Aku berusaha merebut kantung plastik berisi barang daganganku dari tangan Yani. Hampir saja semua isinya jatuh jika saja tidak ada orang yang datang untuk melerai kami. “Sudah cukup. Kenapa kalian main kekerasan di depan rumah saya?”
Ujar Bu Wati. Salah satu pelanggan yang rumahnya baru saja aku sambangi untuk menjajakan barang dagangan. Bu Wati berjongkok untuk membantuku untuk merapikan barang dagangan. Hampir saja uang yang aku sembunyikan jatuh ke tangan Yani jika Bu Wati tidak keluar dari rumahnya.
“Jangan ikut campur masalah keluarga kami Wat. Kalau kamu nggak mau kami berada disini biar Arini ikut bersama kami.” Bu Wati hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Ibu mertua.
“Saya nggak ikut campur. Kalian saja yang buat ribut di depan rumah saya. Lebih baik Bu Lasmi dan Yani pergi sekarang juga dari rumah saya.” Usir Bu Wati yang membuat Ibu mertua dan Yani merengut kesal. Aku hanya bisa menghela nafas lega.
Saat mereka akan menarik tanganku, aku segera berlindung di balik tubuh Bu Wati. “Jika kalian tidak pergi, saya akan berteriak minta tolong. Mau kalian?” Ancam Bu Wati galak.
“Dasar tukang ikut campur. Ayo kita pulang saja Yan.”
“Iya Bu.” Ibu mertua dan Yani sudah berjalan menuju rumah mereka.
“Terima kasih banyak Bu Wati. Saya nggak tahu gimana jadinya kalau Bu Wati tidak menolong saya.” Bu Wati menepuk bahuku beberapa kali.
“Nggak masalah Rin. Kamu tenang saja. Kami juga nggak suka sama sikap Ibu mertua dan adik ipar kamu itu.”
Aku lalu pamit pada Bu Wati untuk pergi. Berkeliling ke tempat lain. Tepat jam lima sore, aku sudah pulang ke rumah. Mas Eko sedang bersiap pergi untuk melakukan shift malamnya. Kakiku terus melangkah menuju gudang. Tidak berniat untuk menyapa Mas Eko yang kini sudah duduk di balik meja dapur untuk makan.
“Apa? Kamu serius Yan?” Mas Eko berdiri dari kursinya lalu masuk ke dalam kamar.
Karena perasaanku tidak enak, aku segera menyusulnya. Sebelum itu, aku meminta Dinda untuk masuk ke dalam kamarnya. Agar tidak melihat pertengkaranku dengan Mas Eko. “Apa yang kamu lakukan mas?” Seruku kaget melihat baju di dalam lemari yang sudah sangat berantakan.”
“Mana uang setoran dari pelanggan kamu? Pasti dapat banyak kan sore ini?” Mas Eko terus menghamburkan baju hingga seiis lemari kosong.
“Apa maksud kamu? Uangnya sudah habis.”
“Kali ini apa lagi? Buat beli makanan, kebutuhan rumah, bayar listrik atau bayar air? Sepertinya sekarang uang kamu selalu habis setiap hari. Ada saja alasan kamu biar nggak ngasih uangku untukku dan Ibu.” Seru Mas Eko memotong ucapanku.
“Benar. Uang itu selalu habis setiap hari. Karena aku juga harus membayar hutang di koperasi. Oh iya, untuk hari ini uangnya aku gunakan untuk menyicil rumah kontrakan ini.” Raut wajah Mas Eko berubah menjadi gelap.
“Kenapa harus di cicil? Bukannya masih ada sisa waktu satu minggu lagi untuk membayar kontrakan? Uangnya bisa di gunakan oleh Yani untuk membeli seragam olahraga yang baru Arini.” Hardik Mas Eko sangat keras. Aku berusaha bersikap biasa saja untuk menunjukkan aku tidak gentar dengan amarahnya.
“Terus kalau nggak di cicil, bagaimana cara bayar uang kontarakan? Kamu mau kita terancam pergi dari rumah ini hanya karena tidak bisa mengumpulkan uang untuk membayar rumah ini?” Tanyaku dengan nada menantang. Mas Eko hanya terdiam dengan kedua tangan yang mengepal.
“Apa kamu tidak ingat kejadian tahun lalu mas. Kalau aku tidak pinjam uang pada Bu Sumi, mungkin sekarang kita sudah tinggal di jalanan. Mau ke rumah orang tuamu juga nggak akan muat karena tidak ada kamar untuk tidur lagi. Yani sudah mengubah kamarmu jadi ruang gantinya.”
Sebenarnya di rumah orang tua Mas Eko ada tiga kamar. Kamar utama untuk kamar tidur Bapak dan Ibu mertua. Kamar kedua untuk tempat tidur Yani dan kakak perempuan Mas Eko yang bernama Mbak Parti dan kamar ketiga untuk tempat tidur Mas Eko. Namun, sejak kami memutuskan untuk pindah, kamar Mas Eko di sulap menjadi ruang pribadi tempat baju dan perhiasan milik Ibu mertua dan Yani di simpan. Menjadikan kamar itu lebih sempit dengan tiga lemari yang berjajar,
“Bukan hanya tahun lalu mas. Tapi, juga tahun-tahun sebelumnya. Kalau tahun ini tidak di cicil, uang kita sudah lebih dulu habis untuk biaya kebutuhan sehari-hari.”
“Kenapa kamu tidak minta pada kakak iparmu saja? Dia pasti juga akan memberi uang padamu kan?” Bantah Mas Eko tidak mau kalah.
“Tidak akan. Kakakku dan kakak iparku punya kebutuhan keluarga mereka sendiri.”
“Jangan sok kuat deh. Padahal dulu juga kakak iparmu sering membelikan barang-barang bagus. Sejak kita menikah kamu justru menolak semua kebaikannya. Lumayan kan kalau kamu menerima uang dari Kak Rania. Uang gaji kita bisa di berikan pada Ibu.”
Aku benar-benar tidak bisa mengerti jalan pikiran Mas Eko. Tanpa Mas Eko sadari aku sudah tahu jika alasan Mas Eko menikah menikah denganku Kak Mbak Rania yang selalu baik padaku? Pasalnya saat kami masih pacaran, aku memang menceritakan semua hal tentang Kak Rania dan Kak Arif. Sehingga hal itu di manfaatkan oleh Mas Eko saat masa awal rumah tangga kami. Untungnya aku sudah tahu setahun kemudian.
“Sekali nggak tetap nggak. Kalau begitu kenapa kamu nggak minta uang pada Mbak Parti juga. Dia kan menikah dengan orang kaya mas. Seharusnya Mbak Parti bahkan bisa membelikan banyak barang yang lebih bagus jika memberikan uangnya pada Ibu.” Ucapanku itu seketika membuat Mas Eko terdiam.
Sejak menikah dengan Mas Eko, aku memang jarang bertemu dengan Mbak Parti. Karena Mbak Parti ikut suaminya pindah keluar pulau. Ibu dan Bapak mertua selalu menyombongkan jika keluarga suami Mbak Parti adalah orang kaya. Sehingga kehidupan Mbak Parti kini sudah berubah menjadi jauh lebih baik.
Setiap kali pulang kampung, Mbak Parti, suami dan anak-anaknya selalu memakai pakaian bagus. Tidak lupa dengan kalung, gelang, dan cincin emas yang memenuhi tubuhnya. Tapi, tidak sekalipun Mbak Parti memberikan uang pada orang tuanya. Bisa di bilang suami Mbak PArti itu pelit.
“Nggak usah mengungkit tentang kakakku. Anak perempuan itu tidak wajib memberikan uang pada orang tuanya.” Bantah Mas Eko tetap membela keluarganya.
“Berarti Kak Rania juga tidak punya kewajiban untuk memberi uang padaku. Karena aku hanya adik iparnya.” Tangan Mas Eko sudah terangkat. Hendak menamparku lagi. Namun, sedetik kemudian tangannya sudah turun lagi.
“Jangan mengalihkan percakapan. Gara-gara kamu aku jadi telat kerja. Pokoknya aku nggak mau tahu, besok bayar seragam barunya Yani dulu. Baru nyicil bayar kontrakan lagi.” Mas Eko meraih tas selempangnya lalu segera keluar rumah. Selalu menghindar jika aku sudah membahas kakaknya.
“Tidak mau. Kecuali jika kita berniat tidur di bawah jembatan.”
Mas Eko tidak mengatakan apapun. Tapi, kakinya sudah menendang lemari hingga lemari jatuh. Menimbulkan debam suara keras yang membuat tubuhku menggigil ketakutan. Untungnya Mas Eko sudah pergi dari rumah. Jadi, dia tidak tahu aku yang kini terkulai lemah di samping tempat tidur. Ketakutan menghadapi sifat tempramennya yang tidak pernah berubah sama sekali.
Rasanya aku ingin pergi dari rumah ini sekarang juga bersama dengan Dinda. Tapi, kemana kami harus pergi? Tidak ada tempat tujuan lain untukku dan Dinda.
Malam ini aku memutuskan untuk tidur di dalam kamar Dinda. Sudah kuputuskan jika aku hanya akan mengambil barang dagangan dari agen distributor sampai kontrak rumah ini selesai. Pemilik rumah yang kasihan padaku mengatakan jika aku bisa memperpanjang kontrak hanya tiga bulan saja. Setelah aku mengatakan rencana untuk pergi dari kota ini setelah kenaikan kelas Dinda.“Daripada bayar untuk satu tahun terus kamu pergi dari rumah itu kan percuma. Lebih baik bayar untuk tiga bulan saja. Jangan lupa persiapkan uang untuk mengontrak rumah di kota lain juga.” Kata pemilk kontrakan yang bernama Mbak Rini kala itu.Kutatap wajah Dinda yang sudah terlelap. Memikirkan langkah selanjutnya yang harus aku tempuh untuk ke depannya. Setelah masalah rumah kontrakan ini selesai, aku harus menagih kredit baju para pelanggan. Mungkin untuk para pelangganku yang berada di kawasan rumah Ibu mertua bisa mengerti jika aku mengatakan tidak bisa lagi menyetok baju. Tapi, bagaimana dengan pelangganku yang lain?
Pagi harinya aku memutuskan untuk membeli bubur ayam di waurng terdekat. Mas Eko masih tidur setelah tadi malam melakukan shift di pabrik. Aku juga tidak tertarik untuk membahas kamar dan gudang yang berantakan. Bertengkar di pagi hari akan membuatku terlambat mengantarkan Dinda ke sekolah.“Kamu benar-benar nggak punya simpanan uang kan Rin?” Itu pertanyaan Mas Eko tadi malam yang langsung aku jawab dengan gelengan kepala.“Sudah kamu lihat sendiri mas. Aku sama sekali tidak punya simpanan uang.” Bantahku berusaha untuk tenang.Aku menyapa tetangga yang juga sedang mengantri untuk membeli bubur ayam. Saat tiba giliranku, aku menyebut pesanan, penjual bubur ayam itu anehnya menatapku dengan sengit. Hal yang tidak pernah di lakukannya padaku selama ini.Apakah aku pernah melakukan kesalahan padanya? Jika di ingat-ingat kami jarang bertemu. Saat membeli aku juga tidak pernah berhutang padanya. Semua orang sudah pergi hanya menyisakan aku saja disana.“Maaf mbak. Apa aku punya salah sama
Kak Rania menarik tangan Dinda sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir. Sebagai isyarat agar kami tidak mengatakan apapun. Masih bisa aku dengar Ibu mertua yang mengeluh tentang penghasilanku yang sering habis untuk kebutuhan rumah. Sehingga tidak bisa memberi Ibu mertua dan Yani banyak uang seperti dulu.“Apa Arini pernah cerita kalau dia di tegur sama bosnya Ko?” Tanya Ibu mertua yang memperhatikan jika barang daganganku tidak sebanyak dulu lagi.“Iya Bu. Bu Sumi membatasi barang dagangan yang di ambil Arini karena sering telat membayar.”“Itu sih tanggungannya Mbak Arini. Tapi, dia juga harus tetap mikirin kita lah.” Sahut Yani tidak mau tahu.Tentu saja Kak Rania juga ikut mendengar percakapan keluarga Mas Eko. Raut wajah Kak Rania sudah berubah menjadi keruh. Dengan isyarat tangan, Kak Rania mengajak kami diam-diam pergi dari sana. Hingga kami akhirnya duduk di kursi teras. Sudah ada banyak barang yang di letakan di atas meja.“Kakak nggak nyangka jika kelakukan suami kamu d
“Aku sama sekali tidak menceritakan apapun. Buat apa mengumbar aib rumah tangga sendiri. Aku dan Dinda juga yang akan malu. Lagian kamu nggak dengar sendiri kalau Kak Rania sudah mendengar semua percakapan kalian? Bahkan Kak Rania juga melihat Ibu yang tidak mengijinkanku makan malam bersama kalian. Bukan aku yang membuat sikap Kak Rania berubah pada kalian. Tapi, keluargamu sendiri yang sudah melakukan hal itu mas.”Mas Eko hanya terdiam. Sama sekali tidak bisa menjawab perkataanku lagi. Kakiku kembali melangkah masuk menuju kamar untuk berganti baju. Bagaimanapun juga hari ini aku harus pergi ke pasar. Apalagi setelah ini aku masih harus membersihkan rumah. Ibu hanya menyapu halaman depan untuk menarik perhatian Kak Rania. Tapi, kondisi di dapur masih seperti kapal pecah setelah mereka selesai makan tadi malam.Apa tadi yang Ibu katakana? Ibu mertua sudah memasak sarapan untuk menyambut kedatangan Kak Rania. Namun, semua itu bohong karena saat berjalan melewati dapur tadi aku tidak
Belum sempat aku selesai menjawab Bapak sudah mengatakan pada teman-temannya jika aku yang akan membayar. Diam-diam aku memberikan salah satu dompetku pada Dinda. Dengan isyarat mata, Dinda mengerti jika dia harus segera pergi ke toko. Aku mengeluarkan dompet yang satu lagi. Hanya ada uang tiga puluh ribu saja di dalam dompet.Aku berjalan menghampiri Bapak mertua yang hendak keluar bersama teman-temannya. “Maaf Pak. Uangku tinggal tiga puluh ribu aja. Tadi nggak dapat banyak setoran. Terus uangnya buat ngisi bensin sama sudah di ambil Mas Eko.”Bukannya menjawab perkataanku, Bapak mertua justru menarik tanganku menuju sudut warung, Mengabaikan tatapan pemilik warung dan teman-temannya yang mendengar perkataanku tadi. Wajahnya sudah berubah menjadi merah. Mungkin karena malu mendengar perkataanku di depan teman-temannya dan para pembeli yang makan disini.“Kalau ngomong jangan di depan teman-teman Bapak. Kalau kamu nggak ada uang, tunggu sampai Bapak pergi. Kamu kan bisa pinjam pada b
Kak Arif memberikan tanda jika ia akan mematikan sambungan telpon. Aku segera meletakan hp di atas meja belajar Dinda lalu membaringkan tubuh. Bagaimana bisa Mas Eko mendengar suaraku yang tidak keras? Apakah dia sengaja menguping sejak tadi? Biasanya jika aku menelpon tengah malam seperti ini, Mas Eko tidak pernah bangun.BRAK…. BRAAAKKK…. BRAAAKKKKKK…….Gedoran itu masih berlanjut hingga membuat Dinda terbangun. Aku meletakan jari di depan bibir sebagai tanda agar Dinda tidak bersuara. Wajah Dinda sudah takut karena mendengar suara seperti itu di tengah malam. Suara gedoran di pintu masih belum usai. Lima belas menit kemudian Mas Eko sudah menyerah. Kini aku bisa mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Ibu dan Bapak mertua.“Mungkin si Arini lagi ngelindur kal Ko. Dia kalau tidur kan pulas banget. Sampai nggak tahu kalau uangnya sering Ibu ambil.”Hah. Aku baru tahu tentang fakta yang satu ini. Jadi, Ibu mertua sering masuk ke dalam kamar utama saat aku sedang tidur untuk menga
Saat masuk ke dalam rumah, Ibu mertua sudah mengomel karena isi amplop itu bukan uang seperti yang ada di pikirannya. Kertas undangan untuk wali murid itu sudah berada di lantai. Di injak hingga kotor untuk melampiaskan rasa kesal Ibu mertua. Aku memutuskan untuk tidak pergi ke pasar hari ini. Dengan begitu Mas Eko dan keluarganya tidak akan curiga jika aku masih punya uang simpanan yang lain. Justru aku sibuk memasak bahan makanan tersisa di kulkas untuk lauk nanti siang dan nanti malam.“Kamu nggak pergi ke pasar Rin? Naik ojol kan bisa. Biayanya lebih murah dari ojek pengkolan.” Mas Eko sudah menyusulku ke dapur. Hari ini Mas Eko memang bekerja untuk shift sore. Jadi, dia tidak akan bekerja sejak pagi.“Aku nggak punya uang mas. Tadi udah wa teman pedagang di pasar buat pinjam uang. Tapi, dia bilang baru bisa ngasih setelah pulang dari pasar.” Tanganku dengan gesit memetik kangkung yang akan aku masak. Kangkung inipun aku dapat dari kebun tetangga yang kasihan karena Ibu mertua ter
Dinda terpaksa di rawat di rumah sakit karena tubuhnya masih panas. Aku berterima kasih pada wali kelas Dinda yang mau mengantar kami. Saat akan memberikan uang untuk memesan ojol, beliau menolak dengan mengatakan sudah jadi kewajibannya untuk menjaga Dinda. Aku berjalan menuju kamar rawat Dinda yang di huni bersama dengan tiga pasien anak yang lain.Menurut keterangan dokter ada banyak kemungkinan Dinda bisa demam. Tidak di temukan alergi makanan atau virus yang bersarang di tubuh putriku. Karena itulah dokter akan melakukan tes lab untuk mencari tahu penyebab lainnya lebih lanjut. “Bisa jadi Dinda tidak sengaja keracunan makanan.”DegPikiranku langsung tertuju pada Mas Eko. Meskipun aku sudah sangat hati-hati agar tidak terjebak dalam rencannaya, bisa jadi Mas Eko diam-diam sudah melakukan sesuatu. Segera aku keluarkan hp untuk memberi tahu Kak Arif dan Kak Rania lebih dulu jika Dinda masuk rumah sakit. Setelah itu, aku mencari di mesin pencarian tentang macam-macam racun.Ada sala