Share

Bab 5

Mas Ari telah sampai terlebih dulu saat aku pulang bersama kedua buah hatiku. Ia telah berganti baju serta wajahnya terlihat segar, nampaknya ia telah membersihkan diri.

Kami bertiga mencium punggung tangan sang ayah bergantian.

"Ayah … ayah … adik habis jajan es krim, Yah … sama Ibu, maem es krim," si bungsu bercerita dengan antusias tanpa ditanya.

"Oh, ya? Enak dong, ya, jajan terus kalian."

Mas Ari berkata sambil melirikku.

Entah kenapa aku merasa tatapan matanya tajam. Atau mungkin hanya perasaanku saja, ataukah tidak?

"Iya, Yah, Ibu juga maem es krim tadi. Seneng lho, Yah … maem tiga, gini," si kakak menimpali dengan menunjukkan ketiga jari tangan kanannya.

"Wah, luar biasa. O iya, tumben ada ayam goreng, Bu. Biasanya cuma tahu tempe aja?" tanya Mas Ari dengan menautkan kedua alis.

Tentu saja ada, Mas. Lihat saja, meski nafkah untukku kau potong, aku tetap bisa menghidangkan lauk yang bergizi untuk anak-anakku.

***

"Ayah … Ayah, Kakak mau sepeda, Yah … , itu seperti punya Kak Sinta yang ada boncengannya."

Tiba-tiba saja gadis kecilku menyampaikan keinginannya menjelang tidur malam ini.

Sinta teman sepermainan yang sering bermain bersama kedua anakku. Aku memang melihat ia memakai sepeda baru kemarin, saat sedang memetik cabe di halaman.

Ia juga berkali-kali diajak naik sepeda oleh Rosi yang tinggal di dekat lapangan.

"Ayo, kamu naik, nanti aku yang dorong," ucap Rosi suatu sore.

Sejak saat itu, Arsy anakku makin rajin mengajakku ke lapangan, karena senang sekali belajar sepeda. Aku sebagai ibu tentu saja ingin membeli satu untuknya, supaya bisa puas naik sepeda sendiri tanpa meminjam. Namun, semua benda yang dibeli di rumah ini, harus atas ijin Mas Ari. Pun, jika membeli sesuatu, tak bisa satu karena kedua bocil itu pasti akan berebut.

Aku bisa apa, sebab memang tak memiliki andil dalam keuangan di rumah ini. Tapi, itu beberapa Minggu yang lalu. Untuk saat ini, aku sudah punya tabungan, meski baru sedikit.

"Emang kamu bisa naik sepeda?" Mas Ari nampak menjawab dengan mata terpejam.

"Bisa dong, Yah. Kemarin kakak naik sepeda Kak Sinta, didorong lho, Yah. Terus sepedanya jalan. Kenceng … deh," putri kecilku terdengar bersemangat saat bercerita.

"Beliin, ya, Yah … biar Kakak bisa main sama-sama. Nggak minjam lagi," pintanya lagi.

"Iya, nanti dibelikan kalau Ayah dapat rejeki, sabar ya," ujar Mas Ari, mulai membuka mata lagi.

"Yang ada boncengannya ya, Yah?" rajuk putriku.

"Iya, ayo sekarang bobok dulu anak cantik. Itu adek sudah bobok duluan, lho."

"Iya, Yah. Ngaji dulu, Yah," pintanya sebelum memejamkan mata.

Anak pintar, selalu punya cara supaya sang Ayah mau mengaji. Aku tersenyum melihat ia yang mulai memejamkan mata setelah membaca do'a sebelum tidur.

Mas Ari mengusap kepalanya perlahan hingga ia benar-benar terlelap. Ingin rasanya mengatakan kalau uangnya ada.

Uang jajan anak-anak yang dikumpulkan saat lebaran maupun saat berkunjung ke rumah nenek, cukup untuk membeli sepeda. Tapi niat itu diurungkan, sebab Mas Ari sudah terlelap.

Aku beranjak mengambil minyak telon, kemudian membalurkan ke tangan dan kaki bungsuku, juga pada gadis kecilku yang mulai terlelap. Kaki dan tangan Mas Ari juga kubaluri sekalian.

Kini saatnya aku memeriksa toko online. Meski hari sudah gelap, tak menyurutkan niatku untuk terus berdagang.

Terkadang aku menyesal kenapa nggak dari dulu berjualan online, padahal bisa sambil momong anak-anak.

Pelan tapi pasti, pelangganku bertambah karena merasa puas dengan produk yang kujual, meski harganya lumayan tinggi. Namun, sesuai dengan kualitas barang yang dijual.

***

Jam di dinding telah menunjuk angka sepuluh, tapi mata ini belum mau terpejam. Aku memutuskan untuk menyetrika baju seragam kerja Mas Ari.

Giliran celana kerja Mas Ari, sepertinya ada sesuatu di dalam saku celana ini. Aku bergegas memeriksa, dan benar sesuai dugaanku, ada beberapa lembar uang di sana. Senyumku langsung merekah.

Aku menganggap ini sebagai bonus. Saat awal menikah dulu, aku pasti mengembalikan pada pemiliknya jika menemukan uang di dalam saku baju maupun celana miliknya.

Akan tetapi, semakin ke sini, aku menyimpan sendiri uang yang kutemukan dari saku Mas Ari ke dalam sebuah dompet khusus.

Uang itulah yang kupakai jika ada keperluan mendadak. Beruntung pemiliknya tak pernah bertanya tentang isi kantongnya yang raib.

Rasanya, ini waktu yang tepat untuk menggunakan uang itu. Ada beberapa keperluan yang harus dibeli, termasuk pakaian anak-anak.

Aku tak mau lagi melihat mereka kekurangan pakaian ganti jika musim hujan tiba. Tak jarang aku menangisi cucian yang tak kunjung kering. Karena lemari anak-anak akan langsung kosong jika hujan turun berturut-turut.

.

Drrt …

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Ibu?

"Lisa, ibu kangen sama cucu Ibu, kalau kamu longgar, tolong ajak mereka main ke sini, ya?"

"Iya Bu, nanti Lisa minta ijin dulu sama ayahnya, ya," balasku.

Rindu itu menyeruak begitu saja, meski sering berkomunikasi lewat ponsel. Namun, tetap saja tak bisa sepenuhnya mengobati rindu. Entah sudah berapa bulan aku belum menengok Ibu.

Sebenarnya, jarak ke sana tidaklah jauh. Akan tetapi, aku tak bisa berkunjung sesuka hatiku, karena ada hati yang harus ku jaga.

Terkadang ingin mengunjungi Ibu bersama anak-anak tanpa Mas Ari. Tapi, apa kata orang nanti? Sedangkan jika mengajak Mas Ari, aku sering tak tega saat melihat wajah lelahnya setelah pulang kerja.

Belakangan ini, setelah Mas Ari meminta aku bekerja supaya memiliki uang sendiri, aku justru ingin melesat ke rumah Ibu. Bukan, bukan aku hendak mengadu, tetapi aku ingin berbagi, seperti dulu saat aku masih gadis dan bekerja. Aku bisa menyisihkan untuk Ibu meski tak banyak.

Biarlah nanti aku ijin pada Mas Ari, syukur-syukur ia mau mengantar. Aku juga sudah kangen sama Ibu. Anak-anak juga beberapa kali mengajak ke sana.

***

Serba salah, ya, jadi Lisa, mau beli untuk anak saja dibatasi. Kira-kira, Mas Ari bakal kasih ijin buat Lisa apa enggak, ya, buat mengunjungi ibunya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status