Share

Bab 5

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2022-06-14 11:30:02

Mas Ari telah sampai terlebih dulu saat aku pulang bersama kedua buah hatiku. Ia telah berganti baju serta wajahnya terlihat segar, nampaknya ia telah membersihkan diri.

Kami bertiga mencium punggung tangan sang ayah bergantian.

"Ayah … ayah … adik habis jajan es krim, Yah … sama Ibu, maem es krim," si bungsu bercerita dengan antusias tanpa ditanya.

"Oh, ya? Enak dong, ya, jajan terus kalian."

Mas Ari berkata sambil melirikku.

Entah kenapa aku merasa tatapan matanya tajam. Atau mungkin hanya perasaanku saja, ataukah tidak?

"Iya, Yah, Ibu juga maem es krim tadi. Seneng lho, Yah … maem tiga, gini," si kakak menimpali dengan menunjukkan ketiga jari tangan kanannya.

"Wah, luar biasa. O iya, tumben ada ayam goreng, Bu. Biasanya cuma tahu tempe aja?" tanya Mas Ari dengan menautkan kedua alis.

Tentu saja ada, Mas. Lihat saja, meski nafkah untukku kau potong, aku tetap bisa menghidangkan lauk yang bergizi untuk anak-anakku.

***

"Ayah … Ayah, Kakak mau sepeda, Yah … , itu seperti punya Kak Sinta yang ada boncengannya."

Tiba-tiba saja gadis kecilku menyampaikan keinginannya menjelang tidur malam ini.

Sinta teman sepermainan yang sering bermain bersama kedua anakku. Aku memang melihat ia memakai sepeda baru kemarin, saat sedang memetik cabe di halaman.

Ia juga berkali-kali diajak naik sepeda oleh Rosi yang tinggal di dekat lapangan.

"Ayo, kamu naik, nanti aku yang dorong," ucap Rosi suatu sore.

Sejak saat itu, Arsy anakku makin rajin mengajakku ke lapangan, karena senang sekali belajar sepeda. Aku sebagai ibu tentu saja ingin membeli satu untuknya, supaya bisa puas naik sepeda sendiri tanpa meminjam. Namun, semua benda yang dibeli di rumah ini, harus atas ijin Mas Ari. Pun, jika membeli sesuatu, tak bisa satu karena kedua bocil itu pasti akan berebut.

Aku bisa apa, sebab memang tak memiliki andil dalam keuangan di rumah ini. Tapi, itu beberapa Minggu yang lalu. Untuk saat ini, aku sudah punya tabungan, meski baru sedikit.

"Emang kamu bisa naik sepeda?" Mas Ari nampak menjawab dengan mata terpejam.

"Bisa dong, Yah. Kemarin kakak naik sepeda Kak Sinta, didorong lho, Yah. Terus sepedanya jalan. Kenceng … deh," putri kecilku terdengar bersemangat saat bercerita.

"Beliin, ya, Yah … biar Kakak bisa main sama-sama. Nggak minjam lagi," pintanya lagi.

"Iya, nanti dibelikan kalau Ayah dapat rejeki, sabar ya," ujar Mas Ari, mulai membuka mata lagi.

"Yang ada boncengannya ya, Yah?" rajuk putriku.

"Iya, ayo sekarang bobok dulu anak cantik. Itu adek sudah bobok duluan, lho."

"Iya, Yah. Ngaji dulu, Yah," pintanya sebelum memejamkan mata.

Anak pintar, selalu punya cara supaya sang Ayah mau mengaji. Aku tersenyum melihat ia yang mulai memejamkan mata setelah membaca do'a sebelum tidur.

Mas Ari mengusap kepalanya perlahan hingga ia benar-benar terlelap. Ingin rasanya mengatakan kalau uangnya ada.

Uang jajan anak-anak yang dikumpulkan saat lebaran maupun saat berkunjung ke rumah nenek, cukup untuk membeli sepeda. Tapi niat itu diurungkan, sebab Mas Ari sudah terlelap.

Aku beranjak mengambil minyak telon, kemudian membalurkan ke tangan dan kaki bungsuku, juga pada gadis kecilku yang mulai terlelap. Kaki dan tangan Mas Ari juga kubaluri sekalian.

Kini saatnya aku memeriksa toko online. Meski hari sudah gelap, tak menyurutkan niatku untuk terus berdagang.

Terkadang aku menyesal kenapa nggak dari dulu berjualan online, padahal bisa sambil momong anak-anak.

Pelan tapi pasti, pelangganku bertambah karena merasa puas dengan produk yang kujual, meski harganya lumayan tinggi. Namun, sesuai dengan kualitas barang yang dijual.

***

Jam di dinding telah menunjuk angka sepuluh, tapi mata ini belum mau terpejam. Aku memutuskan untuk menyetrika baju seragam kerja Mas Ari.

Giliran celana kerja Mas Ari, sepertinya ada sesuatu di dalam saku celana ini. Aku bergegas memeriksa, dan benar sesuai dugaanku, ada beberapa lembar uang di sana. Senyumku langsung merekah.

Aku menganggap ini sebagai bonus. Saat awal menikah dulu, aku pasti mengembalikan pada pemiliknya jika menemukan uang di dalam saku baju maupun celana miliknya.

Akan tetapi, semakin ke sini, aku menyimpan sendiri uang yang kutemukan dari saku Mas Ari ke dalam sebuah dompet khusus.

Uang itulah yang kupakai jika ada keperluan mendadak. Beruntung pemiliknya tak pernah bertanya tentang isi kantongnya yang raib.

Rasanya, ini waktu yang tepat untuk menggunakan uang itu. Ada beberapa keperluan yang harus dibeli, termasuk pakaian anak-anak.

Aku tak mau lagi melihat mereka kekurangan pakaian ganti jika musim hujan tiba. Tak jarang aku menangisi cucian yang tak kunjung kering. Karena lemari anak-anak akan langsung kosong jika hujan turun berturut-turut.

.

Drrt …

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Dari Ibu?

"Lisa, ibu kangen sama cucu Ibu, kalau kamu longgar, tolong ajak mereka main ke sini, ya?"

"Iya Bu, nanti Lisa minta ijin dulu sama ayahnya, ya," balasku.

Rindu itu menyeruak begitu saja, meski sering berkomunikasi lewat ponsel. Namun, tetap saja tak bisa sepenuhnya mengobati rindu. Entah sudah berapa bulan aku belum menengok Ibu.

Sebenarnya, jarak ke sana tidaklah jauh. Akan tetapi, aku tak bisa berkunjung sesuka hatiku, karena ada hati yang harus ku jaga.

Terkadang ingin mengunjungi Ibu bersama anak-anak tanpa Mas Ari. Tapi, apa kata orang nanti? Sedangkan jika mengajak Mas Ari, aku sering tak tega saat melihat wajah lelahnya setelah pulang kerja.

Belakangan ini, setelah Mas Ari meminta aku bekerja supaya memiliki uang sendiri, aku justru ingin melesat ke rumah Ibu. Bukan, bukan aku hendak mengadu, tetapi aku ingin berbagi, seperti dulu saat aku masih gadis dan bekerja. Aku bisa menyisihkan untuk Ibu meski tak banyak.

Biarlah nanti aku ijin pada Mas Ari, syukur-syukur ia mau mengantar. Aku juga sudah kangen sama Ibu. Anak-anak juga beberapa kali mengajak ke sana.

***

Serba salah, ya, jadi Lisa, mau beli untuk anak saja dibatasi. Kira-kira, Mas Ari bakal kasih ijin buat Lisa apa enggak, ya, buat mengunjungi ibunya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Miris nasibnya lisa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Ekstra part

    Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Ending

    Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 131. Jelang Ending

    Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 130. Terjebak

    "Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 129. Reuni

    Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 128. Penasaran

    Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status