Andira terlihat duduk di atas ranjang dan mencari tahu siapa yang mungkin mencurigakan, Martin juga menanyai Andira tentang suara yang mungkin dikenalinya, beberapa orang terkenal di televisi dia perlihatkan, siapa tahu jika Andira yang matanya tertutup dikala itu bisa mendengar suara dari pria yang menculiknya. "Tidak ada satupun yang sama, Mart," jawab Andira. "Tapi aku tidak menyukai Thomas Arfinjaya, dia sepertinya pria yang sama denganmu," ucap Andira pada Martin. "Sama denganku?""Ya... Pria tua yang menyebalkan," ucap Andira menampilkan senyum tipis pada Martin yang mengernyit. "Jadi kau pikir aku pria tua yang menyebalkan?""Ya... Kalian sama saja," ucap Andira dengan terkekeh. Martin hanya menggeleng dan kembali mencari di layar laptopnya tentang nama yang dicurinya. Ada dua puluh nama yang dicurigai Martin, Rami dan Andira, dan yang paling atas adalah Thomas Arfinjaya yang menghilang entah kemana. "Martin.""Iya?""Apa kau tidak memiliki nama selain nama ini? Maksudku, n
Nigel yang saat itu berada di rumahnya, dan tengah asik memakan sendiri sarapannya, tanpa ada keluarga yang lainnya, hanya dia dan banyaknya pelayan yang ada di sisi dirinya. Pelayan yang menyiapkan makanan untuk dirinya. Dia masih dipusingkan dengan menghilangnya Lizzia. Dimana gadis ini? Kepalanya terasa penat karena tidak tahu harus mencari dimana lagi? Setelah sarapan dengan raut wajah marah dan tubuh yang sudah bersih, dan dengan kaos juga celana pendek selutut biasa, menampilkan bahwa dia adalah pria garang yang berpenampilan biasa. Dia masuk ke dalam kamarnya dan mencari ponsel miliknya, dia kembali mencari dimana Lizzia. Dia mencarinya dengan menghubungi nomor ponsel yang tidak dapat dihubungi sejak hilangnya Lizzia. Setelah sibuk menghubungi banyak orang yang dikenal oleh Lizzia, dia kembali turun dari kamarnya dan memilih untuk pergi. Dalam beberapa menit, mobil Nigel sudah melaju di jalan berkelok. "Idiot!" Dia terus memukul-mukul setir mobilnya. Sementara di belakang san
"Bukan Thomas Arfinjaya," ucap Rami saat tiba di rumah Dailuna. Dia masuk melalui pintu dimana Martin yang membukanya. Mereka jalan terburu-buru ke arah ruang utama. "Kenapa begitu?" tanya Martin, seiring mendaratkan bokongnya di atas sofa, dia duduk berhadapan dengan Rami. Rami tidak menjawab, tatapannya memutari seluruh ruangan, dia mencari sesuatu. "Rami?""Ya?""Kenapa kau katakan bukan Thomas Arfinjaya yang melakukannya?""Tunggu, dimana gadis itu?""Siapa, Andira? Atau Lizzia?""Yang memiliki tangan ajaib, memasak dengan sempurna, aku lapar Martin, aku tidak sarapan saat datang kemari," jawab Rami. "Ouh, ya kebetulan kami belum sarapan, jika kau mau, kau bisa ikut bersama kami," ujar Martin, menaikkan kedua alisnya menatap Rami. "Baiklah, baiklah, mari kita, ke ruang makan." Martin berdiri dari duduknya dan diikuti oleh Rami, mereka beranjak ke arah ruang makan dimana Andira dan Lizzia sedang menyiapkan sarapan pagi. "Lihat, kau bahkan tidak mengajakku untuk sarapan, jika
Hatice dan Nadira terlihat lusuh di dalam ruangan pengap yang tak nyaman, mereka bahkan tak mengganti pakaian mereka, di dalam ruangan itu hanya ada tempat buang air, dan tak disediakan untuk mandi. Bahkan mereka berdua tak diberikan pakaian ganti. Dalam waktu beberapa hari, mereka sangat-sangat menderita.Saat mereka hanya duduk dan Nadira bersandar pada tubuh Hatice, dengan sangat lelahnya dan bahkan gadis ini nyaris tak berbicara sama sekali dalam waktu dua hari. Pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka, dibuka oleh seseorang. Tidak lain dan tidak bukan, Ibrahim.Dia masuk ke dalam sana dan menguncinya dari dalam. Dia juga memasukkan kuncinya ke dalam saku."Kau mencariku?" tanya Ibrahim.Awalnya, Hatice sedikit antusias, namun karena lelahnya dan tubuhnya seakan tak dapat digerakkan, membuatnya sulit untuk berdiri dan menghampiri Ibrahim.Nadira yang masih bersandar dengan mata tertutup pada dada Hatice kini dipindahkan oleh Hatice ke arah bantal di lantai. Nadira tidak protes dan mata
Ibrahim sendiri duduk di kursinya, dia merenung dan saat ini, dia tengah berada di gedung besar perusahaan Dailuna. Kakinya lurus ke atas meja, dan benaknya memikirkan sesuatu. Tak ada yang bisa menghancurkan kesuksesan Dailuna, bahkan jika reputasinya dihancurkan, bisnis besar ini masih berjalan. Dia juga berpikir, Hatice dan Nadira juga Raisi tidak juga terlalu berpengaruh, dia merasa semuanya sia-sia. Balas dendamnya, semua yang dia lakukan tidak membuat Martin Dailuna hancur, kecuali, jika dia betul-betul membunuh dan menyiksa tubuh Martin dengan tangannya sendiri.Kepala Ibrahim hanya memikirkan bagaimana dia akan menyelesaikan segalanya, semuanya tak berjalan seusai rencananya, dia juga menganggap, Andira telah berkhianat padanya, Andira tak dapat lagi dipercaya, dan Nigel, sekarang dia gila mencari anak tirinya. Hatice dan Nadira juga sudah terlihat begitu menderita, bukan ini rencana Ibrahim. Andira dia kirim ke rumah besar itu hanya untuk membuat anak dan ayah itu jatuh cinta
Ibrahim sendiri duduk di kursinya, dia merenung dan saat ini, dia tengah berada di gedung besar perusahaan Dailuna. Kakinya lurus ke atas meja, dan benaknya memikirkan sesuatu. Tak ada yang bisa menghancurkan kesuksesan Dailuna, bahkan jika reputasinya dihancurkan, bisnis besar ini masih berjalan. Dia juga berpikir, Hatice dan Nadira juga Raisi tidak juga terlalu berpengaruh, dia merasa semuanya sia-sia. Balas dendamnya, semua yang dia lakukan tidak membuat Martin Dailuna hancur, kecuali, jika dia betul-betul membunuh dan menyiksa tubuh Martin dengan tangannya sendiri.Kepala Ibrahim hanya memikirkan bagaimana dia akan menyelesaikan segalanya, semuanya tak berjalan seusai rencananya, dia juga menganggap, Andira telah berkhianat padanya, Andira tak dapat lagi dipercaya, dan Nigel, sekarang dia gila mencari anak tirinya. Hatice dan Nadira juga sudah terlihat begitu menderita, bukan ini rencana Ibrahim. Andira dia kirim ke rumah besar itu hanya untuk membuat anak dan ayah itu jatuh cinta
Saat para detektif mencari sebuah kebenarannya, petugas kepolisian, Syarif yang begitu serius dengan tugasnya, juga Nigel yang terlihat depresi karena tak menemukan Lizzia, Rami yang terus mencari tahu siapa mungkin musuh yang melakukan ini pada temannya. Martin yang juga masih mencari tahu siapa yang melakukan semua permainannya ini, melalui berkas-berkas tentang musuh-musuh bisnisnya. Dan juga ada Lizzia, yang terus belajar memasak dengan trik yang diberikan Andira.Sementara itu, Andira, dia mendapatkan sebuah panggilan telepon yang tak lain adalah dari Ibrahim. Andira yang tengah asik membaca buku catatannya yang telah dikembalikan Martin olehnya, mengabaikan panggilan itu. Namun ponselnya terus berdering, hingga Andira jenuh mendengarnya, Andira berniat untuk memberi mode silence pada ponselnya, namun dia mendapatkan pesan dari Ibrahim yang berkata, "Mari bertemu, ayo akhiri permainan ini." Pesan itu membuat Andira mengernyitkan keningnya, dia bingung akan membalas apa, bertemu a
Saat malam, saat Lizzia dan juga Martin terlelap dalam tidurnya, Andira yang memilih untuk tidur di kamar pembantu keluar secara diam-diam. Dia menyelinap keluar dari pintu besar rumah Dailuna, dan keluar melalui gerbang kediaman itu. Tengah malam, sekitar jam dua belas malam, saat suhu malam menyentuh kulitnya, kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri, dia menunggu kedatangan Ibrahim. Dan cukup lama menunggu, akhirnya mobil Ibrahim tiba tepat di hadapan Andira.Ibrahim keluar dari mobilnya, dan berjalan ke arah Andira."Ada apa? Kenapa kau ingin bertemu denganku?" tanya Andira mengulang pertanyaannya saat berbicara dengan Ibrahim melalui ponsel."Kau harus ikut denganku, ayo." Ibrahim dengan menarik pelan tangan Andira."Kenapa?""Andira ikutlah denganku, semuanya telah selesai, tugasmu di sini semuanya sudah selesai, ayo." Ibrahim membujuk dan menarik kembali lengan Andira."Aku tidak mau." Andira membantah dan memundurkan tubuhnya, menolak untuk pergi."Semuanya akan berakhir, perc