Sebuah tempat yang terlihat indah, tenang, dan sejuk, tidak banyak pengunjung, hanya beberapa. Langit menampakkan keceriaan dan bercahaya indah walau suhu masih terasa agak panas. Mata kecil indah Hatice menatap ke depan. Dia menyentuh bunga-bunga yang berada di taman itu.
“Aku belum pernah ke sini,” sahut Hatice, dia menikmati suasana yang begitu indah di taman bunga yang indah. Bunga-bunga tumbuh di setiap tanah yang ada di sana. Banyak yang berpose, mungkin semua yang ada di sana saling berpasangan.
“Ini pertama kalinya?” tanya Ibrahim yang berdiri di samping Hatice.
“Iya.”
Mata Hatice masih terlihat fokus terhadap bunga-bunga yang indah, berwarna-warni dengan macam-macam bunga. Sebuah tempat yang harum dengan ketenangan yang luar biasa, mungkin inilah yang dicari Hatice selama ini.
“Tempat ini sudah lama ada, namun tidak begitu terkenal. Aku sering ke sini, kadang sendirian, kadang membawa Cihan kadang
Andira berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dia melangkah masuk dan melihat Martin yang baru saja keluar dari kamar milik Andira. Tubuh gadis itu diam di tempat. Lalu kemudian dengan cepat berlari. Dia lalu berkata kepada Martin, “Aku mengatakan segalanya pada Raisi.”Lalu dia bergegas masuk ke dalam kamar, menguncinya dari dalam dan matanya melihat kertas surat di atas meja.Sementara Martin, dia terpaku di tempatnya. Apa yang telah dilakukan Andira? Matanya membulat sempurna, dia melihat pintu rumah terbuka, Randy dan Nadira baru pulang. Mereka menyapa ayah mereka. Randy tentu saja baru pulang dari les musiknya sedang Nadira baru pulang dari les bahasa Prancis.Martin hanya memandang ke arah kedua anaknya, tanpa membalas sapaannya. Dia menerka apa yang akan terjadi. Kedua anaknya itu berlalu pergi, mereka tentu ke kamar masing-masing.Raisi datang membuka pintu, matanya menatap mata sang ayah yang memandang ke arahnya. Mereka saling bertatap
Rambutnya indah, terbang-terbang kecil diiringi embusan angin yang menerpa. Siang sekitar jam sebelas. Waktu istirahat untuk anak-anak kampus. Gadis yang bermata hitam namun cerah dan kulit putih terbakar yang indah. Dia berdiri di atas teras lantai tiga dan memandang ke arah luar. Tubuhnya indah merasakan embusan angin yang sejuk.Sudah sejak tadi Martin memandangi gadis itu. Gadis yang sejak awal sangat disukainya. Bukan hanya karena wajah yang selalu menarik, namun karena sikapnya pada Martin. Saat ini, Martin muda berada di bawa pohon, di atas rumput hijau, halaman samping fakultas ekonomi. Dia memandang ke atas, gadis itu sangat indah di mata Martin.Kedua mata itu berpaling pada pria yang memandangnya dari bawah. Dia tersenyum dan melambai tangan. Martin menyadari lambaian itu, dia juga melambai. Mereka berada di kelas yang sama selama dua semester, namun saat semester tiga mereka mulai terpisah kelas. Gadis itu mengambil ilmu manajemen keuangan sedangkan Martin
PresentKecupan itu masih terasa pada bibir Martin, kecupan bibir Andira. Dia juga mengingat bagaimana dia dan Mia saling bermesraan di tepi pantai. Bersikap nakal dan bersembunyi di gudang kampus. Kabur saat mata kuliah masih belum selesai.Namun Martin juga mengingat bagaimana ayahnya sering menghukumnya, Martin kecil, remaja yang tidak bersalah. Dia berusaha sebisanya agar hanya keras dalam mendidik, tapi tidak pernah menghukum anak-anaknya. Mencambuknya atau hal semacamnya yang dilakukan Mark Dailuna dulu. Hanya saja Martin, dia terlalu menginginkan Andira. Di mana anaknya juga menginginkan gadis yang sama.Dia lemas, dia bersandar di punggung pintu. Sementara Andira. Karena hari mulai sore, dia mulai menyiapkan makan malam. Dia terlihat sibuk di dapur. Dia lolos, akhirnya. Dia juga berpikir bawah Martin tidak seburuk yang dia kira. Martin adalah pria yang tidak begitu buruk.Saat langit sudah menampakkan gelap. Sarah akhirnya pulang, dia terlihat lel
Meja makan kosong, hanya ada makanan di atasnya. Tak ada yang duduk di kursi. Jika begini, Andira lebih baik tidak memaksa. Gadis itu terlihat lesu menatap makanan yang tak disantap. Dia juga mendengar suara besar Martin yang membentak. Sarah keluar dari rumah dengan membanting pintu dan menangis.Apa ini karenanya?Tidak, ini bukan karena Andira. Ingin cerai memang kemauan Martin sejak lama. Rumah besar Dailuna adalah miliknya, milik Martin. Dia adalah salah satu yang terkaya, dia bebas melakukan apa saja. Namun karena kungkungan pernikahan dan terjerat masa lalu, membuatnya diam di dalam sana. Di dalam rumah besarnya di dalam perusahaan besarnya, di dalam aturan-aturan pernikahan, aturan-aturan yang mengungkungnya dalam ketidak nyamanan.Salah besar. Martin Dailuna tidaklah mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia adalah pria yang selalu dipecundangi oleh hidup, oleh semesta dan takdir.Dia merenung menatap lantai dengan mata yang basah, saat putrinya Nad
“Apa kau sibuk?”Lutfi: {Aku sudah di rumah. Hatice saat ini memasak untukku} suaranya terdengar berbisik dari dalam ponsel.“Baiklah, hubungi aku sebentar.”Lutfi: {Tunggu Panggilan ku}Sarah berada di luar rumah adiknya, Raynaldi. Dia membunyikan bel dan tak lama kemudian adiknya datang membuka pintu.“Kakak!”Dengan cepat Sarah memeluk adik laki-lakinya itu, dia berlinang air mata. Rumah Ray cukuplah besar. Toh mereka juga berasal dari keluarga kaya. Hanya saja Ray hanya mendapat sebagian harta warisan, semuanya dimiliki oleh Sarah. Ray juga tidak minat dengan perusahaan ayahnya sendiri, sehingga lebih senang bekerja di perusahaan Dailuna.“Masuk dulu Kak.”Dengan lembut Raynaldi membawa Sarah masuk ke dalam. Dia menggandeng Kakaknya yang terlihat gundah. Mereka duduk di sofa ruang utama.“Ada apa?”“Martin, dia ingin cerai.”“
“Kenapa harus bercerai? Apa karena gadis itu?”Pertanyaan yang jatuh pada Martin Dailuna yang duduk di kursi kebesarannya,di dalam ruangan kerja di kantornya. Dia terlihat memainkan jemarinya yang saat ini berada di dagu. Tanpa melihat ke arah si petanya yang duduk tepat di hadapannya. Hatice Dailuna.“Aku sudah menduga, kalau Kakak pasti akan memutuskan hal bodoh ini! Ah! Bodoh! Kenapa harus bercerai, aku akan mengatakan segalanya pada Sarah, kalian harus memecat Andira!” Hatice, seraya berdiri dari duduknya membuat Martin langsung mendongak ke arah adiknya.“Kau jangan ikut campur. Aku dan Sarah sudah tidak bisa lagi.”Martin terlihat’ menunduk dengan wajah lesu dan tidak tertarik lagi berbincang.“Dan Kakak pikir Andira bisa, dan cocok untuk Kakak? Ha? Gadis itu lebih cocok menjadi anak daripada pasangan!” Suaranya memberontak. Martin terlihat menggeleng tidak terima.“Apa bedany
Wanita yang baru saja keluar dari ruangan Martin Dailuna dengan keadaan dan raut wajah marah melirik seorang pria yang sibuk berbicara dengan seorang wanita seksi, mungkin mereka berbicara soal bisnis, atau mungkin tidak. Mungkin berbicara yang lainnya. Dia hanya menatap sekilas dan berlalu pergi. Pria itu tak lain Ibrahim.Ibrahim menyadari kehadiran Hatice namun karena di area kantor tak dapat dia melirik wanita yang baru berlalu. Dan saat habis urusan Ibrahim, dia berlalu pergi dan berjalan keluar mengejar Hatice yang mungkin sudah jauh, namun tampaknya tidak.Hatice berdiri di pinggir jalan, menunggu seseorang, entah siapa. Langkah Ibrahim berhenti saat melihat sebuah mobil berhenti tepat di depan Hatice. Pria dengan badan atletis keluar dari sana. Oh ya, ternyata suaminya. Mereka terlihat manis bersama. Namun di mata Ibrahim, itu sama sekali terlihat sangat kecut dan menyakitkan mata.Karena terlambat, Ibrahim memilih kembali masuk ke dalam kantor dengan is
“Keluar!” Bentaknya dengan sangat kasar. Mata Andira berkaca-kaca, bagaimana bisa dia keluar jika pintunya masih terkunci.“Aku tidak bisa keluar, Anda menguncinya Tuan,” ucapnya, dengan nada suara ketakutan dan terus menelan ludah. Perkataan Andira membuat Martin memalingkan pandangannya pada Andira yang merinding ketakutan. Dia menelan ludah beberapa kali. Martin sendiri menyadari sikap kasarnya pada Andira.Terlihat canggung, Martin kembali lemah dan tak dapat marah. Dia menelan ludahnya sekali.“Ingin keluar bersamaku?”“Keluar?”Martin mengangguk.“Kemana?”Martin tak menjawab pertanyaan Andira, dia berbalik dan berjalan ke arah meja, di mana dia tadi menaruh kunci pintunya. Dia meraihnya dan berjalan kembali ke arah Andira. Dia menempelkan badannya pada tubuh Andira yang masih berdiri di belakang pintu. Andira menahan nafasnya sejenak dan membiarkan Martin berada tepat