"Assalamu' alaikum," salam Dani ketika masuk ke dalam rumah ibunya.
"Wa' alaikum salam," sahut Bu Mayang seraya mengukir senyum lebar saat putra kesayangannya akhirnya datang. "Eh? Kamu kenapa, Dan?" tanyanya heran, saat Dani melewatinya begitu saja dan langsung duduk di sofa dengan wajah lesu. "Capek aku sama Maria, Bu. Boros banget jadi istri. Katanya mau cepet punya rumah sendiri. Tapi, beli lauk yang mahal- mahal." Dani berdecak sebal. Dan tanpa sadar membuka masalah rumah tangganya dengan mengadukan sikap Maria yang menurutnya terlalu boros. Bu Mayang menghela napas. Ia menghampiri Dani yang nampak emosi. "Tenangkan dirimu dulu, Dan. Ibu buatkan kopi biar kamu merasa lebih baik," tukasnya, lantas berjalan menuju dapur. Beberapa saat kemudian, Bu Mayang keluar sambil membawa kopi yang asapnya masih mengepul. "Nih, Dan! Minum dulu. Terus cerita sama Ibu, apa yang Maria lakukan sampai sekesal itu. Emang dia beli apa?" Dani meraih kopi buatan ibunya dan menyesapnya perlahan. "Ibu memang yang terbaik. Selalu saja paham apa yang aku rasakan," pujinya. "Jadi begini, tadi pagi aku sempet debat sama Maria perkara lauk. Katanya Bilqis dapat nilai seratus di ujian matematika, dan minta dimasakin telur. Aku gak setuju, lagi pula menurutku itu pemborosan. Mending beli lauk tempe aja udah cukup. Lah tadi Maria malah ngirim pesan kalau uang yang aku kasih malah dibeliin telur sama ayamnya sekalian!" Emosi Dani kembali tersulut saat mengingat pesan dari istrinya. Bu Mayang manggut- manggut. "Emang dasar istrimu itu ceroboh, Dan! Udah tau yang kerja cuma kamu saja. Dia mah enak cuma tinggal ongkang- ongkang kaki saja. Lain kali, coba ajak istrimu ke sini biar Ibu nasehatin. Istrimu itu memang dasarnya boros. Kamu harus hati- hati. Jangan sampai lemah, Dan," tuturnya. Dani mengangguk. "Iya, Bu. Kapan- kapan aku ajak Maria ke sini. Sudah lama juga Maria dan Bilqis tidak ke sini," ucapnya. Bu Mayang mengangguk. "Oh, ya. Jadi, mana nih jatah buat Ibu, Dan? Tadi kamu bilang mau ngasih Ibu uang setara sama Risa?" "Tenang saja. Risa mana? Biar aku transfer ke dia. Nanti biar dia ambilin ke Bank." "Memang kamu gak punya uang cash, Dan? Kelamaan kalau nunggu ngambil di bank!" protes Bu Mayang. "Lagian Risa sekarang lagi main sama temen- temennya," sambungnya kemudian. "Kalau sekarang aku cuma ada uang cash lima juta, Bu. Gimana?" Dani merogoh tas kerjanya dan mengambil uang yang ia bawa. Bu Mayang mencebik. "Ya udah itu aja gak papa. Nanti sisanya kamu berikan kalau kamu ke sini lagi. Besok kalau bisa!" sahutnya seraya mengambil alih uang yang ada di tangan Dani. "Iya, Bu. Tenang saja. Lagi pula, kebahagiaan Ibu adalah duniaku. Aku tidak akan berada di posisi ini kalau bukan karena doa dari Ibu juga," kata Dani yang membuat Bu Mayang kian besar kepala. "Woyaiya dong! Doa seorang Ibu sudah dipastikan menembus langit. Makanya kamu harus selalu mendahulukan kepentingan Ibu dari pada istrimu. Paham!" "Iya, Bu, iya. Aku paham. Ibu masak apa? Aku lapar, Bu." "Oalah kasihan anak Ibu. Ibu masak ayam goreng sama sambel teri. Ada sayur bayam jagung juga. Sudah, kamu makan sana! Kenyangin kalau makan, biar di rumahmu nanti gak usah makan lagi." Dani mengangguk. "Iya, Bu. Ibu emang yang paling hebat!" Bu Mayang tersenyum senang mendengarnya. *** Maria tersenyum senang melihat hidangan di meja makan. Hasil masakannya itu nampak menggugah selera. Makanan yang langka menurutnya, kini sudah terhidang cantik di meja makan. Ayam goreng, telur dadar, sambal tomat, dan sayur bayam. "Bilqis dan Mas Dani pasti senang karena sore ini menu masakannya sangat istimewa," tukasnya seraya bertepuk tangan sebagai tanda bahagia. "Ma, masakannya udah mateng belum?" "Eh, Sayang. Sudah dong! Ayo, kita makan!" Maria mengusap kepala Bilqis dengan lembut. Ia mengambilkan nasi, sepotong ayam, telur dadar, beserta sayur bayam ke piring dan meletakkannya di hadapan Bilqis. "Makanlah, Nak ... ini hadiah untuk kamu karena sudah mendapat nilai seratus. Ibu harap kamu bisa medapat juara satu saat kenaikan kelas nanti," kata Maria. "Doakan aku, Ma. Aku pasti bisa dapat juara satu nanti!" Bilqis menjawab penuh semangat dengan mulut penuh makanan. "Kalau makan gak boleh sambil ngomong, Nak! Gak sopan, itu makannya muncrat ke mana- mana," tutur Maria. Bilqis nyengir. "Maaf, Ma ...." "Assalamu' alaikum!" Suara Dani terdengar. Maria pun gegas menghampiri menyambut kepulangan sang suami. "Wa' alaikum salam, Mas." Maria meraih tangan dan menciumnya penuh takdzim. "Apa uang yang aku kasih tadi sudah habis?" todong Dani dengan tatapan menyelidik. Senyum di bibir Maria seketika langsung lenyap. "Maaf, Mas. Uangnya sisa dua puluh ribu tadi. Aku belikan minyak goreng sama sayur bayam," jelasnya. Dani berdecak. Ia melempar tas kerjanya hingga membuat Maria berjingkat kaget. "Bukankah aku sudah bilang sama kamu, jangan beli telur! Beli saja tempe dan variasikan! Eh, kamunya malah beli sama ayamnya juga! Jangan boros- boros jadi istri kamu, Mar!" "Ya Allah, Mas. Seboros apa aku di matamu? Selama menikah, aku gak pernah kamu berikan nafkah yang layak! Hari ini aku baru beli ayam dan telur saja kamu sudah semarah itu. Padahal, makanan itu untuk Bilqis ... anak kamu, Mas! Kenapa kamu bisa sepelit itu sama darah dagingmu sendiri? Kalau bukan karena doaku dan doa anakmu. Kamu gak bakalan bisa seperti ini, Mas!" Kedua mata Maria memanas, air matanya mulai menggenang di pelupuk mata. "Halah! Kamu ngungkit- ngungkit nafkah sama aku? Untung- untungan kamu masih aku kasih, Mar! Lagian, aku sukses bukan karena doamu, tapi karena doa ibuku! Doamu itu gak ada apa- apanya. Jadi, jangan sok- sokan merasa berjasa karena sudah mendoakan aku!" Air mata Maria pun akhirnya luruh juga. Ucapan Dani benar- benar sudah membuatnya merasa tak berharga sebagai seorang istri. "Jadi, menurutmu aku ini apa, Mas? Apa selama ini kamu tidak menganggapku sebagai istrimu?" Dani membuang napas kasar. "Maafkan aku, Maria. Aku gak bermaksud kasar. Tapi, aku cuma ingin kamu itu berhemat. Apa salahnya? Lagian, kamu kan pengangguran. Jadi tolong, jangan buat aku pusing," tukasnya. Maria tersenyum. "Jadi, karena aku pengangguran kamu meremehkan aku? Karena menurutmu aku benalu, jadi kamu sepelit itu?" sahutnya. "Kalau begitu, izinkan aku bekerja, Mas! Biar aku bisa menafkahi Bilqis dengan layak!" "Apa? Tidak! Bisa- bisanya kamu malah meminta izin untuk kerja! Apa kata orang- orang nanti?! Masa istri manager kerja? Gak, aku gak izinin!" "Kalau gitu berikan aku nafkah yang layak, Mas! Kamu pikir uang lima puluh ribu itu cukup? Enggak sama sekali!" pekik Maria, yang mulai berani melawan.Arfan bangga. Jika awalnya ia meremehkan Maria yang terpaksa ia nikahi, kini justru ia malah dibuat tergila- gila oleh Maria. Maria adalah wanita dengan paket lengkap. Cantik, cerdas, dan pekerja keras. Benar kata Ibunya dulu, bahwa Maria adalah sebuah keberuntungan. Hanya saja, lelaki yang bersamanya dulu, telah salah merawat keberuntungan itu."Oh, ya. Katanya kamu jadi narasumber di acara zoom nanti?"Maria mengangguk. "Iya, Mas. Aku boleh minta tolong?" tanyanya."Apa?""Itu ... tolong jagakan Bilqis sebentar saat dia ngerjain PR selama aku nge-zoom. Aku gak bisa nemenin dia malam ini. Gak papa, kan? Kasihan kalau Ibu yang jaga."Arfan berdecak. "Gak perlu disuruh juga, Sayang. Bilqis kan putriku juga."Maria tersenyum. "Makasih, Mas."Maria merasakan sedikit pusing usai Zoom berakhir. Ia pikir itu adalah efek kelelahan saja karena sejak sore tadi ia terus menulis karena saking bersemangatnya. ***Pagi harinya, Maria merasa perutnya bergejolak saat menyantap sarapan. Kepalanya te
Tiga bulan telah berlalu ...Uang pesangon yang diberikan Arfan waktu itu ternyata jumlahnya lebih dari ketentuan. Dani memutuskan untuk membuka toko kelontong menggunakan uang tersebut. Sebab, mau bekerja di kantor lagi pun tak mungkin karena namanya telah jelek. Selain itu, ia juga tetap bisa berkumpul dengan Ibu dan adiknya. Setidaknya, toko yang dimilikinya saat ini membuatnya bisa mandiri."Mas, tadi Bu Yeyen minta dikirimin air galon sekalian sama beras satu sak waktu Mas kulakan," ujar Risa.Dani mengangguk. "Iya. Bentar lagi Mas anterin. Wildan mana, Ris?""Itu lagi main sama Ibu, Mas." Risa duduk di samping Kakaknya. "Ibu sekarang terlihat lebih bahagia, Mas. Semenjak meminta maaf sama Mbak Maria," katanya.Dani termangu mendengar ucapan Risa. Lantas, ia menghela napas berat. "Sebab, beban Ibu sudah berkurang, Ris. Selama ini Ibu menanggung beban berat, yaitu penyesalan yang teramat dalam pada Maria. Dan setelah meminta maaf dengan tulus, beban itu akhirnya terlepas.""Mbak M
Maria merasa kedua matanya memanas. Ia dapat merasakan ketulusan dari perempuan yang pernah ia panggil Ibu. Perempuan yang telah melahirkan ayah dari anaknya. Memang benar, bahwa kata maaflah yang selama ini ingin Maria dengar. Kata maaf yang tulus itu mampu dengan mudah melenyapkan rasa marah dalam hatinya."Bu, tenanglah ... Mas Dani tidak akan lama kok di penjara. Dia akan segera bebas," kata Maria."Be- benarkah?" Bu Mayang menatap Maria, ragu tapi binar matanya tampak bahagia.Maria mengangguk. Ia melepas genggaman tangan Bu Mayang dan beralih ia yang menggenggam tangan mantan mertuanya itu."Mas Arfan akan membebaskan Mas Dani hari ini. Mas Arfan hanya ingin membuat Mas Dani jera dan memberi contoh pada karyawannya yang lain. Tapi, maaf ... Mas Arfan tak bisa lagi mempekerjakan Mas Dani, Bu." Bu Mayang tersenyum. "Tidak apa- apa, Maria. Itu sudah lebih dari cukup. Nanti Dani bisa mencari kerja yang lain. Terima kasih ... terima kasih. Dari dulu kamu tidak berubah. Hatimu masih
Ting!"MasyaAllah ...." Maria tersenyum lebar saat melihat nominal pendapatan yang ia dapatkan dari aplikasi menulis. Kedua matanya berkaca- kaca melihat tiga digit angka baru saja masuk ke rekeningnya."Ada apa, Sayang?" Arfan yang baru saja mandi heran melihat wajah istrinya yang tersenyum tapi air matanya mengalir.Maria menunduk. Ia masih belum terbiasa dengan panggilan Arfan padanya. Ah, entahlah ... sejak melakukan malam pertama yang telah tertunda beberapa lama, Arfan jadi semakin romantis. Kini, sisi lain pria itu mulai tampak. Pria itu semakin menunjukkan kepeduliannya. Bahkan terang- terangan Arfan menunjukkan kecemburuannya dengan melarang Maria berinteraksi dengan pembaca novelnya yang laki- laki."Itu ... alhamdulillah aku dapat rezeki, Mas. Kalau saja masuk ke rekening kemarin bisa sekalian aku kasih ke Ayah," kata Maria.Arfan memakai pakaian kerjanya. "Minggu depan kita bisa ke sana lagi. Masih banyak waktu, Sayang."Maria mengangguk. "Iya, Mas. Emm ... aku mau membeli
Dani membuang napas. Semua kesialan yang menimpa keluarganya terjadi semenjak ia bercerai dengan Maria. Ah, mengingat wanita itu Dani merasa nelangsa. Penyesalan demi penyesalan terus saja menghantuinya. Segala macam kata 'seandainya' terus terbesit dalam benaknya.Seandainya, ia menjadi suami dan ayah yang loyal, apakah semua ini akan terjadi?Seandainya, ia selalu memperhatikan keluh kesah Maria, memperhatikan penampilan Maria, apa ia akan kepincut pada Erlina?Seandainya, ia tak menuruti kata ibunya untuk menikahi Erlina, apa ia tak akan merasakan sesal kedua kalinya?Dani mendongak, agar air mata yang menggenang di pelupuk mata urung keluar. Rasanya malu, jika ia menangis di dalam penjara. Apalagi dalam satu sel itu ada tiga orang yang membersamainya."Bung, pijitin kaki gue!" Dani tersentak kaget saat tiba- tiba seorang lelaki berbadan gempal berdiri di hadapannya. Dan tanpa izin pria itu duduk dan menyelonjorkan kakinya di depan Dani. "Cepetan, kaki gue udah pegel!" titahnya l
Maria memejamkan mata. "Tenanglah, Ris. Aku akan menghubungimu lagi nanti."Maria memutuskan panggilan telepon saat Risa hendak kembali bersuara. Bukan ia merasa tak simpati. Akan tetapi, Maria tak ingin merusak suasana hangat yang saat ini membersamai keluarganya."Dari adiknya Dani, ya?" Pak Yudi bertanya.Maria menjawab dengan anggukan. "Kita makan saja dulu, Yah. Aku gak mau acara makan kita diganggu sama mereka," cetusnya.Usai makan, Maria membersihkan piring dan mencucinya, dibantu oleh Bilqis dan Arfan. Ketiga orang itu nampak sangat lucu di mata Pak Yudi.Pak Yudi yang mengira bahwa Arfan tak akan mencintai putrinya, ternyata salah. Kini, ia dapat melihat cinta yang tulus menyorot dari kedua bola mata Arfan untuk putrinya."Maria, kalau sudah selesai ayah mau bicara sama kalian berdua," kata Pak Yudi."Iya, Yah ...." Maria tersenyum pada sang Ayah."Sepertinya Ayah mau membicarakan soal ...." Maria melirik Bilqis yang berdiri di sampingnya sambil membawa piring kotor."Nak, k