“Kang Firman kira-kira masih di sini enggak, ya?” tanyaku.
“Enggak tahu. Mungkin masih, kata Musa, proyeknya masih lama. Mungkin masih di sekitar sini!”
“Kamu udah enggak sakit kakinya?”
“Kalau sakit, memangnya kenapa?”
“Ya, Akang mau pijitin.”
“Enggak usah! Haram!”
“Kan Akang enggak ngadu. Musa yang update status di whats app.”
“Begini aja, malam ini kamu mau makan apa? Akang belikan di luar, sambil cari Kang Firman.”
“Enggak usah.”
“Biasanya ‘kan ibu hamil ngidam, kenapa hamil sekarang kamu enggak pernah minta dibelikan apa pun.”
Aku baru ingat sejak awal hingga hamil 7 bulan. Lara tak pernah meminta apa pun padaku, bahkan untuk pakaian bayi saja. Dia tidak memintanya. Padahal, kata dokter bayinya perempuan.
“Oh, ya, bukannya kamu juga belum beli pakaian?”
“Sudah.”
“Siapa yang belikan?”
“Di kasih Bu Aisyah?”
“Di kasih bekasan?”
“Baru, mana ada bekasan. Memangnya ibuya Akang?”
Sungguh saat itu meski Lara mengatakannya dengan nada yang biasa. Entah kenapa di hatiku terasa sakit.
“Maaf, kalau Akang tesinggung.”
“Kenapa Bu Aisyah sama Pak Zul bisa baik sama kamu?”
“Namanya juga RT, pasti enggak tega melihat warganya susah.”
“Kamu nyindir Akang, ya?”
“Akang kenapa jadi gampang kesindir sih, Akang bertanya ya, aku jawab.”
Bagaimana aku tidak tersindir, setiap kalimat yang keluar dari mulut Lara, seperti perbandingan. Aku hanya merasa tak pernah melakukan apa pun untuk keluargaku. Memang benar selama ini.
“Ra, kamu marah ya, gara-gara tiga hari kemarin aku enggak ninggalin uang belanja sama sekali?”
“Biasa aja.”
“Akang beneran lupa.”
“Walaupun pura-pura lupa juga enggak apa-apa kok.”
Sudah kuduga sikapnya berubah sejak aku lupa mengabarkan Sora keluar kota dan tanpa memberinya uang pegangan.
“Yang penting ‘kan anak-anak masih hidup. Akang mah ‘kan enggak peduli mereka mau makan apa. Asal bisa nafas, ya udah cukup buat Akang. Enggak peduli, keadaan mereka sehat atau enggak. Gizinya terpenuhi atau enggak. Yang penting ibu, Tia dan Ari enggak kurang makan dan hidup enak. Udahlah aku mau nyuci lagi.”
Saat itu Lara yang sudah menarik kakinya dan hendak beranjak seketika tertahan, karena aku menarik tangannya.
“Kamu kaki lagi kayak gini, masih aja maksa buat kerja. Nanti Akang yang kerja.”
“Enggak usah, haram!”
“Mana ada kata haram, itu mah akal-akalan ibu aja!”
Saat itu Lara malah memegangi keningnya. Entah apa yang dia pikirkan, hanya saja kenapa aku baru sadar jika ibu begitu keanak-anakan. Bukankah wajah bagi suami istri saling merawat saat sakit, lantas kalau bukan aku, memangnya siapa lagi yang akan mengurus Lara. Apa lagi ia hanya punya aku. Orang tuanya sudah meninggal, bahkan paman satu-satunya yang pernah menjadi wali nikah Lara saja sudah meninggal sejak tahun pertama pernikahan kami. Bisa dikatakan Lara tak punya siapa pun.
Meskipun ada keluarga dari pamannya yang masih hidup sampai sekarang, tapi hubungan mereka juga tidak terlalu dekat. Apa lagi seiring dengan mereka yang sibuk dengan kehidupan masing-masing. Sora bahkan sudah beberapa tahun ini tidak pernah pulang ke kampung halamannya. Jika, lebaran. Kami hanya akan pulang ke rumah ibuku.
Saat itu aku benar-benar terjebak dengan perkataanku sendiri. Melihat kaki Lara yang bengkak sangat besar, membuatku juga tak tega membiarkannya mencuci pakaian. Meskipun, itu artinya aku harus berurusan dengan bau pesing dan busuk yang sangat menyengat. Bahkan beberapa kali aku harus muntah, karenanya.
Kami juga punya anak, tapi tidak pernah menumpuk pakaian sampai aromanya sangat menyengat. Sialnya saat aku memillah pakaian bayi, ada bekas kotoran yang masih tersisa di sana. Sudah dipastikan menu buka puasaku harus berakhir di toilet.
Ya aku muntah, karenanya.
“Bisa-bisanya kotoran anaknya, enggak dibersihin dulu. Huek!” umpatku.
Saat aku sedang sibuk mengumpat. Rupanya hal itu memancing keingintahuan Lara, padahal aku sudah wanti-wanti agar wanita itu diam di kamar saja. Aku masih ingat jika sudah bengkak, biasanya perempuan hamil tidak boleh terlalu banyak berdiri. Jadi tidak boleh melakukan aktivitas yang itu-itu saja dalam waktu yang lama, atau itu mungkin akan semakin memperparah bengkaknya.
Hanya saja ini masih kehamilan ke tujuh, kenapa kaki Lara sampai sebesar itu. Padahal, dulu saat kakinya sebesar itu usia kandungannya sudah mendekati HPL.
Benar saja dugaanku Lara sudah berada di dapur. Tanpa kata ia malah menyodorkan air putih hangat padaku.
“Tinggalkan saja! Biar aku yang lanjut!”
“Enggak, kamu duduk aja!”
“Aku enggak mau anak kita kenapa-kenapa, apa lagi ini anak perempuan.”
“Biasanya kotorannya enggak cuma satu celana. Ada 3 sampai 5.”
“Apa? Kenapa kamu mau-mau aja sih, harusnya kamu bilang, yang ada kotorannya di bersihkan dulu.”
“Butuh duit. Aku enggak mau Sean kena stunting. Kalau, aku enggak mengandalkan diri sendiri memangnya mau mengandalkan siapa?”
“Ada Akang.”
“Akang aja masih enggak bisa tegas sama pilihan sendiri. Akang memutuskan berumah tanggaku denganku, tapi sampai hari ini. Sekali pun Akang enggak pernah mempercayakan masalah keuangan padaku. Jadi, sebenarnya tujuan kita menikah ini apa? Apa hanya untuk anak? Atau apa?”
“Bukan begitu Lara, kamu ‘kan tahu Akang masih ada cicilan. Kalau, udah selesai cicilannya Akang janji akan lebih banyakan ngasih kamu terus. Akang cuma takut uangnya—”
“Uangnya kepakai sama aku?”
“Bukan begitu, kamu ‘kan tahu kalau cicilan telat bayar bisa denda. Lumayan besar loh dendanya.”
“Akang selalu takut uangnya kepakai sama aku, tapi enggak pernah takut kalau uangnya kepakai sama ibu dan saudara Akang. Akang pernah mikir enggak selama ini aku mengabdikan seluruh hidupku untuk keluarga ini, tapi bagaimana Akang memperlakukanku? Kadang-kadang aku merasa, meski tinggal di rumah bagus, statusku tak lebih dari seorang pembantu dan pekerja 53ks yang bahkan tidak dibayar?”
“Lara, kamu ngomong apa sih, Ra. Bisa-bisanya kamu kepikiran ngomong begitu? Kamu capek ya, pasti kamu capek. Makanya, Akang bilang kamu duduk aja. Istirahat di kamar, tiduran! Nanti selesai ini, Akang pijitin kakimu lagi.”
Sungguh aku tidak menyangka istriku akan mengatakan hal itu. Padahal, sama sekali aku tidak pernah memikirkan hal seperti itu.
“Besok pokoknya kamu harus periksa.”
“Aku enggak bisa ke puskesmas lemeslah, ‘kan tadi udah bilang.”
“Ya, kalau lemes enggak usah puasa.”
“Puasa enggak puasa sama aja.”
“Jangan bilang, karena enggak ada yang dimakan di rumah.”
“Itu tahu.”
“Kamu butuh apa? Akang belikan sekarang.”
“Banyak, tapi sudahlah. Lupakan saja!”
“Enggak apa-apa katakan saja! kalau enggak, sekarang kita keluar aja! periksakan kaki kamu, ya! Akang beneran khawatir, kok bisa sebesar itu”
“Puskesmas enggak ada yang buka malam-malam, kecuali mau lahiran.”
“Ya enggak usah di Pukesmas, di Bidan Aina aja.”
“Enggak ada bensin.”
“Pake motor Akang, nanti sekalian isi bensin yang itu.”
“Enggak usahlah, besok Musa libur, nanti aku minta tolong dia aja.”
“Aku suamimu Lara, kenapa terus-terusan mengandalkan Musa dari pada aku.”
“Musa juga anak kita. Kenapa lagi? Akang mau melarang aku dekat sama Musa.”
“Bukan begitu, maksudnya. Akang cuma mau sedikit memperbaiki kesalahan. Kenapa kamu seakan enggak pernah mau menerimanya. Sadar enggak kalau kamu terlalu menutup diri sama Akang?”
“Aku pernah membuka diri, tapi pernah enggak Akang mengerti? Enggak ‘kan? Aku hanya berusaha membuatku terbiasa sendiri.”
“Lalu, setelah terbiasa sendiri kamu mau apa? Ninggalin Akang.”
“Andai meninggalkanmu semudah itu. aku bahkan tidak pernah uang untuk mengurus perceraian.”
“Lara! Jaga bicaramu.”
“Kamu enggak inget ya, sampai kapan pun, enggak peduli kamu mau bilang pisah berapa kali lagi, talak itu hanya jatuh saat diucapkan suami. Aku enggak suka ya Ra, kamu bicara sembarangan begini. Kamu tahu enggak istri yang gampang mengucap cerai, itu enggak akan mencium wangi surga?” Entahlah baru kali ini aku melihat Lara seberani ini. Aku tidak menyangka bisa-bisanya dia punya pikiran sejauh itu. “Lalu, bagaimana hukumnya suami yang enggak bertanggungjawab? Membiarkan anak-anaknya kelaparan, bahkan sampai malnutrisi. Akang pikir rumah tangga ini hanya tentang rumah, kendaraan dan tabungan aja? Akang itu terlalu sombong, Akang yakin banget bakal hidup sampai tua nanti, kalau enggak siapa yang kelak nikmatin kerja kerasmu? Akang terlalu memikirkan masa depan, padahal kita hidup di masa sekarang. Akang membiarkan kami sedemikian berhematnya, sampai aku muak.” “Akang minta maaf. Kemarin itu benar-benar lupa. Lagi pula kenapa kamu enggak menghubungi Akang coba?‘Kan bisa kamu telepon Ak
“Saya ke sana agak maleman ya Kang, satu jam lagi mungkin. Mau anter istri ke Bidan dulu.”“Oh, siap-siap. Teh Lara lagi ngisi lagi?”“Oh, iya Kang, alhamdulillah sudah 7 bulan.”“Ya sudah, kalau begitu.”Akhirnya telepon pun di matikan, kebetulan cucian juga sudah selesai di bilas. Hanya tinggal dijemur besok pagi jika sudah ada panas matahari. Aku berinisiatif untuk memanggil Lara ke atas.“Dek, ayo ke bidan sekarang aja!”“Besok aja, Adek capek pengen tiduran dulu.”“Jangan ditunda dulu, mumpung Akang ada di rumah?”“Sejak kapan sih Akang jadi peduli gini. Biasanya juga masa bodo ‘kan?”“Ya, karena Akang sayang sama kamu, makanya enggak mau sampai kamu kenapa-kenapa.”“Gak mau kenapa-kenapa, apa takut ditinggal pergi.”“Ya, dua-duanya. Akang mau ngapain coba kalau di rumah enggak ada kalian.”“Ya, kerjalah. Akang ‘kan selama ini juga lebih banyak kerja, ketimbang di rumahnya. Lagian ada keluarga Akang, bisa pulang ke sana kapan aja!”“Ya, bedalah Dek. Namanya orang tua sama kalian.
“Jangan pisah juga dong Ra, kamu boleh marah sama Akang. Enggak apa-apa Akang terima. Kamu mau pukul Akang pun enggak apa-apa Akang ikhlas. Sok pukul sampai kamu puas!”Saat itu aku sampai menggenggam tangan Lara, hanya demi menyalurkan emosinya. Entahlah aku hanya berpikir jika ia marah, setidaknya itu akan jauh lebih baik dari pada aku harus benar-benar kehilangannya. Namun, bukannya memukul seperti kebanyakan perempuan lainnya saat emosi. Lara malah menghempaskan lengannya dengan begitu keras.“Mukul itu enggak akan menyelesaikan masalah.”“Ya, tapi Akang enggak mau pisah sama kamu. Dari tadi loh, kamu bilang mau pisah terus. Siapa yang enggak panik. Belasan tahun kita rumah tangga, baru kali ini kamu begini, Ra! Akang ‘kan udah janji mau berubah, tolonglah beri Akang kesempatan, jangan pisah-pisah terus. Semua juga perlu waktu, Akang juga masih shock dengar mobil udah dijual 3 sama ibu. Tolonglah mengerti posisi Akang juga, Ra.”“Akang tuh dari dulu emang egosi, cuma pengen dimeng
Aku yang masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Musa, lantas dengan tergesa-gesa mencari ke setiap sudut ruangan rumahku. Sambil terus memanggil namanya, berharap ia mungkin hanya sedang tertidur atau beristirahat di ruangan lain. Sayangnya, setiap ruang telah kutelusuri, tetapi hasilnya nihil.“Kan sudah kubilang enggak ada,” ucap Musa dari lantai atas.“Ayah di rumah aja jaga anak-anak. Biar aku yang cari Bunda!”“Loh, kok Ayah yang jaga anak-anak? Ayah aja yang cari!”“Emang Ayah enggak mau jaga adik-adik? Lagian ayah juga ‘kan enggak akan tahu biasanya Bunda pergi ke mana aja? mana pernah Ayah peduli.”Saat itu Musa terlihat sangat kesal. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal ucapannya. Selama ini aku memang tak perhatian dengan Lara. Sampai aku tidak tahu ke mana saja ia pergi dan siapa saja teman-temannya.“Kalau enggak mau direpotkan sama anak-anak, kenapa atuh bikin anak banyak-banyak?”“Musa, kamu tahu enggak ucapan kamu itu keterlaluan.”“Ayah juga keterlaluan. Selama i
Saat itu aku yakin sekali jika Bu Yeni dan Sofia yang masih berada di ruang tamu, turut mendengar bisikan Musa padaku. Tampak dari cara pandang mereka yang berubah seketika melihat kami.“Sofia ambilkan saja jajanan di rumah kita, bawa ke sini cepat ya! Takutnya Sean juga keburu ngantuk ‘kan, mau istirahat.”“Enggak usah Bu, ini Musa juga bawa camilan dari luar. Nanti biar Musa yang tenangin Sean, maaf ya malam-malam ngerepotin jadinya. Sean pasti ngamuk dan bikin geger sekampung ya?” tanya Musa yang tampak tak enak hati.“Ah, biasa itu mah Mus, namanya juga anak-anak. Bagaimana ibunya udah ada kabar?”“Hm, belum Bu. Besok aja kayaknya Musa cari lagi. Tadi kepikiran adek-adek takut rewel juga kalau ditinggal.”“Semoga cepet ketemu ya, Bundanya biar pulang lagi. Kalau begitu ibu sama Sofia pamit, ya!”“Iya, makasih Bu, Sof.”Sofia tampak tersenyum ramah padaku dan Musa. Kemudian, mereka pun segera pergi. Mungkin juga merasa tak nyaman, karena keributan kami barusan.“Aa bawa es krim sa
“Diblokir itu mah, Yah,” sahut Musa.Rupanya dia kembali keluar kamar. Aku bahkan tak menyadari keberadaannya, karena terlalu sibuk memikirkan tingkah keluargaku yang ternyata begitu kejam dan serakah terhadap uang. Mereka bahkan tak punya belas kasihan. Sungguh, sekarang aku benar-benar merasa hanya dijadikan tak ubahnya seperti sapi perah oleh mereka.“Ini buktinya aku bisa kirim pesan ke nenek.”Musa menunjukkan layer ponselnya yang baru saja mengirimkan pesan singkat pada nomor ibu dan memang terkirim. Bahkan, di sana foto profilenya juga masih terlihat. Berbeda denganku yang masih putih. Namun, saat itu tak menunggu lama, rupanya nomor Musa juga diblokir setelah pesan itu dibaca ibu.“Astaghfirrullah, keterlaluan banget mereka ini. Giliran butuh apa-apa aja nelepon.”“Sekarang ayah tahu sendiri ‘kan bagaimana perlakuan nenek ke Bunda. Semua yang diucapin Bunda itu nyata, tapi Ayahnya aja yang enggak pernah percaya. Kasihan, ‘kan Bunda selalu jadi korban fitnah. Padahal, jelas-jel
“Tapi, kalau berangkat malam aturan pagi udah sampai rumah saya. Orang Sukabumi ke Bogor ‘kan enggak terlalu jauh Bu, saya juga berangkatnya agak siang kok.”“Aduh saya kurang tahu kalau masalah itu. Soalnya pas saya tanya, Bu Sukma jawabnya gitu, mau silaturahmi ke rumah Kang Jimy.”Ya Tuhan, drama apa lagi yang dilakukan mereka. Setelah berhasil menjual angkotku sekarang mereka malah mau melarikan diri. Sungguh keterlaluan.“Kalau begitu saya permisi, Kang.”“Iya, Bu Neneng makasih banyak ya, buat informasinya.”Sekarang aku bahkan tak tahu bagaimana cara membuka gembok dan rumahnya. Saat itu tampak hanya ada satu mobil angkot yang terparikir di grasi. Sungguh, begitu melihatnya emosiku menjadi memuncak seketika. Tanpa sadar, karena rasa lelah, lapar dan emosi yang bercampur menjadi satu, tanpa sadar aku menendang pagar rumah ibu dengan begitu kerasnya. Sampai-sampai hal itu membuat Sean dan A
Di tengah kebingungan saat itu Arfan malah menghampiriku.“Ayah itu Sean muntah!”Saat itu aku yang khawatir langsung menuju ke ruang tamu untuk mengeceknya. Namun, begitu sampai sana benar saja keadaan Sean sudah sangat memprihatinkan. Suhunya bahkan kembali meningkat. Aku tidak bisa membiarkan hal ini terus menerus. Tanpa pikir panjang aku membawa anak itu pergi ke dokter.Saking tinggi demamnya, gigi Sean bahkan sampai terdengar gemelatuk. Aku jadi teringat akan perkataan Lara yang bilang kalau daya tahan tubuh Sean tidak sekuat anak-anak yang lain. Apakah sekarang semua yang terjadi adalah dampak dari stunting yang dideritaya? Ya Tuhan, semoga saja itu tidak akan separah yang ada dalam pikiranku.Ketika bertemu dengan Dokter pun, aku malah disalahkan ketika melihat Sean untuk pertama kali. Ia langsung mempertanyakan kondisi tubuhnya yang memang lebih kecil dari anak seusianya. Namun, rasanya aku sangat malu untuk mengatakan