Hari telah beranjak siang. Kedua buah hatiku masih asyik bermain, sementara aku, kini bergelut dengan jemuran yang telah kering. Satu persatu dilipat dan dimasukkan ke dalam lemari. Beberapa celana telah disisihkan karena menurutku sudah tak layak dipakai lagi. Biarlah disisihkan dulu untuk didaur ulang nanti. Urusan pakaian telah beres, kini aku memetik bunga cantik berwarna biru untuk dibuat sirup. Aku berencana membawa sirup ini untuk Ibu. Berharap semoga Ibu suka dengan sirup buatanku."Mbak Lisa, aku pesan sirupnya dong, ready, kan?"Bu Ida, tetangga di ujung gang komplek ini mengirim pesan lewat WA. Ya, aku baru saja memposting sirup buatanku di status WhatsApp milikku yang kebanyakan kontaknya berisi ibu-ibu komplek.Aku membaca pesan Bu Ida dengan senyum mengembang. Padahal aku hanya posting foto tiga botol sirup dengan caption 'sirup bunga telang yang kaya manfaat'. Tidak terpikir untuk menjual, tapi kalau ada yang berminat, kenapa enggak, iya kan? Sirup untuk Ibu, nanti ak
Sabtu pagi, aku melihat Mas Ari masih santai, nampaknya hari ini ia libur. Ya, hari kerja Mas Ari terkadang hanya lima hari saja. Jika pekerjaan sedang banyak, barulah ia berangkat, itupun tak sampai sore. "Ke rumah Ibu? Mau ngapain?" tanya Mas Ari sambil menautkan kedua alisnya.Ah … akan alot soal perijinan ini kalau Mas Ari sudah bertanya mau ngapain. Aku nggak mau nyerah, ayok rayu lagi Lisa!"Silaturahmi Mas, aku kan juga kangen sama Ibu, Ibu juga kangen sama cucu-cucunya. Sudah lama lho, Mas, kita nggak ke sana. Padahal kan dekat, nggak sampai sejam naik motor," aku mulai mengerucutkan bibir."Hm … kangen, ya?" tanyanya, nampak berpikir."Iya, Mas, boleh, ya?" pintaku, dengan memasang wajah memelas."Ya, sudah, ayok siap-siap!" titahnya kemudian."Asyik, alhamdulillah, makasih ya, Mas. Aku siapkan anak-anak dulu," ujarku kegirangan."Siapkan apa? Udah, nggak usah mandi, nanti mandi di sana aja biar puas nyemplung sungai."Wah, ini sungguh kejutan. Tak biasanya begini. Ini seben
"Sa, hati-hati ya, kalau punya uang, disimpan, gunakan seperlunya, jangan dikasih tau itu, suami kamu."Aku mengernyitkan kening membaca pesan dari Mas Imam, kakakku satu-satunya. Apa dia tau kalau aku baru saja diberi hadiah oleh ibu? Kenapa Mas Ari tak boleh dikasih tau?"Iya Mas, makasih ya. Iya, Lisa akan hati-hati. Oiya, kenapa Mas Ari nggak boleh dikasih tau, Mas?"Pesanku langsung centang biru. Aku menunggu balasan, tapi tak kunjung dibalas. Kenapa lagi Mas Imam ini?Sedang bertanya-tanya dengan keanehan pesan Kakakku, tiba-tiba adikku sudah muncul di depan pintu. Ia membawa pucuk daun singkong dalam gendongan. Ada lagi satu ember hitam entah apa isinya."Nih, Mbak, masih suka daun singkong nggak?" tanyanya setelah mengucap salam.Daun singkong itulah penolong kami kala masih sama-sama bocah. Di sawah Ibu, banyak ditanami singkong sehingga kami bisa memetik dan menjualnya dalam bentuk buntil daun singkong. Itulah menu
Malam semakin pekat, namun kedua netra ini tak kunjung terpejam. Aku terbaring di antara kedua anak dan suami, lantas memandang wajah lelah mereka satu per satu dalam cahaya kamar yang remang-remang. Wajah mereka nampak manis sekali saat sedang terlelap seperti ini.Mengecup wajah mereka satu per satu, kemudian aku bangkit berdiri untuk melaksanakan sholat malam, mengadu pada Sang Pemilik Kehidupan. Ingin menumpahkan segala kesah dalam diri ini di atas sajadah, serta mohon petunjuk langkah apa yang harus diambil untuk hari esok.Aku masih shock setelah menerima tabungan yang jumlahnya tak sedikit dari Ibu. Seumur hidup, aku belum pernah memiliki tabungan sebanyak itu. Mau cerita sama Mas Ari, tapi ingat pesan Mas Imam, jadi urung. Juga sikap misterius yang ia tunjukkan kemarin membuat aku berpikir dua kali untuk blak-blakan seperti selama ini.Teringat tingkah aneh Mas Ari kemarin saat di rumah Ibu, aku mencari keberadaan ponsel hitam milikn
Apapun kesibukan di rumah, aku berusaha semua selesai sebelum Mas Ari pulang. Jam menunjuk pukul setengah empat sore, aku harus bergegas."Ayah … Ayah … ."Teriakan kedua anakku terdengar saat suara motor yang khas berhenti di depan rumah.Lah, belum juga selesai kok sudah pulang si Ayah?."Pakeett … ."Teriakan petugas pengirim paket membuat aku terlonjak, juga kedua anakku yang sedang asyik menonton film kartun kesayangan. Aku bergegas ke luar kamar untuk meraih amplop yang sudah kusiapkan. Di sana tertera keterangan jumlah uang dan keperluan, berjaga-jaga supaya uang sudah siap saat paket datang.Petugas paket segera pamit setelah serah terima barang dan uang. Anak-anak sudah mengekor di belakang dan berebut kotak besar yang ada di tanganku."Ini apa Bu?""Ayo kita lihat sama-sama ya. Kakak, tolong ambilkan gunting ya, sayang.""Oke Bu.""Wah, baju Bu, buat siapa?"Mereka terkagum-kagum melihat pakaian yang banyak di depan mereka."Ini buat kamu berdua, ini buat Ayah, ini buat Ibu
Buat Mama Mana?Hari kian gelap. Anak-anak sudah terlelap ditemani sang Ayah. Aku melanjutkan memilah pakaian yang sudah tak layak untuk diganti dengan yang baru. Kardus mi instan bahkan tak cukup untuk menampung sortiran pakaian ini.Terdengar suara langkah kaki mendekat, ternyata Mas Ari."Dek, kamu ngapain belanja sebanyak ini? Ini tuh calon keset, beli banyak-banyak buat apa?"Astaghfirullah, hatiku sungguh teriris mendengar tutur kata Mas Ari. Berkali-kali aku mengucap istighfar. Sesekali aku melihat ke arah kamar di mana anak-anak sedang terlelap. Takut kalau suara Mas Ari membangunkan mereka."Maksud kamu apa, Mas?" tanyaku kemudian, setelah memastikan kalau keduanya tak terganggu."Ya, ini. Ini belanjaan yang kamu posting tadi siang, kan?"Ia menunjuk pakaian yang tertumpuk rapi di atas dipan di kamar belakang."Iya Mas, kamu benar, ini belanjaan yang aku posting tadi siang. Apa salahnya sih Mas, sampai
Hari itu pun tiba. Hari di mana aku dan anak-anak dibawa berkunjung ke rumah Mama mertua. "Kita mampir di sini dulu ya, Dek."Mas Ari menghentikan sepeda motor di depan sebuah butik terkenal di kota ini. Apa dia mau membeli gamis itu di sini?"Tunggu di sini ya, Mas ke dalam dulu.""Iya Mas."Terserah kamu Mas, aku malas berdebat."Ayah, Kakak ikut … .""Adek ikut Yah, ikut … ."Bagus Nak, ikuti ayahmu biar nggak semena-mena lagi."Kakak sama adik di sini saja ya, cuma sebentar kok," ujarnya, berusaha membujuk. "Dek?"Aku tahu ia tak mau diganggu. Tapi aku bergeming."Dek, tolong pegang anak-anak dulu, itu ada yang jual es krim, kamu ajak mereka ke sana ya."Aku memutar bola mata malas. "Mana duitnya?"Sengaja aku menadahkan tangan. Ia belum memberikan uang gajinya bulan ini."Ke sana dulu, nanti Mas susul," jawabnya enteng, sambil daguny
PeluangRista baru pulang menjelang siang. Ia langsung menghambur memeluk dan menciumi kedua keponakan yang masih asyik memberi makan ikan. Di samping rumah Mama ada kolam kecil, berisi ikan nila yang berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa."Tante, lihat! Ikannya makan," ucap si kakak setelah melepaskan diri dari pelukan tantenya."Iya, Sayang. Makan apa ya, ikannya?""Makan ini, Tante, kata ayah namanya pelet ya?""Hehe, bener sayang namanya pelet.""Yuk, masuk yuk, ikannya sudah kenyang tuh. Gantian kakak sama adik ya yang makan. Nanti Tante suapain, deh.""Mau … mau … ."Keduanya menghambur masuk mengikuti tantenya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka."Mbak, mana, katanya mau traktir aku?"Masih ingat rupanya tentang obrolan tempo hari di WhatsApp."Gampang itu.""Itu Ria, gamis kamu tadi disimpan sama Mama," Mas Ari menimpali."Wah, benarkah? Makasi