Hari itu, aku hanya dapat uang lima ratus ribu saja. Harusnya dapat tujuh ratus ribu jika tidak di ambil oleh Ibu mertua. Jam sepuluh pagi, aku belanja di rumah tetangga yang menjadi penjual keliling. Membeli ikan mujair, tempe dan cabai. Satu jam kemudian aku sudah menjemput Dinda di sekolah.
Makan siang kami kali ini terasa sangat menyenangkan. Aku bisa membelikan makananan kesukaan Dinda. “Kok cuma ada dua ikannya Bu. Nanti malam kita makan apa?” Tanya Dinda heran karena aku tidak menyetok persediaan makanan kami.
“Nanti malam kita makan orek tempe ya. Ibu takut kalau ikannya di bawa Bapak lagi ke rumah Mbah.” Dinda terdiam sejenak lalu menganggukan kepalanya.
Ya Allah. Rasanya sedih sekali melihat wajah Dinda yang tampak biasa saja. Aku tidak pernah bisa membaca perasaan putriku. Setiap kali aku bertanya, Dinda selalu mengatakan jika dia akan mendukungku. Untuk bocah berumur tujuh tahun, hampir setiap hari melihat pertengkaran orang tuanya tidak membuat Dinda tumbuh menjadi anak yang nakal.
Selesai makan siang, Dinda membantuku mencuci piring. Kami lalu menunaikan sholat dhuhur bersama. Sisa uang yang aku dapat sebelumnya kembali aku sembunyikan di bawah tumpukan baju Dinda. Untuk persediaan membeli makanan besok.
“Arini.” Aku yang sedang menemani Dinda mengerjakan PR di depan TV seketika berdiri.
Ibu mertua masuk bersama adik iparku yang bernama Yani. Tampilan mereka cukup modis. Dengan kalung emas yang melingkar di leher. Gelang dan cincin emas yang juga menghias tangan. Tapi, untuk kebutuhan makan saja pas-pasan.
“Kami mau makan siang disini. Kamu beli ayam atau ikan?” Ibu mertua dan Yani sudah melenggang ke dapur.
Tanganku memberi kode agar Dinda masuk ke dalam kamar. Sementara aku mengikuti langkah Ibu mertua dan Yani yang sudah ada di dapur. Saat Ibu mertua membuka tudung saji hanya ada orek tempe saja. Sisa makanku dan Dinda siang ini.
“Loh kamu hanya masak orek tempe saja Rin?” Ibu mertua merengut kesal.
“Iya Bu. Uangnya udah habis buat bayar listrik sama bayar perpanjangan stnk di samsat keliling tadi.” Jawabku bohong.
“Sudahlah Bu. Makan yang ada aja. Aku udah laper banget nih.” Seru Yani yang sudah duduk di meja makan.
Saat aku hendak melangkah keluar, Ibu mertua kembali berseru jengkel karena nasi di magic com tinggal sedikit. “Padahal Ibu sudah bilang kalau masak itu di bayakin. Biar kita bisa makan disni kalau lagi mampir. Ini malah mau habis. Dasar pelit.”
Rasanya ingin aku usir mereka berdua dari rumah ini. Tanganku sudah mengusap dada berulang kali lalu masuk ke dalam kamar putriku. Tampak Dinda yang mengerjakan PR-nya di atas tempat tidur. Aku lalu duduk di samping Dinda.
“Bu, aku boleh tanya sesuatu?” Aku menganggukan kepala.
“Boleh dong sayang. Kamu mau tanya apa?” Tanganku sudah mengusap rambut panjang Dinda yang di kuncir kuda.
“Kenapa Ibu masih mau bertahan sama Ayah?” Nafasku seketika tercekat saat mendengar pertanyaan yang di ajukan Dinda.
“Kenapa Dinda bertanya seperti itu? Tentu saja agar Dinda tetap bisa bersama dengan Ayah.”
Padahal alasan lainnya karena aku tidak punya tempat untuk pulang. Aku tidak mau merepotkan keluarga kakakku lebih jauh lagi. Mereka sudah memberiku modal untuk berjualan. Cukuplah masalah rumah tangga ini aku selesaikan sendiri.
“Tapi, aku nggak bahagia Bu. Sahabatku di sekolah juga dulu orang tuanya selalu bertengkar. Malah Ayah temanku itu nggak mau nyari kerja. Kerjanya hanya minta uang pada Ibu temanku yang membuka warung di pasar. Karena sudah tidak tahan lagi, orang tuanya bercerai. Sekarang hidup temanku dan Ibunya jadi lebih bahagia Bu. Karena bisa menyisihkan uang jualan untuk diri mereka sendiri.”
Tanpa aku sadari air mata sudah mengalir di pipi. Segera kubawa Dinda dalam pelukanku. Aku tergugu pilu karena keputusanku untuk bertahan rupanya membuat Dinda merasa tidak bahagia. Selama ini aku hanya berpikir untuk tidak menyusahkan kakakku jika aku pergi dari rumah ini. Tanpa mau mencari jalan keluar lain.
“Ibu jangan menangis lagi. Pertanyaan Dinda bikin Ibu sedih ya?” Aku menggelengkan kepala lalu melepaskan pelukan kami. Kuseka air mata dengan cepat.
“Kenapa kita tidak pergi ke tempat Om dan Tante saja Bu?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Dinda.
“Jangan sayang. Tolong bertahan sebentar saja. Ibu janji akan mencari jalan keluar untuk kita tanpa perlu merepotkan Om dan Tante. Tiga bulan lagi Dinda sudah ujian akhir semester untuk kenaikan kelas dua. Setelah Dinda selesai ujian, kita bisa pergi ke kota yang sama dengan Om dan Tante. Ibu akan mengumpulkan tabungan sebanyak mungkin untuk bekal kita disana.” Bisikku pelan agar tidak terdengar oleh Ibu mertua dan Yani yang mungkin masih berada di dapur.
“Memang uang jualan di hpnya Ibu dapat untung banyak?”
“Iya. Ibu juga masih ada tabungan di koperasi. Asal Dinda bisa menjaga rahasia ini seperti sebelumnya.” Aku mengangsurkan jari kelingking yang di sambut dengan jari kelingking kecil putriku. Saling menaut janji seperti sebelumnya.
Hingga Ibu mertua dan Yani pulang aku tidak keluar dari kamar putriku. Sepertinya aku harus menyembunyikan uang di tempat lain yang lebih aman. Agar tidak bisa di ambil oleh Mas Eko dan keluarganya.
***
Sore harinya aku pergi berjualan keliling setelah menunaikan sholat ashar. Kembali meninggalkan Dinda seorang diri di rumah. Uang dari jualan kali ini terkumpul cukup banyak. Tiga ratus ribu rupiah. Sama seperti sebelumnya. Ada yang hanya menyicil kredit baju. Ada juga yang mengambil baju lain.
Jika di total dengan sisa uang di di rumah ada tujuh ratus ribu rupiah. Besok pagi bisa aku titipkan ke pegawai koperasi yang berkeliling di pasar. Setelah pulang ke rumah, Mas Eko sudah berada di dalam. Raut wajahnya masam saat menatapku masuk ke dalam dengan membawa dua kantung besar berisi baju barang daganganku.
“Kata Ibu kamu hanya masak orek tempe saja?” Itu lagi yang di bahas. Kenapa sih dia harus selalu mengatakan apa yang di adukan Ibunya?
“Iya. Ibu juga pasti sudah jelasin kalau aku harus bayar listrik sama perpanjang stnk.”
“Masa nggak ada sisa uang sama sekali sih Rin? Kamu kan masih bisa nyisihin buat beli ikan atau ayam lagi.” Kuhela nafas pelan agar tidak tersulut emosi seperti kemarin.
“Seharusnya masih ada sisa dua ratus ribu mas. Tapi, saat aku baru berjualan di rumah tetangga Ibu, langsung di ambil. Katanya buat sarapan karena belum makan dari pagi. Terus siangnya Ibu dan Yani makan siang di rumah ini.” Jawabku apa adanya lalu melangkah menuju gudang. Meletakan barang daganganku disana.
Gudang ini dulu di bangun untuk menjadi musola. Ukurannya sangat kecil. Hanya empat kali tiga meter. Selain untuk menyimpan barang dagangan, ruangan ini juga untuk menyimpan barang-barang yang tidak terpakai.
Di ruang tamu, Mas Eko masih duduk di tempatnya. Dia tidak membalas lagi setelah aku memberi tahu jika Ibu mengambil uangku lagi. Wajahnya tampak frustasi. Rasakan. Salah sendiri selalu menuruti kemauan Ibu dan Yani. Jadi, nggak bisa makan enak kan.
“Kamu besok harus beli makanan enak Rin. Aku nggak mau tahu. Kalau perlu beli juga yang banyak untuk Ibu. Agar persediaan di rumah ini tidak di ambil.”
Aku hanya diam saja sambil melipat baju yang sudah kering. Perkataannya tersirat sekali jika Mas Eko juga ingin makan enak. Tapi, tidak mau menyalahkan kelakuan Ibu dan adiknya di depanku. Dinda memang benar. Untuk apa aku bertahan dalam rumah tangga ini jika tidak bahagia.
“Kamu dengar aku nggak sih Rin?” Hardik Mas Eko keras.
“Dengar. Aku nggak bisa jawab karena tergantung besoklah. Uangku di ambil lagi sama Ibu apa nggak.”
PLAK
“Bahasamu kasar sekali. Kamu menggangap Ibuku pencuri?”
“Sebagai istri sudah jadi tugasmu untuk membantu keuangan suami Rin. Ingat surga istri itu ada pada suami dan surga pria itu ada pada Ibunya. Jadi, jangan pernah kamu menjelek-jelekkan Ibuku lagi. Seharusnya kamu bersyukur aku mau menikah denganmu yang sudah tidak punya orang tua lagi.”Dasar pria tidak tahu diri. Bersyukur katanya? Sama sekali tidak. Apalagi pemahaman yang di katakan Mas Eko padaku benar-benar salah. Aku mengusap pipi sejenak lalu kembali melipat baju dengan cepat. “Memang itu kan kenyataannya. Toh kamu sendiri yang bilang kalau Ibumu adalah pencuri. Aku hanya mengatakan tergantung besok, apakah uangnya akan di ambil Ibu atau tidak. Lalu, kata tepat yang bagaimana harus mengungkapkan sikap Ibumu?”Tanyaku dengan nada tenang. Kedua tangan Mas Eko sudah mengepal erat. “Kalau begitu kamu bisa membeli bahan makanan lebih untuk di bagikan pada Ibu. Gampang kan?”Tanpa menjawab perkataan Mas Eko aku berjalan menuju kamar lalu mengunci pintunya. Biarkan saja dia malam ini t
Aku berusaha merebut kantung plastik berisi barang daganganku dari tangan Yani. Hampir saja semua isinya jatuh jika saja tidak ada orang yang datang untuk melerai kami. “Sudah cukup. Kenapa kalian main kekerasan di depan rumah saya?”Ujar Bu Wati. Salah satu pelanggan yang rumahnya baru saja aku sambangi untuk menjajakan barang dagangan. Bu Wati berjongkok untuk membantuku untuk merapikan barang dagangan. Hampir saja uang yang aku sembunyikan jatuh ke tangan Yani jika Bu Wati tidak keluar dari rumahnya.“Jangan ikut campur masalah keluarga kami Wat. Kalau kamu nggak mau kami berada disini biar Arini ikut bersama kami.” Bu Wati hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Ibu mertua.“Saya nggak ikut campur. Kalian saja yang buat ribut di depan rumah saya. Lebih baik Bu Lasmi dan Yani pergi sekarang juga dari rumah saya.” Usir Bu Wati yang membuat Ibu mertua dan Yani merengut kesal. Aku hanya bisa menghela nafas lega.Saat mereka akan menarik tanganku, aku segera berlindung d
Malam ini aku memutuskan untuk tidur di dalam kamar Dinda. Sudah kuputuskan jika aku hanya akan mengambil barang dagangan dari agen distributor sampai kontrak rumah ini selesai. Pemilik rumah yang kasihan padaku mengatakan jika aku bisa memperpanjang kontrak hanya tiga bulan saja. Setelah aku mengatakan rencana untuk pergi dari kota ini setelah kenaikan kelas Dinda.“Daripada bayar untuk satu tahun terus kamu pergi dari rumah itu kan percuma. Lebih baik bayar untuk tiga bulan saja. Jangan lupa persiapkan uang untuk mengontrak rumah di kota lain juga.” Kata pemilk kontrakan yang bernama Mbak Rini kala itu.Kutatap wajah Dinda yang sudah terlelap. Memikirkan langkah selanjutnya yang harus aku tempuh untuk ke depannya. Setelah masalah rumah kontrakan ini selesai, aku harus menagih kredit baju para pelanggan. Mungkin untuk para pelangganku yang berada di kawasan rumah Ibu mertua bisa mengerti jika aku mengatakan tidak bisa lagi menyetok baju. Tapi, bagaimana dengan pelangganku yang lain?
Pagi harinya aku memutuskan untuk membeli bubur ayam di waurng terdekat. Mas Eko masih tidur setelah tadi malam melakukan shift di pabrik. Aku juga tidak tertarik untuk membahas kamar dan gudang yang berantakan. Bertengkar di pagi hari akan membuatku terlambat mengantarkan Dinda ke sekolah.“Kamu benar-benar nggak punya simpanan uang kan Rin?” Itu pertanyaan Mas Eko tadi malam yang langsung aku jawab dengan gelengan kepala.“Sudah kamu lihat sendiri mas. Aku sama sekali tidak punya simpanan uang.” Bantahku berusaha untuk tenang.Aku menyapa tetangga yang juga sedang mengantri untuk membeli bubur ayam. Saat tiba giliranku, aku menyebut pesanan, penjual bubur ayam itu anehnya menatapku dengan sengit. Hal yang tidak pernah di lakukannya padaku selama ini.Apakah aku pernah melakukan kesalahan padanya? Jika di ingat-ingat kami jarang bertemu. Saat membeli aku juga tidak pernah berhutang padanya. Semua orang sudah pergi hanya menyisakan aku saja disana.“Maaf mbak. Apa aku punya salah sama
Kak Rania menarik tangan Dinda sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir. Sebagai isyarat agar kami tidak mengatakan apapun. Masih bisa aku dengar Ibu mertua yang mengeluh tentang penghasilanku yang sering habis untuk kebutuhan rumah. Sehingga tidak bisa memberi Ibu mertua dan Yani banyak uang seperti dulu.“Apa Arini pernah cerita kalau dia di tegur sama bosnya Ko?” Tanya Ibu mertua yang memperhatikan jika barang daganganku tidak sebanyak dulu lagi.“Iya Bu. Bu Sumi membatasi barang dagangan yang di ambil Arini karena sering telat membayar.”“Itu sih tanggungannya Mbak Arini. Tapi, dia juga harus tetap mikirin kita lah.” Sahut Yani tidak mau tahu.Tentu saja Kak Rania juga ikut mendengar percakapan keluarga Mas Eko. Raut wajah Kak Rania sudah berubah menjadi keruh. Dengan isyarat tangan, Kak Rania mengajak kami diam-diam pergi dari sana. Hingga kami akhirnya duduk di kursi teras. Sudah ada banyak barang yang di letakan di atas meja.“Kakak nggak nyangka jika kelakukan suami kamu d
“Aku sama sekali tidak menceritakan apapun. Buat apa mengumbar aib rumah tangga sendiri. Aku dan Dinda juga yang akan malu. Lagian kamu nggak dengar sendiri kalau Kak Rania sudah mendengar semua percakapan kalian? Bahkan Kak Rania juga melihat Ibu yang tidak mengijinkanku makan malam bersama kalian. Bukan aku yang membuat sikap Kak Rania berubah pada kalian. Tapi, keluargamu sendiri yang sudah melakukan hal itu mas.”Mas Eko hanya terdiam. Sama sekali tidak bisa menjawab perkataanku lagi. Kakiku kembali melangkah masuk menuju kamar untuk berganti baju. Bagaimanapun juga hari ini aku harus pergi ke pasar. Apalagi setelah ini aku masih harus membersihkan rumah. Ibu hanya menyapu halaman depan untuk menarik perhatian Kak Rania. Tapi, kondisi di dapur masih seperti kapal pecah setelah mereka selesai makan tadi malam.Apa tadi yang Ibu katakana? Ibu mertua sudah memasak sarapan untuk menyambut kedatangan Kak Rania. Namun, semua itu bohong karena saat berjalan melewati dapur tadi aku tidak
Belum sempat aku selesai menjawab Bapak sudah mengatakan pada teman-temannya jika aku yang akan membayar. Diam-diam aku memberikan salah satu dompetku pada Dinda. Dengan isyarat mata, Dinda mengerti jika dia harus segera pergi ke toko. Aku mengeluarkan dompet yang satu lagi. Hanya ada uang tiga puluh ribu saja di dalam dompet.Aku berjalan menghampiri Bapak mertua yang hendak keluar bersama teman-temannya. “Maaf Pak. Uangku tinggal tiga puluh ribu aja. Tadi nggak dapat banyak setoran. Terus uangnya buat ngisi bensin sama sudah di ambil Mas Eko.”Bukannya menjawab perkataanku, Bapak mertua justru menarik tanganku menuju sudut warung, Mengabaikan tatapan pemilik warung dan teman-temannya yang mendengar perkataanku tadi. Wajahnya sudah berubah menjadi merah. Mungkin karena malu mendengar perkataanku di depan teman-temannya dan para pembeli yang makan disini.“Kalau ngomong jangan di depan teman-teman Bapak. Kalau kamu nggak ada uang, tunggu sampai Bapak pergi. Kamu kan bisa pinjam pada b
Kak Arif memberikan tanda jika ia akan mematikan sambungan telpon. Aku segera meletakan hp di atas meja belajar Dinda lalu membaringkan tubuh. Bagaimana bisa Mas Eko mendengar suaraku yang tidak keras? Apakah dia sengaja menguping sejak tadi? Biasanya jika aku menelpon tengah malam seperti ini, Mas Eko tidak pernah bangun.BRAK…. BRAAAKKK…. BRAAAKKKKKK…….Gedoran itu masih berlanjut hingga membuat Dinda terbangun. Aku meletakan jari di depan bibir sebagai tanda agar Dinda tidak bersuara. Wajah Dinda sudah takut karena mendengar suara seperti itu di tengah malam. Suara gedoran di pintu masih belum usai. Lima belas menit kemudian Mas Eko sudah menyerah. Kini aku bisa mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Ibu dan Bapak mertua.“Mungkin si Arini lagi ngelindur kal Ko. Dia kalau tidur kan pulas banget. Sampai nggak tahu kalau uangnya sering Ibu ambil.”Hah. Aku baru tahu tentang fakta yang satu ini. Jadi, Ibu mertua sering masuk ke dalam kamar utama saat aku sedang tidur untuk menga