Pelan namun pasti, jarak di antara mereka semakin terkikis. Gera bisa mencium aroma tubuh Roy yang membuatnya mabuk setiap kali mencium aroma itu. Bahkan deru napas Roy juga bisa ia rasakan.
"Roy...."
Namun Roy tidak peduli akan apa yang Gera katakan. Ia hanya ingin merasakan bibir berisi itu.
"Kau tahu, kau sudah membuatku gila, sayang! Aku benar-benar tidak bisa tanpamu," gumam Roy membisikkan Gera.
"Aku juga gila karena memikirkanmu! Kau menyebalkan, Roy!" balas Gera dengan senyum manisnya.
Roy semakin mempererat dekapannya. Walaupun lukanya masih basah dan tentu saja akan terasa sangat perih. Namun Roy harus menahan itu demi rasa rindunya pada Gera.
"Jangan, Roy. Kau masih sakit. Itu akan memperparah lukamu nanti. Kau bisa melakukannya saat lukanya sudah mengering nanti." Gera menghentikan tangan Roy yang bergerak untuk memeluknya.
"Aku sudah sembuh. Bahkan rasa sakitnya tidak terasa. Kau sendiri tahu aku adalah
"Bicaralah, sayang," suruh Roy. Gera menghela napas pelan. Ia terlihat berpikir sebelum menyampaikan apa yang ingin ia katakan pada Roy. "Roy. Kau pasti ingat, beberapa jam yang lalu aku bilang, kalau kau sampai terluka lagi akibat permainan kita tadi, aku akan berhenti melakukan itu," lirih Gera gugup. Tetapi Roy masih bisa mendengarnya. Roy menatap Gera dalam. "Ge, kurasa itu tidak perlu. Untuk apa? Kau sangat childish!" Suara Roy meninggi membuat Gera menatap tajam. "Childish kamu bilang? Astaga, Roy! Karena itu kamu jadi semakin terluka bahkan tadi sampai pendarahan. Kamu santai, tapi aku gila melihat kondisi kamu yang semakin memburuk!" balas Gera tak kalah dengan suara tingginya. Roy terkekeh. "Sayang, apa yang kamu katakan tidak akan mudah untuk dilewati begitu saja. Aku akan sulit menyalurkan hasratku tanpa bantuan kamu," ujar Roy memelankan suaranya. "Roy, dewasal
"Ge, kau sudah bangun?" Roy membuka matanya menyesuaikan cahaya yang masuk.Gera mengangguk. Ia tersenyum sembari memainkan rambut Roy. "Maafkan aku, sayang," ujar Roy untuk yang kesekian kalinya."Lupakanlah, Roy. Aku yang salah," timpal Gera."Roy, kau bisa terluka lagi nanti," lirih Gera saat Roy berusaha menggapai wajahnya."Aku janji, tidak akan kelepasan. Aku akan mengontrol diriku, Ge. Tapi tolong, jangan menjauhiku," pinta Roy lirih. Gera mengangguk."Aku mencintaimu, Gera." Mendengar itu, entah darimana datangnya perasaan Gera yang bergemuruh. Jantungnya berdegup kencang nan gaduh. Entah, air mata Gera menetes begitu saja. Ia terharu. Juga tak menyangka bagaimana bisa seorang Aroy mengatakan itu padanya."Jangan bercanda, Roy! Ini
"Gera?" Baik Roy ataupun Luis terkejut. Pasalnya, Gera sebelumnya tidak mengetahui dimana Dinda disekap. Dengan tubuh gemetar, Gera masuk ke ruangan itu dan mendekat ke arah dimana Dinda, Luis, dan Roy berada. Luis sendiri sedikit cemas kalau Gera akan membatalkan eksekusi Dinda. "Ge, aku mohon tolong aku! Bantu aku, Ge. Hanya kamu yang bisa melepaskan aku dari Roy." Dinda merengek dengan air mata yang sudah membasahi wajah pucatnya. Gera duduk berjongkok menyetarakan dirinya dengan wanita jahat yang sudah membuat janinnya pergi dari dunia. Ia melihat Dinda dengan wajah miris dan terlihat sangat sedih. "Pasti, Dinda. Aku pasti akan membantumu," ujar Gera. Roy dan Luis tak tahu harus bagaimana. Masalahnya adalah, mereka tidak berani membantah Gera. Terlebih sekarang dia dalam masa pemulihan. "Ge, jangan mendengarnya. Kau terlalu polos. Kau tidak bisa melihat senyuman liciknya di bali
Wajah Gera menegang ketika mengetahui Roy sudah berdiri di belakangnya. Ia kikuk dan terasa kaku untuk sekedar menjawab. Bahkan ia tak berani mengangkat kepalanya. "Ge, jawablah! Siapa yang meneleponmu?" desak Roy sembari menggoyang tubuh Gera agar menjawab rasa penasarannya. Gera menggeleng kikuk. "Bukan siapa-siapa, Roy. Hanya keluargaku. Mereka memberitahu bahwa Bibiku sedang sakit," jawab Gera canggung. Roy mengangguk-ngangguk. Tetapi itu tidak membuat Gera lega dan tenang. "Kau yakin?" tanya Roy lagi semakin mendekatkan wajahnya pada Gera. "Ten-tentu saja aku yakin, Roy," Gera menjawab dengan terbata-bata. "Dan aku mohon, tolong izinkan aku untuk pergi mengunjungi keluargaku besok." Gera tak berani berucap lantang. Namun Roy masih bisa mendengar walaupun wanita ini hanya lirihan saja. Pria itu nampak berpikir keras. "Oke. Akan ku antar beso
Luis tiba-tiba merasa kepalanya pening. Ia merasa seolah terantuk benda besar, namun tak ada apa-apa. Yang membantingnya adalah kenyataan bahwa temannya adalah anak kandung dari musuh bebuyutan Roy sejak lama. Luis tidak mengkhawatirkan hal lain, ia hanya memikirkan keselamatan Gera. "Ge, aku harus jujur pada Roy. Tapi aku sangat takut sesuatu terjadi padamu. Bagaimana aku harus memilih. Tidak mungkin aku berbohong. Roy akan tahu semuanya," gumam Luis seolah berbicara pada Gera. Ia benar-benar bingung harus bagaimana. Pria itu menggeleng keras lalu membanting kepalanya ke kemudi mobil.Jeritan Luis sangat memekikkan telinga. Untung saja sekarang ia berada di tengah hutan. Jadi tidak akan menganggu siapapun. "Ge, aku akan jujur pada Roy apapun yang terjadi. Karena aku melakukan ini untukmu. Demi kebaikanmu. Aku tidak mau Roy tahu semuanya setelah semua terlambat. Itu akan menjadi masalah yang jauh lebih
Gera memekik keras hingga memenuhi ruangan dengan suara pekikan frustasi. Ia jambak-jambak rambutnya yang sudah kacau. Luis dan Ros bahkan tak mau lagi melihatnya. Apa masalah keluarga Swara dengan keluarganya? Ia bingung setengah mati. Dan ingin menuntut penjelasan pada Papanya. Kini tentu saja Roy sudah tak membutuhkan dirinya. Lalu ke mana ia harus pergi? Hatinya sangat berat jika harus pergi meninggalkan Roy. Ia sudah terlanjur mencintai pria dingin dan keras itu."Ge, bukalah!" Itu Luis. Namun entah kenapa Gera seperti malas menyahutinya."Masuk saja," jawab Gera dingin. Bagaimanapun juga ini bukan salah Luis. Dia tidak punya kendali atas ini semua. Luis menghampiri Gera dengan langkah pelan. Duduk di sebelah wanita yang
"Kumohon jangan membuat dirimu repot seperti melayani tamu, Luisa," pinta Gera saat melihat wanita itu sibuk dengan beberapa kresek di kedua tangannya."Kau memang tamuku, Nona Gera," Luisa mencoba bercanda."Jika kau ingin tamu ini betah di sini, tolong bersikap biasa saja. Jika aku membutuhkan sesuatu, aku akan melakukannya sendiri. Jangan membuatku merasa tak enak hati," bantah Gera tak mau kalah. Setelah mengemasi barang-barang di kamar yang sudah Luisa sediakan, Gera memilih untuk berjalan-jalan ke arah pantai. Banyak anak-anak di sana. Gera jadi semakin tertarik dan ingin ikut bermain. Ini kali pertamanya dia akan tinggal di dekat laut. Bermain bersama beberapa anak desa membuatnya sejenak rehat dari pikiran beratnya. Otaknya terasa panas dan kebas sebelumnya. Namun ia sangat bersyu
Seperti biasa, dengan cepat Luis bisa mengendalikan rasa terkejutnya. "Ah, Pak David. Maaf mengganggu. Tetapi ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda," tutur Luis sopan. "Tidak apa-apa, nak. Silahkan masuk." Luis disambut hangat oleh David. Karena sejatinya, David tidak pernah memusuhi Roy atau siapapun. Perseteruan di antara mereka hanya kesalahpahaman Roy saja. David sering sekali ingin menjelaskan semuanya secara rinci agar masalah terselesaikan secepatnya. Namun belum saja berbicara, Roy selalu ingin mengamuk. David paham betul sifat Roy. Karena David sudah melihat anak itu semenjak dia masih kecil. Iya, keluarga David dan keluarga Swara dulunya adalah kerabat dekat. Bahkan sangat dekat. Namun karena ada kesalahpahaman antara Roy yang menjadi penerus perusahaan terhadap David, jadi beginilah sekarang. "Ada apa kau kemari, Luis? Apa perintah dari Roy hingg