Share

Bab 6 Alasan

Aku berusaha merebut kantung plastik berisi barang daganganku dari tangan Yani. Hampir saja semua isinya jatuh jika saja tidak ada orang yang datang untuk melerai kami. “Sudah cukup. Kenapa kalian main kekerasan di depan rumah saya?”

Ujar Bu Wati. Salah satu pelanggan yang rumahnya baru saja aku sambangi untuk menjajakan barang dagangan. Bu Wati berjongkok untuk membantuku untuk merapikan barang dagangan. Hampir saja uang yang aku sembunyikan jatuh ke tangan Yani jika Bu Wati tidak keluar dari rumahnya.

“Jangan ikut campur masalah keluarga kami Wat. Kalau kamu nggak mau kami berada disini biar Arini ikut bersama kami.” Bu Wati hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Ibu mertua.

“Saya nggak ikut campur. Kalian saja yang buat ribut di depan rumah saya. Lebih baik Bu Lasmi dan Yani pergi sekarang juga dari rumah saya.” Usir Bu Wati yang membuat Ibu mertua dan Yani merengut kesal. Aku hanya bisa menghela nafas lega.

Saat mereka akan menarik tanganku, aku segera berlindung di balik tubuh Bu Wati. “Jika kalian tidak pergi, saya akan berteriak minta tolong. Mau kalian?” Ancam Bu Wati galak.

“Dasar tukang ikut campur. Ayo kita pulang saja Yan.”

“Iya Bu.” Ibu mertua dan Yani sudah berjalan menuju rumah mereka.

“Terima kasih banyak Bu Wati. Saya nggak tahu gimana jadinya kalau Bu Wati tidak menolong saya.” Bu Wati menepuk bahuku beberapa kali.

“Nggak masalah Rin. Kamu tenang saja. Kami juga nggak suka sama sikap Ibu mertua dan adik ipar kamu itu.”

Aku lalu pamit pada Bu Wati untuk pergi. Berkeliling ke tempat lain. Tepat jam lima sore, aku sudah pulang ke rumah. Mas Eko sedang bersiap pergi untuk melakukan shift malamnya. Kakiku terus melangkah menuju gudang. Tidak berniat untuk menyapa Mas Eko yang kini sudah duduk di balik meja dapur untuk makan.

“Apa? Kamu serius Yan?” Mas Eko berdiri dari kursinya lalu masuk ke dalam kamar.

Karena perasaanku tidak enak, aku segera menyusulnya. Sebelum itu, aku meminta Dinda untuk masuk ke dalam kamarnya. Agar tidak melihat pertengkaranku dengan Mas Eko. “Apa yang kamu lakukan mas?” Seruku kaget melihat baju di dalam lemari yang sudah sangat berantakan.”

“Mana uang setoran dari pelanggan kamu? Pasti dapat banyak kan sore ini?” Mas Eko terus menghamburkan baju hingga seiis lemari kosong.

“Apa maksud kamu? Uangnya sudah habis.”

“Kali ini apa lagi? Buat beli makanan, kebutuhan rumah, bayar listrik atau bayar air? Sepertinya sekarang uang kamu selalu habis setiap hari. Ada saja alasan kamu biar nggak ngasih uangku untukku dan Ibu.” Seru Mas Eko memotong ucapanku.

“Benar. Uang itu selalu habis setiap hari. Karena aku juga harus membayar hutang di koperasi. Oh iya, untuk hari ini uangnya aku gunakan untuk menyicil rumah kontrakan ini.” Raut wajah Mas Eko berubah menjadi gelap.

“Kenapa harus di cicil? Bukannya masih ada sisa waktu satu minggu lagi untuk membayar kontrakan? Uangnya bisa di gunakan oleh Yani untuk membeli seragam olahraga yang baru Arini.” Hardik Mas Eko sangat keras. Aku berusaha bersikap biasa saja untuk menunjukkan aku tidak gentar dengan amarahnya.

“Terus kalau nggak di cicil, bagaimana cara bayar uang kontarakan? Kamu mau kita terancam pergi dari rumah ini hanya karena tidak bisa mengumpulkan uang untuk membayar rumah ini?” Tanyaku dengan nada menantang. Mas Eko hanya terdiam dengan kedua tangan yang mengepal.

“Apa kamu tidak ingat kejadian tahun lalu mas. Kalau aku tidak pinjam uang pada Bu Sumi, mungkin sekarang kita sudah tinggal di jalanan. Mau ke rumah orang tuamu juga nggak akan muat karena tidak ada kamar untuk tidur lagi. Yani sudah mengubah kamarmu jadi ruang gantinya.”

Sebenarnya di rumah orang tua Mas Eko ada tiga kamar. Kamar utama untuk kamar tidur Bapak dan Ibu mertua. Kamar kedua untuk tempat tidur Yani dan kakak perempuan Mas Eko yang bernama Mbak Parti dan kamar ketiga untuk tempat tidur Mas Eko. Namun, sejak kami memutuskan untuk pindah, kamar Mas Eko di sulap menjadi ruang pribadi tempat baju dan perhiasan milik Ibu mertua dan Yani di simpan. Menjadikan kamar itu lebih sempit dengan tiga lemari yang berjajar,

“Bukan hanya tahun lalu mas. Tapi, juga tahun-tahun sebelumnya. Kalau tahun ini tidak di cicil, uang kita sudah lebih dulu habis untuk biaya kebutuhan sehari-hari.”

“Kenapa kamu tidak minta pada kakak iparmu saja? Dia pasti juga akan memberi uang padamu kan?” Bantah Mas Eko tidak mau kalah.

“Tidak akan. Kakakku dan kakak iparku punya kebutuhan keluarga mereka sendiri.”

“Jangan sok kuat deh. Padahal dulu juga kakak iparmu sering membelikan barang-barang bagus. Sejak kita menikah kamu justru menolak semua kebaikannya. Lumayan kan kalau kamu menerima uang dari Kak Rania. Uang gaji kita bisa di berikan pada Ibu.”

Aku benar-benar tidak bisa mengerti jalan pikiran Mas Eko. Tanpa Mas Eko sadari aku sudah tahu jika alasan Mas Eko menikah menikah denganku Kak Mbak Rania yang selalu baik padaku? Pasalnya saat kami masih pacaran, aku memang menceritakan semua hal tentang Kak Rania dan Kak Arif. Sehingga hal itu di manfaatkan oleh Mas Eko saat masa awal rumah tangga kami. Untungnya aku sudah tahu setahun kemudian.

“Sekali nggak tetap nggak. Kalau begitu kenapa kamu nggak minta uang pada Mbak Parti juga. Dia kan menikah dengan orang kaya mas. Seharusnya Mbak Parti bahkan bisa membelikan banyak barang yang lebih bagus jika memberikan uangnya pada Ibu.” Ucapanku itu seketika membuat Mas Eko terdiam.

Sejak menikah dengan Mas Eko, aku memang jarang bertemu dengan Mbak Parti. Karena Mbak Parti ikut suaminya pindah keluar pulau. Ibu dan Bapak mertua selalu menyombongkan jika keluarga suami Mbak Parti adalah orang kaya. Sehingga kehidupan Mbak Parti kini sudah berubah menjadi jauh lebih baik.

Setiap kali pulang kampung, Mbak Parti, suami dan anak-anaknya selalu memakai pakaian bagus. Tidak lupa dengan kalung, gelang, dan cincin emas yang memenuhi tubuhnya. Tapi, tidak sekalipun Mbak Parti memberikan uang pada orang tuanya. Bisa di bilang suami Mbak PArti itu pelit.

“Nggak usah mengungkit tentang kakakku. Anak perempuan itu tidak wajib memberikan uang pada orang tuanya.” Bantah Mas Eko tetap membela keluarganya.

“Berarti Kak Rania juga tidak punya kewajiban untuk memberi uang padaku. Karena aku hanya adik iparnya.” Tangan Mas Eko sudah terangkat. Hendak menamparku lagi. Namun, sedetik kemudian tangannya sudah turun lagi.

“Jangan mengalihkan percakapan. Gara-gara kamu aku jadi telat kerja. Pokoknya aku nggak mau tahu, besok bayar seragam barunya Yani dulu. Baru nyicil bayar kontrakan lagi.” Mas Eko meraih tas selempangnya lalu segera keluar rumah. Selalu menghindar jika aku sudah membahas kakaknya.

“Tidak mau. Kecuali jika kita berniat tidur di bawah jembatan.”

Mas Eko tidak mengatakan apapun. Tapi, kakinya sudah menendang lemari hingga lemari jatuh. Menimbulkan debam suara keras yang membuat tubuhku menggigil ketakutan. Untungnya Mas Eko sudah pergi dari rumah. Jadi, dia tidak tahu aku yang kini terkulai lemah di samping tempat tidur. Ketakutan menghadapi sifat tempramennya yang tidak pernah berubah sama sekali.

Rasanya aku ingin pergi dari rumah ini sekarang juga bersama dengan Dinda. Tapi, kemana kami harus pergi? Tidak ada tempat tujuan lain untukku dan Dinda.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tanjung For'az Sya
hadeeehhh begooo
goodnovel comment avatar
Rumaos Abo
anjayyy slebew
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status