Share

Bab 6

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2022-06-14 11:32:07

Hari telah beranjak siang. Kedua buah hatiku masih asyik bermain, sementara aku, kini bergelut dengan jemuran yang telah kering. Satu persatu dilipat dan dimasukkan ke dalam lemari. Beberapa celana telah disisihkan karena menurutku sudah tak layak dipakai lagi. Biarlah disisihkan dulu untuk didaur ulang nanti. 

Urusan pakaian telah beres, kini aku memetik bunga cantik berwarna biru untuk dibuat sirup. Aku berencana membawa sirup ini untuk Ibu. Berharap semoga Ibu suka dengan sirup buatanku.

"Mbak Lisa, aku pesan sirupnya dong, ready, kan?"

Bu Ida, tetangga di ujung gang komplek ini mengirim pesan lewat W*. Ya, aku baru saja memposting sirup buatanku di status W******p milikku yang kebanyakan kontaknya berisi ibu-ibu komplek.

Aku membaca pesan Bu Ida dengan senyum mengembang. Padahal aku hanya posting foto tiga botol sirup dengan caption 'sirup bunga telang yang kaya manfaat'. Tidak terpikir untuk menjual, tapi kalau ada yang berminat, kenapa enggak, iya kan? 

Sirup untuk Ibu, nanti aku bisa membuat lagi, sebab ini masih hari Kamis sedangkan rencana ke rumah Ibu baru hari Sabtu atau Minggu, menunggu Mas Ari libur kerja.

"Boleh, Bu, mau pesan berapa?" balasku.

Terlihat centang biru, tanda kalau pesanku langsung dibaca. Nampak Bu Ida sedang mengetik pesan.

"Itu tiga botol saya ambil semua, Mbak, nanti pulang kerja saya ambil, ya, tolong buatkan rekapannya," pinta Bu Ida, yang segera kuiyakan.

Bu Ida memang pernah mencicipi sirup buatanku saat ada acara Dawis di rumahku. Bunga telang kering juga kuberi pada mereka yang datang, sebagai souvenir.

Aku makin bersemangat berdagang. Bersyukur sekali mendapat kemudahan. Pesanan sirup bertambah menjadi enam botol dari enam orang. 

Baiklah, bismillah jualan sirup kembang telang.

"Monggo ibu-ibu, sirupnya bisa dipesan ya, tapi PO dulu. Nasi biru ayam kriuk juga boleh banget diorder."

Aku kirim ke status W******p. Semoga ini menjadi jalan pembuka rejeki di saat uang belanja dikurangi oleh Mas Ari.

"Ciyee, yang ngakunya anak kuliahan, sekarang ke dapur juga. Kamu jualan kayak gitu, emang nggak dikasih nafkah sama suami kamu?" bunyi sebuah pesan masuk dari kakakku. Ia yang selalu tak setuju dengan pilihanku, termasuk saat aku hendak menikah dengan suamiku. Dulu.

Duh, kakak satu ini, bukannya dukung adiknya yang lagi usaha. Entah kenapa ia mengingatkan pada kata-katanya dulu saat aku masih kuliah.

"Ngapain perempuan kuliah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga ke dapur, sumur, kasur."

Saat iku aku baru masuk semester tiga, ia yang entah kenapa selalu menjatuhkan pilihanku, semakin membuat aku berusaha membuktikan kalau aku bisa berhasil. Ia bahkan tak memiliki andil dalam biaya kuliah hingga aku lulus. 

Aku bisa menunjukkan memiliki gaji beberapa juta setelah aku lulus kuliah, juga menyisihkan penghasilan untuk Ibu. Hal yang hampir tak pernah ia lakukan.

"Orang sana tuh, udah terkenal pelit, Dek, kamu lihat aja, deh," tolak kakakku saat Mas Ari pertama kali berkenalan dengan keluargaku.

"Masak sih, Mas? Selama ini dia baik kok, aku juga sering dijajanin, pas ulang tahun juga aku dibeliin sweater sama dia."

"Ya, itulah kalau ada maunya, dia kasih segala yang bisa beli hati kamu," jawabnya enteng.

"Emang hati bisa dibeli ya, Mas? Kayak jajanan aja dibeli." 

"Ya bisalah, itu buktinya kamu, dikasih sweater aja langsung mau diajak nikah," ucapnya, dengan memutar bola mata malas.

Dan pada akhirnya, dia setuju juga aku menikah dengan Mas Ari, meski dengan ngomel-ngomel. 

***

"Maaf Mas, aku dikasih nafkah kok sama Mas Ari, ini untuk mencari kesibukan, syukur bisa menambah uang jajan untuk anak-anak. Kamu apa kabarnya, Mas?" jawab dan tanyaku.

Selama lima tahun menjadi istri Mas Ari, aku belum pernah kekurangan kalau soal makan. Meski pas-pasan, kami selalu kenyang. Kecuali kalau untuk membeli benda seperti pakaian, dia jadi perhitungan. Baru beberapa bulan terakhir ini, entah kenapa dia memangkas uang belanja. Untuk bertanya pun, aku belum berani. 

"Lihat Mas, baju kamu sudah robek kerahnya, beli lagi, ya?" pintaku, saat melihat kerah bajunya sudah robek di bagian belakang.

"Nggak usah beli, masih bagus kok ini. Lagian ini bagian belakang, nggak kelihatan kalau dipakai."

"Ya, memang nggak kelihatan, tapi kan … ," kalimatku tak selesai, sebab langsung ia sambar.

"Udahlah, Dek, kita beli yang penting aja ya. Kalau soal baju kerja, Mas nggak apa-apa kok, asal masih layak. Lagian, ini dulu belinya mahal, lho, sudah dipakai lama, tapi rusaknya cuma dikit."

Yah, begitulah, akhirnya baju itu masih dipakai hingga sekarang. Perhitungan membeli benda ini juga berlaku saat memiliki anak, jumlah celana dan pakaian juga dihitung benar. Itulah kenapa aku kelimpungan jika cucian tak kunjung kering, alamat anakku kehabisan pakaian ganti.

Tak mungkin aku menceritakan kesulitanku pada ia yang pernah menolak pilihanku. Yang ada, dia akan makin habis-habisan mengatakan yang tak enak didengar. Lagi pula aku masih bisa mengatasi ini meski tertatih. 

"Kabar Mas, baik. Mas harap kamu juga baik di sana, jangan sampai Mas dengar kamu kekurangan, karena Mas nggak akan tinggal diam," ujar kakakku, membuat aku merasa tak sendiri lagi.

***

Malam saat anak-anak sudah terlelap, Mas Ari mendekati aku yang sedang membuat sirup.

"Dek, kamu ngapain buat status jualan? Apa kurang uang yang Mas kasih?"

Lah, dia pake nanya, ya jelas kurang, Mas.

"Ya, mau bagaimana lagi, kamu kan yang minta aku supaya kerja kalau mau punya uang sendiri, Mas? Apa kamu lupa?" tanyaku, dengan masih mengaduk sirup dalam panci.

"Tapi Mas malu, Dek, kalau kamu jualan, nanti dikira Mas nggak bisa mencukupi kebutuhan kamu," protesnya.

"Kok malu sih, Mas? Aku nggak nyuri lho. Lihat ini, aku lagi buat pesanan sirup," ucapku seraya menunjuk panci yang penuh dengan rebusan gula pasir.

"Lagian, Mas Ari sayang, kalau kamu malu, kenapa uang belanja dipotong? Separo lagi, banyak lho itu Mas. Kamu bilang gaji kamu dipotong, emang bener dipotong?"

Mas Ari nampak gelagapan. Aku membaui ada aroma dusta di sini.

***

Nah, lho, Mas Ari ngumpetin apa, ya, sebenarnya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Mungkin buat selingkuhan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Ekstra part

    Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Ending

    Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 131. Jelang Ending

    Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 130. Terjebak

    "Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 129. Reuni

    Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana

  • Nafkah yang Disunat Suamiku   Bab 128. Penasaran

    Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status