Sebelum berterus terang, Gera menghembuskan napasnya pelan. Membuang semua beban yang selama ini ia pikul.
"Roy... pertama, aku mohon maafkan aku. Aku sudah menghilang dan berpikir buruk tentangmu. Aku tidak tahu selama ini kau mencariku. Karena yang aku pikirkan hanyalah bagaimana agar aku bisa jauh darimu. Tapi aku munafik, aku tidak bisa tidak merindukan dirimu." Air mata lagi-lagi keluar begitu saja. Segera Gera menyeka dengan kasar.
"Aku tidak pernah menikah ataupun menjalin hubungan dengan siapa pun. Jujur, aku masih mencintaimu seperti dulu. Hanya saja aku tidak mau kamu tahu kebenarannya."
"Selama ini aku dan Luisa hidup luntang lantung hingga bertemu dengan Alvin, temanku yang dulu sempat kau ancam karena makan malam denganku." Gera terkekeh geli mengingat itu. David masih menunduk mendengarkan cerita putrinya. Ia sedih mendengar bagaimana kehidupan putrinya sebelum kembali ke rumah.
Dua jam berlalu, mereka sudah melakukan permainan yang semakin menguatkan romantisme dalam hubungan yang sudah sempat merenggang. "Kau benar-benar meluapkan semua bebanmu, Roy!" ujar Gera dengan napas tersengal. "Bagaimana bisa aku menahan diri, sayang? Aku sudah sangat merindukanmu." Roy membuat Gera malu dan memukul pelan dadanya. Keduanya bermesraan seperti anak remaja yang sedang kasmaran. Mereka melupakan semua hal bahkan anak-anak mereka. "Mama! Kami mau masuk!" Itu suara Ray yang memanggil. Gera kelimpungan karena dia dan Roy belum memakai apa pun. "Wait! Mama akan bukakan," jawab Gera sedikit berteriak. "Apakah Papa ada di sana?" Giliran Rico yang bertanya. Namun Gera diam dan tetap fokus memakaikan Roy pakaiannya sementara orangnya tertidur pulas. "Sebentar! Tunggu Mama!" seru Gera lagi. Merasa sudah bersih dan siap, Gera membuka pintu dan menyam
"Roy, setengah jam lagi jam makan siang habis. Aku tidak mau terlambat," tegas Gera menutupi tubuhnya dengan bantal sofa. Tak peduli dengan apa yang Gera katakan, Roy hanya fokus melanjutkan langkahnya. "Roy, kita bisa melakukan itu nanti di rumah," kata Gera lagi. Namun Roy sudah terlalu dekat. Gera harus segera mencari alasan agar Roy tak jadi melakukan itu padanya. "Sudah terlanjur sampai, sayang!" bisik Roy. "Roy, aku janji kita akan melakukannya di rumah. Tapi tolong, saat ini aku sangat lapar!" Gera memekik tertahan. Ia benar-benar tak tahu harus beralasan apa pada Roy. "Gera! Kau membuatku harus menahan semuanya!" Roy menggeram kesal. Jika sudah menyangkut kesehatan Gera, ia tak bisa menolak itu semua. Ia kesal sendiri dan terpaksa menelan keinginannya yang sudah membara di ubun-ubun. Wanitanya hanya merespon dengan cengiran kha
Gera bersama Roy turun. Mereka mengekor triplets yang sangat semangat di rumah ini. "Papa, kapan kita akan tinggal di sini? Ray ingin tinggal bersama Papa," tanya Ray. "Iya. Rico juga ingin tinggal di sini agar bisa bermain bersama Papa. Kakek sudah tidak bisa bermain lama-lama. Mudah kelelahan," tambah Rico. "Secepatnya kita akan tinggal di sini bersama Mama," jawab Roy mengundang sorak gembira anak-anak mereka. Rio berhenti tiba-tiba, membuat yang lain juga ikut menghentikan langkah mereka. "But wait! Papa dan Mama pergi bekerja. Akan lebih baik bersama Kakek. Walau sudah tua tapi tetap bersama kita. Kasihan juga Kakek. Tidak ada teman," ujar Rio. Gera senyum dan terenyuh mendengar apa yang dikatakan oleh Rio. Dia memang yang paling teliti dalam segala hal. Dia yang paling lama berpikir. Namun selalu menjawab dengan etis. "Rio benar! Kita bersama Kakek saja. Kan
"Ke daerah mana yang kau inginkan di Sumba, sayang?" Roy bertanya saat mereka dalam perjalanan pulang. Tidak langsung menjawab, Gera hanya tersenyum. "Aku ingin pergi ke Waingapu, Sumba Timur. Dulu di sana ada temanku. Tetapi sampai sekarang aku tak pernah bisa mengunjunginya. Aku harap ketika kita ke sana, aku bisa bertemu dengannya," tutur Gera. "Hanya itu?" tanya Roy. "Tidak. Di sana akan ada banyak perbukitan sejauh mata memandang. Aku ingin sejenak di sana dan melepas penatku," jawab Gera dengan senyum yang sarat akan kebahagiaan. Tak mau mengganggu khayalan wanitanya, Roy hanya diam dan fokus menyetir. Sesekali ia melirik Gera yang masih setia dengan senyum lebarnya. Sebenarnya Roy sendiri malas bepergian. Ia lebih tertarik untuk bermain bersama anak-anaknya yang sudah begitu lama tidak ia temani. Namun tak apa, sesekali ia harus membahagiakan Gera setelah berk
"Iya. Aku menyiapkan semua ini untukmu, sayang. Candle light dinner," ujar Roy membisikkan Gera. Wanita pujaannya tersenyum, sejenak melupakan apa yang tadi sempat membuatnya kecewa. "Bagaimana bisa?" tanya Gera penasaran."Sayang, kalau aku sudah ingin melakukannya, semuanya bisa terjadi," tutur Roy angkuh. Ia selalu membanggakan dirinya sendiri. Namun mengubah itu semua juga tidak mungkin, pikir Gera. Roy mempersilahkan Gera untuk duduk di kursi yang sudah disiapkan di sana. Saat Gera menatap ke depan, di belakang Roy tepatnya, Gera tak henti-hentinya berdecak kagum. Sejauh mata memandang, hamparan bebukitan terbentang luas. Hal inilah yang membuat Gera selalu ingin kemari selain menemui Putri, temannya. Ia juga ingin berkunjung berjumpa dengan ribuan bukit di tanah Waingapu ini."Bukit Wairi
"Roy, satu hari lagi. Dan kita akan kembali ke kota. Aku masih betah di sini," gerutu Gera sambil menopang dagunya. Ia duduk santai di balkon hotel menikmati pemandangan desa yang sangat damai. Roy terkekeh dan berjalan mendekati Gera. Ia memeluk wanita itu dari belakang. "Aku bisa saja memperpanjang liburan kita. Tapi apa kau lupa kalau triplets pasti merindukan Mamanya?" "Iya. Aku egois sekali. Baiklah. Mungkin akan lebih baik jika lain kali kita pergi bersama mereka," gumam Gera lemas. Ia lupa, kewajibannya sudah menanti di rumah. Anak-anak pasti sudah sangat merindukan dirinya juga Roy. Melihat Gera yang masih suntuk, Roy memiliki ide. "Bagaimana jika hari ini kita jalan-jalan sebelum packing. Besok pagi kita sudah harus kembali." "Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Gera penasaran. "Aku akan mengajakmu ke daerah Sumba Barat Daya. Atau kita berangkat pulang
"Apa?" Roy langsung berdiri. Gera menggelengkan kepalanya lemah. Tangisnya pecah, ia terduduk lemas di sofa. "Tidak mungkin, Bi. Bagaimana bisa itu semua terjadi?" Gera benar-benar tidak percaya akan apa yang ia dengar hari ini. Roy menggendong Gera yang kini sudah terjatuh pingsan. Ia membawa Gera menuju kamar dan menyuruh Iem untuk menjaga Gera ketika dia pergi. Rencananya Roy akan mencari Luis terlebih dahulu. Menanyakan kronologi sebenarnya seperti apa. Dengan kecepatan tinggi Roy menyetir mobilnya. Bahkan ia sudah tidak peduli jika ada polisi yang mengejarnya. Anaknya bisa saja sedang dalam bahaya sekarang. "Siapa pun pelakunya, aku tidak akan memberi ampun. Apa pun alasannya. Dia sudah sangat berani mengacaukan hidup anak-anakku." Roy menggeram hebat dan membanting kasar tangannya ke setir mobil. Sampai di rumahnya, terlihat semua anak buahnya dan juga anak buah David sudah berkumpul di sana. "Luis, bagaimana semuanya terjadi?" Tegas Roy bertanya. "Kenapa kau tidak menghubu
"Siapa kamu? Tidak tahu sopan santun. Asal masuk rumah orang saja!" bentak Ibu itu marah. Luis yang bertugas masuk sendiri tetap dengan pembawaannya, tenang. "Maaf, Bu. Saya kemari mau menjemput anak dari Bos saya," jawab Luis sopan. Wanita itu melotot. "Bos kamu siapa?" "Bos Roy." Mendengar jawaban Luis, Ibu itu langsung diam dan tegang. Seakan bibirnya tidak bisa digerakkan lagi. "Kenapa, Bu? Ada masalah?" Luis mendekati Ibu itu. Senyum licik yang Luis tampilkan berhasil membuatnya semakin ciut. "Ternyata kamu yang membuat ulah!" Roy datang dari arah belakang dan mengepung Ibu itu bersama beberapa anak buahnya. "A-apa maksudmu? Jangan kurang ajar pada orang tua seperti itu!" bentak Ibunya Sinta terbata-bata. Roy mendekati wanita tua itu dengan langkahnya yang begitu angkuh. "Kurang ajar? Dan orang tua kau bilang? Tingkahmu saja tidak layak dikatakan dewasa. Itu perbedaan yang sangat jauh." Sisi kasar Roy mulai terlihat sekarang. "Bu, tolong bekerjasamalah dengan ka