Jack melihat para pelayan berlarian. Maka tahulah ia kalau itu semua pasti karena Zeta.
Bisa-bisanya dia membuat kericuhan di sini, desah Jack berat dalam hati. Ia segera menggiring dirinya menuju ke kamar Zeta yang pintunya tertutup. Di sana Zeta menangis ditemani Lerry yang memegang pundaknya, menepuknya perlahan untuk menenangkan.
"Aku ingin keluar dari rumah ini, Bi. Tapi, aku tidak bisa. Bahkan ponselku sekarang tidak ada, aku tidak bisa menemukannya... Aku ingin sekali pergi dari sini...." Zeta terus berucap dengan sesekali sesengukan.
"Tenanglah, Nona. Tapi kenapa Nona bisa berada di taman belakang tadi? Jangan seperti itu lagi ya Nona. Saya tadi kebingungan mencari Anda." Lerry mengusap pundak Zeta lembut dengan mata yang memancarkan kasih sayang tulus.
"Karena mau kabur?" sahut Jack dari balik pintu yang kini terbuka, membuat kedua perempuan di depannya sama-sama terjingkat kaget.
Zeta buru-buru mengusap air matanya sebelum Jack mengetahui
Jack mengangkat wajah serta sebelah alisnya ketika Aiden sudah berdiri di hadapannya. "Bagaimana?" tanyanya seraya memijat-mijat keningnya untuk meringankan rasa berat yang seakan baru saja ditimpa benda besar.Kakinya yang tersilang kini ia buyarkan. Ia berdiri, berderap mengelilingi meja yang memisahkannya dari Aiden dan berhenti ketika tubuhnya sudah membelakangi meja tersebut."Bagaimana, Aiden?" ulang Jack mengalihkan perhatian Aiden yang tadi terpaku sebentar pada sisi meja di belakang Jack. Di bagian itu terdapat cairan putih kental. Aiden bergidik dan matanya langsung berserobok dengan mata biru gelap Jack."Ehemm... Tuan Max sepertinya telah mengetahui keberadaan Nona Zeta di kediaman Tuan." Aiden berdehem agar suaranya bisa keluar setelah sempat tercekat di tenggorokan."Menyusahkan saja," desah Jack berat dengan suara seraknya. Ia menoleh ke samping badannya, tepat di mana Camelia terduduk tadi."Aku akan urus masalah ini," timpal Jack m
Zeta menyelesaikan makan malam di meja panjang sendirian. Tak didapatinya keberadaan Jack. Maka ia bertanya pada Lerry yang tak jauh dari tempatnya berada, perempuan setengah baya itu sedang membereskan pantry bersama pelayan yang lain. "Bi, di mana Tuan Jack?" Zeta memutar badannya menghadap kepada Lerry. Lerry menghentikan aktivitasnya sejenak, ia berderap menuju Zeta. "Tuan sedang berada di kamarnya, Nona" jawabnya lembut. Zeta terhenyak, teringat sesuatu. Dia harus pergi ke kamar Jack untuk menanyakan seputar surat perjanjian yang sudah terlanjur dia sanggupi. Bagaimana bisa dia sampai lupa. Zeta mengulum bibirnya ke dalam, seketika ia meringis kesakitan. Robekan di bibirnya semakin diperparah oleh perbuatan Jack tadi. Pria itu menggigitnya dan menyesap bibir Zeta dengan rakus. Tanpa sadar Zeta menyentuh bibirnya dan kembali mengerang. "Aww..." desisnya lirih. Lerry menyadari hal itu, tapi buru-buru Zeta alihkan dengan sebuah pertanyaan. "
"Bodoh... Kau bodoh Zeta." Zeta berulang kali memukul kepala sembari membenarkan kancing baju tidurnya. Ia baru saja keluar dari kamar mandi seusai membersihkan diri. Milik Jack tadi berhasil membuai Zeta hingga ia tak bisa menolak untuk mengurutnya. Bahkan sekarang ia terus memikirkan benda tumpul seperti sosis itu.Zeta menghempaskan tubuh mungilnya ke kasur yang empuk, membuatnya terpental beberapa kali.Guling di samping Zeta ditariknya mendekat dan dipeluknya dengan gemas. Zeta meremas guling tersebut. Tubuhnya tak tinggal diam, bergulir ke sana kemari."Ah, aku harus berhenti memikirkannya." Zeta meringkuk di balik selimut, masih terjaga. Ia berusaha memejamkan kedua matanya, namun gagal.Malam terasa lama. Untung pagi segera datang. Sinar matahari mulai mengintip dari celah tirai kamar Zeta yang tersibak sedikit.Zeta mengerjap, menggosok kedua matanya secara bergantian. Ia lalu meregangkan tubuhnya yang lesu karena tak bisa tidur semalaman.
Tubuh Zeta terasa remuk. Ia hendak berpijak pada lantai untuk membersihkan sisa percintaan semalam, namun Zeta berhenti, mematung. Ia kini sudah memakai pakaian baru dan tubuhnya sudah bersih, bahkan kulitnya beraroma rose, yang Zeta tahu salah satu aroma sabun cair yang ada di kamar mandinya. Dua kali Zeta mengalami hal ini, pingsan karena digagahi Jack, lalu bangun dengan sudah berpakaian lengkap. Untung saja saat ini Zeta tak memakai baju pink lagi. Zeta menarik napas lega.Zeta menaikkan alisnya ketika Lerry memasuki kamarnya dengan membawa nampan berisi makanan.Harum masakan Lerry menyeruak menggugah selera Zeta. Ia ingin cepat-cepat menghabiskan semua makanan itu sampai tak tersisa.Lerry meletakkan nampan tersebut di meja nakas, di samping tempat tidur Zeta.Zeta ingin langsung menyantap makanannya, namun ada suatu pikiran yang mengganggunya."Bi, bukannya Bibi dilarang membawa makanan ke kamarku? Aku kan harus pergi ke ruang ma
Jack terlihat gusar. Lagi-lagi Max terlambat. Ia tak akan menoleransi keteledoran Max kali ini, meski ia tahu kalau pria itu tidak dalam kondisi baik-baik saja sekarang. Pukulan Jack semalam hanya satu kali, namun sepertinya terlampau kencang sampai sanggup membuat Max tak sadarkan diri. Aiden berdiri di samping Jack, senantiasa menanti perintah dari pria itu. Camelia menyusul masuk. Ia tak mengeluarkan suara sama sekali, hanya bunyi sepatu hak tinggi yang berbenturan dengan lantai keramik yang terdengar. Jack enggan melihat Camelia, ia melengos ke arah lain ketika perempuan itu membawakan seberkas dokumen ke mejanya. "Ini dokumen yang kau minta, Jack." Camelia segera berderap keluar. Ia merasa canggung setelah kejadian semalam. Sebelum pesta penyambutan Max kemarin mencapai di penghujung acara, Camelia sudah meninggalkan Max yang masih pingsan sendirian di ruangan. Sedikit tega, namun ia tak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk mem
Max mengerutkan dahi, bingung melihat lewat jendela, Aiden yang sudah menunggunya di depan rumah."Kenapa dia ada di sini, Mom?" tanya Max pada seorang perempuan setengah baya yang sedang menikmati sarapan paginya dengan gaya elegan penuh wibawa.Merry meletakkan cangkirnya setelah menyesapnya sedikit. "Mom tidak tahu. Mungkin Jack yang menyuruh. Bukankah itu baik untukmu, Max? Kau kan jadi tak kelelahan menyetir sendiri," ujarnya seraya mengulum bibir, memperbaiki polesan lipstik agar tetap rata."Tapi aku tak suka, Mom." Max mengepalkan kedua tangannya. Alasan pasti Jack menyuruh Aiden menjemputnya adalah supaya ia tak lagi menemui Zeta."Sepertinya benar-benar spesial.""Apanya yang spesial?" Merry bertanya ingin tahu."Oh ya, kau belum menjawab pertanyaan Mommy kemarin. Kenapa kau pulang terlambat dan wajahmu ada luka lebam?" tambah Merry."Ah... Bukan apa-apa, Mom. Kemarin aku terlalu mabuk dan karena kurang hati-hati aku j
Pagi-pagi benar ketika sinar matahari baru saja menembus jendela kamar Zeta, perempuan itu sudah sibuk meregangkan tubuhnya. Meliuk ke kanan dan ke kiri, beralih ke kepala yang ia tengokkan ke samping, menengadah dan yang terakhir menunduk. Zeta merasa tubuhnya jadi mudah lelah karena jarang berolahraga, padahal dulu ketika ia masih tinggal di apartemen sederhananya ia sama sekali tak pernah melewatkan waktu olahraganya satu kali pun. Meski hanya berlari, ataupun lompat tali di luar apartemen bersama Sena. Setidaknya itu sudah membuat tubuhnya bugar kembali.Zeta keluar dari kamar dengan memakai kaos putih dan celana training. Ia berlari ke luar rumah, menghiraukan panggilan-panggilan para pelayan yang berusaha menghentikannya."Nona Zeta. Anda bisa kelelahan kalau berlari seperti itu," teriak beberapa pelayan yang ikut berlari untuk menghentikan Zeta.Zeta tak berhenti, ia malah memacu gerakan kakinya lebih cepat lagi, ia mengitari halaman luas yang terdampar d
Jack menopang wajahnya dengan satu tangan, mendesah bosan mendengar tuturan panjang Merry yang tak ada habisnya. Di setiap ceritanya selalu Merry selipkan dengan kata-kata pujiannya untuk Max. Ya, selalu itu yang ibunya lakukan."Sudah selesai celotehannya, Mom? Aku mau berangkat." Jack beranjak dari sofa berniat pergi mencampakkan Merry. Ia sudah terlampau muak dengan omongan ibunya, lebih baik bagi Jack untuk mengerjakan dokumen-dokumen yang mungkin saja kini sudah menumpuk tinggi di meja kerjanya."Kau sedang tergesa-gesa ya? Ah... Bagaimana aku bisa lupa, aku ke sini ingin memberikanmu undangan makan malam bersama keluarga besar Grotesque group. Kau harus ikut," desak Merry sembari menjejalkan sebuah amplop berwarna emas ke tangan Jack.Jack memutar mata malas menerima surat tersebut. Makan malam bersama, huh? Bagi Jack itu bukanlah acara makan malam semestinya seperti yang banyak orang tahu, namun acara ajang bagi sanak saudara Jack untuk saling membanggaka