“Sebagai istri sudah jadi tugasmu untuk membantu keuangan suami Rin. Ingat surga istri itu ada pada suami dan surga pria itu ada pada Ibunya. Jadi, jangan pernah kamu menjelek-jelekkan Ibuku lagi. Seharusnya kamu bersyukur aku mau menikah denganmu yang sudah tidak punya orang tua lagi.”
Dasar pria tidak tahu diri. Bersyukur katanya? Sama sekali tidak. Apalagi pemahaman yang di katakan Mas Eko padaku benar-benar salah. Aku mengusap pipi sejenak lalu kembali melipat baju dengan cepat. “Memang itu kan kenyataannya. Toh kamu sendiri yang bilang kalau Ibumu adalah pencuri. Aku hanya mengatakan tergantung besok, apakah uangnya akan di ambil Ibu atau tidak. Lalu, kata tepat yang bagaimana harus mengungkapkan sikap Ibumu?”
Tanyaku dengan nada tenang. Kedua tangan Mas Eko sudah mengepal erat. “Kalau begitu kamu bisa membeli bahan makanan lebih untuk di bagikan pada Ibu. Gampang kan?”
Tanpa menjawab perkataan Mas Eko aku berjalan menuju kamar lalu mengunci pintunya. Biarkan saja dia malam ini tidur di luar. Sudah cukup aku sabar menghadapi sikpanya dan keluarganya selama ini.
Pagi ini aku kembali bangun subuh. Mas Eko masih terlelap di atas sofa. Aku melihat kertas jadwalnya yang menunjukkan jika Mas Eko akan mendapat shift malam hari ini. Tanpa membangunkan suamiku, aku menunaikan sholat subuh dengan Dinda.
Karena tidak ada bahan makanan di dapur, aku menanak nasi untuk membuat nasi goreng. Jarum jam sudah menunjukkan pukul enam pagi saat aku dan Dinda bersiap pergi dari rumah. Mas Eko masih tetap tidur di tempatnya. Aku juga memastikan membawa uang kemarin untuk di setorkan pada pegawai koperasi yang keliling di pasar.
Setelah mengantarkan Dinda ke sekolah, aku menata barang dagangan di pasar. Lebih siang dari pedagang lain karena aku belum mengijinkan Dinda pergi ke sekolah sendiri dengan naik angkot. Kaena itulah aku baru bisa pergi ke pasar tepat jam setengah tujuh pagi.
Para pembeli sudah berdatangan. Dua jam kemudian, petugas koperasi sudah berkeliling untuk menagih hutang atau hanya sekedar menerima setoran tabungan dari pedagang. Termasuk aku. Uang berjumlah tujuh ratus ribu rupiah berhasil aku tabungkan dengan aman.
“Mbak Arini.” Seruan Yani tentu saja membuat tubuhku terlonjak kaget. Pandangannya tertuju pada pegawai koperasi yang baru memasukan buku tabunganku ke dalam tasnya.
“Ngapain pegawai koperasi itu tadi mbak?” Tanya Yani penasaran.
“Nagih hutang. Aku kan punya hutang di koperasi.”
“Berarti Mbak Arini punya banyak uang dong?” Kedua bola mata Yani sudah berbinar senang. Aku menggelengkan kepala.
“Nggak. Itu sisa uang kemarin masih dua puluh ribu. Hutang di koperasi itu sistemnya nyicil. Setiap nagih bisa bayar minimal sepuluh atau dua puluh ribu. Baru di akhir bulan di total buat di potong bayar pokok dan bunga hutangnya.”
“Yah kirain. Mbak Arini belum dapat uang apa? Aku mau minta uang untuk beli seragam baru olahraga.” Dadaku bergemuruh kesal.
Untuk apa uang dua ratus ribu yang di ambil Ibu dariku kemarin jika untuk uang sekolah Yani saja masih minta padaku. Jika aku menolak maka Mas Eko akan mengamuk padaku. Mas Eko selalu mengatakan sudah jadi tanggung jawabku untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Nggak ada Yan. Kamu tahu sendiri kalau penghasilan dari pasar itu nggak pasti. Kalaupun aku dapat uang, harus aku belanjakan untuk membeli bahan makanan hari ini.”
“Ya udah sih. Aku kan cuma ngomong aja sama Mbak Arini. Nanti siang aku kesini lagi. Mudah-mudahan dagangan Mbak Arini laris biar bisa beli seragam olahraga yang baru. Aku pergi dulu ya.” Aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Padahal sekolahnya tengah mengadakan class meeting setelah ujian tengah semester selesai. Tapi, Yani justru bolos sekolah. Aku menatap punggung Yani yang ternyata pergi bersama dengan teman-teman sekolahnya.
Teman-temanku sesama pedagang di pasar hanya bisa mencibir Yani. Saking seringnya Ibu mertua dan Yani meminta uang saat aku berjualan di pasar, mereka bahkan bisa hapal. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi perkataan mereka yang memberikan semangat padaku.
Dua jam kemudian, aku hanya mendapat yang seratus delapan puluh ribu rupiah saja. Cukup untuk membeli cabai, bawang merah, bawang putih dan minyak goreng yang habis. Sisanya aku belikan ayam satu kilo di bagi dua.
Masih ada sisa uang delapan puluh ribu di tangan untuk pegangan beli bensin nanti. Saat aku kembali ke lapak daganganku sendiri, belum ada orang yang membeli lagi. Hingga adzan dhuhur sudah berkumandang. Aku segera merapikan barang dagangan. Berniat pergi ke musola untuk menunaikan sholat dhuhur lebih dulu. Lalu, menjemput Dinda di sekolahnya.
“Gimana mbak? Dapat uang banyak hari ini?” Yani kembali datang ke lapak daganganku masih dengan memakai baju seragamnya. Teman-teman Yani menunggu sambil duduk di salah satu lapak yang sudah di tinggal pergi pemiliknya.
“Sedikit aja Yan. Cuma cukup untuk beli bahan makanan.”
“Masa. Nggak percaya aku.” Yani segera merebut dompet yang aku pegang.
“Yani.” Hardikku berusaha mengambil kembali dompet itu.
“Aku cuma ambil yang lima puluh ribu mbak. Buat beli bakso sama teman-teman. Nih dompetnya.” Yani melemparkan dompet hingga mengenai wajahku.
Sekarang hanya tersisa uang tiga puluh ribu saja. Aku hanya bisa menghela nafas lalu kembali melanjutkan langkah menuju musola. Setelah selesai sholat dhuhur, aku pergi ke sekolah Dinda.
***
Sore harinya, aku kembali berkeliling seperti biasa. Kali ini aku kembali pergi ke area komplek yang baru di bangun. Sama seperti kemarin, banyak orang yang membeli barang daganganku. Meskipun para penghuni disini rata-rata adalah orang yang cukup berada, mereka sangat ramah.
Hanya dua jam berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain di komplek ini, aku sudah mendapatkan uang delapan ratus lima puluh ribu rupiah. Tidak lupa juga aku menyembunyikan uang itu di tempat yang aman yaitu di dalam jok motor yang sudah aku lubangi.
Jok motor itu sudah aku tutup kembali dengan kantung plastik besar berisi barang daganganku. Aku menghela nafas pelan karena tujuan selanjutnya adalah komplek tempat Ibu mertua tinggal. Kalau tidak beliau ya Yani yang akan mengambil uangku.
Dengan malas, aku melajukan motor menuju area komplek itu. Mau bagaimana lagi, aku harus tetap berkeliling agar para pelanggan yang mau membayar kredit baju bisa bertemu denganku. Sudah ada lima rumah yang aku hampiri. Melihat Ibu mertua dan Yani yang sudah berjalan ke arahku, aku segera memasukan hampir sebagian besar uang ke dalam salah satu plastik baju.
“Ariniiii. Kamu sudah disini.”
Para tetangga yang tahu kelakuan Ibu mertua hanya bisa berbisik sambil menatap sinis ke arah beliau. Aku pamit pada para pelangganku sampai akhirnya Ibu mertua dan Yani sampai di hadapanku.
“Gimana setoran dari pelanggan kamu hari ini? Lancar?” Aku hanya bisa tersenyum kecut sambil melirik para pelangganku yang berjalan pulang ke rumah masing-masing.
“Cuma dapat uang dua ratus ribu aja Bu.” Jawabku kembali berbohong. Biarlah jika aku harus berdosa. Karena aku juga harus menyiapkan bekal tabungan untukku dan Dinda.
“Mbak Arini bohong kali Bu. Mungkin uangnya di sembunyikan di dalam salah satu tumpukan baju.” Yani menatap kantung plastik yang masih aku bawa.
Ibu mertua sudah mengeluarkan semua baju dari dalam plastik. Perasaan takut menyusup dalam hati saat akhirnya Yani berhasil mengambil kantung plastik berisi baju bayi tempat aku menyembunyikan uangku.
“Tolong jangan berantakin barang daganganku Yan.”
Aku berusaha merebut kantung plastik berisi barang daganganku dari tangan Yani. Hampir saja semua isinya jatuh jika saja tidak ada orang yang datang untuk melerai kami. “Sudah cukup. Kenapa kalian main kekerasan di depan rumah saya?”Ujar Bu Wati. Salah satu pelanggan yang rumahnya baru saja aku sambangi untuk menjajakan barang dagangan. Bu Wati berjongkok untuk membantuku untuk merapikan barang dagangan. Hampir saja uang yang aku sembunyikan jatuh ke tangan Yani jika Bu Wati tidak keluar dari rumahnya.“Jangan ikut campur masalah keluarga kami Wat. Kalau kamu nggak mau kami berada disini biar Arini ikut bersama kami.” Bu Wati hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Ibu mertua.“Saya nggak ikut campur. Kalian saja yang buat ribut di depan rumah saya. Lebih baik Bu Lasmi dan Yani pergi sekarang juga dari rumah saya.” Usir Bu Wati yang membuat Ibu mertua dan Yani merengut kesal. Aku hanya bisa menghela nafas lega.Saat mereka akan menarik tanganku, aku segera berlindung d
Malam ini aku memutuskan untuk tidur di dalam kamar Dinda. Sudah kuputuskan jika aku hanya akan mengambil barang dagangan dari agen distributor sampai kontrak rumah ini selesai. Pemilik rumah yang kasihan padaku mengatakan jika aku bisa memperpanjang kontrak hanya tiga bulan saja. Setelah aku mengatakan rencana untuk pergi dari kota ini setelah kenaikan kelas Dinda.“Daripada bayar untuk satu tahun terus kamu pergi dari rumah itu kan percuma. Lebih baik bayar untuk tiga bulan saja. Jangan lupa persiapkan uang untuk mengontrak rumah di kota lain juga.” Kata pemilk kontrakan yang bernama Mbak Rini kala itu.Kutatap wajah Dinda yang sudah terlelap. Memikirkan langkah selanjutnya yang harus aku tempuh untuk ke depannya. Setelah masalah rumah kontrakan ini selesai, aku harus menagih kredit baju para pelanggan. Mungkin untuk para pelangganku yang berada di kawasan rumah Ibu mertua bisa mengerti jika aku mengatakan tidak bisa lagi menyetok baju. Tapi, bagaimana dengan pelangganku yang lain?
Pagi harinya aku memutuskan untuk membeli bubur ayam di waurng terdekat. Mas Eko masih tidur setelah tadi malam melakukan shift di pabrik. Aku juga tidak tertarik untuk membahas kamar dan gudang yang berantakan. Bertengkar di pagi hari akan membuatku terlambat mengantarkan Dinda ke sekolah.“Kamu benar-benar nggak punya simpanan uang kan Rin?” Itu pertanyaan Mas Eko tadi malam yang langsung aku jawab dengan gelengan kepala.“Sudah kamu lihat sendiri mas. Aku sama sekali tidak punya simpanan uang.” Bantahku berusaha untuk tenang.Aku menyapa tetangga yang juga sedang mengantri untuk membeli bubur ayam. Saat tiba giliranku, aku menyebut pesanan, penjual bubur ayam itu anehnya menatapku dengan sengit. Hal yang tidak pernah di lakukannya padaku selama ini.Apakah aku pernah melakukan kesalahan padanya? Jika di ingat-ingat kami jarang bertemu. Saat membeli aku juga tidak pernah berhutang padanya. Semua orang sudah pergi hanya menyisakan aku saja disana.“Maaf mbak. Apa aku punya salah sama
Kak Rania menarik tangan Dinda sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir. Sebagai isyarat agar kami tidak mengatakan apapun. Masih bisa aku dengar Ibu mertua yang mengeluh tentang penghasilanku yang sering habis untuk kebutuhan rumah. Sehingga tidak bisa memberi Ibu mertua dan Yani banyak uang seperti dulu.“Apa Arini pernah cerita kalau dia di tegur sama bosnya Ko?” Tanya Ibu mertua yang memperhatikan jika barang daganganku tidak sebanyak dulu lagi.“Iya Bu. Bu Sumi membatasi barang dagangan yang di ambil Arini karena sering telat membayar.”“Itu sih tanggungannya Mbak Arini. Tapi, dia juga harus tetap mikirin kita lah.” Sahut Yani tidak mau tahu.Tentu saja Kak Rania juga ikut mendengar percakapan keluarga Mas Eko. Raut wajah Kak Rania sudah berubah menjadi keruh. Dengan isyarat tangan, Kak Rania mengajak kami diam-diam pergi dari sana. Hingga kami akhirnya duduk di kursi teras. Sudah ada banyak barang yang di letakan di atas meja.“Kakak nggak nyangka jika kelakukan suami kamu d
“Aku sama sekali tidak menceritakan apapun. Buat apa mengumbar aib rumah tangga sendiri. Aku dan Dinda juga yang akan malu. Lagian kamu nggak dengar sendiri kalau Kak Rania sudah mendengar semua percakapan kalian? Bahkan Kak Rania juga melihat Ibu yang tidak mengijinkanku makan malam bersama kalian. Bukan aku yang membuat sikap Kak Rania berubah pada kalian. Tapi, keluargamu sendiri yang sudah melakukan hal itu mas.”Mas Eko hanya terdiam. Sama sekali tidak bisa menjawab perkataanku lagi. Kakiku kembali melangkah masuk menuju kamar untuk berganti baju. Bagaimanapun juga hari ini aku harus pergi ke pasar. Apalagi setelah ini aku masih harus membersihkan rumah. Ibu hanya menyapu halaman depan untuk menarik perhatian Kak Rania. Tapi, kondisi di dapur masih seperti kapal pecah setelah mereka selesai makan tadi malam.Apa tadi yang Ibu katakana? Ibu mertua sudah memasak sarapan untuk menyambut kedatangan Kak Rania. Namun, semua itu bohong karena saat berjalan melewati dapur tadi aku tidak
Belum sempat aku selesai menjawab Bapak sudah mengatakan pada teman-temannya jika aku yang akan membayar. Diam-diam aku memberikan salah satu dompetku pada Dinda. Dengan isyarat mata, Dinda mengerti jika dia harus segera pergi ke toko. Aku mengeluarkan dompet yang satu lagi. Hanya ada uang tiga puluh ribu saja di dalam dompet.Aku berjalan menghampiri Bapak mertua yang hendak keluar bersama teman-temannya. “Maaf Pak. Uangku tinggal tiga puluh ribu aja. Tadi nggak dapat banyak setoran. Terus uangnya buat ngisi bensin sama sudah di ambil Mas Eko.”Bukannya menjawab perkataanku, Bapak mertua justru menarik tanganku menuju sudut warung, Mengabaikan tatapan pemilik warung dan teman-temannya yang mendengar perkataanku tadi. Wajahnya sudah berubah menjadi merah. Mungkin karena malu mendengar perkataanku di depan teman-temannya dan para pembeli yang makan disini.“Kalau ngomong jangan di depan teman-teman Bapak. Kalau kamu nggak ada uang, tunggu sampai Bapak pergi. Kamu kan bisa pinjam pada b
Kak Arif memberikan tanda jika ia akan mematikan sambungan telpon. Aku segera meletakan hp di atas meja belajar Dinda lalu membaringkan tubuh. Bagaimana bisa Mas Eko mendengar suaraku yang tidak keras? Apakah dia sengaja menguping sejak tadi? Biasanya jika aku menelpon tengah malam seperti ini, Mas Eko tidak pernah bangun.BRAK…. BRAAAKKK…. BRAAAKKKKKK…….Gedoran itu masih berlanjut hingga membuat Dinda terbangun. Aku meletakan jari di depan bibir sebagai tanda agar Dinda tidak bersuara. Wajah Dinda sudah takut karena mendengar suara seperti itu di tengah malam. Suara gedoran di pintu masih belum usai. Lima belas menit kemudian Mas Eko sudah menyerah. Kini aku bisa mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Ibu dan Bapak mertua.“Mungkin si Arini lagi ngelindur kal Ko. Dia kalau tidur kan pulas banget. Sampai nggak tahu kalau uangnya sering Ibu ambil.”Hah. Aku baru tahu tentang fakta yang satu ini. Jadi, Ibu mertua sering masuk ke dalam kamar utama saat aku sedang tidur untuk menga
Saat masuk ke dalam rumah, Ibu mertua sudah mengomel karena isi amplop itu bukan uang seperti yang ada di pikirannya. Kertas undangan untuk wali murid itu sudah berada di lantai. Di injak hingga kotor untuk melampiaskan rasa kesal Ibu mertua. Aku memutuskan untuk tidak pergi ke pasar hari ini. Dengan begitu Mas Eko dan keluarganya tidak akan curiga jika aku masih punya uang simpanan yang lain. Justru aku sibuk memasak bahan makanan tersisa di kulkas untuk lauk nanti siang dan nanti malam.“Kamu nggak pergi ke pasar Rin? Naik ojol kan bisa. Biayanya lebih murah dari ojek pengkolan.” Mas Eko sudah menyusulku ke dapur. Hari ini Mas Eko memang bekerja untuk shift sore. Jadi, dia tidak akan bekerja sejak pagi.“Aku nggak punya uang mas. Tadi udah wa teman pedagang di pasar buat pinjam uang. Tapi, dia bilang baru bisa ngasih setelah pulang dari pasar.” Tanganku dengan gesit memetik kangkung yang akan aku masak. Kangkung inipun aku dapat dari kebun tetangga yang kasihan karena Ibu mertua ter