Share

Bab 5 Menyembunyikan

“Sebagai istri sudah jadi tugasmu untuk membantu keuangan suami Rin. Ingat surga istri itu ada pada suami dan surga pria itu ada pada Ibunya. Jadi, jangan pernah kamu menjelek-jelekkan Ibuku lagi. Seharusnya kamu bersyukur aku mau menikah denganmu yang sudah tidak punya orang tua lagi.”

Dasar pria tidak tahu diri. Bersyukur katanya? Sama sekali tidak. Apalagi pemahaman yang di katakan Mas Eko padaku benar-benar salah. Aku mengusap pipi sejenak lalu kembali melipat baju dengan cepat. “Memang itu kan kenyataannya. Toh kamu sendiri yang bilang kalau Ibumu adalah pencuri. Aku hanya mengatakan tergantung besok, apakah uangnya akan di ambil Ibu atau tidak. Lalu, kata tepat yang bagaimana harus mengungkapkan sikap Ibumu?”

Tanyaku dengan nada tenang. Kedua tangan Mas Eko sudah mengepal erat. “Kalau begitu kamu bisa membeli bahan makanan lebih untuk di bagikan pada Ibu. Gampang kan?”

Tanpa menjawab perkataan Mas Eko aku berjalan menuju kamar lalu mengunci pintunya. Biarkan saja dia malam ini tidur di luar. Sudah cukup aku sabar menghadapi sikpanya dan keluarganya selama ini.

Pagi ini aku kembali bangun subuh. Mas Eko masih terlelap di atas sofa. Aku melihat kertas jadwalnya yang menunjukkan jika Mas Eko akan mendapat shift malam hari ini. Tanpa membangunkan suamiku, aku menunaikan sholat subuh dengan Dinda.

Karena tidak ada bahan makanan di dapur, aku menanak nasi untuk membuat nasi goreng. Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam pagi saat aku dan Dinda bersiap pergi dari rumah. Mas Eko masih tetap tidur di tempatnya. Aku juga memastikan membawa uang kemarin untuk di setorkan pada pegawai koperasi yang keliling di pasar.

Setelah mengantarkan Dinda ke sekolah, aku menata barang dagangan di pasar. Lebih siang dari pedagang lain karena aku belum mengijinkan Dinda pergi ke sekolah sendiri dengan naik angkot. Kaena itulah aku baru bisa pergi ke pasar tepat jam setengah tujuh pagi.

Para pembeli sudah berdatangan. Dua jam kemudian, petugas koperasi sudah berkeliling untuk menagih hutang atau hanya sekedar menerima setoran tabungan dari pedagang. Termasuk aku. Uang berjumlah tujuh ratus ribu rupiah berhasil aku tabungkan dengan aman.

“Mbak Arini.” Seruan Yani tentu saja membuat tubuhku terlonjak kaget. Pandangannya tertuju pada pegawai koperasi yang baru memasukan buku tabunganku ke dalam tasnya.

“Ngapain pegawai koperasi itu tadi mbak?” Tanya Yani penasaran.

“Nagih hutang. Aku kan punya hutang di koperasi.”

“Berarti Mbak Arini punya banyak uang dong?” Kedua bola mata Yani sudah berbinar senang. Aku menggelengkan kepala.

“Nggak. Itu sisa uang kemarin masih dua puluh ribu. Hutang di koperasi itu sistemnya nyicil. Setiap nagih bisa bayar minimal sepuluh atau dua puluh ribu. Baru di akhir bulan di total buat di potong bayar pokok dan bunga hutangnya.”

“Yah kirain. Mbak Arini belum dapat uang apa? Aku mau minta uang untuk beli seragam baru olahraga.” Dadaku bergemuruh kesal.

Untuk apa uang dua ratus ribu yang di ambil Ibu dariku kemarin jika untuk uang sekolah Yani saja masih minta padaku. Jika aku menolak maka Mas Eko akan mengamuk padaku. Mas Eko selalu mengatakan sudah jadi tanggung jawabku untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

“Nggak ada Yan. Kamu tahu sendiri kalau penghasilan dari pasar itu nggak pasti. Kalaupun aku dapat uang, harus aku belanjakan untuk membeli bahan makanan hari ini.”

“Ya udah sih. Aku kan cuma ngomong aja sama Mbak Arini. Nanti siang aku kesini lagi. Mudah-mudahan dagangan Mbak Arini laris biar bisa beli seragam olahraga yang baru. Aku pergi dulu ya.” Aku hanya bisa menggelengkan kepala.

Padahal sekolahnya tengah mengadakan class meeting setelah ujian tengah semester selesai. Tapi, Yani justru bolos sekolah. Aku menatap punggung Yani yang ternyata pergi bersama dengan teman-teman sekolahnya.

Teman-temanku sesama pedagang di pasar hanya bisa mencibir Yani. Saking seringnya Ibu mertua dan Yani meminta uang saat aku berjualan di pasar, mereka bahkan bisa hapal. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi perkataan mereka yang memberikan semangat padaku.

Dua jam kemudian, aku hanya mendapat yang seratus delapan puluh ribu rupiah saja. Cukup untuk membeli cabai, bawang merah, bawang putih dan minyak goreng yang habis. Sisanya aku belikan ayam satu kilo di bagi dua.

Masih ada sisa uang delapan puluh ribu di tangan untuk pegangan beli bensin nanti. Saat aku kembali ke lapak daganganku sendiri, belum ada orang yang membeli lagi. Hingga adzan dhuhur sudah berkumandang. Aku segera merapikan barang dagangan. Berniat pergi ke musola untuk menunaikan sholat dhuhur lebih dulu. Lalu, menjemput Dinda di sekolahnya.

“Gimana mbak? Dapat uang banyak hari ini?” Yani kembali datang ke lapak daganganku masih dengan memakai baju seragamnya. Teman-teman Yani menunggu sambil duduk di salah satu lapak yang sudah di tinggal pergi pemiliknya.

“Sedikit aja Yan. Cuma cukup untuk beli bahan makanan.”

“Masa. Nggak percaya aku.” Yani segera merebut dompet yang aku pegang.

“Yani.” Hardikku berusaha mengambil kembali dompet itu.

“Aku cuma ambil yang lima puluh ribu mbak. Buat beli bakso sama teman-teman. Nih dompetnya.” Yani melemparkan dompet hingga mengenai wajahku.

Sekarang hanya tersisa uang tiga puluh ribu saja. Aku hanya bisa menghela nafas lalu kembali melanjutkan langkah menuju musola. Setelah selesai sholat dhuhur, aku pergi ke sekolah Dinda.

***

Sore harinya, aku kembali berkeliling seperti biasa. Kali ini aku kembali pergi ke area komplek yang baru di bangun. Sama seperti kemarin, banyak orang yang membeli barang daganganku. Meskipun para penghuni disini rata-rata adalah orang yang cukup berada, mereka sangat ramah.

Hanya dua jam berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain di komplek ini, aku sudah mendapatkan uang delapan ratus lima puluh ribu rupiah. Tidak lupa juga aku menyembunyikan uang itu di tempat yang aman yaitu di dalam jok motor yang sudah aku lubangi.

Jok motor itu sudah aku tutup kembali dengan kantung plastik besar berisi barang daganganku. Aku menghela nafas pelan karena tujuan selanjutnya adalah komplek tempat Ibu mertua tinggal. Kalau tidak beliau ya Yani yang akan mengambil uangku.

Dengan malas, aku melajukan motor menuju area komplek itu. Mau bagaimana lagi, aku harus tetap berkeliling agar para pelanggan yang mau membayar kredit baju bisa bertemu denganku. Sudah ada lima rumah yang aku hampiri. Melihat Ibu mertua dan Yani yang sudah berjalan ke arahku, aku segera memasukan hampir sebagian besar uang ke dalam salah satu plastik baju.

“Ariniiii. Kamu sudah disini.”

Para tetangga yang tahu kelakuan Ibu mertua hanya bisa berbisik sambil menatap sinis ke arah beliau. Aku pamit pada para pelangganku sampai akhirnya Ibu mertua dan Yani sampai di hadapanku.

“Gimana setoran dari pelanggan kamu hari ini? Lancar?” Aku hanya bisa tersenyum kecut sambil melirik para pelangganku yang berjalan pulang ke rumah masing-masing.

“Cuma dapat uang dua ratus ribu aja Bu.” Jawabku kembali berbohong. Biarlah jika aku harus berdosa. Karena aku juga harus menyiapkan bekal tabungan untukku dan Dinda.

“Mbak Arini bohong kali Bu. Mungkin uangnya di sembunyikan di dalam salah satu tumpukan baju.” Yani menatap kantung plastik yang masih aku bawa.

Ibu mertua sudah mengeluarkan semua baju dari dalam plastik. Perasaan takut menyusup dalam hati saat akhirnya Yani berhasil mengambil kantung plastik berisi baju bayi tempat aku menyembunyikan uangku.

“Tolong jangan berantakin barang daganganku Yan.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tanjung For'az Sya
perempuan goblok mng ada ya zaman skrg
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status