Share

Bab 7

“Kang Firman kira-kira masih di sini enggak, ya?” tanyaku.

“Enggak tahu. Mungkin masih, kata Musa, proyeknya masih lama. Mungkin masih di sekitar sini!”

“Kamu udah enggak sakit kakinya?”

“Kalau sakit, memangnya kenapa?”

“Ya, Akang mau pijitin.”

“Enggak usah! Haram!”

“Kan Akang enggak ngadu. Musa yang update status di whats app.”

“Begini aja, malam ini kamu mau makan apa? Akang belikan di luar, sambil cari Kang Firman.”

“Enggak usah.”

“Biasanya ‘kan ibu hamil ngidam, kenapa hamil sekarang kamu enggak pernah minta dibelikan apa pun.”

Aku baru ingat sejak awal hingga hamil 7 bulan. Lara tak pernah meminta apa pun padaku, bahkan untuk pakaian bayi saja. Dia tidak memintanya. Padahal, kata dokter bayinya perempuan.

“Oh, ya, bukannya kamu juga belum beli pakaian?”

“Sudah.”

“Siapa yang belikan?”

“Di kasih Bu Aisyah?”

“Di kasih bekasan?”

“Baru, mana ada bekasan. Memangnya ibuya Akang?”

Sungguh saat itu meski Lara mengatakannya dengan nada yang biasa. Entah kenapa di hatiku terasa sakit.

“Maaf, kalau Akang tesinggung.”

“Kenapa Bu Aisyah sama Pak Zul bisa baik sama kamu?”

“Namanya juga RT, pasti enggak tega melihat warganya susah.”

“Kamu nyindir Akang, ya?”

“Akang kenapa jadi gampang kesindir sih, Akang bertanya ya, aku jawab.”

Bagaimana aku tidak tersindir, setiap kalimat yang keluar dari mulut Lara, seperti perbandingan. Aku hanya merasa tak pernah melakukan apa pun untuk keluargaku. Memang benar selama ini.

“Ra, kamu marah ya, gara-gara tiga hari kemarin aku enggak ninggalin uang belanja sama sekali?”

“Biasa aja.”

“Akang beneran lupa.”

“Walaupun pura-pura lupa juga enggak apa-apa kok.”

Sudah kuduga sikapnya berubah sejak aku lupa mengabarkan Sora keluar kota dan tanpa memberinya uang pegangan.

“Yang penting ‘kan anak-anak masih hidup. Akang mah ‘kan enggak peduli mereka mau makan apa. Asal bisa nafas, ya udah cukup buat Akang. Enggak peduli, keadaan mereka sehat atau enggak. Gizinya terpenuhi atau enggak. Yang penting ibu, Tia dan Ari enggak kurang makan dan hidup enak. Udahlah aku mau nyuci lagi.”

Saat itu Lara yang sudah menarik kakinya dan hendak beranjak seketika tertahan, karena aku menarik tangannya.

“Kamu kaki lagi kayak gini, masih aja maksa buat kerja. Nanti Akang yang kerja.”

“Enggak usah, haram!”

“Mana ada kata haram, itu mah akal-akalan ibu aja!”

Saat itu Lara malah memegangi keningnya. Entah apa yang dia pikirkan, hanya saja kenapa aku baru sadar jika ibu begitu keanak-anakan. Bukankah wajah bagi suami istri saling merawat saat sakit, lantas kalau bukan aku, memangnya siapa lagi yang akan mengurus Lara. Apa lagi ia hanya punya aku. Orang tuanya sudah meninggal, bahkan paman satu-satunya yang pernah menjadi wali nikah Lara saja sudah meninggal sejak tahun pertama pernikahan kami. Bisa dikatakan Lara tak punya siapa pun.

Meskipun ada keluarga dari pamannya yang masih hidup sampai sekarang, tapi hubungan mereka juga tidak terlalu dekat. Apa lagi seiring dengan mereka yang sibuk dengan kehidupan masing-masing. Sora bahkan sudah beberapa tahun ini tidak pernah pulang ke kampung halamannya. Jika, lebaran. Kami hanya akan pulang ke rumah ibuku.

Saat itu aku benar-benar terjebak dengan perkataanku sendiri. Melihat kaki Lara yang bengkak sangat besar, membuatku juga tak tega membiarkannya mencuci pakaian. Meskipun, itu artinya aku harus berurusan dengan bau pesing dan busuk yang sangat menyengat. Bahkan beberapa kali aku harus muntah, karenanya.

Kami juga punya anak, tapi tidak pernah menumpuk pakaian sampai aromanya sangat menyengat. Sialnya saat aku memillah pakaian bayi, ada bekas kotoran yang masih tersisa di sana. Sudah dipastikan menu buka puasaku harus berakhir di toilet.

Ya aku muntah, karenanya.

“Bisa-bisanya kotoran anaknya, enggak dibersihin dulu. Huek!” umpatku.

Saat aku sedang sibuk mengumpat. Rupanya hal itu memancing keingintahuan Lara, padahal aku sudah wanti-wanti agar wanita itu diam di kamar saja. Aku masih ingat jika sudah bengkak, biasanya perempuan hamil tidak boleh terlalu banyak berdiri. Jadi tidak boleh melakukan aktivitas yang itu-itu saja dalam waktu yang lama, atau itu mungkin akan semakin memperparah bengkaknya.

Hanya saja ini masih kehamilan ke tujuh, kenapa kaki Lara sampai sebesar itu. Padahal, dulu saat kakinya sebesar itu usia kandungannya sudah mendekati HPL.

Benar saja dugaanku Lara sudah berada di dapur. Tanpa kata ia malah menyodorkan air putih hangat padaku.

“Tinggalkan saja! Biar aku yang lanjut!”

“Enggak, kamu duduk aja!”

“Aku enggak mau anak kita kenapa-kenapa, apa lagi ini anak perempuan.”

“Biasanya kotorannya enggak cuma satu celana. Ada 3 sampai 5.”

“Apa? Kenapa kamu mau-mau aja sih, harusnya kamu bilang, yang ada kotorannya di bersihkan dulu.”

“Butuh duit. Aku enggak mau Sean kena stunting. Kalau, aku enggak mengandalkan diri sendiri memangnya mau mengandalkan siapa?”

“Ada Akang.”

“Akang aja masih enggak bisa tegas sama pilihan sendiri. Akang memutuskan berumah tanggaku denganku, tapi sampai hari ini. Sekali pun Akang enggak pernah mempercayakan masalah keuangan padaku. Jadi, sebenarnya tujuan kita menikah ini apa? Apa hanya untuk anak? Atau apa?”

“Bukan begitu Lara, kamu ‘kan tahu Akang masih ada cicilan. Kalau, udah selesai cicilannya Akang janji akan lebih banyakan ngasih kamu terus. Akang cuma takut uangnya—”

“Uangnya kepakai sama aku?”

“Bukan begitu, kamu ‘kan tahu kalau cicilan telat bayar bisa denda. Lumayan besar loh dendanya.”

“Akang selalu takut uangnya kepakai sama aku, tapi enggak pernah takut kalau uangnya kepakai sama ibu dan saudara Akang. Akang pernah mikir enggak selama ini aku mengabdikan seluruh hidupku untuk keluarga ini, tapi bagaimana Akang memperlakukanku? Kadang-kadang aku merasa, meski tinggal di rumah bagus, statusku tak lebih dari seorang pembantu dan pekerja 53ks yang bahkan tidak dibayar?”

“Lara, kamu ngomong apa sih, Ra. Bisa-bisanya kamu kepikiran ngomong begitu? Kamu capek ya, pasti kamu capek. Makanya, Akang bilang kamu duduk aja. Istirahat di kamar, tiduran! Nanti selesai ini, Akang pijitin kakimu lagi.”

Sungguh aku tidak menyangka istriku akan mengatakan hal itu. Padahal, sama sekali aku tidak pernah memikirkan hal seperti itu.

“Besok pokoknya kamu harus periksa.”

“Aku enggak bisa ke puskesmas lemeslah, ‘kan tadi udah bilang.”

“Ya, kalau lemes enggak usah puasa.”

“Puasa enggak puasa sama aja.”

“Jangan bilang, karena enggak ada yang dimakan di rumah.”

“Itu tahu.”

“Kamu butuh apa? Akang belikan sekarang.”

“Banyak, tapi sudahlah. Lupakan saja!”

“Enggak apa-apa katakan saja! kalau enggak, sekarang kita keluar aja! periksakan kaki kamu, ya! Akang beneran khawatir, kok bisa sebesar itu”

“Puskesmas enggak ada yang buka malam-malam, kecuali mau lahiran.”

“Ya enggak usah di Pukesmas, di Bidan Aina aja.”

“Enggak ada bensin.”

“Pake motor Akang, nanti sekalian isi bensin yang itu.”

“Enggak usahlah, besok Musa libur, nanti aku minta tolong dia aja.”

“Aku suamimu Lara, kenapa terus-terusan mengandalkan Musa dari pada aku.”

“Musa juga anak kita. Kenapa lagi? Akang mau melarang aku dekat sama Musa.”

“Bukan begitu, maksudnya. Akang cuma mau sedikit memperbaiki kesalahan. Kenapa kamu seakan enggak pernah mau menerimanya. Sadar enggak kalau kamu terlalu menutup diri sama Akang?”

“Aku pernah membuka diri, tapi pernah enggak Akang mengerti? Enggak ‘kan? Aku hanya berusaha membuatku terbiasa sendiri.”

“Lalu, setelah terbiasa sendiri kamu mau apa? Ninggalin Akang.”

“Andai meninggalkanmu semudah itu. aku bahkan tidak pernah uang untuk mengurus perceraian.”

“Lara! Jaga bicaramu.”

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayo Lara berikan siraman rohani untuk suami kamu
goodnovel comment avatar
M Suwanto
Alur ceritanya bagus buat conto pasangan yg masi mudah"
goodnovel comment avatar
Djati Rahardjo
Ceritanya bagus, bisa utk contoh bagi pasangan spy hidup sejahtera
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status