"Aku tahu masalahmu, aku paham dengan masalah mu itu," kata Lizzia pada Raisi, mereka bersandar pada mobil menatap laut di pesisir pantai. "Aku juga paham dengan gadis yang bersama ayahmu, gadis yang malang," lanjutnya lagi. Raisi menatap Lizzia yang berada di sampingnya, dia cukup heran dengan apa yang dikatakan Lizzia."Bagaimana kau paham dengan kondisi yang tidak pernah kau lalui?" tanya Raisi."Apa kau pikir aku tidak pernah melaluinya?" Dia menatap Raisi dengan tatapan mata yang prihatin. "Apa maksudmu?" Raisi mulai mendekatkan tubuhnya dan menatap mata Lizzia. "Andai kau tahu, keluarga Dailuna semuanya sama saja, mereka semua, sama saja. Ayahmu, kakekmu, Nigel Dailuna, mereka memiliki darah yang sama, dan mereka memiliki keasikan yang sama." Kini Raisi mulai tersinggung, dan heran, kenapa memanggil ayahnya dengan namanya sendiri. "Nigel bukan ayah kandungku Raisi, dia menikahi ibuku, mereka sering bertengkar dan pada akhirnya Nigel merencanakan pembunuhannya, dan menjadik
Tamparan keras yang terasa jelas di pipi Martin, terlihat Rami juga berjalan pelan ke arah pintu dan dia cukup terkejut melihat Martin mendapatkan tamparan dari seorang wanita yang bisa terbilang tua dan lusuh. Martin menelan ludah, mengelus lembut pipi kirinya yang tertampar, sementara mata Bi Ana nanar menatap Martin. "Dimana Andira?!" Suaranya keras menatap nanar Martin, pria ini mengangkat pelan kepalanya dan menatap Bi Ana dengan penuh kesabaran. Martin menelan ludah lalu berkata, "Dia baik-baik saja, dia sedang istirahat," jawabnya pelan. "Aku ingin membawa anakku Pergi dari rumah ini, tolong jangan halangi aku Tuan!" Wanita tua ini mendongak menatap Martin. Dia terlihat sangat-sangat lusuh dan tak terawat, tubuhnya masih lemah, namun dia bersikeras untuk tetap datang ke rumah besar Martin. Martin hanya diam, dia tak menjawab. Bi Ana mengangguk dan masuk menerobos rumahnya. "Andira! Andira!" Dia berteriak keras dan berjalan masuk ke bagian dalam area rumah, dan tak lama ke
"Kau tidak pulang?" tanya Ibrahim pada Hatice yang duduk dengan kaki disilangkan, dia sedang mengerjakan sesuatu, di meja kerja milik Ibrahim. "Untuk apa aku pulang?" "Mungkin Martin membutuhkanmu Hati, dia sedang berada dalam masalah," kata Ibrahim lagi, dia bersandar di sisi meja dan menatap Hatice yang berpura-pura sibuk. "Aku tidak peduli dengannya, dia sudah terlalu buruk untukku, bisa-bisanya dia meniduri gadis seusia putranya," kata Hatice, dua terlihat tidak ingin menatap Ibrahim. "Ayolah Hati, kau seharusnya..." Ucapan Ibrahim terpotong saat mereka mendengar suara bising dari luar rumah. Ibrahim dan Hatice terlihat penasaran dan ingin tahu, mereka menengok ke jendela dan mata Hatice cukup membulat melihat apa yang terjadi. "Andira? Bi Ana? Apa yang mereka lakukan di sini?" Hatice saat matanya mendapati Andira yang diseret masuk ke dalam rumah oleh ibunya, para tetangga juga ikut heboh, dan hanya mengutuk dengan umpatan-umpatan untuk Andira. Ibrahim bergegas keluar rum
Dalam keadaan hujan, saat malam, Andira keluar dari taksi dan dengan sendirinya membuka gerbang rumah itu, dia memiliki kartu yang bisa membuatnya bebas keluar masuk dan gerbang akan terbuka secara otomatis untuknya. Dia melihat pos satpam tertutup dari luar, apa yang terjadi? Dimana Pak Kader? Itu adalah pertanyaan utama yang berada di benak Andira saat ini. Gerbang yang terbuka otomatis itu kini tertutup otomatis, karena tak membawa payung, ataupun jas hujan yang bisa melindungi dirinya dari hujan, kini Andira hanya memeluk tubuh kecilnya, berjalan masuk ke dalam are depan rumah Martin, dia menelan bel beberapa kali, tubuhnya kedinginan dan dia kini menggigil, namun sama sekali tak ada yang membuka pintu. Andira tidak menyerah, dia masih menekan bel hingga seseorang betul membukanya. *Pria ini rapuh, hingga dia hanya bisa diam di dalam istananya, dia baru saja memecat pekerjanya, Pak Rustam, Pak Mamat dan Pak Kader, mereka semua diberi tunjangan yang cukup besar sehingga bisa men
Andira melangkah masuk sementara Martin menutup pintu, dia juga berjalan lincah dan mulai menghangatkan ruangan, memberikan Andira selimut dan menyuruhnya untuk duduk. Andira mengeringkan tubuhnya baru setelah itu duduk dengan berselimut di sofa. Andira terlihat masih menggigil. Dan ruangan itu mulai terasa hangatnya, Martin terlihat membuat sesuatu di dapur, sebuah coklat hangat dan roti coklat yang terdapat di dapur untuk Andira. Langkahnya lincah setelah dia selesai membuat coklat hangat juga menyiapkan roti coklat untuk Andira. Dia menuju ke arah sofa dimana Andria duduk, dan Martin duduk di samping gadis itu. Tak lupa memberikan coklat hangat dan juga roti coklat untuk Andira. Gadis itu menggenggam gelasnya juga rotinya, sementara Martin terlihat merapikan selimut yang membalut tubuh Andira. "Kenapa malam-malam begini?" tanya Martin, dia sedikit membungkuk menatap Andira yang sedang meminum coklat hangatnya dan mulai memakan rotinya. Dia terlihat mengunyah dan menelannya lalu
Langit kembali mendung, di siang hari yang biasanya cerah terlihat lebih gelap dan murung. Pemakaman Bi Ana telah dilakukan, dan kini, hanya Andira juga Martin yang berada berhadapan, tadi saja, Sabina tak ingin pergi dari tempat pemakaman Bi Ana, namun Ibrahim membawanya pergi, Raisi juga sempat hadir dan pada akhirnya pergi, Martin terlihat lusuh, dan Andira kini berlutut di samping makam itu, menatapi nisan yang bertuliskan nama ibunya. Bibirnya bergetar dan matanya meneteskan air mata. Dan Martin hanya bisa memandang Andira dengan tatapan pasrah dan berduka. Gadis ini terus merengek dan menyandarkan kepalanya pada nisan tang tertancap. Dan pada akhirnya, turunlah hujan dan membasahi bumi. Air mata Andira mengalir seperti derasnya hujan saat itu. Kedua tangan Martin berada di dalam sakunya dan perlahan membungkuk lalu jongkok setengah mengelus lembut punggung Andira. Dia merangkulnya dan berkata, "Kau akan demam jika terus di sini," ucapnya lembut, terdengar di telinga Andira.
"Kau katakan bahwa jika aku mendengarkanmu maka ibuku akan baik-baik saja!" Andira dengan suara keras membentak Ibrahim yang duduk di kursinya, dia terlihat mengerjakan sesuatu di mejanya. "Well, kenapa begitu sedih, bukankah dia bukan ibu kangdungmu?" Matanya menatap Andira yang berdiri di hadapannya. Bibi Andira terbuka tipis, matanya menatap dengan nanar, dan nafasnya putus-putus, dia merasa sesak lalu akhirnya duduk di kursi yang telah disediakan di hadapannya. "Aku tidak akan pernah memaafkanmu! Kau melakukan semua ini hanya untuk dirimu saja, kau tidak peduli denganku, dengan ibuku....""Ibumu? Bi Ana bukan ibumu Andira!""Lalu siapa ibuku? Siapa orang tuaku Ha? Kau menghancurkan ku sejak awal! Kenapa kau melakukan ini padaku!?" Andira berdiri dan memukul meja dengan sangat keras, kedua tangannya tak merasakan panas dengan pukulan di meja, namun matanya sungguh nanar memandang Ibrahim. "Andira..., Kau membuat masalah dengan tidak mendengarkan ku, kau bahkan tidak ingin kemba
Martin berjalan masuk ke dalam gedung perusahaannya yang besar, kali ini dia hanya mengenakan kaos biasa tanpa setelan jas yang mewah, dan dengan hanya celana santai panjang biasa. Dia menjadi bahan pembicaraan di sana, tujuannya juga hanya satu, dia hanya ingin mengetahui apakah terjadi sesuatu pada bisnisnya, dan kini dia mengadakan rapat dadakan dimana dia akan menjalankan sesuatu yang tidak akan merugikan perusahaannya. "Dimana Ibrahim?" tanyanya saat dia sama sekali tidak menemukan Ibrahim di kursinya. "Dia meminta izin hari ini untuk tidak datang, Pak.""Lagi?""Ini hari pertamanya izin dalam waktu sebulan, Pak." "Baiklah kita mulai tanpa dia, rapatnya." Para karyawan sudah sudah duduk di kursinya masing-masing dan Martin memulai rapatnya. Ini adalah pertama kalinya Martin menghadiri rapat tanpa pakaian resmi, tidak masalah, siapa yang akan marah, toh dia pemilik utama perusahannya. Dan hal yang dia bicarakan adalah rencana yang akan dilakukan oleh perusahaannya jika kembali