Share

Bab 7

Penulis: ERIA YURIKA
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-11 17:53:42

“Kang Firman kira-kira masih di sini enggak, ya?” tanyaku.

“Enggak tahu. Mungkin masih, kata Musa, proyeknya masih lama. Mungkin masih di sekitar sini!”

“Kamu udah enggak sakit kakinya?”

“Kalau sakit, memangnya kenapa?”

“Ya, Akang mau pijitin.”

“Enggak usah! Haram!”

“Kan Akang enggak ngadu. Musa yang update status di whats app.”

“Begini aja, malam ini kamu mau makan apa? Akang belikan di luar, sambil cari Kang Firman.”

“Enggak usah.”

“Biasanya ‘kan ibu hamil ngidam, kenapa hamil sekarang kamu enggak pernah minta dibelikan apa pun.”

Aku baru ingat sejak awal hingga hamil 7 bulan. Lara tak pernah meminta apa pun padaku, bahkan untuk pakaian bayi saja. Dia tidak memintanya. Padahal, kata dokter bayinya perempuan.

“Oh, ya, bukannya kamu juga belum beli pakaian?”

“Sudah.”

“Siapa yang belikan?”

“Di kasih Bu Aisyah?”

“Di kasih bekasan?”

“Baru, mana ada bekasan. Memangnya ibuya Akang?”

Sungguh saat itu meski Lara mengatakannya dengan nada yang biasa. Entah kenapa di hatiku terasa sakit.

“Maaf, kalau Akang tesinggung.”

“Kenapa Bu Aisyah sama Pak Zul bisa baik sama kamu?”

“Namanya juga RT, pasti enggak tega melihat warganya susah.”

“Kamu nyindir Akang, ya?”

“Akang kenapa jadi gampang kesindir sih, Akang bertanya ya, aku jawab.”

Bagaimana aku tidak tersindir, setiap kalimat yang keluar dari mulut Lara, seperti perbandingan. Aku hanya merasa tak pernah melakukan apa pun untuk keluargaku. Memang benar selama ini.

“Ra, kamu marah ya, gara-gara tiga hari kemarin aku enggak ninggalin uang belanja sama sekali?”

“Biasa aja.”

“Akang beneran lupa.”

“Walaupun pura-pura lupa juga enggak apa-apa kok.”

Sudah kuduga sikapnya berubah sejak aku lupa mengabarkan Sora keluar kota dan tanpa memberinya uang pegangan.

“Yang penting ‘kan anak-anak masih hidup. Akang mah ‘kan enggak peduli mereka mau makan apa. Asal bisa nafas, ya udah cukup buat Akang. Enggak peduli, keadaan mereka sehat atau enggak. Gizinya terpenuhi atau enggak. Yang penting ibu, Tia dan Ari enggak kurang makan dan hidup enak. Udahlah aku mau nyuci lagi.”

Saat itu Lara yang sudah menarik kakinya dan hendak beranjak seketika tertahan, karena aku menarik tangannya.

“Kamu kaki lagi kayak gini, masih aja maksa buat kerja. Nanti Akang yang kerja.”

“Enggak usah, haram!”

“Mana ada kata haram, itu mah akal-akalan ibu aja!”

Saat itu Lara malah memegangi keningnya. Entah apa yang dia pikirkan, hanya saja kenapa aku baru sadar jika ibu begitu keanak-anakan. Bukankah wajah bagi suami istri saling merawat saat sakit, lantas kalau bukan aku, memangnya siapa lagi yang akan mengurus Lara. Apa lagi ia hanya punya aku. Orang tuanya sudah meninggal, bahkan paman satu-satunya yang pernah menjadi wali nikah Lara saja sudah meninggal sejak tahun pertama pernikahan kami. Bisa dikatakan Lara tak punya siapa pun.

Meskipun ada keluarga dari pamannya yang masih hidup sampai sekarang, tapi hubungan mereka juga tidak terlalu dekat. Apa lagi seiring dengan mereka yang sibuk dengan kehidupan masing-masing. Sora bahkan sudah beberapa tahun ini tidak pernah pulang ke kampung halamannya. Jika, lebaran. Kami hanya akan pulang ke rumah ibuku.

Saat itu aku benar-benar terjebak dengan perkataanku sendiri. Melihat kaki Lara yang bengkak sangat besar, membuatku juga tak tega membiarkannya mencuci pakaian. Meskipun, itu artinya aku harus berurusan dengan bau pesing dan busuk yang sangat menyengat. Bahkan beberapa kali aku harus muntah, karenanya.

Kami juga punya anak, tapi tidak pernah menumpuk pakaian sampai aromanya sangat menyengat. Sialnya saat aku memillah pakaian bayi, ada bekas kotoran yang masih tersisa di sana. Sudah dipastikan menu buka puasaku harus berakhir di toilet.

Ya aku muntah, karenanya.

“Bisa-bisanya kotoran anaknya, enggak dibersihin dulu. Huek!” umpatku.

Saat aku sedang sibuk mengumpat. Rupanya hal itu memancing keingintahuan Lara, padahal aku sudah wanti-wanti agar wanita itu diam di kamar saja. Aku masih ingat jika sudah bengkak, biasanya perempuan hamil tidak boleh terlalu banyak berdiri. Jadi tidak boleh melakukan aktivitas yang itu-itu saja dalam waktu yang lama, atau itu mungkin akan semakin memperparah bengkaknya.

Hanya saja ini masih kehamilan ke tujuh, kenapa kaki Lara sampai sebesar itu. Padahal, dulu saat kakinya sebesar itu usia kandungannya sudah mendekati HPL.

Benar saja dugaanku Lara sudah berada di dapur. Tanpa kata ia malah menyodorkan air putih hangat padaku.

“Tinggalkan saja! Biar aku yang lanjut!”

“Enggak, kamu duduk aja!”

“Aku enggak mau anak kita kenapa-kenapa, apa lagi ini anak perempuan.”

“Biasanya kotorannya enggak cuma satu celana. Ada 3 sampai 5.”

“Apa? Kenapa kamu mau-mau aja sih, harusnya kamu bilang, yang ada kotorannya di bersihkan dulu.”

“Butuh duit. Aku enggak mau Sean kena stunting. Kalau, aku enggak mengandalkan diri sendiri memangnya mau mengandalkan siapa?”

“Ada Akang.”

“Akang aja masih enggak bisa tegas sama pilihan sendiri. Akang memutuskan berumah tanggaku denganku, tapi sampai hari ini. Sekali pun Akang enggak pernah mempercayakan masalah keuangan padaku. Jadi, sebenarnya tujuan kita menikah ini apa? Apa hanya untuk anak? Atau apa?”

“Bukan begitu Lara, kamu ‘kan tahu Akang masih ada cicilan. Kalau, udah selesai cicilannya Akang janji akan lebih banyakan ngasih kamu terus. Akang cuma takut uangnya—”

“Uangnya kepakai sama aku?”

“Bukan begitu, kamu ‘kan tahu kalau cicilan telat bayar bisa denda. Lumayan besar loh dendanya.”

“Akang selalu takut uangnya kepakai sama aku, tapi enggak pernah takut kalau uangnya kepakai sama ibu dan saudara Akang. Akang pernah mikir enggak selama ini aku mengabdikan seluruh hidupku untuk keluarga ini, tapi bagaimana Akang memperlakukanku? Kadang-kadang aku merasa, meski tinggal di rumah bagus, statusku tak lebih dari seorang pembantu dan pekerja 53ks yang bahkan tidak dibayar?”

“Lara, kamu ngomong apa sih, Ra. Bisa-bisanya kamu kepikiran ngomong begitu? Kamu capek ya, pasti kamu capek. Makanya, Akang bilang kamu duduk aja. Istirahat di kamar, tiduran! Nanti selesai ini, Akang pijitin kakimu lagi.”

Sungguh aku tidak menyangka istriku akan mengatakan hal itu. Padahal, sama sekali aku tidak pernah memikirkan hal seperti itu.

“Besok pokoknya kamu harus periksa.”

“Aku enggak bisa ke puskesmas lemeslah, ‘kan tadi udah bilang.”

“Ya, kalau lemes enggak usah puasa.”

“Puasa enggak puasa sama aja.”

“Jangan bilang, karena enggak ada yang dimakan di rumah.”

“Itu tahu.”

“Kamu butuh apa? Akang belikan sekarang.”

“Banyak, tapi sudahlah. Lupakan saja!”

“Enggak apa-apa katakan saja! kalau enggak, sekarang kita keluar aja! periksakan kaki kamu, ya! Akang beneran khawatir, kok bisa sebesar itu”

“Puskesmas enggak ada yang buka malam-malam, kecuali mau lahiran.”

“Ya enggak usah di Pukesmas, di Bidan Aina aja.”

“Enggak ada bensin.”

“Pake motor Akang, nanti sekalian isi bensin yang itu.”

“Enggak usahlah, besok Musa libur, nanti aku minta tolong dia aja.”

“Aku suamimu Lara, kenapa terus-terusan mengandalkan Musa dari pada aku.”

“Musa juga anak kita. Kenapa lagi? Akang mau melarang aku dekat sama Musa.”

“Bukan begitu, maksudnya. Akang cuma mau sedikit memperbaiki kesalahan. Kenapa kamu seakan enggak pernah mau menerimanya. Sadar enggak kalau kamu terlalu menutup diri sama Akang?”

“Aku pernah membuka diri, tapi pernah enggak Akang mengerti? Enggak ‘kan? Aku hanya berusaha membuatku terbiasa sendiri.”

“Lalu, setelah terbiasa sendiri kamu mau apa? Ninggalin Akang.”

“Andai meninggalkanmu semudah itu. aku bahkan tidak pernah uang untuk mengurus perceraian.”

“Lara! Jaga bicaramu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
UMI KULSuM
sedih bacanya sambil nangis ..
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayo Lara berikan siraman rohani untuk suami kamu
goodnovel comment avatar
M Suwanto
Alur ceritanya bagus buat conto pasangan yg masi mudah"
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Nafkah yang Keliru   Bab 43 [DM]

    Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e

  • Nafkah yang Keliru   Bab 42 [DM]

    “Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”

  • Nafkah yang Keliru   Bab 41 [DM]

    “Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.

  • Nafkah yang Keliru   Bab 40 [DM]

    Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f

  • Nafkah yang Keliru   Bab 39 [DM]

    [Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa

  • Nafkah yang Keliru   Bab 38[DM]

    “Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala

  • Nafkah yang Keliru   Bab 37 [DM]

    [Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su

  • Nafkah yang Keliru   Bab 36 [DM]

    “Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat

  • Nafkah yang Keliru   Bab 35 [DM]

    Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status