Meja makan kosong, hanya ada makanan di atasnya. Tak ada yang duduk di kursi. Jika begini, Andira lebih baik tidak memaksa. Gadis itu terlihat lesu menatap makanan yang tak disantap. Dia juga mendengar suara besar Martin yang membentak. Sarah keluar dari rumah dengan membanting pintu dan menangis.
Apa ini karenanya?
Tidak, ini bukan karena Andira. Ingin cerai memang kemauan Martin sejak lama. Rumah besar Dailuna adalah miliknya, milik Martin. Dia adalah salah satu yang terkaya, dia bebas melakukan apa saja. Namun karena kungkungan pernikahan dan terjerat masa lalu, membuatnya diam di dalam sana. Di dalam rumah besarnya di dalam perusahaan besarnya, di dalam aturan-aturan pernikahan, aturan-aturan yang mengungkungnya dalam ketidak nyamanan.
Salah besar. Martin Dailuna tidaklah mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia adalah pria yang selalu dipecundangi oleh hidup, oleh semesta dan takdir.
Dia merenung menatap lantai dengan mata yang basah, saat putrinya Nad
“Apa kau sibuk?”Lutfi: {Aku sudah di rumah. Hatice saat ini memasak untukku} suaranya terdengar berbisik dari dalam ponsel.“Baiklah, hubungi aku sebentar.”Lutfi: {Tunggu Panggilan ku}Sarah berada di luar rumah adiknya, Raynaldi. Dia membunyikan bel dan tak lama kemudian adiknya datang membuka pintu.“Kakak!”Dengan cepat Sarah memeluk adik laki-lakinya itu, dia berlinang air mata. Rumah Ray cukuplah besar. Toh mereka juga berasal dari keluarga kaya. Hanya saja Ray hanya mendapat sebagian harta warisan, semuanya dimiliki oleh Sarah. Ray juga tidak minat dengan perusahaan ayahnya sendiri, sehingga lebih senang bekerja di perusahaan Dailuna.“Masuk dulu Kak.”Dengan lembut Raynaldi membawa Sarah masuk ke dalam. Dia menggandeng Kakaknya yang terlihat gundah. Mereka duduk di sofa ruang utama.“Ada apa?”“Martin, dia ingin cerai.”“
“Kenapa harus bercerai? Apa karena gadis itu?”Pertanyaan yang jatuh pada Martin Dailuna yang duduk di kursi kebesarannya,di dalam ruangan kerja di kantornya. Dia terlihat memainkan jemarinya yang saat ini berada di dagu. Tanpa melihat ke arah si petanya yang duduk tepat di hadapannya. Hatice Dailuna.“Aku sudah menduga, kalau Kakak pasti akan memutuskan hal bodoh ini! Ah! Bodoh! Kenapa harus bercerai, aku akan mengatakan segalanya pada Sarah, kalian harus memecat Andira!” Hatice, seraya berdiri dari duduknya membuat Martin langsung mendongak ke arah adiknya.“Kau jangan ikut campur. Aku dan Sarah sudah tidak bisa lagi.”Martin terlihat’ menunduk dengan wajah lesu dan tidak tertarik lagi berbincang.“Dan Kakak pikir Andira bisa, dan cocok untuk Kakak? Ha? Gadis itu lebih cocok menjadi anak daripada pasangan!” Suaranya memberontak. Martin terlihat menggeleng tidak terima.“Apa bedany
Wanita yang baru saja keluar dari ruangan Martin Dailuna dengan keadaan dan raut wajah marah melirik seorang pria yang sibuk berbicara dengan seorang wanita seksi, mungkin mereka berbicara soal bisnis, atau mungkin tidak. Mungkin berbicara yang lainnya. Dia hanya menatap sekilas dan berlalu pergi. Pria itu tak lain Ibrahim.Ibrahim menyadari kehadiran Hatice namun karena di area kantor tak dapat dia melirik wanita yang baru berlalu. Dan saat habis urusan Ibrahim, dia berlalu pergi dan berjalan keluar mengejar Hatice yang mungkin sudah jauh, namun tampaknya tidak.Hatice berdiri di pinggir jalan, menunggu seseorang, entah siapa. Langkah Ibrahim berhenti saat melihat sebuah mobil berhenti tepat di depan Hatice. Pria dengan badan atletis keluar dari sana. Oh ya, ternyata suaminya. Mereka terlihat manis bersama. Namun di mata Ibrahim, itu sama sekali terlihat sangat kecut dan menyakitkan mata.Karena terlambat, Ibrahim memilih kembali masuk ke dalam kantor dengan is
“Keluar!” Bentaknya dengan sangat kasar. Mata Andira berkaca-kaca, bagaimana bisa dia keluar jika pintunya masih terkunci.“Aku tidak bisa keluar, Anda menguncinya Tuan,” ucapnya, dengan nada suara ketakutan dan terus menelan ludah. Perkataan Andira membuat Martin memalingkan pandangannya pada Andira yang merinding ketakutan. Dia menelan ludah beberapa kali. Martin sendiri menyadari sikap kasarnya pada Andira.Terlihat canggung, Martin kembali lemah dan tak dapat marah. Dia menelan ludahnya sekali.“Ingin keluar bersamaku?”“Keluar?”Martin mengangguk.“Kemana?”Martin tak menjawab pertanyaan Andira, dia berbalik dan berjalan ke arah meja, di mana dia tadi menaruh kunci pintunya. Dia meraihnya dan berjalan kembali ke arah Andira. Dia menempelkan badannya pada tubuh Andira yang masih berdiri di belakang pintu. Andira menahan nafasnya sejenak dan membiarkan Martin berada tepat
-----------------Tinggalkan Putraku, dia akan segera menikah dengan orang yang kupilih, jangan biarkan keluargamu menderita hanya karena kau jatuh cinta pada putraku, kau pernah datang ke kantorku, tapi aku tak ada di sana. Percuma! Sangat percuma saat kau ingin berbicara denganku! Kau sama sekali hanya seekor lalat yang mengganggu kehidupan mewah kami. Lalat harus tetap berada pada tempat sampah! Tidak akan pernah ke sarang lebah! Tinggalkan Martin, atau kau akan menyesal! Keluargamu akan hancur! Siapa kau yang berani-berani datang padaku dan membujukku! Aku tidak akan membiarkan putraku terpengaruh olehmu! Kau bukanlah siapa-siapa!Mark Dailuna-----------------Mata Mia meneteskan air mata membaca surat yang dikirimkan padanya, tentu itu berasal dari Mark Dailuna. Dia berbaring di atas sofa sederhana di ruang tamu. Adiknya menatapnya dengan kesedihan, ayah dan ibunya tahu kenapa anak gadisnya menangis.Mereka juga didatangi oleh sekumpulan pria
Apa yang kita lakukan di sini Tua?” tanya Andira , mereka berdiri bersebrangan diantara makam. Andira tentu bingung apa yang mereka lakukan di makam itu.“Dia kekasihku, sebelum aku menikah dengan Sarah. Kami berjanji akan menikah suatu hari nanti, namun itu tidak pernah terjadi.” Nada suara Martin sedih dan terdengar sayu. “Sebelum aku mengenalmu, sebelum kau datang, aku sering kali berkunjung ke sini. Aku pikir dia kau adalah reinkarnasinya.” Dia menjelaskan dengan senyum tipis di bibirnya seakan apa yang dikatakannya adalah sebuah lelucon.“Sayangnya aku bukan.”“Kau benar....”“Apa yang Anda sering lakukan dengannya?”Andira terlihat paham dengan kesedihan dan sikap Martin yang angkuh dan selalu menyebalkan, atau mungkin mengerikan.“Kau ingin melakukannya denganku?” Andira bertanya lagi dengan senyum nakal di bibirnya. Martin tersipu, pipinya berubah merah, di
Sementara itu....Andira dan Martin berada di dalam sebuah mobil bersama. Seakan tidak ada lagi masalah.“Tuan Martin.”“Hmm.”“Aku akan mendengarkan apa yang dikatakan Tuan. Hanya saja, jangan bercerai.”Mendengar itu Martin mengernyit, dia yang tadinya memandang ke arah jalan kini menoleh ke arah Andira.“Kenapa begitu peduli pada pernikahan ku?”“Bukan begitu.”“Lalu?”Tatapan Martin kembali mengarah ke jalan raya.“Aku tidak ingin menjadi alasan kalian bercerai, carilah alasan lain.”“Hahhahah, kau..?” Terkekeh, dia tidak percaya Andira mengatakan hal demikian. “Percaya diri sekali.”“Apa?” Andira menoleh ke arah Martin.“Aku menikah dengan Sarah bukanlah karena kemaun ku, ataupun kemauannya, kami baru bertemu saat pertunangan terjadi,” jelas Martin.&l
Mereka setidaknya tidak bercerai, Martin membatalkannya. Dia terlihat duduk di hadapan Sarah yang juga tengah duduk di kursi kebesarannya. Martin mengunjungi kantor Sarah hanya untuk mengatakan bahwa dia merasa bersalah dengan apa yang terjadi. Dalam ruangan dingin, sejuk dan tentu saja nyaman, mereka sempat berbincang.“Kenapa menarik keputusanmu?” Pertanyaan pertama yang Sarah lontarkan pada pria yang berstatus suaminya itu. Martin tak memandang ke arah Sarah, tatapannya fokus menatap ornamen-ornamen yang menempel di dinding ruangan itu. Namun dia tetap menjawab pertanyaan dari sang istri.“Aku hanya kesal kemarin.” Jawaban yang aneh bukan? Dia menjawab bahwa dia hanya kesal.“Kesal?” Sarah menganga tipis dan alisnya mengernyit.“Kau kesal karena itu mau cerai?” Sarah bertanya lagi, raut wajahnya sama sekali bingung dan heran tentu saja. Martin kesal ditanya terus, dua hanya menghela napas berat karena tid