Peluang
Rista baru pulang menjelang siang. Ia langsung menghambur memeluk dan menciumi kedua keponakan yang masih asyik memberi makan ikan. Di samping rumah Mama ada kolam kecil, berisi ikan nila yang berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa."Tante, lihat! Ikannya makan," ucap si kakak setelah melepaskan diri dari pelukan tantenya."Iya, Sayang. Makan apa ya, ikannya?""Makan ini, Tante, kata ayah namanya pelet ya?""Hehe, bener sayang namanya pelet.""Yuk, masuk yuk, ikannya sudah kenyang tuh. Gantian kakak sama adik ya yang makan. Nanti Tante suapain, deh.""Mau … mau … ."Keduanya menghambur masuk mengikuti tantenya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka."Mbak, mana, katanya mau traktir aku?"Masih ingat rupanya tentang obrolan tempo hari di WhatsApp."Gampang itu.""Itu Ria, gamis kamu tadi disimpan sama Mama," Mas Ari menimpali."Wah, benarkah? Makasi"Uang apa ini, Mas?"Aku mulai menghitung lembaran uang yang ada di tangan.Satu, dua, tiga, empat, lima. Ada lima lembar uang seratus ribuan."Biasa Dek, gajian. Cukupkan buat sebulan."Ia menjawab tanpa menoleh, kemudian berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri."Oh, oke, makasih ya, Mas."Jadi sekarang dia memberi jatah belanja senilai dengan harga gamis untuk Mama? Itu pun melalui anak sulungku, bukan diberikan secara langsung. Apa uang kamu habis untuk Mama kamu, Mas?Aku mengerti mungkin Mas Ari ingin berbakti dan memuliakan Mama, tapi dengan mengurangi uang belanja dan hanya menyisakan lima ratus ribu, apakah ini wajar? Baiklah Mas, aku ikuti permainan kamu. Semoga kamu dapat hidayah ya, Mas.***Pagi. Mas Ari sudah siap berangkat kerja. Kedua anakku masih anteng menikmati bermacam penganan yang dibawakan oleh Mama mertua. Lauk yang dibawakan Mama, rasanya cuku
Karma?Ruko sudah terisi, keluar masuk barang juga lancar. Sesuai riset, produkku sudah dikenal. Hanya saja, untuk offline di daerahku memang belum ada. Selain menjual secara offline, aku masih menjual secara online juga seperti sebelumnya. Hanya saja, karena sudah menjadi agen, aku mendapat potongan harga yang lumayan.Aku mulai mengurangi mengambil pesanan nasi kotak. Bukan menolak rejeki, tapi aku tak ingin kehilangan momen membersamai anak-anak. "Ibu sibuk terus, kan Kakak mau main sama Ibu," protes Arsy suatu hari.Dari situ aku menyadari kalau aku mulai tak punya banyak waktu untuk mereka, sedangkan masa kecil mereka hanya sekali. Sesekali aku datang ke ruko bersama kedua anakku untuk memeriksa keluar masuknya barang. Bersyukur sekali karyawan yang direkomendasikan oleh Putri orang yang amanah, sehingga aku tak kuatir mempercayakan toko padanya. Aku juga meminta ia merahasiakan bahwa aku pemilik toko tersebut.
"Wah, bener juga ya, Mas, kamu kan, baik. Baaiiikkk banget, sampai-sampai, ngasih uang bulanan aja sekarang lima ratus ribu. Lumayan tuh, kalau dilaminasi, bisa awet setahun. Lebih malah."Aku menaikkan alis saat ia reflek menatap kedua bola mataku. Ia sedikit membesarkan mata saat kuucapkan uneg-uneg yang mengganjal belakangan ini.Apa ini karma? Ah, entahlah, aku tak pernah berdo'a buruk untuk ayah kedua anakku, semoga hanya kecelakaan keseleo biasa.Mas Ari nampak kesakitan saat sholat Maghrib berjamaah. Ia juga tak bisa berdiri tegak saat berjalan. Yang ia lakukan ialah seperti berjalan dengan cara ngesot. Anak-anak malah senang melihatnya. "Ayah … jalannya bagus Ayah, adek suka. Lagi Yah, lagi."Memang dasar bocah, kenapa dia malah kayak ngerjain Ayahnya? Kalau berhenti diminta jalan lagi, dengan cara ngesot lagi. Lama-lama kasihan juga aku melihat Mas Ari. Namun, ia menolak saat aku berniat membantu."Nggak usah, Mas bisa sendiri."Iya, b
"Maaf Ma, tadi Lisa di dapur menyiapkan sarapan untuk anak-anak.""Oh, ini Mama bawakan nasi bungkus, mana mereka?"Mama telah duduk di atas karpet, kemudian mengeluarkan tiga bungkus nasi. Nampaknya nasi goreng pesanan anak-anak akan diganti dengan nasi bungkus yang dibawa Mama. Selalu seperti ini, masakan Mama yang harus dimakan dulu, sedangkan masakanku harus disingkirkan kalau ada kiriman makanan dari Mama. "Sabar … sabar Lisa … ," aku berucap dalam hati."Ada di kamar, Ma, tunggu sebentar ya, biar Lisa panggil dulu."Yah, Adek, Kakak ini ada nenek," panggilku pada Mas Ari dan anak-anak setelah berada di depan pintu kamar.Bergantian mereka ke luar kamar untuk menyalami ibu dari suamiku."Cucu-cucu Nenek belum sarapan, kan? Tadi ibu kalian bilang lagi masak. Ini Nenek bawakan nasi bungkus. Ada kelapa muda juga, segar lho, ini," ucap Mama sambil membuka nasi bungkus satu persatu.Kalau sudah begini, mau tak mau memang nasi itu yang harus
"Jadi, Mama tuh, ke sini, mau bawa anak-anak, biar Mama aja yang jagain. Sebentar lagi kan, mau masuk ajaran baru, biar mereka sekolah di tempat Mama aja. Mama kuatir kalau kamu tinggalkan mereka seperti kemarin."Aku terpaku mendengar kalimat yang meluncur dari lisan Mama mertua. Mencerna kata demi kata, tapi tak bisa kuterima begitu saja. Memang benar di dekat rumah Mama ada sekolah TK dan SD. Tapi kan … ."Apa benar Dek, kemarin kamu ninggalin anak-anak buat belanja?"Duh, jangan sampai aku salah jawab, bisa kacau ini."Enggak Mas, aku nggak belanja kok.""Yakin kamu?" sahut Mama secepat kilat."Mama lihat sendiri, kemarin kamu sendirian di toko itu. Pegang-pegang baju di sana. Kamu ngapain di sana kalau nggak belanja?" tanya Mama."Lisa cuma lihat-lihat kok, Ma. Kan, uang Lisa sudah dipakai untuk kebutuhan sehari-hari di rumah ini. Lisa juga belum butuh pakaian baru, apalagi yang be
Ya, anak-anak itulah harta berhargaku. Kulakukan semua demi mereka, demi tercukupi semua kebutuhan dan gizinya. Lnatas, jika mereka tak ada di sisiku dan diasuh Mama, untuk apa aku banting tulang mencari nafkah?Tak pernah kubayangkan sebelumnya hidup tanpa keduanya, setelah banyak hal berat yang kulewati sejak memiliki mereka.Aku masih berharap hati Mama melunak, tak lagi meminta anak-anak supaya mau tinggal bersama beliau. Akan bagaimana aku nanti?"Keras kepala memang kamu, Sa."Mama berucap dengan melebarkan kedua mata. Beliau seakan tak mau mengerti bahwa aku tak bisa hidup terpisah dari kedua anakku."Maaf, Ma," tiba-tiba Mas Ari menyela."Lagipula pengasuhan anak yang terbaik kan memang sama orang tua kandungnya. Mama kan dulu sudah pernah repot waktu mengurus Ari sejak bayi sampai bisa mandiri, sekarang saatnya Mama menikmati hari tua Mama."Duh, Mas Ari, nggak nyangka kamu sepemikiran dengan istrimu ini. Suamik
Adzan Subuh berkumandang tepat saat kaki kecil singgah di wajahku. Tercium aroma pesing, khas sekali. Bagus sekali cara kamu membangunkan Ibu, Nak. Aku menghela napas panjang, menikmati aroma yang menguar di kamar. Setelah kesadaran kembali penuh, aku mengangkat si bungsu ke kamar mandi. Ia masih mengantuk, tapi ia tetap harus berganti pakaian dan membersihkan diri.Ia langsung asyik dengan mainan mobil-mobilan setelah badannya bersih dan terasa segar. Aku pamit untuk membersihkan diri dan melaksanakan ibadah sholat Subuh. Tak lupa membangunkan Mas Ari dan Arsy untuk berjamaah. Mas Ari masih kesulitan berjalan, tapi sudah nggak ngesot lagi seperti kemarin."Ayah, ayo kita jalan-jalan," ajak si kecil setelah melihat ayahnya selesai merapikan sajadah serta sarung."Jalan-jalan ke mana, Sayang?" tanya Mas Ari sambil duduk di kursi dapur."Keliling komplek, Yah.""Aduh, kaki ayah masih sakit ini, Dek, lain kali, ya?"
"Dek Arkan, mau ya, ikut Nenek, nanti kita jalan-jalan naik mobil, beli mainan," Mama masih berjuang rupanya.Jangan ya, Nak, Ibu nggak sanggup jauh dari kalian berdua. "Nggak mau," jawab adik seraya menggelengkan kepala.Kedua alis Mama bertaut. Aku dapat melihat raut kecewa di wajahnya. Beliau kembali menghujani kedua cucu dengan ciuman."Baiklah, kalau begitu kalian hati-hati di rumah sama Ibu dan Ayah, ya."Alhamdulillah, lega sekali mendengar Mama menyerah membujuk anak-anak kali ini. Setidaknya kedua anakku tak akan ke mana-mana."Iya, Nek," jawab mereka serempak."Lisa, jangan sampai terulang seperti kemarin lagi, ya. Mama pulang dulu.""Iya, Ma, hati-hati di jalan."Aku menyerahkan sepuluh lembar uang seratus ribuan. Mama menerima dengan ekspresi tak mengerti."Ini apa, Sa?""Ini buat Mama. Bukankah, Mama sedang butuh untuk bayar cicilan mobil sama buat bayar sekolah Rista, Ma