Share

Nafkah Yang Salah
Nafkah Yang Salah
Author: Ummatul Khoiroh

Satu

last update Last Updated: 2025-04-30 13:26:05

"Mas, aku minta uang buat beli telur buat Bilqis. Kasihan Bilqis, Mas. Selalu saja cuma makan tempe sama tahu saja. Apalagi Bilqis kemarin dapat nilai seratus waktu ulangan matematika." 

Maria, perempuan sederhana dengan daster panjang yang warnanya sudah pudar itu berusaha meminta pada suaminya– Dani yang sedang bersiap untuk berangkat bekerja.

"Jangan pemborosan, Maria. Kamu tau sendiri kan kalau kita ini harus menabung biar bisa punya rumah sendiri? Kamu sendiri yang bilang mau punya rumah sendiri biar nggak ngontrak." Dani menoleh sekilas ke arah Maria, wanita yang sudah mendampinginya selama sembilan tahun lamanya.

Wanita bernama Maria itu menghela napas berat. "Mas, berapa, sih, harga telur? Gajimu gak akan habis kok kalau cuma beli lauk sederhana itu untuk anakmu! Lagian masa kamu tega ngebiarin Bilqis tiap hari makan sama tempe terus. Apa kamu gak pengen sesekali beliin dia lauk enak?" cecarnya pada sang suami.

Dani menatap Maria dengan pandangan tajam. "Tempe itu banya gizinya. Buktinya meski cuma makan tempe Bilqis jadi pintar dan berprestasi. Ya pintar- pintar kamu dong ngolahnya. Kalau kamu memang pintar masak kan bisa divariasikan. Jangan cuma tempe goreng saja biar Bilqis gak bosen," sahutnya.

"Ya Allah, Mas. Aku selalu mengolah tempe itu dengan berbagai macam variasi. Tapi, namanya tempe ya tetep aja tempe, Mas. Aku cuma pengen Bilqis seselali makan telur."

Maria tak meminta lebih. Ia baru saja meminta telur sudah diceramahi panjang lebar. Apalagi minta daging ayam atau daging sapi. Bisa- bisa ceramah tujuh hari tujuh malam tak kunjung usai.

"Enggak. Enggak usah! Makan tempe sama tahu saja. Jangan boros kalau memang pengen segera punya rumah!" Dani menjawab tegas. Pria itu lantas berdiri dan memberikan uang sebesar lima puluh ribu untuk Maria.

"Ini pegang! Itu cukup untuk membeli lauk selama seminggu. Tempe kan harganya cuma dua ribu. Tahu juga sama. Sedangkan beras masih ada, kan?"

Maria menatap selembar uang yang ada di tangannya dengan nanar. Hatinya nelangsa karena harus hidup dalam kesusahan. Padahal, suaminya mampu untuk menafkahi lebih dari pada itu. Seorang manager perusahaan hanya memberimya nafkah sebesar lima puluh ribu saja untuk lauk seminggu.

"Jangan sedih gitu. Bersyukurlah karena kita masih bisa makan. Di luaran sana, banyak orang yang harus panas- panasan banting tulang untuk bisa beli beras buat makan. Kamu cuma tinggal ongkang- ongkang kaki aja, kok, nggak bersyukur!"

Dani bicara panjang lebar sambil merapikan kerah kemeja yang ia pakai. Setelahnya, ia pun mengayunkan kaki, meninggalkan rumah tanpa memedulikan keluhan istrinya.

Maria duduk di kursi meja makan dengan lesu. Ia menatap meja makan yang hanya tersaji lauk tempe goreng yang sudah dingin, sambal terasi beserta sewakul kecil nasi putih. Apa benar kalau dirinya kurang bersyukur? Selama sembilan tahun menikah dengan Dani, ia tidak pernah memanjakan lidah dengan masakan yang enak. Ia juga tak pernah diajak berlibur. Hanya kasur, dapur, dan sumur yang menjadi makanannya sehari- hari.

"Apa aku salah jika hanya meminta tambahan uang belanja sedikit saja?" ucapnya lirih.

Ia sudah lelah. Seringkali, terbesit dalam benaknya untuk bekerja. Akan tetapi, Dani selalu saja melarang. Dengan alasan, bahwa gaji Dani sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan keluarga. Meski padahal, uang yang diberikan jauh dari kata cukup.

"Mama? Apa hari ini kita jadi makan telur?"

Lamunan Maria seketika buyar. Ia menoleh ke samping, tepat di mana Bilqis– putrinya menatap dengan binar penuh harap.

Maria tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja jadi, Nak. Mama bakalan masakin telur buat kamu. Sabar, ya," sahutnya sambil mengusap kepala Bilqis dengan lembut.

"Makasih, Ma." Bilqis memeluk Maria. Setelahnya ia salim dan berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Gadis kecil itu berkata bahwa dirinya sudah bosan makan tempe goreng.

"Sama- sama, Sayang. Hati- hati di jalan, ya," pesan Maria. Untungnya, jarak rumah ke sekolah dekat. Hanya berjalan kaki saja sehingga tak butuh tambahan pengeluaran untuk ongkos.

***

Dani yang tengah berkutat dengan pekerjaan, berhenti seketika saat ponselnya berdering. Saat dilihat, ternyata nama Risa, sang adik tertera di sana.

"Halo, Ris? Kenapa telpon siang- siang begini? Apa kamu tidak tau kalau Kakak sekarang lagi kerja?" Dani mengeluh, tapi tak sanggup juga jika harus menolak panggilan dari adik kesayangannya.

"Ya maaf, Kak. Aku ada perlu soalnya sama kamu, Kak. Aku pikir kamu udah lodang kerjaannya," sahut Risa.

"Pegawai kantor kayak Kakak gini mana bisa lodang, Ris. Semakin tinggi jabatan, maka semakin banyak kerjaannya. Maklum, Bos percaya banget sama aku, Ris."

"Wah, senangnya ... bangga banget aku punya Kakak kayak Kak Dani. Pasti banyak banget dong bonus yang bakalan Kak Dani dapetin."

Dani terkekeh. "Jelas dong!" jawabnya dengan jumawa.

"Kalau gitu, mau dong aku dibeliin i- phone, Kak. Semua temenku udah punya. Aku aja yang belum. Apa Kak Dani gak kasihan sama aku?"

Dani bergeming sejenak. "Memang berapa harga i- phone itu?"

"Gak mahal, sih, kalau untuk ukuran Kak Dani. Cuma lima belas juta saja, Kak. Gimana? Kakak mau beliin, kan?"

"Lima belas juta?" Dani sedikit berpikir. Namun, setelahnya ia menyetujui. Lagi pula kebahagiaan adiknya adalah tanggung jawabnya.

"Wah, makasih, Kak!" seru Risa.

"Dani! Dani! Ibu juga mau, Dan!" Suara sang Ibu juga ikut terdengar memanggil- manggil namanya.

"Ibu mau apa?" Dani bertanya.

"Ibu mau gamis kayak punya Bu RT, Dan. Dia beli harga tujuh ratus ribu. Sama sepatunya juga harganya tiga ratus ribu. Gak banyak, kok, yang ibu minta. Cuma itu saja," kata Mayang, ibu Dani.

Dani terkekeh. "Ibu jangan begitu lah. Uang Dani kan uang Ibu juga. Aku kerja buat bahagiain kalian. Kalau Risa minta lima belas juta aku kasih, maka Ibu juga harus dapat setara atau lebih," utasnya.

"Benarkah, Nak? Alhamdulillah. Beruntung sekali ibu punya anak berbakti seperti kamu, Dan. Kalau begitu, ibu tunggu kamu pulang ke sini, ya."

"Iya, Bu. Kalau gitu aku balik kerja dulu, ya. Jaga diri Ibu. Assalamu' alaikum."

"Wa' alaikum salam."

Dani meletakkan kembali ponselnya. Ia tersenyum senang membayangkan raut kebahagiaan di wajah ibu dan adiknya. Melihat keluarganya bahagia, adalah suatu kebahagiaan untuk dirinya juga.

Ting!

Ponsel Dani kembali berbunyi. Namun, bukan panggilan telepon melainkan pesan dari aplikasi hijau dari istrinya.

[Mas, maaf. Uang yang kamu kasih tadi udah habis. Tadi aku belikan telur sama ayam untuk Bilqis. Kasihan dia, Mas selalu berharap bisa makan enak.]

Dani mendelik membaca pesan dari Maria. Telur saja dia larang beli. Tapi, Maria malah dengan gampangnya membeli telur sekaligus ayamnya! 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nafkah Yang Salah   Bahagia

    Arfan bangga. Jika awalnya ia meremehkan Maria yang terpaksa ia nikahi, kini justru ia malah dibuat tergila- gila oleh Maria. Maria adalah wanita dengan paket lengkap. Cantik, cerdas, dan pekerja keras. Benar kata Ibunya dulu, bahwa Maria adalah sebuah keberuntungan. Hanya saja, lelaki yang bersamanya dulu, telah salah merawat keberuntungan itu."Oh, ya. Katanya kamu jadi narasumber di acara zoom nanti?"Maria mengangguk. "Iya, Mas. Aku boleh minta tolong?" tanyanya."Apa?""Itu ... tolong jagakan Bilqis sebentar saat dia ngerjain PR selama aku nge-zoom. Aku gak bisa nemenin dia malam ini. Gak papa, kan? Kasihan kalau Ibu yang jaga."Arfan berdecak. "Gak perlu disuruh juga, Sayang. Bilqis kan putriku juga."Maria tersenyum. "Makasih, Mas."Maria merasakan sedikit pusing usai Zoom berakhir. Ia pikir itu adalah efek kelelahan saja karena sejak sore tadi ia terus menulis karena saking bersemangatnya. ***Pagi harinya, Maria merasa perutnya bergejolak saat menyantap sarapan. Kepalanya te

  • Nafkah Yang Salah   Sukses

    Tiga bulan telah berlalu ...Uang pesangon yang diberikan Arfan waktu itu ternyata jumlahnya lebih dari ketentuan. Dani memutuskan untuk membuka toko kelontong menggunakan uang tersebut. Sebab, mau bekerja di kantor lagi pun tak mungkin karena namanya telah jelek. Selain itu, ia juga tetap bisa berkumpul dengan Ibu dan adiknya. Setidaknya, toko yang dimilikinya saat ini membuatnya bisa mandiri."Mas, tadi Bu Yeyen minta dikirimin air galon sekalian sama beras satu sak waktu Mas kulakan," ujar Risa.Dani mengangguk. "Iya. Bentar lagi Mas anterin. Wildan mana, Ris?""Itu lagi main sama Ibu, Mas." Risa duduk di samping Kakaknya. "Ibu sekarang terlihat lebih bahagia, Mas. Semenjak meminta maaf sama Mbak Maria," katanya.Dani termangu mendengar ucapan Risa. Lantas, ia menghela napas berat. "Sebab, beban Ibu sudah berkurang, Ris. Selama ini Ibu menanggung beban berat, yaitu penyesalan yang teramat dalam pada Maria. Dan setelah meminta maaf dengan tulus, beban itu akhirnya terlepas.""Mbak M

  • Nafkah Yang Salah   Bebas

    Maria merasa kedua matanya memanas. Ia dapat merasakan ketulusan dari perempuan yang pernah ia panggil Ibu. Perempuan yang telah melahirkan ayah dari anaknya. Memang benar, bahwa kata maaflah yang selama ini ingin Maria dengar. Kata maaf yang tulus itu mampu dengan mudah melenyapkan rasa marah dalam hatinya."Bu, tenanglah ... Mas Dani tidak akan lama kok di penjara. Dia akan segera bebas," kata Maria."Be- benarkah?" Bu Mayang menatap Maria, ragu tapi binar matanya tampak bahagia.Maria mengangguk. Ia melepas genggaman tangan Bu Mayang dan beralih ia yang menggenggam tangan mantan mertuanya itu."Mas Arfan akan membebaskan Mas Dani hari ini. Mas Arfan hanya ingin membuat Mas Dani jera dan memberi contoh pada karyawannya yang lain. Tapi, maaf ... Mas Arfan tak bisa lagi mempekerjakan Mas Dani, Bu." Bu Mayang tersenyum. "Tidak apa- apa, Maria. Itu sudah lebih dari cukup. Nanti Dani bisa mencari kerja yang lain. Terima kasih ... terima kasih. Dari dulu kamu tidak berubah. Hatimu masih

  • Nafkah Yang Salah   Maafkan Kami

    Ting!"MasyaAllah ...." Maria tersenyum lebar saat melihat nominal pendapatan yang ia dapatkan dari aplikasi menulis. Kedua matanya berkaca- kaca melihat tiga digit angka baru saja masuk ke rekeningnya."Ada apa, Sayang?" Arfan yang baru saja mandi heran melihat wajah istrinya yang tersenyum tapi air matanya mengalir.Maria menunduk. Ia masih belum terbiasa dengan panggilan Arfan padanya. Ah, entahlah ... sejak melakukan malam pertama yang telah tertunda beberapa lama, Arfan jadi semakin romantis. Kini, sisi lain pria itu mulai tampak. Pria itu semakin menunjukkan kepeduliannya. Bahkan terang- terangan Arfan menunjukkan kecemburuannya dengan melarang Maria berinteraksi dengan pembaca novelnya yang laki- laki."Itu ... alhamdulillah aku dapat rezeki, Mas. Kalau saja masuk ke rekening kemarin bisa sekalian aku kasih ke Ayah," kata Maria.Arfan memakai pakaian kerjanya. "Minggu depan kita bisa ke sana lagi. Masih banyak waktu, Sayang."Maria mengangguk. "Iya, Mas. Emm ... aku mau membeli

  • Nafkah Yang Salah   Apakah ini Karma?

    Dani membuang napas. Semua kesialan yang menimpa keluarganya terjadi semenjak ia bercerai dengan Maria. Ah, mengingat wanita itu Dani merasa nelangsa. Penyesalan demi penyesalan terus saja menghantuinya. Segala macam kata 'seandainya' terus terbesit dalam benaknya.Seandainya, ia menjadi suami dan ayah yang loyal, apakah semua ini akan terjadi?Seandainya, ia selalu memperhatikan keluh kesah Maria, memperhatikan penampilan Maria, apa ia akan kepincut pada Erlina?Seandainya, ia tak menuruti kata ibunya untuk menikahi Erlina, apa ia tak akan merasakan sesal kedua kalinya?Dani mendongak, agar air mata yang menggenang di pelupuk mata urung keluar. Rasanya malu, jika ia menangis di dalam penjara. Apalagi dalam satu sel itu ada tiga orang yang membersamainya."Bung, pijitin kaki gue!" Dani tersentak kaget saat tiba- tiba seorang lelaki berbadan gempal berdiri di hadapannya. Dan tanpa izin pria itu duduk dan menyelonjorkan kakinya di depan Dani. "Cepetan, kaki gue udah pegel!" titahnya l

  • Nafkah Yang Salah   Nasib

    Maria memejamkan mata. "Tenanglah, Ris. Aku akan menghubungimu lagi nanti."Maria memutuskan panggilan telepon saat Risa hendak kembali bersuara. Bukan ia merasa tak simpati. Akan tetapi, Maria tak ingin merusak suasana hangat yang saat ini membersamai keluarganya."Dari adiknya Dani, ya?" Pak Yudi bertanya.Maria menjawab dengan anggukan. "Kita makan saja dulu, Yah. Aku gak mau acara makan kita diganggu sama mereka," cetusnya.Usai makan, Maria membersihkan piring dan mencucinya, dibantu oleh Bilqis dan Arfan. Ketiga orang itu nampak sangat lucu di mata Pak Yudi.Pak Yudi yang mengira bahwa Arfan tak akan mencintai putrinya, ternyata salah. Kini, ia dapat melihat cinta yang tulus menyorot dari kedua bola mata Arfan untuk putrinya."Maria, kalau sudah selesai ayah mau bicara sama kalian berdua," kata Pak Yudi."Iya, Yah ...." Maria tersenyum pada sang Ayah."Sepertinya Ayah mau membicarakan soal ...." Maria melirik Bilqis yang berdiri di sampingnya sambil membawa piring kotor."Nak, k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status