“Aku sama sekali tidak menceritakan apapun. Buat apa mengumbar aib rumah tangga sendiri. Aku dan Dinda juga yang akan malu. Lagian kamu nggak dengar sendiri kalau Kak Rania sudah mendengar semua percakapan kalian? Bahkan Kak Rania juga melihat Ibu yang tidak mengijinkanku makan malam bersama kalian. Bukan aku yang membuat sikap Kak Rania berubah pada kalian. Tapi, keluargamu sendiri yang sudah melakukan hal itu mas.”Mas Eko hanya terdiam. Sama sekali tidak bisa menjawab perkataanku lagi. Kakiku kembali melangkah masuk menuju kamar untuk berganti baju. Bagaimanapun juga hari ini aku harus pergi ke pasar. Apalagi setelah ini aku masih harus membersihkan rumah. Ibu hanya menyapu halaman depan untuk menarik perhatian Kak Rania. Tapi, kondisi di dapur masih seperti kapal pecah setelah mereka selesai makan tadi malam.Apa tadi yang Ibu katakana? Ibu mertua sudah memasak sarapan untuk menyambut kedatangan Kak Rania. Namun, semua itu bohong karena saat berjalan melewati dapur tadi aku tidak
Belum sempat aku selesai menjawab Bapak sudah mengatakan pada teman-temannya jika aku yang akan membayar. Diam-diam aku memberikan salah satu dompetku pada Dinda. Dengan isyarat mata, Dinda mengerti jika dia harus segera pergi ke toko. Aku mengeluarkan dompet yang satu lagi. Hanya ada uang tiga puluh ribu saja di dalam dompet.Aku berjalan menghampiri Bapak mertua yang hendak keluar bersama teman-temannya. “Maaf Pak. Uangku tinggal tiga puluh ribu aja. Tadi nggak dapat banyak setoran. Terus uangnya buat ngisi bensin sama sudah di ambil Mas Eko.”Bukannya menjawab perkataanku, Bapak mertua justru menarik tanganku menuju sudut warung, Mengabaikan tatapan pemilik warung dan teman-temannya yang mendengar perkataanku tadi. Wajahnya sudah berubah menjadi merah. Mungkin karena malu mendengar perkataanku di depan teman-temannya dan para pembeli yang makan disini.“Kalau ngomong jangan di depan teman-teman Bapak. Kalau kamu nggak ada uang, tunggu sampai Bapak pergi. Kamu kan bisa pinjam pada b
Kak Arif memberikan tanda jika ia akan mematikan sambungan telpon. Aku segera meletakan hp di atas meja belajar Dinda lalu membaringkan tubuh. Bagaimana bisa Mas Eko mendengar suaraku yang tidak keras? Apakah dia sengaja menguping sejak tadi? Biasanya jika aku menelpon tengah malam seperti ini, Mas Eko tidak pernah bangun.BRAK…. BRAAAKKK…. BRAAAKKKKKK…….Gedoran itu masih berlanjut hingga membuat Dinda terbangun. Aku meletakan jari di depan bibir sebagai tanda agar Dinda tidak bersuara. Wajah Dinda sudah takut karena mendengar suara seperti itu di tengah malam. Suara gedoran di pintu masih belum usai. Lima belas menit kemudian Mas Eko sudah menyerah. Kini aku bisa mendengar suaranya yang sedang bicara dengan Ibu dan Bapak mertua.“Mungkin si Arini lagi ngelindur kal Ko. Dia kalau tidur kan pulas banget. Sampai nggak tahu kalau uangnya sering Ibu ambil.”Hah. Aku baru tahu tentang fakta yang satu ini. Jadi, Ibu mertua sering masuk ke dalam kamar utama saat aku sedang tidur untuk menga
Saat masuk ke dalam rumah, Ibu mertua sudah mengomel karena isi amplop itu bukan uang seperti yang ada di pikirannya. Kertas undangan untuk wali murid itu sudah berada di lantai. Di injak hingga kotor untuk melampiaskan rasa kesal Ibu mertua. Aku memutuskan untuk tidak pergi ke pasar hari ini. Dengan begitu Mas Eko dan keluarganya tidak akan curiga jika aku masih punya uang simpanan yang lain. Justru aku sibuk memasak bahan makanan tersisa di kulkas untuk lauk nanti siang dan nanti malam.“Kamu nggak pergi ke pasar Rin? Naik ojol kan bisa. Biayanya lebih murah dari ojek pengkolan.” Mas Eko sudah menyusulku ke dapur. Hari ini Mas Eko memang bekerja untuk shift sore. Jadi, dia tidak akan bekerja sejak pagi.“Aku nggak punya uang mas. Tadi udah wa teman pedagang di pasar buat pinjam uang. Tapi, dia bilang baru bisa ngasih setelah pulang dari pasar.” Tanganku dengan gesit memetik kangkung yang akan aku masak. Kangkung inipun aku dapat dari kebun tetangga yang kasihan karena Ibu mertua ter
Dinda terpaksa di rawat di rumah sakit karena tubuhnya masih panas. Aku berterima kasih pada wali kelas Dinda yang mau mengantar kami. Saat akan memberikan uang untuk memesan ojol, beliau menolak dengan mengatakan sudah jadi kewajibannya untuk menjaga Dinda. Aku berjalan menuju kamar rawat Dinda yang di huni bersama dengan tiga pasien anak yang lain.Menurut keterangan dokter ada banyak kemungkinan Dinda bisa demam. Tidak di temukan alergi makanan atau virus yang bersarang di tubuh putriku. Karena itulah dokter akan melakukan tes lab untuk mencari tahu penyebab lainnya lebih lanjut. “Bisa jadi Dinda tidak sengaja keracunan makanan.”DegPikiranku langsung tertuju pada Mas Eko. Meskipun aku sudah sangat hati-hati agar tidak terjebak dalam rencannaya, bisa jadi Mas Eko diam-diam sudah melakukan sesuatu. Segera aku keluarkan hp untuk memberi tahu Kak Arif dan Kak Rania lebih dulu jika Dinda masuk rumah sakit. Setelah itu, aku mencari di mesin pencarian tentang macam-macam racun.Ada sala
Entah apa yang di lakukan oleh Mas Eko, tapi dia baru datang tiga puluh menit kemudian bersama dengan semua keluarganya. Ada Bapak mertua, Ibu mertua, Yani dan Mbak Parti. Rupanya kakak iparku itu belum pulang ke rumah suaminya. Mas Eko tiba-tiba bertindak sebagai Ayah yang perhatian dengan memasang wajah khawatir.“Mana yang sakit sayang? Kepala kamu masih pusing?” Tanya Mas Eko dengan nada lembut pada Dinda. Tangan Mas Eko hendak menyentuh dahi Dinda. Tapi, putriku segera memalingkan wajah agar Mas Eko tidak menyentuh dahinya.“Kalau Ayah kamu nanya itu di jawab Din. Bukannya hanya diam saja.” Ujar Ibu mertua dengan wajah merengut kesal.“Sudahlah Bu. Mungkin Dinda masih nggak enak badan. Jangan di paksa.” Bela Mas Eko tegas. Hal yang tidak pernah di lakukannya selama ini.Sesekali Mas Eko akan melirik padaku. Mungkin untuk memeriksa ekspersi wajahku yang tetap datar. Mereka naif sekali. Bahkan jika aku tidak mendengar rencana Mas Eko saat itu, hatiku sudah terlalu hambar untuk mene
Pintu lift yang sudah terbuka membuatkau segera masuk sebelum Mbak Parti dan Yani selesai membayar makanan mereka di kasir kantin. Aku sama sekali tidak bisa tenang hingga lift tiba di lantai tujuan. Setelah pintu lift terbuka, aku berlari menyusuri lorong menuju ruang rawat Dinda. Begitu membuka pintu, aku hanya melihat keberadaan Pak Narto yang tengah membacakan Dinda buku cerita. Semua orang langsung menoleh padaku yang membuka pintu dengan keras. Tapi, aku sama sekali tidak melihat keberadaan Kak Rania.“Kak Rania dimana Pak?” Tanyaku cemas. Takut jika Kak Rania keluar dan berpapasan dengan Mbak Parti dan Yani di rumah sakit ini. Mereka pasti akan memberi tahu Mas Eko dan Ibu mertua. Hal itu bisa mengacaukan rencanaku dan Dinda untuk pergi dari kota ini dua hari lagi.“Mbak Rania lagi ke toilet Rin. Kenapa kamu panik seperti itu? Memang ada yang mengejar kamu?” Tanya Pak Narto dengan nada bercanda. Membuat Dinda tertawa bersama Pak Narto. Belum sempat aku menjawab, dari balik jend
Dasar tidak tahu malu. Kenapa juga Ibu mertua harus meminta oleh-oleh dari kedua kakakku. Pasti Mbak Parti atau Yani yang menyampaikan perkataan Pak Narto pada Ibu mertua. Mereka masih berusaha bersikap baik pada Kak Arif dan Kak Rania, tapi memperlakukan aku dengan sangat buruk sekali. Aku memilih tidak membaca pesan itu dan hanya melihat dari bagian slide atas hp. Malam itu, Kak Rania tidur di hotel dengan di antar oleh Pak Narto. Membuatku menjaga Dinda sendiri. Itu lebih baik karena tempat untuk berjaga tidak luas.Hari kedua Dinda di rawat, kondisinya jadi jauh lebih baik. Dokter mengatakan jika Dinda sudah hampir sembuh. Itu berarti besar kemungkinan jika Dinda bisa pulang besok. Hanya perlu melihat kondisi Dinda untuk dua puluh empat jam ke depan.Kak Rania datang bersama Kak Arif yang masih memakai pakaian kerjanya. Aku langsung menghambur dalam pelukan Kak Arif. Tidak mempedulikan tatapan orang lain pada kami. Toh mereka semua sudah tahu jika Kak Rania adalah kakak iparku. T