"Wow! Ge, kau sangat cantik malam ini. Aku sangat kagum padamu," seru Luisa gemas dengan penampilan Gera yang terkesan feminim memakai gaun selutut dengan punggung terbuka.
"Kau berlebihan, Luisa! Kau juga sangat cantik! Jika Luis melihatmu, dia tidak akan menyangka kalau kau adalah Luisa." Keduanya tertawa ringan melihat penampilan masing-masing.
Luisa celingak-celinguk, namun triplets belum juga keluar. "Astaga! Triplets, apa yang kalian lakukan? Aku sudah lapar, tidak sabar ingin memakan jamuan di sana!" seru Luisa kesal.
"Tante, sabarlah! Kami harus terlihat tampan di sana," tegur Ray ketus.
"Wah, kalian sudah tumbuh besar dan semakin tampan ya. Juga semakin pintar berbicara!" sindir Luisa membuat Ray memutar bola matanya malas.
Gera hanya tersenyum lebar melihat perseteruan antara Tante dengan ponakan ini. Ia kagum melihat anak-anaknya yang t
"Hai cantik," sapa pria itu lagi. Gera ingat betul siapa pria ini. "Devan?" ucap Gera lirih. Masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Pria itu terkekeh melihat kegugupan Gera yang sangat kentara. "Iya, ini aku Devan. Kau mungkin mengira aku sudah mati. Tapi kau salah! Aku tidak akan mati semudah itu!" "Jangan gugup, sayang!" Devan seakan mengetahui kondisi hati Gera saat ini. "Ti-tidak! Aku tidak gugup! Kau terlalu meremehkanku!" bantah Gera. Devan mengelilingi tubuh Gera sambil memperhatikan wanita yang semakin anggun itu. "Beberapa tahun tak melihatmu, membuatku semakin rindu. Kau semakin cantik, Gera!" puji Devan yang sama sekali tidak nyaman terdengar di telinga Gera. "Beberapa kali aku menanyakan alamatmu pada Roy. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Tapi si keparat Roy tak pernah mau memberikan alamatmu padaku." Seakan-akan ia mencurahkan hatinya pada Gera.&nb
"Baiklah. Aku akan pulang bersamamu. Aku akan ke kamar dulu," ujar Gera. Ia mencari ponselnya. Dan Untung saja Roy menaruhnya di atas meja dekat ranjang. Ia harus menelpon Luisa sekarang. "Luisa, maafkan aku, tadi malam ada masalah. Makanya aku tidak pulang." Gera sudah tahu Luisa akan ngamuk karena dirinya tak bisa dihubungi. "Akan ku ceritakan nanti. Tapi sekarang aku membutuhkan bantuanmu," pinta Gera. "Tolong, bawa triplets pergi dari sana. Beritahu saja mereka aku baik-baik saja dan masih bekerja. Nanti akan kususul. Roy akan mengantarku pulang ke rumah Papa. Cepatlah," suruh Gera gugup. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Gera terkejut bukan main ketika pintu tiba-tiba terbuka dan menampakkan Roy di sana. "Kau menelepon siapa? Terlihat sangat cemas," tanya Roy dengan wajah menyelidik. Gera menggeleng gugup. "Bu-bukan siapa-siapa, Roy. Hanya rekan kantorku yang mengatakan b
"Mama, Rico ingin selai nanas!" "Rio selai coklat, Mama!" Rio tak kalah. Sementara Ray, dia lebih memilih diam dan seperti biasa, melakukan apapun dengan caranya sendiri. Sangat mirip dengan Roy. "Ray, mau Mama bantu?" tawar Gera lembut. Ray menggeleng. "Terima kasih, Mama. Ray masih bisa melakukannya sendiri," jawabnya dingin. Gera hanya tersenyum menanggapinya. Ia sudah terbiasa akan sikap dingin anak sulungnya itu. David hanya tertawa ringan melihat duo ribet ribut meminta bantuan Mamanya. Hal yang David lihat dari Gera saat ini adalah, putrinya sedang tidak baik-baik sekarang. Ia tahu karena ia adalah Papa dari Gera. Sejak kecil Gera tidak pernah mau menceritakan masalahnya dan sebisa mungkin menyelesaikannya sendiri. "Kids, setelah sarapan, kalian pergilah bermain ke taman belakang. Mama kalian sedang kurang sehat. Jadi jangan diganggu dulu," ujar
Sebelum berterus terang, Gera menghembuskan napasnya pelan. Membuang semua beban yang selama ini ia pikul."Roy... pertama, aku mohon maafkan aku. Aku sudah menghilang dan berpikir buruk tentangmu. Aku tidak tahu selama ini kau mencariku. Karena yang aku pikirkan hanyalah bagaimana agar aku bisa jauh darimu. Tapi aku munafik, aku tidak bisa tidak merindukan dirimu." Air mata lagi-lagi keluar begitu saja. Segera Gera menyeka dengan kasar."Aku tidak pernah menikah ataupun menjalin hubungan dengan siapa pun. Jujur, aku masih mencintaimu seperti dulu. Hanya saja aku tidak mau kamu tahu kebenarannya.""Selama ini aku dan Luisa hidup luntang lantung hingga bertemu dengan Alvin, temanku yang dulu sempat kau ancam karena makan malam denganku." Gera terkekeh geli mengingat itu. David masih menunduk mendengarkan cerita putrinya. Ia sedih mendengar bagaimana kehidupan putrinya sebelum kembali ke rumah.
Dua jam berlalu, mereka sudah melakukan permainan yang semakin menguatkan romantisme dalam hubungan yang sudah sempat merenggang. "Kau benar-benar meluapkan semua bebanmu, Roy!" ujar Gera dengan napas tersengal. "Bagaimana bisa aku menahan diri, sayang? Aku sudah sangat merindukanmu." Roy membuat Gera malu dan memukul pelan dadanya. Keduanya bermesraan seperti anak remaja yang sedang kasmaran. Mereka melupakan semua hal bahkan anak-anak mereka. "Mama! Kami mau masuk!" Itu suara Ray yang memanggil. Gera kelimpungan karena dia dan Roy belum memakai apa pun. "Wait! Mama akan bukakan," jawab Gera sedikit berteriak. "Apakah Papa ada di sana?" Giliran Rico yang bertanya. Namun Gera diam dan tetap fokus memakaikan Roy pakaiannya sementara orangnya tertidur pulas. "Sebentar! Tunggu Mama!" seru Gera lagi. Merasa sudah bersih dan siap, Gera membuka pintu dan menyam
"Roy, setengah jam lagi jam makan siang habis. Aku tidak mau terlambat," tegas Gera menutupi tubuhnya dengan bantal sofa. Tak peduli dengan apa yang Gera katakan, Roy hanya fokus melanjutkan langkahnya. "Roy, kita bisa melakukan itu nanti di rumah," kata Gera lagi. Namun Roy sudah terlalu dekat. Gera harus segera mencari alasan agar Roy tak jadi melakukan itu padanya. "Sudah terlanjur sampai, sayang!" bisik Roy. "Roy, aku janji kita akan melakukannya di rumah. Tapi tolong, saat ini aku sangat lapar!" Gera memekik tertahan. Ia benar-benar tak tahu harus beralasan apa pada Roy. "Gera! Kau membuatku harus menahan semuanya!" Roy menggeram kesal. Jika sudah menyangkut kesehatan Gera, ia tak bisa menolak itu semua. Ia kesal sendiri dan terpaksa menelan keinginannya yang sudah membara di ubun-ubun. Wanitanya hanya merespon dengan cengiran kha
Gera bersama Roy turun. Mereka mengekor triplets yang sangat semangat di rumah ini. "Papa, kapan kita akan tinggal di sini? Ray ingin tinggal bersama Papa," tanya Ray. "Iya. Rico juga ingin tinggal di sini agar bisa bermain bersama Papa. Kakek sudah tidak bisa bermain lama-lama. Mudah kelelahan," tambah Rico. "Secepatnya kita akan tinggal di sini bersama Mama," jawab Roy mengundang sorak gembira anak-anak mereka. Rio berhenti tiba-tiba, membuat yang lain juga ikut menghentikan langkah mereka. "But wait! Papa dan Mama pergi bekerja. Akan lebih baik bersama Kakek. Walau sudah tua tapi tetap bersama kita. Kasihan juga Kakek. Tidak ada teman," ujar Rio. Gera senyum dan terenyuh mendengar apa yang dikatakan oleh Rio. Dia memang yang paling teliti dalam segala hal. Dia yang paling lama berpikir. Namun selalu menjawab dengan etis. "Rio benar! Kita bersama Kakek saja. Kan
"Ke daerah mana yang kau inginkan di Sumba, sayang?" Roy bertanya saat mereka dalam perjalanan pulang. Tidak langsung menjawab, Gera hanya tersenyum. "Aku ingin pergi ke Waingapu, Sumba Timur. Dulu di sana ada temanku. Tetapi sampai sekarang aku tak pernah bisa mengunjunginya. Aku harap ketika kita ke sana, aku bisa bertemu dengannya," tutur Gera. "Hanya itu?" tanya Roy. "Tidak. Di sana akan ada banyak perbukitan sejauh mata memandang. Aku ingin sejenak di sana dan melepas penatku," jawab Gera dengan senyum yang sarat akan kebahagiaan. Tak mau mengganggu khayalan wanitanya, Roy hanya diam dan fokus menyetir. Sesekali ia melirik Gera yang masih setia dengan senyum lebarnya. Sebenarnya Roy sendiri malas bepergian. Ia lebih tertarik untuk bermain bersama anak-anaknya yang sudah begitu lama tidak ia temani. Namun tak apa, sesekali ia harus membahagiakan Gera setelah berk