Bi Iem berlari dan refleks memeluk Gera. Tangis mereka pecah setelah empat tahun tidak bertemu. "Dimana Papa, Bi?" tanya Gera.
"Papa ada di kamar, Non. Kau bisa mencarinya ke sana. Beliau sering sakit karena memikirkan mu. Dia mengerahkan beberapa anak buahnya untuk mencari mu beberapa kali. Tapi hasilnya nihil," tutur Bi Iem seraya menghapus air matanya.
"Kasihan sekali Papa," lirih Gera.
Dengan langkah lebar ia menuju kamar David. "Pa, Gera pulang."
Sangat jelas Gera bisa melihat reaksi Papanya yang langsung terduduk saat mendengar suaranya. "Kau dimana, Nak?"
"Gera di sini, Pa." Gera berlari kencang menuju Papanya. Mereka berpelukan dan seketika tangis David pecah.
Anak dan Ayah itu meluapkan kerinduan
Luisa sudah mendapat perintah dari Gera untuk kembali ke kota dan membawa anak-anak. Ia senang semua ini terjadi, terlebih jika Gera akan bersatu lagi dengan Roy. Ia sempat mendengar dari Alvin bahwa Roy memang sudah sangat berubah. Tidak seperti terakhir kali mereka bertemu. "Kids, kalian sudah siap?" Luisa bertanya. Ketiganya mengangguk antusias. Tak henti-hentinya Luisa terkekeh geli melihat bagaimana ketiga anak itu berjalan riang dengan ransel di pundak mereka. "Rico tidak sabar bertemu dengan Mama," seru Rico dengan senangnya. "Bukan hanya Rico, Rio dan Ray juga sangat merindukan Mama." Celetuk Rio tak mau kalah. Berbeda dengan saudara sulung mereka, jalannya lurus dan tanpa kedipan. Ray dingin dan datar. "Ray! Jangan melamun terus! Kau bisa ketempelan nanti." Rio menegur Kakaknya sambil menahan tawa. Sementara itu, Luisa hanya bisa menggele
"Apa? Itu tidak mungkin, Luis! Clay berbohong padamu!" Roy berteriak tak terima. "Maaf, Bos. Memang Gera mengatakannya kepada Clay seperti itu." Luis berusaha berbohong sebisa mungkin. "Cepat panggil Clay sekarang," geram Roy marah. Sesuai perintah, Luis segera menuju ruangan Clay dan menceritakan kebohongannya pada Roy. "Astaga, Luis! Lagipula kenapa kau berbohong? Aku juga yang kena imbasnya! Astaga!" Clay mondar mandir dan mengomeli kekasihnya ini. "Maaf, sayang. Aku sudah kehabisan akal tadi. Roy benar-benar mendesakku. Kau satu-satunya yang bisa membantuku, Clay," pinta Luis memohon. "Terus aku harus bilang apa?" pekik Clay heboh. "Katakan saja pada Roy, Gera sudah menikah dengan Alvin, temannya," sergah Luis enteng. Clay memelototi Luis tajam. "Kau gila? Itu tidak mungkin!" "Clay, Gera yang m
"Wow! Ge, kau sangat cantik malam ini. Aku sangat kagum padamu," seru Luisa gemas dengan penampilan Gera yang terkesan feminim memakai gaun selutut dengan punggung terbuka. "Kau berlebihan, Luisa! Kau juga sangat cantik! Jika Luis melihatmu, dia tidak akan menyangka kalau kau adalah Luisa." Keduanya tertawa ringan melihat penampilan masing-masing. Luisa celingak-celinguk, namun triplets belum juga keluar. "Astaga! Triplets, apa yang kalian lakukan? Aku sudah lapar, tidak sabar ingin memakan jamuan di sana!" seru Luisa kesal. "Tante, sabarlah! Kami harus terlihat tampan di sana," tegur Ray ketus. "Wah, kalian sudah tumbuh besar dan semakin tampan ya. Juga semakin pintar berbicara!" sindir Luisa membuat Ray memutar bola matanya malas. Gera hanya tersenyum lebar melihat perseteruan antara Tante dengan ponakan ini. Ia kagum melihat anak-anaknya yang t
"Hai cantik," sapa pria itu lagi. Gera ingat betul siapa pria ini. "Devan?" ucap Gera lirih. Masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Pria itu terkekeh melihat kegugupan Gera yang sangat kentara. "Iya, ini aku Devan. Kau mungkin mengira aku sudah mati. Tapi kau salah! Aku tidak akan mati semudah itu!" "Jangan gugup, sayang!" Devan seakan mengetahui kondisi hati Gera saat ini. "Ti-tidak! Aku tidak gugup! Kau terlalu meremehkanku!" bantah Gera. Devan mengelilingi tubuh Gera sambil memperhatikan wanita yang semakin anggun itu. "Beberapa tahun tak melihatmu, membuatku semakin rindu. Kau semakin cantik, Gera!" puji Devan yang sama sekali tidak nyaman terdengar di telinga Gera. "Beberapa kali aku menanyakan alamatmu pada Roy. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Tapi si keparat Roy tak pernah mau memberikan alamatmu padaku." Seakan-akan ia mencurahkan hatinya pada Gera.&nb
"Baiklah. Aku akan pulang bersamamu. Aku akan ke kamar dulu," ujar Gera. Ia mencari ponselnya. Dan Untung saja Roy menaruhnya di atas meja dekat ranjang. Ia harus menelpon Luisa sekarang. "Luisa, maafkan aku, tadi malam ada masalah. Makanya aku tidak pulang." Gera sudah tahu Luisa akan ngamuk karena dirinya tak bisa dihubungi. "Akan ku ceritakan nanti. Tapi sekarang aku membutuhkan bantuanmu," pinta Gera. "Tolong, bawa triplets pergi dari sana. Beritahu saja mereka aku baik-baik saja dan masih bekerja. Nanti akan kususul. Roy akan mengantarku pulang ke rumah Papa. Cepatlah," suruh Gera gugup. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Gera terkejut bukan main ketika pintu tiba-tiba terbuka dan menampakkan Roy di sana. "Kau menelepon siapa? Terlihat sangat cemas," tanya Roy dengan wajah menyelidik. Gera menggeleng gugup. "Bu-bukan siapa-siapa, Roy. Hanya rekan kantorku yang mengatakan b
"Mama, Rico ingin selai nanas!" "Rio selai coklat, Mama!" Rio tak kalah. Sementara Ray, dia lebih memilih diam dan seperti biasa, melakukan apapun dengan caranya sendiri. Sangat mirip dengan Roy. "Ray, mau Mama bantu?" tawar Gera lembut. Ray menggeleng. "Terima kasih, Mama. Ray masih bisa melakukannya sendiri," jawabnya dingin. Gera hanya tersenyum menanggapinya. Ia sudah terbiasa akan sikap dingin anak sulungnya itu. David hanya tertawa ringan melihat duo ribet ribut meminta bantuan Mamanya. Hal yang David lihat dari Gera saat ini adalah, putrinya sedang tidak baik-baik sekarang. Ia tahu karena ia adalah Papa dari Gera. Sejak kecil Gera tidak pernah mau menceritakan masalahnya dan sebisa mungkin menyelesaikannya sendiri. "Kids, setelah sarapan, kalian pergilah bermain ke taman belakang. Mama kalian sedang kurang sehat. Jadi jangan diganggu dulu," ujar
Sebelum berterus terang, Gera menghembuskan napasnya pelan. Membuang semua beban yang selama ini ia pikul."Roy... pertama, aku mohon maafkan aku. Aku sudah menghilang dan berpikir buruk tentangmu. Aku tidak tahu selama ini kau mencariku. Karena yang aku pikirkan hanyalah bagaimana agar aku bisa jauh darimu. Tapi aku munafik, aku tidak bisa tidak merindukan dirimu." Air mata lagi-lagi keluar begitu saja. Segera Gera menyeka dengan kasar."Aku tidak pernah menikah ataupun menjalin hubungan dengan siapa pun. Jujur, aku masih mencintaimu seperti dulu. Hanya saja aku tidak mau kamu tahu kebenarannya.""Selama ini aku dan Luisa hidup luntang lantung hingga bertemu dengan Alvin, temanku yang dulu sempat kau ancam karena makan malam denganku." Gera terkekeh geli mengingat itu. David masih menunduk mendengarkan cerita putrinya. Ia sedih mendengar bagaimana kehidupan putrinya sebelum kembali ke rumah.
Dua jam berlalu, mereka sudah melakukan permainan yang semakin menguatkan romantisme dalam hubungan yang sudah sempat merenggang. "Kau benar-benar meluapkan semua bebanmu, Roy!" ujar Gera dengan napas tersengal. "Bagaimana bisa aku menahan diri, sayang? Aku sudah sangat merindukanmu." Roy membuat Gera malu dan memukul pelan dadanya. Keduanya bermesraan seperti anak remaja yang sedang kasmaran. Mereka melupakan semua hal bahkan anak-anak mereka. "Mama! Kami mau masuk!" Itu suara Ray yang memanggil. Gera kelimpungan karena dia dan Roy belum memakai apa pun. "Wait! Mama akan bukakan," jawab Gera sedikit berteriak. "Apakah Papa ada di sana?" Giliran Rico yang bertanya. Namun Gera diam dan tetap fokus memakaikan Roy pakaiannya sementara orangnya tertidur pulas. "Sebentar! Tunggu Mama!" seru Gera lagi. Merasa sudah bersih dan siap, Gera membuka pintu dan menyam