Share

Nafkah yang Keliru
Nafkah yang Keliru
Penulis: ERIA YURIKA

Bab 1

“Nah, gitu atuh masak yang enak-enak dari kemarin buka pakai sayur kangkung terus. Bikin ngantuk aja!”

“Ya bagaimana lagi Akang kasih uang belanjanya pas-pasan.”

“Ya, ‘kan kamu tahu sendiri. Kemarin gajian Akang diminta sama Ibu buat sekolah Tia sama Ari. Sabar aja dulu!”

“Hm.”

Tia dan Ari adalah adik kandungku. Mereka masih sekolah. Gajiku bulan ini memang sebagian besar di transfer ke kampung untuk kebutuhan mereka sekola mengingat Tia dan Ari yang masih menginjak bangku SMA dan Kuliah. Entah kenapa istriku seakan tak terima dengan keputusanku untuk memberikan uang itu pada keluargaku di kampung.

Padahal, jelas mereka lebih membutuhkan. Tak sampai hati melihat mereka putus sekolah hanya, karena biaya. Sebagai karyawan pabrik dengan gaji 10 juta perbulan. Sebenarnya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hanya saja, karena aku harus menanggung kebutuhan ibu dan adik-adikku gajian selalu hanya lewat saja.

Seperti sekarang di akhir bulan, di meja makan hanya tersedia lauk seadanya. Namun, entah dari mana Lara mendapatkan ayam goreng dan sayur Nangka. Mengingat sudah seminggu Lara hanya menyajikan sayur yang ia petik dari halaman belakang rumah.

Ia pandai menanam sayuran, namanya juga orang desa. Sebenarnya, aku tidak suka dengan caranya yang selalu membawa kebiasaan di kampungnya, hanya saja ternyata hobi bercocok tanamnya berguna juga di saat-saat kritis seperti ini.

Setiap bulannya aku memang membagi gajiku 7 juta untuk di kampung dan 3 juta untuk pegangan. Mengingat aku juga memiliki cicilan mobil angkutan umum di kampung halaman. Pendapatannya lumayan. Namun, aku lebih mempercayakan usahaku pada ibu, mengingat ia sangat pandai mengatur keuangan. Buktiknya saja aku sudah berhasil memiliki tanah yang nantinya akan kugunakan untuk membuat rumah di kampung saat sudah tua nanti.

“Wah Bunda masak ayam goreng! Asyik!”

Arfan, anak keduaku yang kini berusia 9 tahun tampak semringah. Ia yang baru saja pulang dari bermain bola tampak mengeluarkan lidahnya. Kami memang sudah lama tidak makan enak. Hanya saja haruskah dia begitu kampungan sampai-sampai berprilaku seperti itu.

“Cuma ayam aja kok.”

“Lah, emang kita enggak pernah makan ayam Yah.”

“Arfan, bantu Bunda sini!”

Lara yang kini tengah berada di dapur malah memanggilnya. Padahal, aku masih ingin menasihati anak keduaku ini.

“Kamu bantu Bunda cucikan timun surinya ya!”

“Oke!”

“Anak cowok itu jangan dibiarin main di dapur. Pamali!” sindirku.

Saat itu Lara hanya diam saja, entah sudah berapa kali aku melihat Lara kerap meminta anak-anakku untuk membantunya memasak. Apa lagi Musa, dia malah sangat lihat memasak. Entah ada apa dengannya. Lara malah mendidik mereka seperti anak perempuan. Terkadang Kana juga kerap mencuci dan menjemur pakaian di rumah. Meski, kerap digoda oleh tetangga sekitar anak itu seakan tak peduli.

Seperti kali ini, bukannya mendengar sindiranku. Kana yang baru saja pulang dari musala, malah langsung terjun ke dapur membantu Lara memotong sayuran.

“Enggak usah Mus, kamu pergi aja sana! Bunda bisa sendiri.”

“Udah biar Musa aja! Bunda mandi sana, bau ketek!’

“Kamu ini!”

Lihat saja mereka bukannya mendengarkanku Musa malah menggoda Lara. Anak itu memang sangat dekat dengan Bundanya. Hanya saja tidak selayaknya ia melakukan semua pekerjaan wanita dari mulai bersih-bersih rumah sampai memasak, bahkan sampai menyetrika pakaian pun dia lakukan.

“Kamu itu fokus aja sekolah. Main kek sama anak cowo.”

“Males, Yah! Mending di rumah.”

“Masak? Anak cowok kok hobinya masak.”

Musa memang tak pernah melawan. Hanya saja aku tahu dia sepertinya kesal setiap kali aku nasihati, untuk tidak mengambil alih pekerjaan rumah tangga.

“A, udah selesai ini!”

“Oke, sini! Kita bikin es timun suri pakai gula merah.”

“Wah enak, tumben sih kita makan enak hari ini.”

“Iya, aa gajian.”

“Kamu gajian?” tanyaku.

Bukan apa-apa, hanya saja aku heran. Musa masih kelas 1 SMA, tapi dia sudah mendapatkan gaji. Memangnya dia bekerja apa?”

“Iya, Yah.”

“Kerja apa?”

“Ngajar ngaji di musala.”

“Hah, sejak kapan?”

“Udah lama, Yah.”

“Siapa muridnya?”

“Ya anak-anak tetangga sekitar aja.”

“Kamu minta-minta ke tetangga kita?”

Musa malah terdiam, tetapi dari gerakkan bibirnya aku tahu dia sedang mengucap istighfar.

“Lain kali enggak usahlah kamu ngajar lagi, nanti ngeganggu sekolah kamu.”

“Ngajar ngajinya ‘kan sore abis ashar. Enggak akan mengganggu.”

“Lara, kamu ya yang minta Musa ngajarin ngaji anak tetangga?”

“Aku enggak pernah minta. Biarin aja atuh Kang, namanya juga ngisi waktu luang.”

“Tapi, kalau dia jadi enggak fokus belajar bagaimana? nanti malah enggak dapet tuh beasiswanya buat kuliah nanti.”

“Akang tuh kenapa sih, lagian Musa ‘kan melakukan kegiatan positif. Bukannya didukung.”

“Bukan masalah positif dan negative, lah dia minta-minta ke anak tetangga. Akang yang malu.”

Lara yang kala itu baru keluar dari kamar mandi mendadak mendekat.

“Musa, emang kamu pernah minta-minta sama murid kamu?”

“Enggaklah, Bun. Tadinya juga enggak bayar, orang tuanya aja yang inisiatif ngasih Musa. Lagian mana berani Musa, minta-minta apa lagi sama tetangga kita. Walaupun, sebenarnya kita lebih sering kekurangan dari pada cukup.”

“Maksud kamu apa ngomong begitu, Musa?”

“Ya emang kenyataannya begitu ‘kan Yah, lihat aja ibu. Di lingkungan ini, mana pernah ibu ikut kumpul-kumpul. Pengajian aja ibu kadang enggak berangkat.”

“Ya, itu ibu kamu aja yang enggak mau berangkat.”

“Emangnya Ayah tahu kenapa ibu enggak berangkat? Ayah pernah tanya enggak kenapa ibu enggak pernah berangkat?”

“Sa, udahlah. Bentar lagi maghrib loh, jangan ribut ya! Sayang ‘kan puasa kamu dari pagi.”

“Enggak apa Bun, aku enggak akan ribut kalau enggak terus-terusan disinggung. Ayah juga harus tahu ‘kan?”

“Memangnya kenapa sih? Lagian buat apa juga pengajian kalau orang paling di sana cuma adu pakaian.”

“Pengajian, itu biar dapet ilmu atuh Yah. Bukan adu out fit.”

“Kenyataannya begitu lihat saja tetangga kita, mau pengajian aja segala perhiasan di pakai.”

“Ya, biarin aja atuh Ayah. Orang mereka punya, ya wajar di pakai. Enggak kayak Bunda yang enggak punya apa-apa. Jadi, apa yang mau dipakai?”

“Kamu sekarang udah pinter ngomong ya, oh udah jadi guru ngaji jadi merasa berhak melawan sama orang tua. Besok-besok enggak perlu kamu ajar ngaji. Berapa sih gaji kamu ngajar ngaji di sana!”

“500.000 sebulan.”

“Cuma 500 ribu sebulan buat apa, Musa. Besok-besok enggak usah diterima! Malu-maluin aja, balikkin ke mereka.”

“500 ribu juga uang Ayah.”

“Gaji Ayah aja 10 juta.”

“Gaji 10 juta juga percuma kalau enggak pernah di kasih ke Bunda.”

“Ya, Bunda kamu boros. Yang ada 10 juta abis sehari.”

“Boros dari mana? 1 juta aja Ayah enggak pernah kan kasih ke Bunda? Mending juga gaji Musa 500 ribu full buat Bunda! Coba ngandelin gaji ayah. Setiap hari Ayah belanja seenak sendiri. Beli sayuran, ya sayurannya aja emangnya bisa layak makan tanpa bumbu? Di mana-mana juga yang belanja mah perempuan bukan laki-laki. Ayah belanja cuma tempe tahu, emangnya bisa mateng tanpa minyak? Udahlah Yah, Musa capek! Ayah mah kebanyakan gengsi, enggak pernah mikirin kalau kita juga pengen hidup normal. Bukan hidup terserah ayah. Gaji 10 juta juga bukan buat Bunda mah, enggak jadi apa-apa. Makan aja kadang enggak kenyang, karena berasnya enggak cukup!”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
bunda mu juga bodoh dan lemot
goodnovel comment avatar
Dhivia Rifki
nelangsa banget yaaa punya bojo kayak gitu
goodnovel comment avatar
Isabella
aku cari nama kak Yurika ternyata cerita Musa udah ada langsung meluncur.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status