Share

Bab 6

Hari telah beranjak siang. Kedua buah hatiku masih asyik bermain, sementara aku, kini bergelut dengan jemuran yang telah kering. Satu persatu dilipat dan dimasukkan ke dalam lemari. Beberapa celana telah disisihkan karena menurutku sudah tak layak dipakai lagi. Biarlah disisihkan dulu untuk didaur ulang nanti. 

Urusan pakaian telah beres, kini aku memetik bunga cantik berwarna biru untuk dibuat sirup. Aku berencana membawa sirup ini untuk Ibu. Berharap semoga Ibu suka dengan sirup buatanku.

"Mbak Lisa, aku pesan sirupnya dong, ready, kan?"

Bu Ida, tetangga di ujung gang komplek ini mengirim pesan lewat W*. Ya, aku baru saja memposting sirup buatanku di status W******p milikku yang kebanyakan kontaknya berisi ibu-ibu komplek.

Aku membaca pesan Bu Ida dengan senyum mengembang. Padahal aku hanya posting foto tiga botol sirup dengan caption 'sirup bunga telang yang kaya manfaat'. Tidak terpikir untuk menjual, tapi kalau ada yang berminat, kenapa enggak, iya kan? 

Sirup untuk Ibu, nanti aku bisa membuat lagi, sebab ini masih hari Kamis sedangkan rencana ke rumah Ibu baru hari Sabtu atau Minggu, menunggu Mas Ari libur kerja.

"Boleh, Bu, mau pesan berapa?" balasku.

Terlihat centang biru, tanda kalau pesanku langsung dibaca. Nampak Bu Ida sedang mengetik pesan.

"Itu tiga botol saya ambil semua, Mbak, nanti pulang kerja saya ambil, ya, tolong buatkan rekapannya," pinta Bu Ida, yang segera kuiyakan.

Bu Ida memang pernah mencicipi sirup buatanku saat ada acara Dawis di rumahku. Bunga telang kering juga kuberi pada mereka yang datang, sebagai souvenir.

Aku makin bersemangat berdagang. Bersyukur sekali mendapat kemudahan. Pesanan sirup bertambah menjadi enam botol dari enam orang. 

Baiklah, bismillah jualan sirup kembang telang.

"Monggo ibu-ibu, sirupnya bisa dipesan ya, tapi PO dulu. Nasi biru ayam kriuk juga boleh banget diorder."

Aku kirim ke status W******p. Semoga ini menjadi jalan pembuka rejeki di saat uang belanja dikurangi oleh Mas Ari.

"Ciyee, yang ngakunya anak kuliahan, sekarang ke dapur juga. Kamu jualan kayak gitu, emang nggak dikasih nafkah sama suami kamu?" bunyi sebuah pesan masuk dari kakakku. Ia yang selalu tak setuju dengan pilihanku, termasuk saat aku hendak menikah dengan suamiku. Dulu.

Duh, kakak satu ini, bukannya dukung adiknya yang lagi usaha. Entah kenapa ia mengingatkan pada kata-katanya dulu saat aku masih kuliah.

"Ngapain perempuan kuliah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga ke dapur, sumur, kasur."

Saat iku aku baru masuk semester tiga, ia yang entah kenapa selalu menjatuhkan pilihanku, semakin membuat aku berusaha membuktikan kalau aku bisa berhasil. Ia bahkan tak memiliki andil dalam biaya kuliah hingga aku lulus. 

Aku bisa menunjukkan memiliki gaji beberapa juta setelah aku lulus kuliah, juga menyisihkan penghasilan untuk Ibu. Hal yang hampir tak pernah ia lakukan.

"Orang sana tuh, udah terkenal pelit, Dek, kamu lihat aja, deh," tolak kakakku saat Mas Ari pertama kali berkenalan dengan keluargaku.

"Masak sih, Mas? Selama ini dia baik kok, aku juga sering dijajanin, pas ulang tahun juga aku dibeliin sweater sama dia."

"Ya, itulah kalau ada maunya, dia kasih segala yang bisa beli hati kamu," jawabnya enteng.

"Emang hati bisa dibeli ya, Mas? Kayak jajanan aja dibeli." 

"Ya bisalah, itu buktinya kamu, dikasih sweater aja langsung mau diajak nikah," ucapnya, dengan memutar bola mata malas.

Dan pada akhirnya, dia setuju juga aku menikah dengan Mas Ari, meski dengan ngomel-ngomel. 

***

"Maaf Mas, aku dikasih nafkah kok sama Mas Ari, ini untuk mencari kesibukan, syukur bisa menambah uang jajan untuk anak-anak. Kamu apa kabarnya, Mas?" jawab dan tanyaku.

Selama lima tahun menjadi istri Mas Ari, aku belum pernah kekurangan kalau soal makan. Meski pas-pasan, kami selalu kenyang. Kecuali kalau untuk membeli benda seperti pakaian, dia jadi perhitungan. Baru beberapa bulan terakhir ini, entah kenapa dia memangkas uang belanja. Untuk bertanya pun, aku belum berani. 

"Lihat Mas, baju kamu sudah robek kerahnya, beli lagi, ya?" pintaku, saat melihat kerah bajunya sudah robek di bagian belakang.

"Nggak usah beli, masih bagus kok ini. Lagian ini bagian belakang, nggak kelihatan kalau dipakai."

"Ya, memang nggak kelihatan, tapi kan … ," kalimatku tak selesai, sebab langsung ia sambar.

"Udahlah, Dek, kita beli yang penting aja ya. Kalau soal baju kerja, Mas nggak apa-apa kok, asal masih layak. Lagian, ini dulu belinya mahal, lho, sudah dipakai lama, tapi rusaknya cuma dikit."

Yah, begitulah, akhirnya baju itu masih dipakai hingga sekarang. Perhitungan membeli benda ini juga berlaku saat memiliki anak, jumlah celana dan pakaian juga dihitung benar. Itulah kenapa aku kelimpungan jika cucian tak kunjung kering, alamat anakku kehabisan pakaian ganti.

Tak mungkin aku menceritakan kesulitanku pada ia yang pernah menolak pilihanku. Yang ada, dia akan makin habis-habisan mengatakan yang tak enak didengar. Lagi pula aku masih bisa mengatasi ini meski tertatih. 

"Kabar Mas, baik. Mas harap kamu juga baik di sana, jangan sampai Mas dengar kamu kekurangan, karena Mas nggak akan tinggal diam," ujar kakakku, membuat aku merasa tak sendiri lagi.

***

Malam saat anak-anak sudah terlelap, Mas Ari mendekati aku yang sedang membuat sirup.

"Dek, kamu ngapain buat status jualan? Apa kurang uang yang Mas kasih?"

Lah, dia pake nanya, ya jelas kurang, Mas.

"Ya, mau bagaimana lagi, kamu kan yang minta aku supaya kerja kalau mau punya uang sendiri, Mas? Apa kamu lupa?" tanyaku, dengan masih mengaduk sirup dalam panci.

"Tapi Mas malu, Dek, kalau kamu jualan, nanti dikira Mas nggak bisa mencukupi kebutuhan kamu," protesnya.

"Kok malu sih, Mas? Aku nggak nyuri lho. Lihat ini, aku lagi buat pesanan sirup," ucapku seraya menunjuk panci yang penuh dengan rebusan gula pasir.

"Lagian, Mas Ari sayang, kalau kamu malu, kenapa uang belanja dipotong? Separo lagi, banyak lho itu Mas. Kamu bilang gaji kamu dipotong, emang bener dipotong?"

Mas Ari nampak gelagapan. Aku membaui ada aroma dusta di sini.

***

Nah, lho, Mas Ari ngumpetin apa, ya, sebenarnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status