Share

Naik Kelas Setelah Ditindas
Naik Kelas Setelah Ditindas
Penulis: Digoda Sabang

Memilih berpisah

"Dek, bagaimana jika kita bercerai saja?" 

Duarrr ...

Pertanyaan bak petir menggelegar di siang yang sedang terik-teriknya itu menyentakku, seolah sebuah tamparan tangan kasar berulang kali di daratkan pada pipi menyisakan perih, bukan di wajah namun di hati.

"A-apa maksud Abang?" tanyaku bergetar.

"Kita sudah menikah lima tahun, tapi ..."

Bang Agam suamiku menjeda kalimatnya. Tatapan matanya beralih ke luar jendela, entah apa yang sedang ia terawang.

"Kamu tahu sendiri, kita menikah karena dijodohkan. Lima tahun ini aku terus mencoba mencintaimu Rumi, tetapi maaf, tetap saja tidak bisa." 

Setelah mengeluarkan kalimat itu ia menunduk dalam.

Apa katanya tadi, ia tidak mencintaiku? Lalu, saat ia menyentuhku sampai menghadirkan Delima itu tidak karena cinta?

Benar memang seperti yang Bang Agam -Suamiku- itu katakan. Pernikahan kami karena perjodohan orang tua, balas Budi karena dulu orangtua Bang Agam banyak dibantu oleh kakekku.

Menjelang meninggalnya, Kakek meminta orangtua Bang Agam agar menikahkan kami. Kakek takut, saat ia berpulang nanti, aku tinggal seorang diri.

Aku Arumi Keumala, gadis piatu. Ibu meninggal dunia saat melahirkanku. Ayah menikah lagi hanya empat hari setelah kematian Ibu dengan tetangga sebelah. Kemudian, Ayah dan Ibu tiriku itu merantau entah kemana belum pulang juga hingga kini.

"Lalu, bagaimana dengan Delima Bang?" tanyaku pelan karena suaraku tercekat di kerongkongan menahan nyeri yang menyeruak di dada.

"Delima tetap anak kita. Aku akan bertanggung jawab penuh terhadap nafkah Delima," jawab Bang Agam mantap.

Kuhela napas dalam, mencoba meredakan gemuruh di hati. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Sehingga meski pernikahan ini karena perjodohan, aku mengakui kini aku benar-benar telah memupuk cinta terhadap suamiku ini, Agam Samudera.

"Kalau boleh aku tahu, apa ada alasan lain selain cinta, Bang?" kembali kuajukan tanya demi memastikan agar sakit ini semakin terasa. Mungkin dengan begitu ia mampu mengikis cinta yang telah terlanjur bersarang.

Bang Agam menggeleng, "Maafkan Abang, Rumi." ucapnya sembari menatap wajahku.

Kuanggukkan kepala, menelan saliva berulang kali agar tidak ada air mata yang terjatuh. Bang Agam tidak boleh tahu jika aku bersedih dengan keputusannya. Aku terlahir sebagai perempuan kuat dan tetap harus terlihat begitu.

"Arumi, Abang keluar dari rumah ini malam ini juga ya?!" ujar Bang Agam setelah memasukkan semua baju-bajunya ke koper besar.

"Urusan di Mahkamah Syar'iyah biar Abang yang urus." ucapnya lagi sambil menggerek kopernya ke luar kamar.

"Ini sedikit biaya untuk kamu dan Delima. InsyaAllah bulan depan, Abang kirim ke rekeningmu." 

Sebuah amplop putih diangsur Bang Agam ke arahku. Aku menerimanya dalam diam. Takutnya jika aku menggerakkan bibir untuk bicara, air mata yang sedang kutahan akan tumpah ruah.

Rumah tangga kami baik-baik saja. Tidak pernah ada pertengkaran besar yang harus berakhir dengan perceraian. Namun, nyatanya tragedi itu terjadi juga. Ingin sekali aku memohon agar Bang Agam mengurungkan niatnya menceraikanku, tetapi egoku melarang untuk itu.

***

"Mak, Ayah kok belum pulang-pulang sih?" Delima merengek setelah seminggu kepergian ayahnya.

Apa yang harus kukatakan? Selama ini ia belum pernah berjauhan dengan ayahnya sampai seminggu begini. 

"Kerjaan Ayah mungkin belum selesai. Nanti, kalau sudah selesai, pasti Ayah akan pulang." jawabku dengan memberikan senyum semanis mungkin pada putri kecilku yang masih berusia empat tahun.

Hari berganti, hingga tiba lah hari di mana hakim mengesahkan statusku berubah, dari seorang istri menjadi janda.

Beruntung, di dalam kesedihan ini ada Delima yang menjadi penghibur. Gadis kecilku itu seakan paham dengan keadaan. Telah lama pula ia berhenti menanyakan Ayahnya. Pun saat aku menurunkan pigura foto pernikahan kami yang terpajang di ruang tamu, Delima diam tanpa banyak bertanya.

"Delima sayang, maafkan Mamak. Sekecil ini kamu harus hidup tanpa sosok Ayah. Tetapi, tak apa Nak, dulu Mamak juga hanya dibesarkan oleh Kakek seorang diri. Kita pasti kuat ya Nak, ada Allah yang tidak pernah tidur." bisikku lirih sembari membelai rambut hitam legam Delima yang telah terlelap.

Akan seperti apa hari kami ke depan, aku belum punya gambarannya. Satu hal yang pasti, aku harus mulai memikirkan cara mencari penghasilan untuk menghidupiku dan Delima.

***

"Si Rumi diceraikan sama si Agam 'kan karena tidak punya penghasilan." suara seseorang terdengar di telinga saat aku sedang memilih sayuran di kedai langganan.

Aku diam, ingin mendengarkan lebih lanjut. Mereka sepertinya tidak tahu keberadaanku yang membelakangi mereka.

"Tahu dari mana?" sebuah suara lainnya menanggapi.

"Iya Bu, jangan asal ngomong. Bisa jadi suaminya kecantol pelakor. Sekarang ini pelakor sedang naik daun loh," timpal suara lainnya.

"Dari mertuanya lho ini, jadi akurat." si Ibu pertama kembali bersuara.

Seketika aku terkesiap. Ibu mertua? Selama ini hubunganku dengan ibunya Bang Agam baik-baik saja. Tidak mungkin berita itu dari beliau. Aku tidak percaya.

"Agam sudah menikah lagi dengan perempuan kaya seminggu lalu." 

Suara-suara itu kian bersahutan. Rasanya sudah cukup aku mendengarkan semua. Benarkah Ibu mertuaku yang menginginkan perceraian ini? Sikapnya sangat lembut dan baik selama lima tahun aku menjadi menantunya. Tidak mungkin, ini pasti fitnah.

Segera aku membayar belanjaanku dan berlalu dari sana.

"Permisi Ibu-ibu, saya duluan." ucapku saat hendak melewati mereka.

Dari sudut mata aku melirik, beberapa diantara mereka yang sedari tadi menjadi sumber informasi menjadi pias dan sedikit salah tingkah. Namun, aku tidak menanggapinya dan terus melangkah pulang.

Aku harus cari tahu sendiri, benarkah aku diceraikan Bang Agam karena hanya menjadi Ibu rumah tangga tanpa penghasilan selama ini? Kenapa ia tidak bicara, kenapa alasannya justru karena tidak cinta?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status