"Roy, satu hari lagi. Dan kita akan kembali ke kota. Aku masih betah di sini," gerutu Gera sambil menopang dagunya. Ia duduk santai di balkon hotel menikmati pemandangan desa yang sangat damai.
Roy terkekeh dan berjalan mendekati Gera. Ia memeluk wanita itu dari belakang. "Aku bisa saja memperpanjang liburan kita. Tapi apa kau lupa kalau triplets pasti merindukan Mamanya?"
"Iya. Aku egois sekali. Baiklah. Mungkin akan lebih baik jika lain kali kita pergi bersama mereka," gumam Gera lemas. Ia lupa, kewajibannya sudah menanti di rumah. Anak-anak pasti sudah sangat merindukan dirinya juga Roy.
Melihat Gera yang masih suntuk, Roy memiliki ide. "Bagaimana jika hari ini kita jalan-jalan sebelum packing. Besok pagi kita sudah harus kembali."
"Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Gera penasaran. "Aku akan mengajakmu ke daerah Sumba Barat Daya. Atau kita berangkat pulang
"Apa?" Roy langsung berdiri. Gera menggelengkan kepalanya lemah. Tangisnya pecah, ia terduduk lemas di sofa. "Tidak mungkin, Bi. Bagaimana bisa itu semua terjadi?" Gera benar-benar tidak percaya akan apa yang ia dengar hari ini. Roy menggendong Gera yang kini sudah terjatuh pingsan. Ia membawa Gera menuju kamar dan menyuruh Iem untuk menjaga Gera ketika dia pergi. Rencananya Roy akan mencari Luis terlebih dahulu. Menanyakan kronologi sebenarnya seperti apa. Dengan kecepatan tinggi Roy menyetir mobilnya. Bahkan ia sudah tidak peduli jika ada polisi yang mengejarnya. Anaknya bisa saja sedang dalam bahaya sekarang. "Siapa pun pelakunya, aku tidak akan memberi ampun. Apa pun alasannya. Dia sudah sangat berani mengacaukan hidup anak-anakku." Roy menggeram hebat dan membanting kasar tangannya ke setir mobil. Sampai di rumahnya, terlihat semua anak buahnya dan juga anak buah David sudah berkumpul di sana. "Luis, bagaimana semuanya terjadi?" Tegas Roy bertanya. "Kenapa kau tidak menghubu
"Siapa kamu? Tidak tahu sopan santun. Asal masuk rumah orang saja!" bentak Ibu itu marah. Luis yang bertugas masuk sendiri tetap dengan pembawaannya, tenang. "Maaf, Bu. Saya kemari mau menjemput anak dari Bos saya," jawab Luis sopan. Wanita itu melotot. "Bos kamu siapa?" "Bos Roy." Mendengar jawaban Luis, Ibu itu langsung diam dan tegang. Seakan bibirnya tidak bisa digerakkan lagi. "Kenapa, Bu? Ada masalah?" Luis mendekati Ibu itu. Senyum licik yang Luis tampilkan berhasil membuatnya semakin ciut. "Ternyata kamu yang membuat ulah!" Roy datang dari arah belakang dan mengepung Ibu itu bersama beberapa anak buahnya. "A-apa maksudmu? Jangan kurang ajar pada orang tua seperti itu!" bentak Ibunya Sinta terbata-bata. Roy mendekati wanita tua itu dengan langkahnya yang begitu angkuh. "Kurang ajar? Dan orang tua kau bilang? Tingkahmu saja tidak layak dikatakan dewasa. Itu perbedaan yang sangat jauh." Sisi kasar Roy mulai terlihat sekarang. "Bu, tolong bekerjasamalah dengan ka
Roy menerima panggilan dari Raden untuk kelanjutan kasus penculikan anaknya. Roy sendiri sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa pelaku sebenarnya dibalik semua ini. Selain dibantu petugas kepolisian, seluruh anak buah Roy juga ikut andil mencari dalang masalah ini. Toni yang bisa melacak apapun yang berbau elektronik, ia memanfaatkan ponsel Ibunya Sinta untuk mencari identitas pelaku yang sebenarnya. "Bagaimana?" tanya Roy saat menghampiri Raden. Ia tidak mau berbasa-basi lagi. Raden mempersilahkannya untuk duduk dulu. "Ibu itu sudah mau menyebut nama pelaku yang menyuruhnya melakukan penculikan ini. Dengan dalih akan memberinya lima puluh juta," terang Raden. "Nama pelakunya Deri." "Tunggu dulu! Aku tidak mengenal seseorang dengan nama itu. Lalu siapa dia? Apa hubungannya denganku?" Roy memijit pelipisnya yang terasa sedikit berdenyut. "Itu yang masih kami selidiki sekarang. Tersangka sudah memberikan sketsa jelas orang yang bernama Deri itu. Tinggal mencari yang cocok saj
"Roy, kau akan sangat terkejut jika mendengar ini!" Belum juga duduk, Raden sudah membuat Roy semakin penasaran dengan informasi yang sudah mereka dapat. Tatapan bingung Roy menghentikan langkahnya otomatis. "Duduklah, dan tenang. Kau akan mendapatkan jawabannya sekarang!" Ekspresi wajah Raden tidak bisa digambarkan. Ada senyuman tetapi juga ada raut wajah kaget dan cemas di dalamnya. Dengan perasaan berdesir Roy mendudukkan bokongnya dengan tenang. "Katakan saja langsung, Raden!" desak Roy sudah tak bisa menahan rasa penasarannya. "Kau ingat pria bernama Deri yang beberapa hari lalu terlacak oleh kepolisian?" Roy mengangguk. "Anak buahku, Toni juga berhasil melacak dan menemukan nama yang sama," tutur Roy dengan tampang seriusnya. "Oke. Sekarang, tim sudah berhasil menyelidiki sosok bernama Deri yang kau bilang kau sama sekali tidak mengenalnya." "Roy, dia suruhan musuhmu. Kau ingat Devan? Dia yang memberi perintah pada Deri. Dan ternyata Deri ini adalah adik kandung Devan yang m
"Aku tahu kau sangat kaya, Roy. Tapi itu bukan berarti kau bisa merendahkan pekerjaanku. Aku mengorbankan usaha yang begitu besar untuk dapat menjadi seorang marketing manager. Kau tidak tahu saja bagaimana susahnya aku meraih itu semua," lirih Gera. "Kau bahkan tahu sendiri kalau Papa juga bukan orang sembarangan. Jika aku berniat hanya menghamburkan uang, untuk apa aku memilih hidup sendirian dari dulu? Aku benci harta instan, Roy. Makanya aku mau mendidik anak-anak dengan caraku sendiri." Gera mengangkat wajah dan menatap teduh Roy. "Jika kau tetap tidak terima, tolong, pergilah sekarang juga. Aku bisa membesarkan anak-anak sendirian. Pergi!" Gera menekan kata pergi sambil menunjuk lurus daun pintu kamarnya. "Ge, jangan seperti ini. Aku minta maaf, aku hanya khawatir padamu. Kenapa jadi seperti ini?" ujar Roy bingung. "Caramu yang salah, Roy. Pergi dan rubah sikapmu dulu jika kau masih ingin di sini," bantah Gera dingin. "Tapi, Ge...." "Pergi sekarang atau aku ya
"Aku?" Roy tergelak melihat anak itu mengangguk cepat. "Bagaimana bisa aku menjadi Daddy-mu, Nak? Anakku hanya mereka saja. Dan ini istriku." Triplets mengangguk antusias dan menatap sinis si anak perempuan itu. "Pergi saja, gadis cilik!" suruh Ray dingin. Gera menggeleng, memberi isyarat agar Ray tidak seperti itu. "Jangan bilang begitu, sayang. Mungkin saja dia tamu di sini." "Mama, dia mau mengganggu kita!" Giliran Rico yang berseru marah. Ia tak terima Papanya diakui juga oleh anak lain. "Ray, Rico, Mama benar. Kita tidak boleh memarahinya. Nanti dia nangis, gimana?" Seperti biasa, Rio yang menengahi. Gera tersenyum mendengar apa yang Rio katakan. Roy berjongkok menyejajarkan tingginya dengan anak perempuan itu juga Gera. "Paman akan bantu mencari Daddy-mu, oke?" Gadis itu menggeleng. "Kau Papaku. Itu yang Mommy katakan," ujarnya lirih. Matanya memerah menahan tangis. Gera me
Saat ini Roy dan Gera sudah sampai di Bandar udara Rio de Janeiro/Galeao-Antonio Carlos Jobim. Terlebih Gera, ia bernapas lega karena sudah menginjakkan kakinya di tanah kelahiran Roy dengan selamat. Roy memeluknya erat. "Tenanglah. Jangan terlalu dipikirkan," bisik Roy sembari mengecup pelan puncak kepala istrinya. Gera tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Roy. Aku sudah sedikit lebih lega sekarang." Sejak kemarin Gera stress berat karena masalah Alea. Roy sendiri juga sangat pusing mencari jalan keluar. Gera ingin membatalkan penerbangan menuju Brazil, tetapi sudah terlanjur ada perjanjian kerja di sana. Sekaligus untuk mengunjungi Nenek Rita. Hingga salah satu teman Gera yang menjadi psikolog, menganjurkan agar Alea dibawa rehabilitasi dulu. Dan untuk sementara waktu berpisah dari mereka, itu untuk kebaikan Alea juga. "Tenang saja, Ge. Leva pasti bisa menga
Hamparan lampu kota yang menyala di mana-mana seakan menjadi saksi kesuraman hati Gera. Air matanya belum juga bisa berhenti keluar. "Leon." Pria itu memperkenalkan dirinya walaupun tidak ada jawaban sama sekali dari Gera. Tapi entah kenapa, dia sangat khawatir pada Gera. Terlebih kakinya sekarang sedang terluka. Leon mengajak Gera untuk pulang dengan mengantarnya menggunakan jasa taksi yang sudah tersedia di sekitar sana. "Aw!" Gera memekik saat mencoba berjalan. Tak tahan melihatnya, Leon mencoba menggendong Gera walaupun beberapa kali wanita itu menolak keras. Gera masih sadar akan posisinya sebagai istri Roy. Tapi kakinya terasa sangat sakit bahkan sebelum diajak berjalan. Dengan sangat terpaksa dia menerima bantuan Leon, si bule tampan ini. Ia harus mempercayainya, karena tidak ada orang yang bisa ia tanyakan di sini. Untung saja Gera ingat alamat rumah Nek Rita. Sepanj