Saat jarak dengan lelaki itu hanya bersisa tiga langkah lagi saja, aku kembali berhenti. Kaku, wajah itu ... ah, rasanya ada kristal yang hendak menyeruak dari netra. Ingin memanggilnya 'Ayah' tetapi suaraku tak kuasa bergema.Tanpa menyangka, justru beliau yang mendekat. Kurasakan kaki dan tanganku mendingin. Saat sedekat ini, aku harus apa?"Arumi ...!" Suara lelaki yang harusnya kusebut Ayah itu memanggil namaku dengan serak.Jika aku tidak salah mendengar, beliau pun sepertinya menyimpan sesak yang luar biasa."Maafkan Ayah, Maafkan ...!" ucapnya sembari merangkul tubuhku dan membawa ke pelukannya.Air mata yang sedari tadi aku tahan tumpah juga akhirnya. Bingung dan tergugu, bahkan aku tak ingat untuk membalas pelukan ini. Aku hanya mematung dalam dekapannya."A-a-ayah ..."Akhirnya, setelah dua puluh enam tahun, panggilan itu menemukan muaranya. Pernah memang aku menghayalkan pertemuan ini. Namun, entah mengapa saat menjadi kenyataan rasanya aneh dan asing."Ini rumahmu, Nak," u
"Ayah, aku memang pernah sangat membencimu, ta-tapi itu dulu saat aku belum berdamai dengan hatiku sendiri." Aku memulai kalimat pertamaku dengan terbata di antara suara Isak yang belum sepenuhnya reda.Sembari mengusap wajah dengan tisu yang memang berada di atas meja, aku kembali melanjutkan, "saat aku mulai dewasa dan mencoba memahami keadaan, kebencian itu sedikit luntur berganti dengan perasaan tidak peduli, bahkan, -maaf Ayah- aku pernah sampai pada tahap menganggapmu juga telah tiada seperti halnya Ibu."Aku lihat Ayah menyeka matanya, mendengarkan semua kalimatku dengan seksama."Bicaralah lagi, Nak, kenapa diam?" Ayah menanggapi karena aku berhenti bersuara."Saat temanku mencoba memperlihatkan foto Karina di Instagram, aku pun sudah apatis untuk percaya bahwa mungkin kita akan bertemu di dunia ini, Ayah ..."Aku kembali berhenti berucap, menunggu respon Ayah, ternyata beliau tetap diam menunggu kalimat demi kalimat dari bibirku."Sekarang, aku sudah berdamai dengan hati dan
Setelah Map tersebut terbuka, Ayah menarik isinya."Lihat ini, Arumi ... " ujarnya tersenyum.Sontak mataku membelalak, melihat apa yang Ayah keluarkan dari dalam Map itu."Ayah menyimpan ini semua bukan karena tidak ikhlas atau ingin diakui ..."Tatapan mata kami bertemu setelah Ayah menjeda kalimatnya."Ini semua hanya cara Ayah agar tidak merasa semakin bersalah."Aku mengambil bundelan kertas-kertas usang tersebut. Beragam bukti transfer sejumlah uang terlihat paling atas. Ada sebagian yang telah berwarna kekuningan bahkan tidak sedikit yang tulisannya sudah sulit terbaca.Aku mulai membongkar semuanya sampai pada surat-surat yang dapat dipastikan telah berusia puluhan tahun di bagian paling bawah dari bundelan."Ayah selalu mengirimkan untukmu sebagai kewajiban seorang Ayah." Penjelasan Ayah tidak kutanggapi karena aku mulai membaca surat-surat itu."Ayah berhenti mengirimkan biaya untukmu setelah kamu menikah ...""Jadi Wak Djalil tahu keberadaan Ayah?" tanyaku memotong penjelas
Tanpa menghiraukan kekagetan Rendra, ayah terus berbicara. Setiap masang mata di ruangan ini saling berpandangan tanpa suara. Setelahnya, sebelum meninggalkan ruangan ini, mereka semua menyalamiku satu persatu dan mengucapkan kata 'selamat datang'."Rendra, ajak Arumi berkeliling hotel dan jelaskan apa pun tentang hotel yang perlu Arumi tahu," ujar ayah setelah hanya tinggal kami bertiga di ruangan rapat.Tampak Rendra mengangguk saja, "Ayo, Rumi!" ajaknya datar.Aku mengikuti langkah Rendra."Rendra, setelah berkeliling antarkan kembali Arumi ke ruangannya, Papa tunggu di sana."Kemudian Ayah mendahului kami keluar dari ruangan ini.Sudah hampir lima belas menit berkeliling, tetapi sikap Rendra berbeda. Tidak seperti biasanya, ramah dan hangat."Mas, apa kamu sakit?" tanyaku menyela penjelasan demi penjelasan Rendra terkait hotel ini."Tidak, aku baik-baik saja, Rumi."Rendra melanjutkan langkahnya. Setiap kali berpapasan dengan beberapa orang yang berseragam hotel ia memperkenalkank
"Sayang, kamu pasti capek 'kan? Istirahat sana ke dalam!" Mama menghampiriku setelah melotot ke arah Karina."Tapi, Ma, Karina ...." aku menatap Karina yang pandangan matanya seperti akan mengulitiku hingga tak bersisa."Sudah, jangan pedulikan Karina. Adikmu sedang latihan itu, dia dapat kontrak FTV." Mama menjelaskan sembari mengusap pundakku pelan.Pengalaman pertama belajar banyak hal terkait tanggung jawab dan apa saja tupoksi pekerjaanku di hotel memang sangat menguras tenaga. Karenanya, tanpa membantah lagi aku berlalu ke kamar menyusul Delima.Setelah mengajarkan Delima mengaji seusai Maghrib, terdengar ketukan di pintu kamar."Arumi, maaf, bisa kita bicara sebentar?" Rendra sudah berdiri di depan pintu saat aku membukanya.Segera aku menutup pintu dan membiarkan Delima bersama ponsel sedang berbicara dengan ayahnya. Kuikuti langkah kaki Rendra ke arah gazebo taman belakang."Ada apa, Mas?" tanyaku cepat karena setelah ini aku hendak menyuapi Delima makan malam."Apa kamu yaki
Karina mendekat. "Ikut aku!" ia menarik tanganku paksa, memutuskan tautan tangan antara aku dan Delima."Kamu apa-apaan ini?!" Kusentak tanganku hingga cengkeramannya terlepas."Oh, sudah mulai berani membentak ya?" tanyanya dengan suara pelan namun tatapannya begitu tajam seakan hendak menelanku bulat-bulat."Maaf Karina, bisakah kita bicara setelah aku menyuapi Delima makan malamnya? tunggulah sebentar, tidak akan lama."Kembali kegandeng Delima yang tampaknya kebingungan dengan keadaan yang terjadi dan membawanya ke dapur."Mak, kita akan sampai kapan di sini? kita tidak akan pulang lagikah?""Delima, kalau sedang makan itu tidak boleh bicara. Masih ingatkan yang Mamak bilang?"Tanpa lagi bersuara, Delima mengangguk dan mulai kembali mengunyah. Beruntungnya aku memiliki Delima, ia laksana malaikat yang selalu menguatkan. Cukup hanya memandang wajahnya saja, baterai tubuhku seperti terisi full."Wah, anak pintar ini, pasti akan cepat besar," ucapku sambil mendorong kursi dan menurun
"Berhenti!"Aku berpaling dengan kembali menurunkan tangan yang hendak kudaratkan sekali lagi di pipi mulus Karina."Kamu apa-apaan Arumi?" Mas Rendra menatapku tajam seperti ingin membalas tamparanku terhadap Karina melalui tatapan matanya.Tanpa menghiraukan mereka berdua --Karina yang menatapku nyalang dengan sebelah telapak tangan memegang pipi dan Mas Rendra dengan tatapan membunuhnya-- aku kembali duduk ke tempat semula.Berulangkali aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba meredakan degupan jantung yang berdetak di luar kelaziman.Seorang Arumi Keumala menampar orang, dan seingatku, selama aku hidup, ini pertama kali. Bayangan Kakek terlintas, cepat-cepat kugelengkan kepala, menghalau sendu wajahnya yang mungkin kecewa atas sikapku.Seharusnya kau harus lebih mampu mengontrol emosi, Arumi! Hardik hati menggantikan bayangan Kakek.Kembali kubuka mata yang sesaat terpejam. Karina dan Mas Rendra masih ada di hadapan. Saling diam, entah apa yang sekarang mereka pikir
"Berhenti!"Aku berpaling dengan kembali menurunkan tangan yang hendak kudaratkan sekali lagi di pipi mulus Karina."Kamu apa-apaan Arumi?" Mas Rendra menatapku tajam seperti ingin membalas tamparanku terhadap Karina melalui tatapan matanya.Tanpa menghiraukan mereka berdua --Karina yang menatapku nyalang dengan sebelah telapak tangan memegang pipi dan Mas Rendra dengan tatapan membunuhnya-- aku kembali duduk ke tempat semula.Berulangkali aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba meredakan degupan jantung yang berdetak di luar kelaziman.Seorang Arumi Keumala menampar orang, dan seingatku, selama aku hidup, ini pertama kali. Bayangan Kakek terlintas, cepat-cepat kugelengkan kepala, menghalau sendu wajahnya yang mungkin kecewa atas sikapku.Seharusnya kau harus lebih mampu mengontrol emosi, Arumi! Hardik hati menggantikan bayangan Kakek.Kembali kubuka mata yang sesaat terpejam. Karina dan Mas Rendra masih ada di hadapan. Saling diam, entah apa yang sekarang mereka pikir