"Semua ini tidak ada kaitannya dengan mantan suamiku, kalian tidak perlu cemas atas apa yang akan kami lalui, dengan doa dan dukungan serta bantuan para polisi, kami akan menemukan anak kami segera," ujar Sarah di depan kamera. Martin tidak mengizinkan Sarah untuk memberitahu media bahwa Randy sudah ditemukan, dia hanya menyuruh Sarah untuk berbicara dengan jurnalis tentang perkembangan pencarian. "Apa Anda mencurigai seseorang? Atau adakah petunjuk akan hilangnya anak Anda?" tanya salah seorang jurnalis wanita. "Aku tidak tahu harus mencurigai siapa, selama ini kami tidak memiliki seorang musuh, kami juga tidak dihubungi oleh seorang untuk meminta jaminan, kami sama sekali tak memiliki petunjuk selain jejak-jejak yang sering dilalui anak-anak kami ketika pulang sekolah. Mungkin hanya itu yang bisa saya jawab," jelasnya, berniat masuk ke dalam mobilnya. "Apa pembantu Anda masih berhubungan dengan Tuan Martin Dailuna?" Sarah menolak menjawab dan masuk ke dalam mobil, dia menutupnya
"Sabina, kita akan kembali ke rumah sebelumnya, kau harus merawatnya ya?" tanya Ibrahim pada Sabina yang berdiri di hadapannya. "Kita tidak berada di sini lagi? Bagaimana dengan Kakek?" tanya Sabina. "Dia ada urusan dan akan kembali dalam waktu yang lama, di sini tidak lagi aman," ujar Ibrahim. "Baiklah, apa lagi yang bisa aku katakan, kata ibu, aku harus mendengarkan apa yang Paman katakan, bukan." Ibrahim tersenyum, dia menepuk lembut pipi Sabina. Mereka segera berkemas, Ibrahim melihat ibunya yang hanya duduk diam dengan uban di kepalanya. Dia mencium pucuk kepala sang ibu dan berbisik, "Aku akan membawakan Martin ke hadapan mu, dan dalam keadaan tak berdaya, ibu." Mendengar apa yang dikatakan oleh Ibrahim, wanita tua ini menampilkan senyum tipis dengan mata yang masih tak berkedip. Dia lalu menggendong tubuh si wanita tua, membawanya masuk ke dalam mobil, begitupun Sabina yang menggendong putra Ibrahim. Ibrahim sendiri mengemas dan saat berada dalam kamar orang taunya, dia m
"Bagaimana caraku membantumu?" tanya Martin pada Lizzia yang berada di hadapannya. "Sembunyikan aku, aku mohon, jauhkan aku dari ayahku," ucap Lizzia terlihat penuh pengharapan. "Paman, hanya paman yang bisa menyelamatkanku dari ayahku...,""Apa yang telah dia lakukan padamu?" tanya Rami memotong pembicaraan Lizzia. Mendengar pertanyaan itu, mata Lizzia berkaca-kaca, dia terlalu malu mengatakannya. Karena tak ingin menyinggung perasaan gadis ini, Martin dan Rami langsung saja mengajak Lizzia untuk ikut dengan mereka."Berikan ponselmu," ucap Martin, mengulurkan tangannya ke belakang, ke arah Lizzia duduk di kursi belakang mobil dan Lizzia pun memberikannya. "Kau sudah mengirimkan rekaman itu padaku?" tanya Martin lagi. "Sudah aku kirim."Setelah mendengar jawaban itu, dengan cepat Martin melempar ponsel milik Lizzia pinggir jalan setelah menonaktifkan ponselnya. "Kau ingin disembunyikan, maka ponselmu harus disingkirkan." Lizzia hanya diam mendengarnya, dia tahu bahwa hanya Marti
Nigel terlihat begitu kesal saat dia beberapa kali menghubungi nomor Lizzia namun tidak dapat dia hubungi, dia juga kini mengunjungi tempat-tempat yang sering dikunjungi gadis itu. Dan saat dia tidak menemukannya, dia terus saja memukul-mukul setir mobilnya. "Aku betul-betul akan membunuhnya jika aku menemukannya!" Dia kini mengarahkan mobilnya pulang ke rumahnya, dia mengamuk di sana, memarahi para pelayan yang tak bersalah. Dan setelah puas memarahi para pelayan yang tak bersalah karena menuduh salah satu dari mereka menyembunyikan Lizzia, kini Nigel bergegas ke rumah ayahnya. Ryan Dailuna yang tengah menikmati masa pensiunannya di rumah sederhana yang nyaman. "Apa ayah yang menyembunyikan Lizzi?" Mata Nigel nanar menatap sang ayah. "Kenapa aku harus menyembunyikan pelacur mu?" Si tua Ryan membalas tatapan Nigel yang sama tajamnya. "Dengar! Kau pernah sekali menyembunyikan dia, kenapa sekarang aku harus berpikir bahwa bukan kau yang melakukannya!" Dia mengangkat kera baju pria
FlashbackRemaja laki-laki itu memandang kedatangan sang kakak yang baru saja keluar dari sebuah mobil hitam mewah yang dikendarai seorang pria yang tak dikenali sang adik. Mia terlihat keluar dengan wajah datar dan pucat. "Darimana saja?" tanyanya, sang kakak berwajah masam dan kecut saat mendengar pertanyaan itu. "Darimana saja? Ibu sejak tadi menanyakan Kakak," katanya lagi. "Bukan urusan kamu!" Suaranya tegas dan membentak. "Apa itu Martin? Dia tidak terlihat seperti Martin," sahutnya lagi berjalan di belakang Mia. "Apa urusanmu dengan itu?!" Mia sekali lagi membentak dan berhenti memelototi adiknya. "Tentu saja ada urusanku denganku, kau kakakku, dan ibu cemas karenamu!" Suara si adik juga menbesar, sama besarnya dengan suara sang kakak. "Kau tidak perlu cemas, sekarang aku sudah pulang! Lihat! Aku sudah pulang!" Mia semakin membentak, sepertinya suasana hatinya telah memburuk. "Tapi kau harus menghubungi kami dulu bahwa kau lambat pulang, Nak." Suara seorang laki-laki de
Dan di sini Mia, dia terlihat masih menunggu di sekitar dapur sampai adiknya keluar dari kamar mandi, hingga adiknya betul-betul keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menutupi sebagian tubuhnya. "Aku kira kau akan menginap di dalam sana!" Suaranya masih besar, dan Mia kemudian melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membanting pintunya dan menyalakan keran air dimana dalam bak mandi, adiknya sudah menghabiskan airnya. Mia mengunci pintunya rapat-rapat dan mulai melepaskan pakaiannya dengan pelan, hingga seluruh tubuhnya terlihat begitu jelas, dia berdiri dan terlihat memikirkan sesuatu, dalam benaknya berkecamuk sesuatu yang sangat menyakitkan baginya. Dan beberapa saat kemudian, dia mengeluarkan sesuatu dari saku celana yang tadi dia kenakan. Sebuah benda kecil yang terlihat seperti test pack. Dia menelan ludah beberapa kali lalu menggunakan alat itu pada dirinya, dia menutup matanya lalu kemudian mengeluarkannya pada alat miliknya, dia melihatnya dan betapa leganya dia saat m
Present Andira masih memeluk erat tubuh Martin, dia mengabaikan gadis lain yang berada di samping Martin. Tangan Martin tak membalas pelukan itu hingga Andira dengan pelan melepas pelukannya. Dia hanya tersenyum dan tak mengatakan apa-apa, Martin yang melihat itu terlihat bingung, dia berpikir bahwa ada yang salah, mungkin terjadi sesuatu? "Ada apa?" tanya Martin. "Aku hanya merindukanmu," balas Andira. "Ini baru setengah hari, Andira." Martin yang kemudian melangkah mundur dari Andira dan berjalan masuk ke dalam rumah, melalui Andira dan juga gadis yang dibawanya. Sementara Andira yang mendengar itu hanya diam dan kini menatap ke arah gadis yang dibawa Martin. Lizzia, dia juga menatap Andira dan hanya bisa diam, setelah itu dia pun ikut masuk ke dalam rumah, melihat hal demikian, Andira mengernyitkan keningnya, dan bertanya-tanya, siapa gadis ini?Dia menelan ludah merasa sedikit malu karena Martin mengabaikannya, dia kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah dimana Martin terli
Martin menuruni tangga dan berjalan ke arah kamar pembantu yang berdekatan dengan dapur juga meja makan. Martin melangkah ke sana dan meraih gagang pintu, saat dia mencoba membukanya gagang pintu itu tak dapat dibuka, Andira ternyata menguncinya dari dalam. "Andira! Andira buka pintunya!" Suara Martin agak keras namun tidak seperti membentak. Martin juga mengetuk dan mulai memukul-mukul pintu kamar Andira yang tak terbuka. "Andira, Andira buka pintunya, ada apa denganmu?!" Suaranya semakin membesar. Dan beberapa saat kemudian saat Martin sudah sangat kesal karena tak dibukakan pintu akhirnya, pintu kamar itu terbuka, dan Andira berdiri di belakang bingkai pintu. Martin menatap gadis yang terlihat kesal dan menampakkan raut wajah datar. Melihat wajah yang datar itu Martin menyentuh lengannya dan mendorongnya masuk dan dengan cepat Martin menutup pintunya dan menguncinya dari dalam. "Ada apa dengan Anda Tuan? Kenapa selalu berubah, kadang baik, kadang lembut, kadang menjadi seperti