Share

Bab 6

Penulis: ERIA YURIKA
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-11 17:49:01

“Kamu jangan bicara sembarangan. Lagi pula mana mungkin ibu jual angkot tanpa bilang ke Ayah dulu.”

“Susah, ya! Segitu enggak percayanya Ayah sama kami. Udah bener Ayah dinas di luar kota aja. Enggak usah pulang-pulang. Sekalinya pulang malah bikin suasana di rumah jadi enggak enak.”

Musa lantas pergi ke kamar Lara, padahal azan isya sudah berkumandang, tetapi anak-anak sepertinya tak berniat untuk segera beranjak pergi ke musala.

“Kamu enggak salat?”

“Kalau, aku salat. Bisa jadi Bunda malah dipukulin Ayah.”

“Ya, enggaklah sejak kapan Ayah tega main fisik.”

“Kamu salat aja, Ayah perlu bicara sama Bunda! Bawa adik-adikmu sekalian.”

Saat itu Musa yang hendak menaiki tangga mendadak menghentikan langkahnya ia menatapku dengan pandangan menelisik. Seolah tak percaya, jika aku tidak akan berbuat kasar. Lagi pula semur berumah tangga dengan Lara, mana pernah aku memukulnya. Apa lagi sekarang Lara juga sedang hamil besar. Aku tidak sekejam itu.

“Awas kalau aku lihat Bunda kenapa-kenapa?”

“Kamu mau apa emang?”

“Laki-laki sejati enggak mukul perempuan.”

Aku tidak pernah menyangka jika kalimat yang dahulu selalu aku ucapkan pada ketiga anak lelakiku malah berbalik pada dirikku sendiri. Aku memang sedikit perhitungan soal keuangan. Hanya saja, tidak untuk kekerasan dalam rumah tangga.

“Adek, ke musala sekarang ya! Udah azan isya.”

“Aku mau sama Bunda, aja A,” sahut Sean.

“Jangan, Bunda mau istirahat. Katanya mau dipijitin Ayah.”

“Hah, Ayah beneran mau mijitin Bunda?” tanya Arfan dengan pandangan yang tak percaya. 

Seumur-umur aku bahkan tak pernah memijat Lara. Entah kenapa Musa malah mengatakan hal itu.

“Oh, iya. Bunda kan capek abis nyuci, jadi nanti Ayah pijat.”

Saat itu Lara sendiri bahkan menatapku dengan pandangan yang tak jauh berbeda seperti kedua anakku yang lainnya. Namun, ia cenderung lebih santai dari pada peduli ia malah terkesan masa bodo. Saat itu aku berada tepat di samping Musa, yang malah melirikku dengan tajam.

“Tadi aku niatnya juga mau mijitin, kalau enggak mau ya udah aku sama adek-adek enggak usah tarawih aja,” bisik Musa.

“Jangan kalian pergi aja. Nih, Ayah mau mijitin sekarang. Sana-sana pergi. Biar dapat shaf paling depan. Jangan bercanda ya, salatnya.”

“Kita mana pernah bercanda, Ayah. Dosa!” kata Arfan.

“Oh, bagus. Kalian memang anak-anak saleh Ayah.”

Saat itu aku mencoba untuk tersenyum seramah mungkin. Namun, anak-anakku malah tampak melihatkku dengan pandangan aneh. Sambil menyibak gamis yang digunakan Lara, aku masih mencoba memasang wajah senyum. 

“Akang mau apa?” tanya Lara dengan wajah paniknya.

“Ya mijitin.”

“Ya, enggak sekarang juga Kang.”

“Sudah diam aja!”

“Emang Akang bisa mijit?”

“Ya bisalah, mijit doang masa enggak bisa. Sudah tenang saja, dijamin enak.”

Setelah memastikan jika aku benar-benar melakukan apa yang Musa katakan, barulah satu perasatu anak-anakku meninggalkan rumah. Mereka juga turut menyalamiku dan Lara bergantian.

“Jangan ribut lagi!” lirih Musa, tepat saat gilran salamannya tiba.

Ah, kenapa juga anak ini sangat protektif pada bundanya? Sudah kukatakkan berkali-kali aku tidak main kasar pada perempuan pun ia masih saja tak percaya.

Seiring dengan kepergian anak-anak. Rumah pun menjadi sangat hening.

“Sudah enggak usah mijet, Kang!”

Lara tiba-tiba menarik kakinya, yang sejak tadi sudah berada di pangkuanku. Namun, tanpa menunggu lama, aku kembali menariknya.

“Ish, pelan-pelan Akang!”

“Oh, iya maaf.”

Saat itu aku baru sadar, jika kaki Lara kenapa menjadi besar. Aku memastikan dengan melihat wajah dan tubuhnya. Namun, kenapa tampak ganjil. Pipinya tidak chubby dan tubuh Lara juga tidak membesar. Kenapa bagian kaki ini malah terlihat membengkak sendiri.

“Itu bengkak.”

Sepertinya Lara tahu apa yang kupikirkan, terbukti ia langsung menjelaskannya.

“Hamil tua memang suka begitu.”

“Udah periksa?”

“Belum.”

“Kenapa?”

“Enggak ada yang nganter.”

“Kan ada motor. Biasanya juga sendiri bisa.”

“Ya.”

“Kok cuma iya.”

“Ini kalau didiemin bahaya. Besok periksa ya.”

“Enggak ada bensin.”

“Ya ampun, ini makanya dipegang buat periksa.”

“Kalau siang aku lemes, takut jatuh dijalan.”

Kalau sudah begini pasti susah sekali untuk membujuknya. Akan lebih baik jika aku membuatnya sedikit lebih rilex dengan pijatan ringan di kakinya. Mungkin itu akan sedikit menurunkan tingkat kemarahannya.

“Kamu kenapa sih mau jual mobil? Apa ada sesuatu yang kamu tahu tentang mobil?”

“Kenapa tanya aku? Tanyanya ke keluarga Akang di kampung!”

“Ya, kalau Akang tanya di kampung pasti jawabannya sama. Mobil ada di grasi semua.”

“Ya sudah, kenapa juga tanya. Intinya Akang enggak mau jual.”

“Bukan begitu, tapi tadi Musa bilang masa mobilnya udah enggak ada. Akang pikir kamu tahu sesuatu.”

“Aku tuh sebenarnya capek ngomong sama Akang. Bahkan enggak peduli kalau yang diomongin Ibu benar atau bohong buat Akang semua itu tetaplah sebuah kebenaran. Berbeda dengan kami, Akang enggak akan peduli jika kami berkata jujur, hanya karena itu sedikit menjelakkan keluarga Akang di kampung. Akang ngiranya pasti itu semua bohong. Jadi, untuk hal ini sebaiknya Akang datang dan pastikan sendiri di kampung. Jangan sampai ibu kirim pesan ke aku lagi. Nuduh aku yang macam-macam padahal kenyataannya, apa yang aku tuduhkan memang benar.”

“Tapi, Akang sibuk banget akhir-akhir ini. Sebentar lagi ‘kan lebaran. Kemarin aja Akang abis keluar kota karena ada proyek. Dua hari lagi Akang harus ke luar kota lagi. Mana sempat ke sana. Mana produksi di pabrik juga lagi banyak-banyaknya. Coba sekarang Akang tanya, kamu dapaet informasinya bagaimana?”

“Mobil itu cuma sisa satu yang kredit. Yang 3nya udah dijual. 2 dijual, 1 di over kredit.”

Astaghfirrullah, tapi ibu enggak ada bilang apa pun.”

“Kamu dapat info dari mana sih?”

“Dari Kang Firman, dia ‘kan kerja di sekitar sini.”

“Di mana? Orang Akang enggak pernah ketemu.”

“Seminggu yang lalu dia kerja jadi tukang gali buat saluran pipa gas di depan jalan raya sana.”

Astaghfirrulah.”

Sungguh aku benar-benar shock bukan main. Kenapa ibuku tega memanfaatkanku selama ini. 

“Padahal aku masih bayar cicilan untuk 2 mobil loh Dek, ibu bahkan selalu kirim laporan pendapatannya.”

“Laporan mah bisa ngarang. Kamu lupa Tia sekolah jurusan akuntansi.”

“Ya Allah. Akang enggak bisa kayak gini, Akang harus pulang sekarang juga.”

Saat itu ketika aku panik bukan main, Lara bukannya menenangkanku. Ia malah tersenyum.

“Kamu kok malah senyum?”

“Enggak, enggak enak ‘kan rasanya dikecewakan sama orang yang sudah kita percaya? Itu yang aku rasakan setiap hari. Berbakti boleh Kang, tapi kalau enggak bisa menuhin kebutuhan anak istri. Mau uang sebanyak apa pun, jatuhnya enggak akan berkah. Sudahlah, enggak usah mijit lagi! Aku tahu ini pasti kerjaan Musa, lagian mana mau sih Akang ngelakuin perkejaan haram ini.”

“Haram apa lagi sih, Dek.”

“Ya, ‘kan ibumu yang bilang mijat istri itu haram, jatuhnya mau-mau aja diperbudak istri.”

Astaghfirrullah, mana pernah ibu bilang gitu.”

“Ini!”

“Astaghfirrullah.”

“Ibu tahu dari mana coba.”

“Akang kali yang ngadu.”

“Akang enggak bawa hp.”

Saat itu aku berusaha membaca pesan yang baru saja ibu kirimkan padaku. Itu berisi screenshootan status wa. Atas nama Musa.

“Ada-aja memang anak yang satu itu.”

“Lihat dari status Musa itu.”

“Kamu kenapa enggak pulang ke kampung aja sih Kang, tinggal serumah sama ibumu.”

“Sudahlah blok aja! ribet banget!”

“Tumben!”

Entahlah aku hanya merasa kenapa ibu begitu menyebalkan. Mobil dijual enggak bilang, padahal selama ini aku selalu memperlakukan mereka dengan sangat baik. Bahkan, lebih baik dari pada aku memperlakukan keluargaku sendiri. Jika, semua yang dituduhkan, benar kejam sekali mereka padaku. Apakah selama ini aku hanya dimanfaatkan saja?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Semoga Jimy segera sadar sudah dimanfaatkan oleh keluarga nya
goodnovel comment avatar
dianrahmat
kewajiban laki2 adalah istri & anak2. itu merupakan kewajiban yg melekat. berbakti pada ortu adalah kewajiban setelahnya.
goodnovel comment avatar
Isabella
Berbakti kedua orang tua itu wajib. tapi juga tidak nelantarin anak istri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Nafkah yang Keliru   Bab 43 [DM]

    Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e

  • Nafkah yang Keliru   Bab 42 [DM]

    “Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”

  • Nafkah yang Keliru   Bab 41 [DM]

    “Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.

  • Nafkah yang Keliru   Bab 40 [DM]

    Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f

  • Nafkah yang Keliru   Bab 39 [DM]

    [Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa

  • Nafkah yang Keliru   Bab 38[DM]

    “Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status