Maria terkekeh pelan. Ia baru menyadari bahwa telah salah memilih seorang suami. Suami yang seharusnya mengayomi dan menjadi imam yang baik untuk keluarga, malah sebaliknya. Ke mana saja ia selama ini? Cinta dan bakti yang ia berikan dengan tulus, dibalas hanya dengan nafkah lima puluh ribu.
"Kamu egois sekali, Mas." Maria berucap lirih. Matanya nanar menatap Dani yang berdiri dengan pongahnya. "Kesuksesanmu sudah membuat hatimu buta," sambungnya. Dani berdecih. "Ngomong apa, sih, kamu. Sudah tidak usah banyak bicara. Siapkan air hangat untukku mandi!" titahnya. Lantas, ia berjalan masuk dan melihat Bilqis sedang makan dengan lahap. "Ayah, ayo makan barengan sama aku! Mama masak enak loh, Yah!" seru Bilqis dengan mulut penuh. Wajahnya nampak sangat ceria. Dani tersenyum membalas ucapan putrinya. Ia lantas menghampiri Bilqis dan duduk di samping bocah berusia tujuh tahun itu. "Kamu suka makan ayam, Nak?" tanyanya. "Suka. Enak ternyata. Selama ini aku kan cuma makan tempe, Yah." "Makan ayam banyak- banyak itu gak sehat, Bil. Nanti kamu bakalan cepet pegel- pegel badannya." Kunyahan di mulut Bilqis seketika terhenti. Ia menatap paha ayam goreng yang tinggal separuh dengan hati gamang. Hatinya mendadak ragu dan diliputi kesedihan. "Masa gitu, Yah?" tanyanya dengan mata berkaca- kaca. "Iya. Makanya, jangan makan ayam. Mending makan tempe aja lebih sehat!" "Mas!" Maria yang mendengar bujukan suaminya kepada Bilqis seketika tersulut emosi. "Tega kamu, Mas bilang kaya gitu sama Bilqis!" bentaknya. Perempuan berdaster lusuh itu menatap putrinya dengan sedih. "Bilqis, habiskan ayamnya, ya. Mama sudah masakin khusus buat kamu, Nak. Ayam itu sehat, kok. Kan Bilqis makannya gak tiap hari," ucapnya. Ia membantu menyuapi Bilqis tanpa memedulikan Dani yang terpaku. "Tapi, kata Ayah ...." "Ayah bohong. Ayah bilang gitu soalnya takut gak kebagian ayamnya." Maria terkekeh saat senyum di bibir Bilqis kembali terbit. Dani yang merasa kesal akhirnya memilih meninggalkan meja makan. Ia masuk ke dalam kamar dan membating pintu hingga membuat Maria dan Bilqis terlonjak kaget. "Astaghfirullah," gumam Maria sambil mengusap dadanya. "Ayah marah, ya, Ma?" Maria menggeleng. "Ayah lagi capek, Nak. Kerjaannya lagi banyak," kilahnya. "Bilqis makan lagi, ya. Mama suapin," katanya dan dibalas anggukan oleh Bilqis. *** Maria mematung di depan pintu kamarnya saat mendengar suara suaminya sedang menelpon seseorang. Tangannya yang hendak memutar handel pintu terhenti di udara. Niat hati ingin istirahat usai salat Isya harus ia tunda karena obrolan suaminya membuatnya terpancing ingin menguping. Maria yang penasaran memilih menempelkan telinganya di daun pintu. Dapat ia dengar bahwa suaminya baru saja menransfer sejumlah uang ke rekeni g adiknya. "Gunakan uang itu sebaik mungkin, Ris. Uang lima belas juta itu tidak sedikit walaupun bisa Kakak dapatkan dengan mudah." "Jangan lupa juga berikan uang yang Kakak tansfer setelahnya kepada Ibu. Itu jatah untuk Ibu dariku. Jangan diembat!" "Ya pokoknya kalian doakan saja Kakak terus. Doa kalianlah yang membuat Kakak bisa sesukses sekarang." Ceklek! Dani sontak saja menurunkan ponsel yang ia tempelkan di telinga saat pintu kamarnya mendadak dibuka oleh Maria. "Risa, sudah dulu. Kakak mau istirahat. Kamu juga harus segera istirahat, Ris. Besok kamu harus kuliah pagi," pesan Dani. Setelahnya ia mengucap salam dan menutup teleponnya. "Habis ngobrol sama Risa, Mas?" Maria berbasa- basi pada Dani yang sedang duduk sambil bersandar di kepala ranjang. Sementara ia memilih duduk di tepi ranjang, menatap suaminya yang bermain ponsel. "Iya. Ibu dan adikku membutuhkan dana buat kebutuhan mereka," jawab Dani dengan entengnya. "Oh, berapa?" "Lima belas juta. Begitu pula dengan Ibu,." "Apaaa?! Jadi, kamu barusan ngeluarin uang tiga puluh juta untuk adik dan ibumu, Mas?" Maria mendelik. Kaget saat mendengar fakta tersebut. "Iya. Aku kan gak bisa nolak, Mar. Membuat mereka bahagia itu adalah kewajibanku." Bahu Maria melorot. "Lalu, apa kebahagiaanku dan kebahagiaan Bilqis bukan kewajibanmu, Mas? Begitu loyalnya kamu sama Ibu dan Adikmu. Tapi, pada istri dan anakmu, kamu sangat kikir! Kalau begitu seharusnya kamu bisa tau siapa yang sebenarnya boros, Mas!" "Maria!" bentak Dani. "Sudah berani melawan kamu sekarang, hah?!" Maria terdiam. Namun, tangannya mengepal kuat, pertanda bahwa dirinya tengah menahan emosi yang meletup- letup di dadanya. "Ibu adalah wanita yang sudah melahirkan aku, suamimu. Dan adikku, sudah menjadi tanggung jawabku. Aku sudah berjanju pada mendiang ayahku untuk membahagiakan mereka, Mar." "Lalu, bagaimana dengan janjimu pada orang tuaku, Mas?" Maria menjawab lirih. Kedua matanya mulai mengembun. "Bukankah kamu berjanji untuk membahagiakan aku? Tapi, sayangnya kamu tidak menepatinya," sambungnya. "Bukankah kamu sudah bahagia? Kamu hidup bersamaku. Kamu tidak perlu mikirin kerja, gak perlu mikirin bayar tagihan bulanan. Cuma tinggal ngurus rumah sama Bilqis doang. Di mana salahnya?" "Jadi, menurutmu kebahagiaanku hanya sebatas itu, Mas?" Maria mengangguk. "Baiklah, semoga saja kamu masih bisa bertahan di posisimu sekarang ini," lirihnya. "Ah, sudahlah! Kamu ini selalu berlebihan kalau ngomong. Aku pasti akan bertahan di posisiku, Mar. Tak usah cemas! Bahkan, berkat doa Ibu aku yakin kalau bulan ini aku bakalan dapat bonus gede dari Bos." Dani merebahkan tubuhnya. "Besok, aku akan ngajak kamu dan Bilqis ke rumah Ibu. Jadi bersiaplah!" ucapnya sebelum tidur. Maria menyeka air matanya saat melihat Dani tidur menghadap tembok. "Doa Ibumu memang bisa menembus langit, Mas. Tapi, Allah akan menghalangi doa Ibumu itu jika kamu masih dzolim pada istri dan anakmu," batinnya.Di belakang Maria ada wanita paruh baya dan pria yang sangat dikenal Dani. Arfan. Sebenarnya ada hubungan apa antara Maria dan Arfan? Melihat Maria malam ini, entah mengapa ada rasa tak terima jika melihat Maria bersama pria lain."Dia mantan istrimu, kan? Waw, dia terlihat sangat berbeda malam ini," celetuk Erlin.Dani bergeming. Ia masih terpaku dengan penampilan Maria yang jauh berbeda dari biasanya. Wajah yang terbiasa polos dan berminyak, kini tampak segar dan cantik karena polesan make up. Baju yang biasanya lusuh, kini tampak bagus dan anggun. Begitu pula dengan Bilqis. Ah, Bilqis sangat mirip dengannya. Apa iya Bilqis bukan darah dagingnya? Mendadak hatinya gundah."Mas?" Erlin melambaikan tangan di depan wajah Dani. "Kamu merhatiin Maria dari tadi?" semprotnya tak terima."Enggak. Aku cuma lagi nahan kebelet, Lin. Aku tinggal ke kamar mandi sebentar, ya.""Hem, ya pergilah!" ***"Maria, kamu boleh makan apa saja yang kamu suka. Bilqis juga. Kamu makan apa saja yang kamu mau,
"Ya ampun, kenapa dengan wajahmu? Kenapa babak belur begitu, Daniii?" Bu Mayang histeris melihat wajah anaknya terdapat luka lebam di beberapa titik.Dani melengos saat ibunya hendak menyentuhnya. Ia duduk di sofa dan membuang napas kasar. Hari ini ia dilanda sial bertubi- tubi. Dan hatinya mulai terusik dengan ucapan Arfan tentang Maria dan Bilqis. "Bu?""Eh, iya?" Bu Mayang yang masih syok lantas duduk di samping Dani."Tadi, Yusuf datang dan menghajarku di kantor. Dia sudah tau kalau aku menceraikan Maria."Bu Mayang melotot. "Oh, jadi yang memukulimu kakaknya Maria? Berani sekali dia. Dia pasti gak terima kan kalau adiknya dicerai? Dia pasti bingung sekarang adiknya mau hidup dengan cara apa. Toh, kamu udah gak kasih nafkah sama mereka," cibirnya."Iya. Tapi, aku ragu kalau Maria jual diri, Bu. Aku ragu sekali."Bu Mayang mendengkus. "Jangan termakan ucapan Yusuf. Dia tak akan terima adiknya dihina meski faktanya begitu. Ibu pastikan kalau Yusuf nanti akan dapat balasan karena su
"Revan Bagaskoro, Ferry Danco, dan Dani Aulia Akbar!"Dada Dani mendadak sesak mendengar namanya disebut."Untuk ketiga nama yang barusan saya sebut, segera temui personalia unruk menanyakan jabatan baru dan alasan pemindahan kalian. Terima kasih!Semua orang bertepuk tangan. Tak ada yang protes karena tahu bahwa selama dua bulan terakhir, ketiga nama itu memang bekerjanya kurang baik dan banyak kesalahan sehingga membuat perusahaan rugi.***"Apa? Saya jadi karyawan biasa? Apa salah saya? Padahal saya tidak membuat kesalahan besar. Saya juga cuma sekali saja membuat laporan salah!"Dani mencoba bernegosiasi. Bagaimana mungkin. Dirinya yang seorang manager tiba- tiba jadi karyawan biasa? Apa kata orang- orang nanti? Ditambah lagi satu bulan lagi ia akan melangsungkan pernikahan dengan Erlin."Ini perusahaan Atmaja, Pak Dani. Pimpinan tidak menolerir kesalahan besar meski cuma sekali. Anda adalah manager. Seharusnya Anda bisa lebih cerdas dalam mengerjakan sesuatu," tutur Pak Radit.Da
Dani mengusap wajahnya. Kepalanya terasa berdenyut saking kagetnya ia saat tidur dibangunkan secara paksa. "Iya. Ayo!" Dengan malas, Dani berjalan menuju aula sambil membawa laporan yang baru saja selesai ia buat."Pak, maaf, saya terlambat memberikannya pada Anda," ucap Dani pada Bima yang sudah duduk di kursinya.Bima berdeham, menatap Dani tajam. "Duduk di tempatmu! Sebentar lagi Pak Arfan akan datang!" titahnya."Baik, Pak." Dani menatap semua dewan direksi. Mereka semua tampak gugup. Apa ada hal besar yang akan terjadi sampai mereka bersikap seperti itu Bukankah rapat ini hanya rapat biasa di mana pemilik asli perusahaan Atmaja akan muncul untuk pertama kalinya? pikirnya."Do, kenapa semua terlihat tegang, ya? Aku heran." Dani berbisik pada Edo yang duduk di sisi kanannya. Ia bicara tanpa menoleh pada Edo agar tak menampilkan rasa curiga pada Bima yang tampak mengawasi."Bakalan ada pemindahan jabatan."Dani terkejut. "Kenapa mendadak?" sahutnya, hampir saja suaranya meninggi."
"Kamu kenapa, Dani?"Dani berpapasan dengan Edo. Teman dekatnya di kantor. Edo pula yang mengetahui segala sesuatu yang terjadi dalam hidup Dani. Termasuk perceraian Dani dengan Maria.Dani melengos. Hatinya masih dikuasai amarah karena tak terima dengan perlakuan Yusuf padanya."Kamu habis bertengkar, Dan?" Lagi, Edo melempar tanya pada Dani karena pria beralis tebal itu tak kunjung menjawab."Tak usah bertanya, Do! Pusing kepalaku! Mana kerjaan belum selesai!" Dani menjawab ketus. Edo berdecak. "Apa ada hubungannya sama Maria?" tebaknya.Dani menatap Edo dengan sinis. "Oke, oke. Aku tak akan lagi bertanya. Tanpa kau jawab pun aku sudah tahu," cetus Edo. "Oh, ya. Aku mau ngasih kamu kabar kalau hari ini pemilik perusahaan ini akan datang. Kita disuruh bersiap. Apalagi momen ini adalah kejadian langka," paparnya."Pemilik perusahaan? Bukankah pemilik perusahaan ini adalah Pak Subandi?" Dani mengangkat satu alisnya.Edo tergelak. "Banyak yang terkecoh. Pak Subandi itu cuma orang kepe
Yusuf bergeming. Ia bisa merasakan penyesalan yang mendalam di hati Ayahnya. Tangannya terkepal kuat, menahan emosi yang menggelegak dalam dada. "Ayah jangan menangis lagi. Ini sudah menjadi takdir Maria. Ayah juga tak salah. Yang salah adalah Dani karena dia sudah melanggar janji- janjinya pada kita." Yusuf merangkul pundak ayahnya. "Aku akan membuat perhitungan pada Dani besok!" tegasnya.Pak Yudi hanya diam. Ia tak bisa melarang Yusuf. Sebab, kehormatan mereka terletak pada Maria.***Maria kaget saat melihat kakaknya tiba- tiba tidur di sofanya. 'Kapan Mas Yusuf datang? Kenapa aku tidak tahu? Apa Ayah tahu?' batinnya."Mas? Mas Yusuf!" Maria menggoyangkan tubuh Yusuf."Hem, sudah pagi ternyata," racau Yusuf sembari mengumpulkan jiwanya usai bangun tidur. Ia lantas duduk dan menatap adiknya yang nampak sudah rapi."Mas Yusuf kapan datang? Kenapa tidak membangunkanku?""Tadi malam. Kenapa aku harus membangunkanmu? Aku tidak mau mengganggu tidurmu. Aku tau, hanya dalam tidur kamu bi