Share

Dua

Penulis: Ummatul Khoiroh
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-30 13:26:37

"Assalamu' alaikum," salam Dani ketika masuk ke dalam rumah ibunya.

"Wa' alaikum salam," sahut Bu Mayang seraya mengukir senyum lebar saat putra kesayangannya akhirnya datang. "Eh? Kamu kenapa, Dan?" tanyanya heran, saat Dani melewatinya begitu saja dan langsung duduk di sofa dengan wajah lesu.

"Capek aku sama Maria, Bu. Boros banget jadi istri. Katanya mau cepet punya rumah sendiri. Tapi, beli lauk yang mahal- mahal." Dani berdecak sebal. Dan tanpa sadar membuka masalah rumah tangganya dengan mengadukan sikap Maria yang menurutnya terlalu boros.

Bu Mayang menghela napas. Ia menghampiri Dani yang nampak emosi. "Tenangkan dirimu dulu, Dan. Ibu buatkan kopi biar kamu merasa lebih baik," tukasnya, lantas berjalan menuju dapur.

Beberapa saat kemudian, Bu Mayang keluar sambil membawa kopi yang asapnya masih mengepul. "Nih, Dan! Minum dulu. Terus cerita sama Ibu, apa yang Maria lakukan sampai sekesal itu. Emang dia beli apa?"

Dani meraih kopi buatan ibunya dan menyesapnya perlahan. "Ibu memang yang terbaik. Selalu saja paham apa yang aku rasakan," pujinya.

"Jadi begini, tadi pagi aku sempet debat sama Maria perkara lauk. Katanya Bilqis dapat nilai seratus di ujian matematika, dan minta dimasakin telur. Aku gak setuju, lagi pula menurutku itu pemborosan. Mending beli lauk tempe aja udah cukup. Lah tadi Maria malah ngirim pesan kalau uang yang aku kasih malah dibeliin telur sama ayamnya sekalian!" Emosi Dani kembali tersulut saat mengingat pesan dari istrinya.

Bu Mayang manggut- manggut. "Emang dasar istrimu itu ceroboh, Dan! Udah tau yang kerja cuma kamu saja. Dia mah enak cuma tinggal ongkang- ongkang kaki saja. Lain kali, coba ajak istrimu ke sini biar Ibu nasehatin. Istrimu itu memang dasarnya  boros. Kamu harus hati- hati. Jangan sampai lemah, Dan," tuturnya.

Dani mengangguk. "Iya, Bu. Kapan- kapan aku ajak Maria ke sini. Sudah lama juga Maria dan Bilqis tidak ke sini," ucapnya.

Bu Mayang mengangguk. "Oh, ya. Jadi, mana nih jatah buat Ibu, Dan? Tadi kamu bilang mau ngasih Ibu uang setara sama Risa?"

"Tenang saja. Risa mana? Biar aku transfer ke dia. Nanti biar dia ambilin ke Bank."

"Memang kamu gak punya uang cash, Dan? Kelamaan kalau nunggu ngambil di bank!" protes Bu Mayang. "Lagian Risa sekarang lagi main sama temen- temennya," sambungnya kemudian.

"Kalau sekarang aku cuma ada uang cash lima juta, Bu. Gimana?" Dani merogoh tas kerjanya dan mengambil uang yang ia bawa.

Bu Mayang mencebik. "Ya udah itu aja gak papa. Nanti sisanya kamu berikan kalau kamu ke sini lagi. Besok kalau bisa!" sahutnya seraya mengambil alih uang yang ada di tangan Dani.

"Iya, Bu. Tenang saja. Lagi pula, kebahagiaan Ibu adalah duniaku. Aku tidak akan berada di posisi ini kalau bukan karena doa dari Ibu juga," kata Dani yang membuat Bu Mayang kian besar kepala.

"Woyaiya dong! Doa seorang Ibu sudah dipastikan menembus langit. Makanya kamu harus selalu mendahulukan kepentingan Ibu dari pada istrimu. Paham!"

"Iya, Bu, iya. Aku paham. Ibu masak apa? Aku lapar, Bu."

"Oalah kasihan anak Ibu. Ibu masak ayam goreng sama sambel teri. Ada sayur bayam jagung juga. Sudah, kamu makan sana! Kenyangin kalau makan, biar di rumahmu nanti gak usah makan lagi."

Dani mengangguk. "Iya, Bu. Ibu emang yang paling hebat!"

Bu Mayang tersenyum senang mendengarnya.

***

Maria tersenyum senang melihat hidangan di meja makan. Hasil masakannya itu nampak menggugah selera. Makanan yang langka menurutnya, kini sudah terhidang cantik di meja makan. Ayam goreng, telur dadar, sambal tomat, dan sayur bayam.

"Bilqis dan Mas Dani pasti senang karena sore ini menu masakannya sangat istimewa," tukasnya seraya bertepuk tangan sebagai tanda bahagia.

"Ma, masakannya udah mateng belum?"

"Eh, Sayang. Sudah dong! Ayo, kita makan!" Maria mengusap kepala Bilqis dengan lembut. Ia mengambilkan nasi, sepotong ayam, telur dadar, beserta sayur bayam ke piring dan meletakkannya di hadapan Bilqis.

"Makanlah, Nak ... ini hadiah untuk kamu karena sudah mendapat nilai seratus. Ibu harap kamu bisa medapat juara satu saat kenaikan kelas nanti," kata Maria.

"Doakan aku, Ma. Aku pasti bisa dapat juara satu nanti!" Bilqis menjawab penuh semangat dengan mulut penuh makanan.

"Kalau makan gak boleh sambil ngomong, Nak! Gak sopan, itu makannya muncrat ke mana- mana," tutur Maria.

Bilqis nyengir. "Maaf, Ma ...."

"Assalamu' alaikum!" Suara Dani terdengar. Maria pun gegas menghampiri menyambut kepulangan sang suami.

"Wa' alaikum salam, Mas." Maria meraih tangan dan menciumnya penuh takdzim.

"Apa uang yang aku kasih tadi sudah habis?" todong Dani dengan tatapan menyelidik.

Senyum di bibir Maria seketika langsung lenyap. "Maaf, Mas. Uangnya sisa dua puluh ribu tadi. Aku belikan minyak goreng sama sayur bayam," jelasnya.

Dani berdecak. Ia melempar tas kerjanya hingga membuat Maria berjingkat kaget.

"Bukankah aku sudah bilang sama kamu, jangan beli telur! Beli saja tempe dan variasikan! Eh, kamunya malah beli sama ayamnya juga! Jangan boros- boros jadi istri kamu, Mar!"

"Ya Allah, Mas. Seboros apa aku di matamu? Selama menikah, aku gak pernah kamu berikan nafkah yang layak! Hari ini aku baru beli ayam dan telur saja kamu sudah semarah itu. Padahal, makanan itu untuk Bilqis ... anak kamu, Mas! Kenapa kamu bisa sepelit itu sama darah dagingmu sendiri? Kalau bukan karena doaku dan doa anakmu. Kamu gak bakalan bisa seperti ini, Mas!" Kedua mata Maria memanas, air matanya mulai menggenang di pelupuk mata.

"Halah! Kamu ngungkit- ngungkit nafkah sama aku? Untung- untungan kamu masih aku kasih, Mar! Lagian, aku sukses bukan karena doamu, tapi karena doa ibuku! Doamu itu gak ada apa- apanya. Jadi, jangan sok- sokan merasa berjasa karena sudah mendoakan aku!"

Air mata Maria pun akhirnya luruh juga. Ucapan Dani benar- benar sudah membuatnya merasa tak berharga sebagai seorang istri.

"Jadi, menurutmu aku ini apa, Mas? Apa selama ini kamu tidak menganggapku sebagai istrimu?"

Dani membuang napas kasar. "Maafkan aku, Maria. Aku gak bermaksud kasar. Tapi, aku cuma ingin kamu itu berhemat. Apa salahnya? Lagian, kamu kan pengangguran. Jadi tolong, jangan buat aku pusing," tukasnya.

Maria tersenyum. "Jadi, karena aku pengangguran kamu meremehkan aku? Karena menurutmu aku benalu, jadi kamu sepelit itu?" sahutnya. "Kalau begitu, izinkan aku bekerja, Mas! Biar aku bisa menafkahi Bilqis dengan layak!"

"Apa? Tidak! Bisa- bisanya kamu malah meminta izin untuk kerja! Apa kata orang- orang nanti?! Masa istri manager kerja? Gak, aku gak izinin!"

"Kalau gitu berikan aku nafkah yang layak, Mas! Kamu pikir uang lima puluh ribu itu cukup? Enggak sama sekali!" pekik Maria, yang mulai berani melawan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nafkah Yang Salah   Calon Istri

    Di belakang Maria ada wanita paruh baya dan pria yang sangat dikenal Dani. Arfan. Sebenarnya ada hubungan apa antara Maria dan Arfan? Melihat Maria malam ini, entah mengapa ada rasa tak terima jika melihat Maria bersama pria lain."Dia mantan istrimu, kan? Waw, dia terlihat sangat berbeda malam ini," celetuk Erlin.Dani bergeming. Ia masih terpaku dengan penampilan Maria yang jauh berbeda dari biasanya. Wajah yang terbiasa polos dan berminyak, kini tampak segar dan cantik karena polesan make up. Baju yang biasanya lusuh, kini tampak bagus dan anggun. Begitu pula dengan Bilqis. Ah, Bilqis sangat mirip dengannya. Apa iya Bilqis bukan darah dagingnya? Mendadak hatinya gundah."Mas?" Erlin melambaikan tangan di depan wajah Dani. "Kamu merhatiin Maria dari tadi?" semprotnya tak terima."Enggak. Aku cuma lagi nahan kebelet, Lin. Aku tinggal ke kamar mandi sebentar, ya.""Hem, ya pergilah!" ***"Maria, kamu boleh makan apa saja yang kamu suka. Bilqis juga. Kamu makan apa saja yang kamu mau,

  • Nafkah Yang Salah   Ragu

    "Ya ampun, kenapa dengan wajahmu? Kenapa babak belur begitu, Daniii?" Bu Mayang histeris melihat wajah anaknya terdapat luka lebam di beberapa titik.Dani melengos saat ibunya hendak menyentuhnya. Ia duduk di sofa dan membuang napas kasar. Hari ini ia dilanda sial bertubi- tubi. Dan hatinya mulai terusik dengan ucapan Arfan tentang Maria dan Bilqis. "Bu?""Eh, iya?" Bu Mayang yang masih syok lantas duduk di samping Dani."Tadi, Yusuf datang dan menghajarku di kantor. Dia sudah tau kalau aku menceraikan Maria."Bu Mayang melotot. "Oh, jadi yang memukulimu kakaknya Maria? Berani sekali dia. Dia pasti gak terima kan kalau adiknya dicerai? Dia pasti bingung sekarang adiknya mau hidup dengan cara apa. Toh, kamu udah gak kasih nafkah sama mereka," cibirnya."Iya. Tapi, aku ragu kalau Maria jual diri, Bu. Aku ragu sekali."Bu Mayang mendengkus. "Jangan termakan ucapan Yusuf. Dia tak akan terima adiknya dihina meski faktanya begitu. Ibu pastikan kalau Yusuf nanti akan dapat balasan karena su

  • Nafkah Yang Salah   Penurunan Pangkat

    "Revan Bagaskoro, Ferry Danco, dan Dani Aulia Akbar!"Dada Dani mendadak sesak mendengar namanya disebut."Untuk ketiga nama yang barusan saya sebut, segera temui personalia unruk menanyakan jabatan baru dan alasan pemindahan kalian. Terima kasih!Semua orang bertepuk tangan. Tak ada yang protes karena tahu bahwa selama dua bulan terakhir, ketiga nama itu memang bekerjanya kurang baik dan banyak kesalahan sehingga membuat perusahaan rugi.***"Apa? Saya jadi karyawan biasa? Apa salah saya? Padahal saya tidak membuat kesalahan besar. Saya juga cuma sekali saja membuat laporan salah!"Dani mencoba bernegosiasi. Bagaimana mungkin. Dirinya yang seorang manager tiba- tiba jadi karyawan biasa? Apa kata orang- orang nanti? Ditambah lagi satu bulan lagi ia akan melangsungkan pernikahan dengan Erlin."Ini perusahaan Atmaja, Pak Dani. Pimpinan tidak menolerir kesalahan besar meski cuma sekali. Anda adalah manager. Seharusnya Anda bisa lebih cerdas dalam mengerjakan sesuatu," tutur Pak Radit.Da

  • Nafkah Yang Salah   Syok

    Dani mengusap wajahnya. Kepalanya terasa berdenyut saking kagetnya ia saat tidur dibangunkan secara paksa. "Iya. Ayo!" Dengan malas, Dani berjalan menuju aula sambil membawa laporan yang baru saja selesai ia buat."Pak, maaf, saya terlambat memberikannya pada Anda," ucap Dani pada Bima yang sudah duduk di kursinya.Bima berdeham, menatap Dani tajam. "Duduk di tempatmu! Sebentar lagi Pak Arfan akan datang!" titahnya."Baik, Pak." Dani menatap semua dewan direksi. Mereka semua tampak gugup. Apa ada hal besar yang akan terjadi sampai mereka bersikap seperti itu Bukankah rapat ini hanya rapat biasa di mana pemilik asli perusahaan Atmaja akan muncul untuk pertama kalinya? pikirnya."Do, kenapa semua terlihat tegang, ya? Aku heran." Dani berbisik pada Edo yang duduk di sisi kanannya. Ia bicara tanpa menoleh pada Edo agar tak menampilkan rasa curiga pada Bima yang tampak mengawasi."Bakalan ada pemindahan jabatan."Dani terkejut. "Kenapa mendadak?" sahutnya, hampir saja suaranya meninggi."

  • Nafkah Yang Salah   Tidak Fokus

    "Kamu kenapa, Dani?"Dani berpapasan dengan Edo. Teman dekatnya di kantor. Edo pula yang mengetahui segala sesuatu yang terjadi dalam hidup Dani. Termasuk perceraian Dani dengan Maria.Dani melengos. Hatinya masih dikuasai amarah karena tak terima dengan perlakuan Yusuf padanya."Kamu habis bertengkar, Dan?" Lagi, Edo melempar tanya pada Dani karena pria beralis tebal itu tak kunjung menjawab."Tak usah bertanya, Do! Pusing kepalaku! Mana kerjaan belum selesai!" Dani menjawab ketus. Edo berdecak. "Apa ada hubungannya sama Maria?" tebaknya.Dani menatap Edo dengan sinis. "Oke, oke. Aku tak akan lagi bertanya. Tanpa kau jawab pun aku sudah tahu," cetus Edo. "Oh, ya. Aku mau ngasih kamu kabar kalau hari ini pemilik perusahaan ini akan datang. Kita disuruh bersiap. Apalagi momen ini adalah kejadian langka," paparnya."Pemilik perusahaan? Bukankah pemilik perusahaan ini adalah Pak Subandi?" Dani mengangkat satu alisnya.Edo tergelak. "Banyak yang terkecoh. Pak Subandi itu cuma orang kepe

  • Nafkah Yang Salah   Mas Yusuf

    Yusuf bergeming. Ia bisa merasakan penyesalan yang mendalam di hati Ayahnya. Tangannya terkepal kuat, menahan emosi yang menggelegak dalam dada. "Ayah jangan menangis lagi. Ini sudah menjadi takdir Maria. Ayah juga tak salah. Yang salah adalah Dani karena dia sudah melanggar janji- janjinya pada kita." Yusuf merangkul pundak ayahnya. "Aku akan membuat perhitungan pada Dani besok!" tegasnya.Pak Yudi hanya diam. Ia tak bisa melarang Yusuf. Sebab, kehormatan mereka terletak pada Maria.***Maria kaget saat melihat kakaknya tiba- tiba tidur di sofanya. 'Kapan Mas Yusuf datang? Kenapa aku tidak tahu? Apa Ayah tahu?' batinnya."Mas? Mas Yusuf!" Maria menggoyangkan tubuh Yusuf."Hem, sudah pagi ternyata," racau Yusuf sembari mengumpulkan jiwanya usai bangun tidur. Ia lantas duduk dan menatap adiknya yang nampak sudah rapi."Mas Yusuf kapan datang? Kenapa tidak membangunkanku?""Tadi malam. Kenapa aku harus membangunkanmu? Aku tidak mau mengganggu tidurmu. Aku tau, hanya dalam tidur kamu bi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status