[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?]
[Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.]
[Emang enggak boleh?]
[Enggak boleh.]
[Pelit amat.]
[Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!]
[Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!]
[Tanganku lagi di henna.]
[Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.]
[Enggak bisa.]
Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.
[Kamu ketawa?] tanyaku.
[Bukan aku yang ketawa, Musa.]
[Terus siapa?]
[Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]
Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.
Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Nah, gitu atuh masak yang enak-enak dari kemarin buka pakai sayur kangkung terus. Bikin ngantuk aja!”“Ya bagaimana lagi Akang kasih uang belanjanya pas-pasan.”“Ya, ‘kan kamu tahu sendiri. Kemarin gajian Akang diminta sama Ibu buat sekolah Tia sama Ari. Sabar aja dulu!”“Hm.”Tia dan Ari adalah adik kandungku. Mereka masih sekolah. Gajiku bulan ini memang sebagian besar di transfer ke kampung untuk kebutuhan mereka sekola mengingat Tia dan Ari yang masih menginjak bangku SMA dan Kuliah. Entah kenapa istriku seakan tak terima dengan keputusanku untuk memberikan uang itu pada keluargaku di kampung.Padahal, jelas mereka lebih membutuhkan. Tak sampai hati melihat mereka putus sekolah hanya, karena biaya. Sebagai karyawan pabrik dengan gaji 10 juta perbulan. Sebenarnya sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hanya saja, karena aku harus menanggung kebutuhan ibu dan adik-adikku gajian selalu hanya lewat saja.Seperti sekarang di akhir bulan, di meja makan hanya tersedia lauk se
Sungguh aku benar-benar tak menyangka, jika Musa akan bicara selantang itu. Hanya, karena ia bisa menghasilkan uang lima ratus ribu rupiah saja, seolah-olah ia sudah mencukupi semua kehidupan hidup. Memang benar selama ini, aku yang mengatur keuangan rumah tangga. Bukan tanpa alasan aku melakukannya, aku hanya berkaca pada saudara-saudaraku di kampung yang mana keuangannya di pegang istri. Kebanyakan mereka sampai hari ini hidupnya hanya begitu-begitu saja. Tak banyak perubahan.Bahkan, banyak teman-temanku yang belum memiliki rumah, padahal usia pernikahan mereka sudah berjalan 20 tahun. Namun, lihatlah aku sekarang, mobil angkutan umum ada 3 tanah ada rumah juga ada di kota. Bisa-bisanya Musa mengatakan usahaku ini tak jadi apa-apa.“Kamu tahu apa hah? Kamu enggak lihat tanah kita di kampung sama mobil angkot? Itu yang kamu bilang enggak jadi apa-apa?”“Ya kalau di sini kelaparan, buat apa juga punya banyak mobil sama tanah. Da enggak ngenyangin!”“Hidup itu enggak cuma tentang maka
“Ya enggak akan kelaparan kalau kamu pinter ngurusnya.”“Ngurus anak juga butuh uang Akang, yang selama ini belanja buat kebutuhan makan siapa?”Lara malah menatapku dengan pandangan kesal. Memang aku, hanya saja aku masih tak percaya dengan pernyataan petugas puskesmas tentang anakku yang kurang gizi. Kala itu Lara malah meninggalkanku begitu saja. Dia malah sibuk dengan cucian tetangga yang teramat busuk.“Kamu kok malah nyuci. Orang anak lagi gini?”“Ya, kalau aku enggak nyuci, memangnya mau dapat uang dari mana? Suami?”“Aku kasih uang.”“Berapa 10 ribu atau 100 ribu sebulan? Mending enggaknya sekalian. Dari pada ngasih, tapi jadi pembahasan di mana-mana. Aku enggak perlu, simpan aja uang Akang sendiri.”Deg.“Ya, mau 10 atau 100 ribu juga uang, kenapa kamu enggak mau nerima? Hanya karena kamu udah bisa menghasilkan sendiri jadi begini?”“Kalau aja Akang ngasihnya ikhlas, ya terima-terima aja. Istri mana yang enggak mau dikasih uang.”“Ya kamu bilang butuhnya berapa?”“Udahlah Aka
Entah kenapa harga diriku seperti diinjak-injak. Baik sebagai laki-laki maupun seorang ayah.“Kalau masih mau marah sama Bunda, mending tahan dulu deh. Jangan rusak momen bahagia adik-adik yang jarang makan enak!”Musa tampak begitu santai mengatakan hal itu. Memang nada bicaranya juga tidak kasar, hanya saja entah kenapa terasa begitu menusuk ke hati. Ia seperti menaruh banyak kebencian dalam setiap ucapannya. Aku hanya memikirkan masa depan mereka. Apa lagi saat anak-anak sudah menikah dan memiliki keluarga masing-masing. Kalau tidak dipersiapkan dengan matang sejak sekarang, bagaimana nanti kita akan melewati masa tua.1001 anak yang mau mengurus anaknya saat sudah sepuh. Namun, bukan berarti aku tidak peduli dengan mereka.“Ayah itu begini juga buat kalian?”“Apanya yang buat kami? Buat keluarga ayah doang kok.”“Ya, ‘kan Ayah juga harus mikirin sekolah adik-adik kamu. Biaya lahirran Bunda juga, terus kuliah kamu. Itu butuh biaya yang enggak sedikit.”“Ayah enggak salah ngomong gi