Share

Naik Kelas Setelah Ditindas
Naik Kelas Setelah Ditindas
Author: Digoda Sabang

Memilih berpisah

Author: Digoda Sabang
last update Last Updated: 2022-09-28 09:34:55

"Dek, bagaimana jika kita bercerai saja?" 

Duarrr ...

Pertanyaan bak petir menggelegar di siang yang sedang terik-teriknya itu menyentakku, seolah sebuah tamparan tangan kasar berulang kali di daratkan pada pipi menyisakan perih, bukan di wajah namun di hati.

"A-apa maksud Abang?" tanyaku bergetar.

"Kita sudah menikah lima tahun, tapi ..."

Bang Agam suamiku menjeda kalimatnya. Tatapan matanya beralih ke luar jendela, entah apa yang sedang ia terawang.

"Kamu tahu sendiri, kita menikah karena dijodohkan. Lima tahun ini aku terus mencoba mencintaimu Rumi, tetapi maaf, tetap saja tidak bisa." 

Setelah mengeluarkan kalimat itu ia menunduk dalam.

Apa katanya tadi, ia tidak mencintaiku? Lalu, saat ia menyentuhku sampai menghadirkan Delima itu tidak karena cinta?

Benar memang seperti yang Bang Agam -Suamiku- itu katakan. Pernikahan kami karena perjodohan orang tua, balas Budi karena dulu orangtua Bang Agam banyak dibantu oleh kakekku.

Menjelang meninggalnya, Kakek meminta orangtua Bang Agam agar menikahkan kami. Kakek takut, saat ia berpulang nanti, aku tinggal seorang diri.

Aku Arumi Keumala, gadis piatu. Ibu meninggal dunia saat melahirkanku. Ayah menikah lagi hanya empat hari setelah kematian Ibu dengan tetangga sebelah. Kemudian, Ayah dan Ibu tiriku itu merantau entah kemana belum pulang juga hingga kini.

"Lalu, bagaimana dengan Delima Bang?" tanyaku pelan karena suaraku tercekat di kerongkongan menahan nyeri yang menyeruak di dada.

"Delima tetap anak kita. Aku akan bertanggung jawab penuh terhadap nafkah Delima," jawab Bang Agam mantap.

Kuhela napas dalam, mencoba meredakan gemuruh di hati. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Sehingga meski pernikahan ini karena perjodohan, aku mengakui kini aku benar-benar telah memupuk cinta terhadap suamiku ini, Agam Samudera.

"Kalau boleh aku tahu, apa ada alasan lain selain cinta, Bang?" kembali kuajukan tanya demi memastikan agar sakit ini semakin terasa. Mungkin dengan begitu ia mampu mengikis cinta yang telah terlanjur bersarang.

Bang Agam menggeleng, "Maafkan Abang, Rumi." ucapnya sembari menatap wajahku.

Kuanggukkan kepala, menelan saliva berulang kali agar tidak ada air mata yang terjatuh. Bang Agam tidak boleh tahu jika aku bersedih dengan keputusannya. Aku terlahir sebagai perempuan kuat dan tetap harus terlihat begitu.

"Arumi, Abang keluar dari rumah ini malam ini juga ya?!" ujar Bang Agam setelah memasukkan semua baju-bajunya ke koper besar.

"Urusan di Mahkamah Syar'iyah biar Abang yang urus." ucapnya lagi sambil menggerek kopernya ke luar kamar.

"Ini sedikit biaya untuk kamu dan Delima. InsyaAllah bulan depan, Abang kirim ke rekeningmu." 

Sebuah amplop putih diangsur Bang Agam ke arahku. Aku menerimanya dalam diam. Takutnya jika aku menggerakkan bibir untuk bicara, air mata yang sedang kutahan akan tumpah ruah.

Rumah tangga kami baik-baik saja. Tidak pernah ada pertengkaran besar yang harus berakhir dengan perceraian. Namun, nyatanya tragedi itu terjadi juga. Ingin sekali aku memohon agar Bang Agam mengurungkan niatnya menceraikanku, tetapi egoku melarang untuk itu.

***

"Mak, Ayah kok belum pulang-pulang sih?" Delima merengek setelah seminggu kepergian ayahnya.

Apa yang harus kukatakan? Selama ini ia belum pernah berjauhan dengan ayahnya sampai seminggu begini. 

"Kerjaan Ayah mungkin belum selesai. Nanti, kalau sudah selesai, pasti Ayah akan pulang." jawabku dengan memberikan senyum semanis mungkin pada putri kecilku yang masih berusia empat tahun.

Hari berganti, hingga tiba lah hari di mana hakim mengesahkan statusku berubah, dari seorang istri menjadi janda.

Beruntung, di dalam kesedihan ini ada Delima yang menjadi penghibur. Gadis kecilku itu seakan paham dengan keadaan. Telah lama pula ia berhenti menanyakan Ayahnya. Pun saat aku menurunkan pigura foto pernikahan kami yang terpajang di ruang tamu, Delima diam tanpa banyak bertanya.

"Delima sayang, maafkan Mamak. Sekecil ini kamu harus hidup tanpa sosok Ayah. Tetapi, tak apa Nak, dulu Mamak juga hanya dibesarkan oleh Kakek seorang diri. Kita pasti kuat ya Nak, ada Allah yang tidak pernah tidur." bisikku lirih sembari membelai rambut hitam legam Delima yang telah terlelap.

Akan seperti apa hari kami ke depan, aku belum punya gambarannya. Satu hal yang pasti, aku harus mulai memikirkan cara mencari penghasilan untuk menghidupiku dan Delima.

***

"Si Rumi diceraikan sama si Agam 'kan karena tidak punya penghasilan." suara seseorang terdengar di telinga saat aku sedang memilih sayuran di kedai langganan.

Aku diam, ingin mendengarkan lebih lanjut. Mereka sepertinya tidak tahu keberadaanku yang membelakangi mereka.

"Tahu dari mana?" sebuah suara lainnya menanggapi.

"Iya Bu, jangan asal ngomong. Bisa jadi suaminya kecantol pelakor. Sekarang ini pelakor sedang naik daun loh," timpal suara lainnya.

"Dari mertuanya lho ini, jadi akurat." si Ibu pertama kembali bersuara.

Seketika aku terkesiap. Ibu mertua? Selama ini hubunganku dengan ibunya Bang Agam baik-baik saja. Tidak mungkin berita itu dari beliau. Aku tidak percaya.

"Agam sudah menikah lagi dengan perempuan kaya seminggu lalu." 

Suara-suara itu kian bersahutan. Rasanya sudah cukup aku mendengarkan semua. Benarkah Ibu mertuaku yang menginginkan perceraian ini? Sikapnya sangat lembut dan baik selama lima tahun aku menjadi menantunya. Tidak mungkin, ini pasti fitnah.

Segera aku membayar belanjaanku dan berlalu dari sana.

"Permisi Ibu-ibu, saya duluan." ucapku saat hendak melewati mereka.

Dari sudut mata aku melirik, beberapa diantara mereka yang sedari tadi menjadi sumber informasi menjadi pias dan sedikit salah tingkah. Namun, aku tidak menanggapinya dan terus melangkah pulang.

Aku harus cari tahu sendiri, benarkah aku diceraikan Bang Agam karena hanya menjadi Ibu rumah tangga tanpa penghasilan selama ini? Kenapa ia tidak bicara, kenapa alasannya justru karena tidak cinta?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Silaturrahmi Ke Rumah Mona

    "Iya, siang itu, Kak Mona datang saat beberapa karyawan sedang makan siang di belakang. Saat itu hanya ada saya dan dua orang lainnya. Setelah mengambil beberapa potong pakaian, ia mendatangi saya di meja kasir. Bukannya membayar, Kak Mona malah memaksa membuka laci. Alasannya, ingin melihat pemasukan hari itu." Sekali-sekali Mira mengusap air matanya."Saya menolak karena saya takut terjadi apa-apa. Saya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada toko.""Tapi 'kan Mona istrinya Bang Agam, Mir," aku menyela mengingatkan Mira."Iya, saya tahu Kak Rum, tapi hati kecil saya tidak mengizinkan saya untuk memberikan tahukan kode tersebut."Aku hanya mengangguk. Namun, masih penasaran kenapa Mira justru datang kemari untuk menceritakan ini semua padaku. Apakah Mira tahu kalau aku yang memberikan modal agar Toko Bang Agam bangkit lagi? Apa mungkin Bang Agam menceritakannya pada Mira? Entahlah."Bang Agam tidak pernah akur dengan Kak Mona. Bahkan, seringkali mereka bertengkar di toko ...."

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Mona Bertingkah Lagi

    Aku menautkan alis ke arah Mona, bersikap seolah dia bukan siapa-siapa yang perlu dipedulikan."Ngapain kamu di sini?" Mona mendekat ke tempat aku dan ibu berdiri. Menatapku dengan pandangan permusuhan yang begitu nyata. Bukankah seharusnya aku yang membencinya? aneh.Kualihkan mata ke wajah ibu, beliau justru menatap ke arah lain. Sebelum sempat kujawab pertanyaan Mona, bang Agam muncul dari dapur."Kamu ngapain kemari?" tanya bang Agam pada istrinya itu.Mona berpaling, "Oh, jadi sekarang kalian mau main-main di belakang aku dan di rumah ibu pula. Luar biasa," ucapnya sinis sambil bertepuk tangan.Terdengar ibu menghela napas berat. "Arumi itu anak saya, dan ini rumah saya. Jadi siapa pun yang datang ke rumah ini bukan urusan kamu." Tiba-tiba ibu bersuara begitu keras. Seumur-umur baru kali ini aku mendengar ibu berbicara sekeras itu."Pulang!" bang Agam mendekat dan menarik tangan Mona. Bukan Mona namanya jika langsung menurut.Ia meronta dan melepaskan tangannya dari cekalan bang

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Mengunjungi Ibu

    "Rum, maaf, boleh aku bertanya seuatu yang sedikit sensitif?" Tiba-tiba Hilman menyela dengan wajah yang tampak sungkan di tengah pembicaraan kami tentang konsep kafe.Aku hanya menautkan alis dengan sedikit anggukan samar, belum mampu menerka Hilman akan menanyakan apa."Maaf sebelumnya," ucapnya ragu-ragu."Benarkah jika Mona menikah dengan suamimu?" pungkasnya cepat seakan takut keraguannya sesaat tadi membuatnya tidak jadi mengeluarkan pertanyaannya ini."Mantan suami," jawabku cepat dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Aku ingin membuat Hilman tidak merasa bersalah dengan pertanyaannya, menunjukkan jika aku baik-baik saja."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah iba."Santai saja, Man, nggak perlu mukanya begitu!" balasku tertawa."Jujur, mungkin jika pembicaraan ini kita lakukan dia tahun lalu, aku akan meneteskan air mata. Tapi, tidak dengan sekarang, Man. Kini, aku sudah berdamai dengan masa laluku itu." Aku menarik napas dan menjeda kalimat sejenak.Dengan memfokusk

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Syarat Arumi

    "Kamu serius?" Mata Bang Agam tampak dipenuhi binar-binar harap."Ada syaratnya." Kuulangi sekali lagi."Apa syaratnya?""Pertama, Mona tidak boleh tahu aku yang memberikan modal. Kedua, setiap bulan keuntungan dari toko nantinya kirimkan ke rekeningku, Abang hanya boleh mengambil untuk Ibu dan sedikit untuk diri Abang sendiri. Ketiga, aku tidak mau keuntungan tersebut Abang gunakan untuk menafkahi Mona satu rupiah pun. Bagaimana?" Aku tersenyum tipis menatap Bang Agam dengan mengerutkan dahi. Mungkin lebih tepatnya aku menyeringai bukan tersenyum.Setelah sekian menit berlalu, akhirnya Bang Agam mengangguk juga. Tentu saja, aku bersorak dalam hati karena aku masih manusia biasa belum menjadi malaikat yang bisa serta merta melupakan semua kesakitan yang pernah menghampiri hidupku."Baiklah, mari ikut aku Bang, kita buat kontrak dan sekaligus kuitansinya sekarang!" Aku berdiri memanggil pelayan warung kopi. Setelah membayar tagihan minuman kami, aku melangkah terlebih dulu. Ada suatu r

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Ngopi Bareng Agam

    "Bang Agam!""Apa kabar, Arumi?""Alhamdulillah, seperti yang Abang lihat.""Abang kenapa di sini? bukannya toko Abang di sebelah sana?" lanjutku bertanya sembari mengarahkan telunjuk ke ujung kanan jalan tempat toko pakaian besar milik Bang Agam.Bang Agam hanya menggeleng sebagai jawaban, "banyak yang terjadi dalam dua tahun ini, Arumi," ucapnya kemudian dengan tatapan menerawang."Abang sekarang bekerja di toko itu," lanjutnya menunjuk toko tempat pramuniaganya tadi meremehkanku seolah aku tidak akan sanggup membayar harga sebuah baju yang terpajang di manekinnya."Bekerja?" ejaku lirih. Bagaimana mungkin seorang Bang Agam bekerja di toko orang."Ceritanya panjang, Rum. Bisakah kita bicara sebentar?"Reflek aku mengangguk."Ayo, kalau begitu!"Aku mengikuti langkah Bang Agam yang berjalan cepat."Kita mau bicara di mana?" tanyaku cepat sebelum Bang Agam sempat menyeberang jalan."Di sudut sana ada warung kopi, kita bicara di sana saja ya, kamu sudah sarapan?""Sudah."***Warung ko

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Pernikahan Adam (2)

    Menahan sesak sendirian tanpa ada satu orang pun yang menyadarinya sungguh tak enak. Sekuat mungkin aku berusaha agar air mata tak menampakkan dirinya. Setidaknya, jangan di sini."Ima, jangan jalan-jalan dong, Sayang!" Aku mengikuti ke mana pun Delima melangkah dari depan. Sebenarnya jika tak kuikuti, Delima tak akan berlarian seperti ini, hanya saja kegiatan ini lah yang dapat kulakukan agar terlihat seolah aku biasa saja.Dengan tidak begitu khusu' menghadirkan hati pada prosesi sakral ini, aku menenangkan diriku sendiri."Sah."Koor suara sedikit menggema, lalu memantul ke dinding hati, membuatnya semakin hancur berantakan. Kupejamkan mata dan menelan saliva kuat berulang-ulang. Tenang Arumi, rasa ini akan segera hilang," bisik hati menguatkan.Adam, seseorang yang telah menemani sejak aku bayi, menjaga setulus hati hingga aku benar-benar tak menyadari jika rasanya bukan lagi sebatas kakak-adik. Aku yang bodoh, dan ini adalah yang terbaik, Adam berhak bahagia setelah semua yang te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status