! Apa kalian lupa, dulu aku juga suka memberikan hasil kerjaku untuk menghidupi kakakmu dan orang tuamu itu? Cari kerja itu sulit sekarang! Kalau ada proyek juga aku tidak akan tiduran seperti ini, kok!" Mas Ratno memelototiku penuh emosi.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir akan sikapnya itu. Bisa-bisanya ada lelaki sepertinya yang tidak tahu malu sama sekali.Padahal jika dia serius mau menghidupi keluarganya, dia pasti akan berusaha mencari pekerjaan. Bukan hanya mengandalkan proyek dari orang-orang kampung sini saja.****"Bu, bagaimana kalau kita jual saja rumah ini?" ucap Kak Desi tiba-tiba pada ibu saat aku sedang membantunya memper