Terus terang saja, Luis prihatin dengan kondisi Gera yang saat ini mengalami trauma ringan. Ia juga sangat kasihan melihat Tuannya yang terlihat sangat sedih karena kata-kata Gera.
Tatapan Gera beralih menatap Luis. "Luis... Luiss... Tolong aku! Antar aku pulang. Aku tidak mau di sini bersama dia! Dia sudah berbuat kasar padaku, Luis."
Gera ingin bergerak, namun tubuhnya terasa remuk. Terutama di bagian kewanitaannya. "Aw, sakit... kenapa ini terasa sangat sakit?"
"Maaf... Maafkan aku, Ge. Aku menyesal," ujar Roy terbata-bata.
"Ayo Luis bantu aku! Tolong bawa aku pergi dari sini. Aku ingin pulang. Aku takut, Luis. Jika kau tak membawaku pergi, nanti dia akan menyiksaku lagi." Luis merasa iba melihat Gera yang merengek meminta bantuannya. Tapi itu tidak mungkin.
Dengan keras Roy melemparkan botol minuman keras yang sudah kosong ke sembarang arah."Aku harus bagaimana, Ge? Kau membuatku gila!" Roy kehilangan akal setiap kali mengingat Gera yang menolaknya keras."Aku sangat menyesali apa yang telah aku lakukan padamu!" Teriaknya lagi. Ia menjelaskan seolah ada Gera di depannya. Dengan kasar ia menggebrak meja dan berteriak sekencang-kencangnya. Tak akan ada yang mendengarnya, sebab disana sangat bising hingga membuat suaranya tertelan dentuman musik.*** Sudah berjam-jam Gera menunggu kepulangan Roy, namun yang ditunggu belum juga pulang. Membuat Gera merasa sedikit resah."Roy, kau dimana? Astaga!" Gera menghentak-hentakkan kaki pincangnya kesal. M
Pagi itu Gera berangkat bersama Roy. Karena kebetulan akan ada meeting bersama Devan. "Roy, bisakah kau berjalan sedikit pelan? Langkahmu sangat panjang," tegur Gera kesal. Ia tak bisa menyetarakan langkahnya dengan Roy. "Kita harus meeting, Gera," Roy menimpali tanpa melihat Gera yang mengejar dari arah belakang. "Tunggu! Roy! Tunggu!" Langkah Roy terhenti. Saat menghadap belakang, ia mendapati Gera yang ngos-ngosan. "Kau membuatku berlari! Jika aku lelah sepagi ini, aku tidak akan bisa fokus bekerja nanti. Kau menyebalkan, Roy!" Kantor masih sepi, namun mereka sudah terburu-buru. Roy memutar kepala malas. Ia segera menghampiri Gera yang tengah berjongkok di sana. "Sini kugendong!" Tanpa menunggu persetujuan Gera, Roy mengangkat dan menggendongnya. "Roy! Aku bisa jalan sendiri. Lepaskan!" Gera menjerit-jerit dan memukul punggung kokoh Roy. "Turunkan ak
"Adit?" Gera memekik lirih. Adit menyeringai licik. Barang-barang yang ada di tangan Gera kini terlepas. Dengan kecepatan yang ia bisa, Gera berlari. Dan mengejutkan, Adit mengejarnya. Smirk mengerikan itu tak hilang dari wajahnya. "Kau tak akan bisa lari, sayang." Gera menangis saat Adit berhasil menangkapnya. Gera meringis merasakan tangannya yang perih akibat digenggam terlalu erat oleh Adit. "Kumohon, lepaskan aku!" Gera memohon sembari meraung menangis. "Tak akan! Aku sudah kalah beberapa kali. Tapi tidak sekarang. Kau harus menunduk padaku," geram Adit kasar. "Tapi kau menyakitiku!" Gera berteriak keras. Smirknya semakin mengerikan. Gera sudah sangat takut. Ia ingin meminta pertolongan, tapi di sini sepi. Tak ada yang bisa dimintai bantuan. Ia meronta
Suara keras itu membuat siapapun yang ada di tempat ini terkejut bukan main. Gera termangu dengan air mata yang semakin mengalir deras. Terlebih saat cairan merah segar membasahi tubuhnya. Seseorang telah membidik Adit. Kini Adit sudah tersungkur di bawah sembari memegangi pahanya yang berlubang akibat serangan itu. "Gera! Kau baik-baik saja?" Roy segera menghampiri Gera dan membuka jasnya untuk menutupi tubuh Gera yang terbuka. "Boss, apa yang selanjutnya kita lakukan?" tanya Luis. "Setan kalian! Aw!" Adit merasakan sakit yang teramat pada pahanya. Wajah Adit terlempar saat Roy menyerangnya dengan kekuatan penuh. "Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak mengganggu Gera lagi. Apa kau tuli? Ini konsekuensi jika seseorang dengan sangat berani mengganggu apalagi melukai yang menjadi milikku." Geram Roy tepat di depan wajah Adit. "Ge
Pagi ini Roy mengantar Gera ke dokter untuk memeriksa kondisi kepalanya. Roy takut jika itu bisa berakibat buruk untuk Gera. Jangan sampai hal buruk terjadi padanya."Bagaimana, dok?" tanya Roy begitu dokternya keluar dari ruang pemeriksaan."Begini, Pak. Luka di kepala istri Bapak tidak parah. Tetapi jika teledor bisa infeksi kapan saja."Gera keluar saat dokter itu mengira dirinya dan Roy adalah sepasang suami istri. "Saya bukan-" sela Gera. Ia ingin meluruskan pikiran si dokter bahwa dirinya bukanlah istri Roy."Sayang, kemarilah. Duduk di sini," panggil Roy. Pria ini memotong kalimatnya. Gera berpikir pria ini benar-benar suka sekali memanfaatkan segala hal."Baiklah, Bu. Luka Ibu bukan luka yang serius. Tetapi Ibu harus tetap antisipasi agar tidak terjadi infeksi. Tetap di obati secara teratur," jelas dokter.
"Pagi ini aku akan membuatmu senang dengan permainan yang sudah kau rencanakan, Devan!" gumam Roy menyeringai. Karena di rumah Gera ada setelan kerja Roy yang pernah tertinggal, Roy memutuskan untuk berangkat bekerja dari sana. Dengan ceria dia bersiap, ini karena tadi malam ia sudah menyalurkan asupan pada Gera. Ia merasa sangat bahagia pagi ini. Mendapati Gera di sampingnya saat ia terbangun. Sarapan disiapkan juga oleh Gera. "Aku mengerti yang kamu maksud, Roy. Tapi pekerjaan di kantor juga sedang menumpuk," bantah Gera dengan mimik wajah tak enak dipandang. Roy menghela napas panjang. "Sudah, tak apa. Kau diam saja di rumah dan istirahat." Roy sengaja menyuruh Gera diam di rumah karena ia ingin melihat Gera senang dengan menikmati waktu di rumah kesayangannya. "Ck! Baiklah... Baiklah... Aku akan diam di sini," lirih Gera. Ia
Tubuh Gera terseret saat Dinda berhasil menyerang bagian perut Gera dengan kayu besar itu. Tenaga wanita ini sangat besar dan kuat. Sakit yang mendera sangat menyiksa Gera. Ia tak bisa bersuara bahkan saat kayu itu mengenai perutnya. Gera merasakan nyeri yang sangat menyiksa di bagian perutnya. "Kau mau lagi, Nona?" tanya Dinda dengan gaya psikopatnya. Dia tertawa renyah melihat Gera memuntahkan cairan merah segar. Sekali lagi ia mengayunkan kayu besar itu. Kayu itu mengenai dada Gera dengan sangat keras. Lagi-lagi Gera memuntahkan sesuatu. Membuat Dinda tersenyum puas. Ia merasa bangga bisa melakukannya. "Kau cepat sekali pingsan, dasar lemah!" Dinda mengolok Gera yang sudah tak sadarkan diri. "Aku mohon, izinkan aku memukulmu sekali lagi. Oke?" tanya Dinda pada Gera seolah meminta izin. Benar-benar wanita gila! Dinda memekik
"Maaf, Pak. Anak Bapak tidak bisa kami selamatkan. Karena istri Bapak terlalu banyak mengeluarkan darah. Dan juga perutnya sudah terkena benda tumpul lebih dari sekali." Baik Roy maupun Luis terkejut akan apa yang dikatakan oleh dokter. Terlebih Roy, ia merasa sangat terpukul. Ia menyeret mundur tubuhnya sendiri dan segera ditangkap oleh Luis. "Boss, Anda harus kuat." Luis berusaha menyemangati Tuannya. Isak tangis keluar dari mulut Roy. "Luis, Gera hamil, Luis. Dan aku tidak sadar. Aku tidak menyadarinya." Roy menghempaskan tubuhnya kasar hingga kepalanya terantuk tembok dengan cukup keras. Mendengarnya Luis langsung khawatir. Bagaimana pun Roy adalah Tuannya. Dan ayah dari jabang bayi yang sudah tiada, anak temannya, Gera. "Luis... Bagaimana aku menjelaskannya pada Gera?" Roy meraung-raung. Tangisnya memenuhi koridor rumah sakit yang sepi.