Share

Kerumah Mantan

Penulis: Digoda Sabang
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-28 09:37:08

Dua hari sudah aku mencari cara untuk mengetahui kebenaran kabar burung yang kudengar dari mulut ibu-ibu tetangga itu. Namun, aku tak menemukan solusi lain selain harus berkunjung ke rumah mantan mertuaku itu.

Mau bertanya ke tetangga-tetangganya yang kukenal, sepertinya juga bukan cara tepat. Aku harus memastikannya sendiri. Benarkah Bang Agam meninggalkanku karena permintaan Ibu mertua bersebab hanya karena aku ibu rumah tangga biasa tanpa penghasilan?

Selama lima tahun, ibu tak pernah mempermasalahkan itu. Sikapnya sangat lembut dan terlihat sangat penyayang. Bahkan aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri karena memang aku tidak punya Ibu sejak lahir.

Masalah keuangan juga tidak menjadi kendala keluarga Bang Agam selama ini. Ibu dan Bang Agam mengurus beberapa toko pakaian yang ditinggalkan almarhum Bapak mertua. Sedangkan kedua adik perempuan Bang Agam telah menikah dan tinggal terpisah. Ibu hanya tinggal berdua saja dengan si bungsu Ria yang masih kuliah serta seorang asisten rumah tangga yang membantu mengurus rumah.

Jadi, rasanya tidak mungkin jika Ibu meminta Bang Agam menceraikanku dan menikahi perempuan kaya. Ada apa sebenarnya ini?

Awalnya aku sudah belajar mengikhlaskan Bang Agam meski sakit. Aku pikir untuk apa mempertahankan orang yang memang tidak mencintai kita untuk tetap bersama. 

Karenanya aku mengangguk setuju dengan mudah untuk perceraian ini dan tidak menuntut harta gono gini. Apalagi, Bang Agam juga tidak mempermasalahkan hak asuh Delima. Itu sudah lebih dari cukup untukku.

Aku tahu pasti, jika sampai Bang Agam menggugat hak asuh Delima maka pasti aku akan kalah karena aku tidak punya penghasilan tetap untuk membiayai Delima.

Bang Agam juga masih mengirimkan biaya untuk Delima ke rekeningku setiap bulan setelah putusan pengadilan itu. Jadi, aku pikir semuanya baik-baik saja. Namun, gosip Ibu-ibu itu mengusik ketenangan yang coba kubangun selama tiga bulan ini.

Kupacu motor matic yang dibelikan Bang Agam saat Delima berumur dua tahun dulu menuju rumah Ibu. Motor ini juga ditinggalkan untukku oleh Bang Agam.

Jarak ke rumah Ibu hanya sekitar dua puluh menit saja, namun sejak bercerai dengan Bang Agam aku belum pernah datang satu kali pun lagi ke rumah Ibu.

Memasuki halaman rumah yang luas, suasana tampak lenggang. Muungkin Ibu masih di toko? pikirku.

Setelah memarkirkan motor, aku mengetuk pintu rumah perlahan sembari mengucapkan salam.

Kulirik arloji di pergelangan tangan. Lima menit telah berlalu, namun tak ada sahutan dari dalam.

"Assalamualaikum." kembali kuperkeras suara.

"Eh, Kak Rumi." 

 

Aku berbalik. Tampak Laila -art Ibu- sedikit berlari dari arah gerbang menuju ke teras tempatku berada. Kemudian dengan gerak cepat ia merogoh saku dasternya, mengeluarkan kunci dan membukakan pintu.

"Maaf, Kak Rumi sudah lama ya?" tanyanya setelah mempersilakan aku masuk.

"Laila nongkrong sambil ngerujak di tetangga sebelah," ucapnya melanjutkan.

"Kok sepi La, Ibu dan Ria ke mana?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Laila sebelumnya.

"Ria belum pulang kuliah sepertinya Kak, sedangkan Ibu ..."

Laila terdiam, tidak melanjutkan kalimatnya. Tetapi dari raut wajahnya tampak ia seperti sedang menimbang untuk mengatakan atau tidak. Terlihat ragu-ragu pada matanya.

"Ibu kenapa La?" tanyaku menuntut.

"Ibu ..."

Kembali ia menjeda.

"Laila, Ibu kenapa?" aku sudah tidak sabar.

"Ibu ke rumah Bang Agam, Kak." jawabnya seperti takut-takut.

"Ke rumah Bang Agam?" aku mengulang tanya.

"Jadi Bang Agam tidak tinggal di sini setelah perceraian kami?" lirih suara bertanya seperti berbicara pada diriku sendiri.

"Maaf Kak, mau dibuatkan minum apa?" Laila bertanya.

Aku tahu, sepertinya Laila sengaja ingin secepatnya menghindar dariku. Mungkin dia takut aku akan menginterogasi dirinya.

"Bang Agam tinggal di mana?" tanyaku lagi tanpa menggubris gelagat Laila yang sudah tidak nyaman.

"Kenapa harus takut menyampaikan padaku Laila?" suaraku mulai kesal karena sedari tadi Laila seperti terus ingin menyembunyikan sesuatu.

"Maaf Kak."

"Tenang saja La, aku dan Bang Agam sudah bercerai. Jadi, jika pun Bang Agam menikah lagi, itu bukanlah sebuah kesalahan." ucapku dengan intonasi datar. Ingin menunjukkan seolah aku biasa saja jika harus mendengar kabar itu.

Tampak Laila menarik napas dan gerak tubuhnya mulai rileks setelah mendengar ucapanku barusan.

"Jadi, benar ya La, Bang Agam sudah menikah lagi?" tanyaku memastikan berita yang kudengar dua hari lalu itu.

Laila mengangguk pelan seakan sungkan dengan kejujurannya atau mungkin ia tak tega padaku. Entah lah ...

"Kapan, La?"

"Seminggu lalu." kali ini suaranya sudah sedikit lebih santai.

"Sama siapa?"

Kembali Laila berubah ke mode salah tingkah. Ada apa dengan dia? Kenapa tidak bersikap biasa saja menjawab pertanyaanku. Laila memang sudah seperti keluarga sendiri di keluarga Bang Agam karena ia telah tinggal di sini bahkan sebelum aku menikah dengan Bang Agam, namun rasanya tak perlu ia menunjukkan sikap seperti merasa bersalah dengan perceraian aku dan Bang Agam. Oh, mungkin Laila hanya kasihan padaku.

"Sama siapa, La?" kuulangi lagi tanyaku.

"Mona, Kak." Pelan sekali suara Laila, namun aku masih bisa menangkal dengan jelas.

"Hah? Siapa La?" meski jelas namun tetap aku ingin Laila mengulangnya sekali lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Silaturrahmi Ke Rumah Mona

    "Iya, siang itu, Kak Mona datang saat beberapa karyawan sedang makan siang di belakang. Saat itu hanya ada saya dan dua orang lainnya. Setelah mengambil beberapa potong pakaian, ia mendatangi saya di meja kasir. Bukannya membayar, Kak Mona malah memaksa membuka laci. Alasannya, ingin melihat pemasukan hari itu." Sekali-sekali Mira mengusap air matanya."Saya menolak karena saya takut terjadi apa-apa. Saya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada toko.""Tapi 'kan Mona istrinya Bang Agam, Mir," aku menyela mengingatkan Mira."Iya, saya tahu Kak Rum, tapi hati kecil saya tidak mengizinkan saya untuk memberikan tahukan kode tersebut."Aku hanya mengangguk. Namun, masih penasaran kenapa Mira justru datang kemari untuk menceritakan ini semua padaku. Apakah Mira tahu kalau aku yang memberikan modal agar Toko Bang Agam bangkit lagi? Apa mungkin Bang Agam menceritakannya pada Mira? Entahlah."Bang Agam tidak pernah akur dengan Kak Mona. Bahkan, seringkali mereka bertengkar di toko ...."

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Mona Bertingkah Lagi

    Aku menautkan alis ke arah Mona, bersikap seolah dia bukan siapa-siapa yang perlu dipedulikan."Ngapain kamu di sini?" Mona mendekat ke tempat aku dan ibu berdiri. Menatapku dengan pandangan permusuhan yang begitu nyata. Bukankah seharusnya aku yang membencinya? aneh.Kualihkan mata ke wajah ibu, beliau justru menatap ke arah lain. Sebelum sempat kujawab pertanyaan Mona, bang Agam muncul dari dapur."Kamu ngapain kemari?" tanya bang Agam pada istrinya itu.Mona berpaling, "Oh, jadi sekarang kalian mau main-main di belakang aku dan di rumah ibu pula. Luar biasa," ucapnya sinis sambil bertepuk tangan.Terdengar ibu menghela napas berat. "Arumi itu anak saya, dan ini rumah saya. Jadi siapa pun yang datang ke rumah ini bukan urusan kamu." Tiba-tiba ibu bersuara begitu keras. Seumur-umur baru kali ini aku mendengar ibu berbicara sekeras itu."Pulang!" bang Agam mendekat dan menarik tangan Mona. Bukan Mona namanya jika langsung menurut.Ia meronta dan melepaskan tangannya dari cekalan bang

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Mengunjungi Ibu

    "Rum, maaf, boleh aku bertanya seuatu yang sedikit sensitif?" Tiba-tiba Hilman menyela dengan wajah yang tampak sungkan di tengah pembicaraan kami tentang konsep kafe.Aku hanya menautkan alis dengan sedikit anggukan samar, belum mampu menerka Hilman akan menanyakan apa."Maaf sebelumnya," ucapnya ragu-ragu."Benarkah jika Mona menikah dengan suamimu?" pungkasnya cepat seakan takut keraguannya sesaat tadi membuatnya tidak jadi mengeluarkan pertanyaannya ini."Mantan suami," jawabku cepat dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Aku ingin membuat Hilman tidak merasa bersalah dengan pertanyaannya, menunjukkan jika aku baik-baik saja."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah iba."Santai saja, Man, nggak perlu mukanya begitu!" balasku tertawa."Jujur, mungkin jika pembicaraan ini kita lakukan dia tahun lalu, aku akan meneteskan air mata. Tapi, tidak dengan sekarang, Man. Kini, aku sudah berdamai dengan masa laluku itu." Aku menarik napas dan menjeda kalimat sejenak.Dengan memfokusk

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Syarat Arumi

    "Kamu serius?" Mata Bang Agam tampak dipenuhi binar-binar harap."Ada syaratnya." Kuulangi sekali lagi."Apa syaratnya?""Pertama, Mona tidak boleh tahu aku yang memberikan modal. Kedua, setiap bulan keuntungan dari toko nantinya kirimkan ke rekeningku, Abang hanya boleh mengambil untuk Ibu dan sedikit untuk diri Abang sendiri. Ketiga, aku tidak mau keuntungan tersebut Abang gunakan untuk menafkahi Mona satu rupiah pun. Bagaimana?" Aku tersenyum tipis menatap Bang Agam dengan mengerutkan dahi. Mungkin lebih tepatnya aku menyeringai bukan tersenyum.Setelah sekian menit berlalu, akhirnya Bang Agam mengangguk juga. Tentu saja, aku bersorak dalam hati karena aku masih manusia biasa belum menjadi malaikat yang bisa serta merta melupakan semua kesakitan yang pernah menghampiri hidupku."Baiklah, mari ikut aku Bang, kita buat kontrak dan sekaligus kuitansinya sekarang!" Aku berdiri memanggil pelayan warung kopi. Setelah membayar tagihan minuman kami, aku melangkah terlebih dulu. Ada suatu r

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Ngopi Bareng Agam

    "Bang Agam!""Apa kabar, Arumi?""Alhamdulillah, seperti yang Abang lihat.""Abang kenapa di sini? bukannya toko Abang di sebelah sana?" lanjutku bertanya sembari mengarahkan telunjuk ke ujung kanan jalan tempat toko pakaian besar milik Bang Agam.Bang Agam hanya menggeleng sebagai jawaban, "banyak yang terjadi dalam dua tahun ini, Arumi," ucapnya kemudian dengan tatapan menerawang."Abang sekarang bekerja di toko itu," lanjutnya menunjuk toko tempat pramuniaganya tadi meremehkanku seolah aku tidak akan sanggup membayar harga sebuah baju yang terpajang di manekinnya."Bekerja?" ejaku lirih. Bagaimana mungkin seorang Bang Agam bekerja di toko orang."Ceritanya panjang, Rum. Bisakah kita bicara sebentar?"Reflek aku mengangguk."Ayo, kalau begitu!"Aku mengikuti langkah Bang Agam yang berjalan cepat."Kita mau bicara di mana?" tanyaku cepat sebelum Bang Agam sempat menyeberang jalan."Di sudut sana ada warung kopi, kita bicara di sana saja ya, kamu sudah sarapan?""Sudah."***Warung ko

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Pernikahan Adam (2)

    Menahan sesak sendirian tanpa ada satu orang pun yang menyadarinya sungguh tak enak. Sekuat mungkin aku berusaha agar air mata tak menampakkan dirinya. Setidaknya, jangan di sini."Ima, jangan jalan-jalan dong, Sayang!" Aku mengikuti ke mana pun Delima melangkah dari depan. Sebenarnya jika tak kuikuti, Delima tak akan berlarian seperti ini, hanya saja kegiatan ini lah yang dapat kulakukan agar terlihat seolah aku biasa saja.Dengan tidak begitu khusu' menghadirkan hati pada prosesi sakral ini, aku menenangkan diriku sendiri."Sah."Koor suara sedikit menggema, lalu memantul ke dinding hati, membuatnya semakin hancur berantakan. Kupejamkan mata dan menelan saliva kuat berulang-ulang. Tenang Arumi, rasa ini akan segera hilang," bisik hati menguatkan.Adam, seseorang yang telah menemani sejak aku bayi, menjaga setulus hati hingga aku benar-benar tak menyadari jika rasanya bukan lagi sebatas kakak-adik. Aku yang bodoh, dan ini adalah yang terbaik, Adam berhak bahagia setelah semua yang te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status