Share

Bab 4 Pencuri

Hari itu, aku hanya dapat uang lima ratus ribu saja. Harusnya dapat tujuh ratus ribu jika tidak di ambil oleh Ibu mertua. Jam sepuluh pagi, aku belanja di rumah tetangga yang menjadi penjual keliling. Membeli ikan mujair, tempe dan cabai. Satu jam kemudian aku sudah menjemput Dinda di sekolah.

Makan siang kami kali ini terasa sangat menyenangkan. Aku bisa membelikan makananan kesukaan Dinda. “Kok cuma ada dua ikannya Bu. Nanti malam kita makan apa?” Tanya Dinda heran karena aku tidak menyetok persediaan makanan kami.

“Nanti malam kita makan orek tempe ya. Ibu takut kalau ikannya di bawa Bapak lagi ke rumah Mbah.” Dinda terdiam sejenak lalu menganggukan kepalanya.

Ya Allah. Rasanya sedih sekali melihat wajah Dinda yang tampak biasa saja. Aku tidak pernah bisa membaca perasaan putriku. Setiap kali aku bertanya, Dinda selalu mengatakan jika dia akan mendukungku. Untuk bocah berumur tujuh tahun, hampir setiap hari melihat pertengkaran orang tuanya tidak membuat Dinda tumbuh menjadi anak yang nakal.

Selesai makan siang, Dinda membantuku mencuci piring. Kami lalu menunaikan sholat dhuhur bersama. Sisa uang yang aku dapat sebelumnya kembali aku sembunyikan di bawah tumpukan baju Dinda. Untuk persediaan membeli makanan besok.

“Arini.” Aku yang sedang menemani Dinda mengerjakan PR di depan TV seketika berdiri.

Ibu mertua masuk bersama adik iparku yang bernama Yani. Tampilan mereka cukup modis. Dengan kalung emas yang melingkar di leher. Gelang dan cincin emas yang juga menghias tangan. Tapi, untuk kebutuhan makan saja pas-pasan.

“Kami mau makan siang disini. Kamu beli ayam atau ikan?” Ibu mertua dan Yani sudah melenggang ke dapur.

Tanganku memberi kode agar Dinda masuk ke dalam kamar. Sementara aku mengikuti langkah Ibu mertua dan Yani yang sudah ada di dapur. Saat Ibu mertua membuka tudung saji hanya ada orek tempe saja. Sisa makanku dan Dinda siang ini.

“Loh kamu hanya masak orek tempe saja Rin?” Ibu mertua merengut kesal.

“Iya Bu. Uangnya udah habis buat bayar listrik sama bayar perpanjangan stnk di samsat keliling tadi.” Jawabku bohong.

“Sudahlah Bu. Makan yang ada aja. Aku udah laper banget nih.” Seru Yani yang sudah duduk di meja makan.

Saat aku hendak melangkah keluar, Ibu mertua kembali berseru jengkel karena nasi di magic com tinggal sedikit. “Padahal Ibu sudah bilang kalau masak itu di bayakin. Biar kita bisa makan disni kalau lagi mampir. Ini malah mau habis. Dasar pelit.”

Rasanya ingin aku usir mereka berdua dari rumah ini. Tanganku sudah mengusap dada berulang kali lalu masuk ke dalam kamar putriku. Tampak Dinda yang mengerjakan PR-nya di atas tempat tidur. Aku lalu duduk di samping Dinda.

“Bu, aku boleh tanya sesuatu?” Aku menganggukan kepala.

“Boleh dong sayang. Kamu mau tanya apa?” Tanganku sudah mengusap rambut panjang Dinda yang di kuncir kuda.

“Kenapa Ibu masih mau bertahan sama Ayah?” Nafasku seketika tercekat saat mendengar pertanyaan yang di ajukan Dinda.

“Kenapa Dinda bertanya seperti itu? Tentu saja agar Dinda tetap bisa bersama dengan Ayah.”

Padahal alasan lainnya karena aku tidak punya tempat untuk pulang. Aku tidak mau merepotkan keluarga kakakku lebih jauh lagi. Mereka sudah memberiku modal untuk berjualan. Cukuplah masalah rumah tangga ini aku selesaikan sendiri.

“Tapi, aku nggak bahagia Bu. Sahabatku di sekolah juga dulu orang tuanya selalu bertengkar. Malah Ayah temanku itu nggak mau nyari kerja. Kerjanya hanya minta uang pada Ibu temanku yang membuka warung di pasar. Karena sudah tidak tahan lagi, orang tuanya bercerai. Sekarang hidup temanku dan Ibunya jadi lebih bahagia Bu. Karena bisa menyisihkan uang jualan untuk diri mereka sendiri.”

Tanpa aku sadari air mata sudah mengalir di pipi. Segera kubawa Dinda dalam pelukanku. Aku tergugu pilu karena keputusanku untuk bertahan rupanya membuat Dinda merasa tidak bahagia. Selama ini aku hanya berpikir untuk tidak menyusahkan kakakku jika aku pergi dari rumah ini. Tanpa mau mencari jalan keluar lain.

“Ibu jangan menangis lagi. Pertanyaan Dinda bikin Ibu sedih ya?” Aku menggelengkan kepala lalu melepaskan pelukan kami. Kuseka air mata dengan cepat.

“Kenapa kita tidak pergi ke tempat Om dan Tante saja Bu?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Dinda.

“Jangan sayang. Tolong bertahan sebentar saja. Ibu janji akan mencari jalan keluar untuk kita tanpa perlu merepotkan Om dan Tante. Tiga bulan lagi Dinda sudah ujian akhir semester untuk kenaikan kelas dua. Setelah Dinda selesai ujian, kita bisa pergi ke kota yang sama dengan Om dan Tante. Ibu akan mengumpulkan tabungan sebanyak mungkin untuk bekal kita disana.” Bisikku pelan agar tidak terdengar oleh Ibu mertua dan Yani yang mungkin masih berada di dapur.

“Memang uang jualan di hpnya Ibu dapat untung banyak?”

“Iya. Ibu juga masih ada tabungan di koperasi. Asal Dinda bisa menjaga rahasia ini seperti sebelumnya.” Aku mengangsurkan jari kelingking yang di sambut dengan jari kelingking kecil putriku. Saling menaut janji seperti sebelumnya.

Hingga Ibu mertua dan Yani pulang aku tidak keluar dari kamar putriku. Sepertinya aku harus menyembunyikan uang di tempat lain yang lebih aman. Agar tidak bisa di ambil oleh Mas Eko dan keluarganya.

***

Sore harinya aku pergi berjualan keliling setelah menunaikan sholat ashar. Kembali meninggalkan Dinda seorang diri di rumah. Uang dari jualan kali ini terkumpul cukup banyak. Tiga ratus ribu rupiah. Sama seperti sebelumnya. Ada yang hanya menyicil kredit baju. Ada juga yang mengambil baju lain.

Jika di total dengan sisa uang di di rumah ada tujuh ratus ribu rupiah. Besok pagi bisa aku titipkan ke pegawai koperasi yang berkeliling di pasar. Setelah pulang ke rumah, Mas Eko sudah berada di dalam. Raut wajahnya masam saat menatapku masuk ke dalam dengan membawa dua kantung besar berisi baju barang daganganku.

“Kata Ibu kamu hanya masak orek tempe saja?” Itu lagi yang di bahas. Kenapa sih dia harus selalu mengatakan apa yang di adukan Ibunya?

“Iya. Ibu juga pasti sudah jelasin kalau aku harus bayar listrik sama perpanjang stnk.”

“Masa nggak ada sisa uang sama sekali sih Rin? Kamu kan masih bisa nyisihin buat beli ikan atau ayam lagi.” Kuhela nafas pelan agar tidak tersulut emosi seperti kemarin.

“Seharusnya masih ada sisa dua ratus ribu mas. Tapi, saat aku baru berjualan di rumah tetangga Ibu, langsung di ambil. Katanya buat sarapan karena belum makan dari pagi. Terus siangnya Ibu dan Yani makan siang di rumah ini.” Jawabku apa adanya lalu melangkah menuju gudang. Meletakan barang daganganku disana.

Gudang ini dulu di bangun untuk menjadi musola. Ukurannya sangat kecil. Hanya empat kali tiga meter. Selain untuk menyimpan barang dagangan, ruangan ini juga untuk menyimpan barang-barang yang tidak terpakai.

Di ruang tamu, Mas Eko masih duduk di tempatnya. Dia tidak membalas lagi setelah aku memberi tahu jika Ibu mengambil uangku lagi. Wajahnya tampak frustasi. Rasakan. Salah sendiri selalu menuruti kemauan Ibu dan Yani. Jadi, nggak bisa makan enak kan.

“Kamu besok harus beli makanan enak Rin. Aku nggak mau tahu. Kalau perlu beli juga yang banyak untuk Ibu. Agar persediaan di rumah ini tidak di ambil.”

Aku hanya diam saja sambil melipat baju yang sudah kering. Perkataannya tersirat sekali jika Mas Eko juga ingin makan enak. Tapi, tidak mau menyalahkan kelakuan Ibu dan adiknya di depanku. Dinda memang benar. Untuk apa aku bertahan dalam rumah tangga ini jika tidak bahagia.

“Kamu dengar aku nggak sih Rin?” Hardik Mas Eko keras.

“Dengar. Aku nggak bisa jawab karena tergantung besoklah. Uangku di ambil lagi sama Ibu apa nggak.”

PLAK

“Bahasamu kasar sekali. Kamu menggangap Ibuku pencuri?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
ℹ️®️🅰️
Eh bodoh betul kau, cerai sj lah dr pd jd budak keluarga toxic
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status