Share

Mona

Penulis: Digoda Sabang
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-28 09:39:08

"Mo-na?" aku mengeja.

Satu wajah terlintas daalm memori. Namun, segera kucegah dengan cepat. Tidak mungkin.

"Mona anaknya Wak Djalil?" aku bertanya dengan gumaman lirih, berharap menemukan jawaban gelengan kepala dari Laila.

Sayangnya, harapanku tidak menjadi kenyataan. Laila justru mengangguk meski dengan gerakan yang sangat pelan.

Mona, sepupuku sendiri. Wak Djalil adalah kakak kandung Ibuku satu-satunya. Ibu dan Wak Djalil hanya dua bersaudara, dan Mona adalah anak pertama Wak Djalil. Umurnya setahun di bawahku.

Aku ingat, sejak kecil Mona memang selalu menunjukkan sikap permusuhannya padaku. Apalagi jika tahu, Wak Djalil -ayahnya- memberikanku uang jajan. Bukan hanya Mona, Wak Leni -Ibunya- juga selalu memberikan tatapan sinis dan ucapan ketusnya tiap kali bertemu aku.

Dulu, jika Wak Djalil ingin memberikanku sesuatu maka harus dilakukan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan istrinya itu.

"Arumi itu bukan anak yatim, jadi tidak perlu diberi sedekah." suara nyaringnya pernah kudengar saat aku mendapat uang lebaran dari Wak Djalil.

"Tapi, dia keponakanku. Ibunya Adikku." jawab Wak Djalil tegas.

"Tetap saja, urusan anak harusnya menjadi tanggung jawab keluarga Ayahnya yang tidak tahu diri itu. Istri baru mati empat hari sudah menikah lagi dan meninggalkan bayi merah." teriak Wak Leni menanggapi kalimat suaminya.

Begitulah, dan itu bukan sekali terjadi, berkali-kali. Oleh karenanya, saat beranjak remaja aku sudah jarang berkunjung ke rumah Uwakku itu. Kami hanya bertemu saat lebaran mereka berkunjung menjenguk Kakek.

Sedangkan Mona semakin memusuhiku saat aku menikah dengan Bang Agam. Menurutnya, aku tidak cantik, tidak pantas bersanding dengan lelaki setampan Bang Agam. Itu yang kudengar ia gembar gemborkan kepada keluarga lainnya.

Permusuhan di antara kami semakin menjadi-jadi saat Kakek membuatkan surat hibah kepemilikan rumah untukku sebelum Kakek berpulang.

Setelah Kakek meninggal dunia, bukan hanya Mona dan Wak Leni yang membenciku, tetapi Wak Djalil pun menunjukkan sikapnya yang dingin. Ia tidak setuju Kakek menghibahkan rumah untukku karena menurutnya, Ibuku meninggal sebelum Kakek meninggal, jadi aku tidak punya hak menerima harta warisan Kakek. Secara adat kampung kami disebut 'patah titi'.

Namun, setelah musyawarah dengan petua adat dan pemangku syariat kampung, aku dibenarkan menerima harta kakek berupa rumah atas nama hibah bukan harta waris. Karenanya, kakek segera mengurus surat hibah beserta balik nama rumah dan tanah menjadi namaku.

Begitulah, keluarga yang masih kumiliki satu-satunya justru membenciku. Sekarang, malah sepupuku itu menikah dengan mantan suamiku.

Dalam tahun ini aku sudah dua kali mendapati kejutan yang luar biasa. Entah setelah ini akan ada kejutan apa lagi.

"Kak Rumi, silakan diminum dulu!" Suara Laila menusuk indera pendengaran, memecah lamunan tentang masa lalu keluarga.

Saat kesadaran kembali, ternyata Laila telah meletakkan secangkir teh hangat di atas meja di hadapanku. Entah kapan ia melakukannya.

Aku mengangguk, "terima kasih, La." jawabku tersenyum.

"La, boleh aku bertanya satu hal lagi?" ucapku penuh harap sesaat setelah sedikit menyeruput teh buatannya.

Meski mata Laila tidak terlepas dari binar keraguannya, namun ia mengangguk juga padaku.

"Kamu tahu alasan kenapa Bang Agam menikahi Mona?" tanyaku hati-hati.

Sebenarnya aku takut hendak mendengarkan jawaban dari bibir Laila, Namun tujuanku datang kemari memang untuk itu. Tidak mungkin aku membatalkan niat.

Tampak Laila menggeleng. Sejurus kemudian baru ia membuka suara, "Laila tidak tahu pasti Kak, tetapi Laila pernah tidak sengaja mendengar Ibu berulang kali membahas persoalan utang dengan Bang Agam." 

Utang? Utang apa? 

"Eh, tapi Laila tidak tahu apa itu ada hubungannya dengan pernikahan Bang Agam dan Mona atau tidak, Laila kurang tahu Kak." lanjut Laila lagi.

Aku menarik napas dalam. Sepertinya sudah cukup. Kata pepatah, jika ingin bahagia jangan dengarkan terlalu banyak hal yang tidak menyenangkan.

"La, Kak Rumi pulang dulu ya. Tolong jangan kasih tahu Ibu dan Ria jika Kak Rumi datang kemari." aku berpamitan pada Laila.

Sepanjang perjalanan pulang aku terus mencoba menarik benang merah keterkaitan utang dan pernikahan Bang Agam dengan Mona. Apa mungkin Ibu punya utang pada Wak Djalil, lalu bayarannya harus dengan menikahkan Bang Agam dengan Mona? Ah, sudah seperti sinetron saja.

***

"Mak, telepon Ayah boleh?" 

Delima datang menghampiri saat aku sedang membolak-balikkan koran harian lokal mencari lowongan kerja yang cocok untukku. Berharap mendapat yang sesuai dengan ijazah sarjana ekonomiku, namun jika tidak ada, pakai ijazah SMA juga tak apa lah, yang penting aku punya penghasilan. Mau sampai kapan bergantung pada jatah bulanan Delima yang selalu dikirim Bang Agam tiap bulan.

Sebagai Ayah, kuakui ia masih bertanggung jawab terhadap biaya Delima. Setiap bulan selama lima bulan ini selalu saja ia masih mengirimkan uang sebesar satu juta rupiah ke rekeningku.

Akan tetapi, uang satu juta untuk sebulan sungguh harus diirit seiritnya. Apalagi Delima masih harus minum susu dan pakai diapers saat tidur malam. 

"Mak, telepon Ayah dong?!" Delima menarik-narik lengan bajuku.

"Iya, sebentar ya!"

Aku mencari kontak Bang Agam di aplikasi W******p dan melakukan 'dial'.

Tersambung, namun tidak ada jawaban. Kucoba sekali lagi. Tetap sama, terhubung tetapi tidak dijawab.

"Mungkin Ayah sedang kerja, tidak bisa jawab telepon. Nanti malam saja kita telepon lagi ya?!" aku tersenyum lembut sembari mengelus kepala Delima.

Meski mengangguk, namun aku menangkap binar kecewa di netra Delima. Kasihan kamu Nak, sekecil ini tidak bisa mendapatkan kasih sayang utuh dari kedua orangtuamu. Aku meringis perih dalam hati.

***

Setelah menidurkan Delima, aku mulai berselancar di dunia maya, saat tiba-tiba kontak atas nama 'Ayah Delima' terlihat memanggil di layar ponsel.

Perlahan aku keluar dari kamar untuk menerima telepon agar tidak membangunkan Delima.

"Halo, Assalamualaikum, Bang." jawabku saat sudah menutup pintu kamar.

"Nggak usah sok lembut menjawab telepon dari suami orang." suara dari seberang begitu ketus terdengar.

"Mo-na?" aku membalas lirih sedikit kaget.

"Iya, siapa lagi? Aku istri Bang Agam sekarang." jawabnya jumawa.

"Ada apa kamu menelepon suamiku sampai dua kali siang tadi?" tanyanya melanjutkan masih dengan suara yang membentak.

"Maaf Mona, itu tadi Delima yang ingin berbicara dengan Ayahnya." Aku memberi tahu agar Mona tidak salah paham.

Terdengar suara Mona tertawa kencang. "Kamu pikir aku percaya?" tanyanya begitu angkuh.

"Tapi, aku serius. Delima yang minta diteleponkan ayahnya." aku membela diri.

"Sudah ya, jangan ganggu suamiku lagi."

Tut.

Sambungan telepon diputuskan begitu saja oleh Mona. Kuhela napas kasar, dan masuk kembali ke kamar.

[Rum, coba lihat foto ini, mirip sekali dengan kamu.]

Sebuah pesan masuk ke inbox media sosial sejuta umat milikku beserta sebuah lampiran foto.

Dari Rahma, teman kampus dulu. Meski tidak begitu dekat, tetapi kami masih lumayan sering berinteraksi lewat aplikasi-aplikasi media sosial, terutama lewat si biru bikinan Bang Mark.

Setelah foto itu terbuka, sontak mataku membelalak. Benar, foto ini mirip sekali aku. Mirip sekali, tetapi tampilannya berbeda. Ia tidak berjilbab dan merias wajahnya begitu cantik. Siapa dia?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Silaturrahmi Ke Rumah Mona

    "Iya, siang itu, Kak Mona datang saat beberapa karyawan sedang makan siang di belakang. Saat itu hanya ada saya dan dua orang lainnya. Setelah mengambil beberapa potong pakaian, ia mendatangi saya di meja kasir. Bukannya membayar, Kak Mona malah memaksa membuka laci. Alasannya, ingin melihat pemasukan hari itu." Sekali-sekali Mira mengusap air matanya."Saya menolak karena saya takut terjadi apa-apa. Saya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada toko.""Tapi 'kan Mona istrinya Bang Agam, Mir," aku menyela mengingatkan Mira."Iya, saya tahu Kak Rum, tapi hati kecil saya tidak mengizinkan saya untuk memberikan tahukan kode tersebut."Aku hanya mengangguk. Namun, masih penasaran kenapa Mira justru datang kemari untuk menceritakan ini semua padaku. Apakah Mira tahu kalau aku yang memberikan modal agar Toko Bang Agam bangkit lagi? Apa mungkin Bang Agam menceritakannya pada Mira? Entahlah."Bang Agam tidak pernah akur dengan Kak Mona. Bahkan, seringkali mereka bertengkar di toko ...."

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Mona Bertingkah Lagi

    Aku menautkan alis ke arah Mona, bersikap seolah dia bukan siapa-siapa yang perlu dipedulikan."Ngapain kamu di sini?" Mona mendekat ke tempat aku dan ibu berdiri. Menatapku dengan pandangan permusuhan yang begitu nyata. Bukankah seharusnya aku yang membencinya? aneh.Kualihkan mata ke wajah ibu, beliau justru menatap ke arah lain. Sebelum sempat kujawab pertanyaan Mona, bang Agam muncul dari dapur."Kamu ngapain kemari?" tanya bang Agam pada istrinya itu.Mona berpaling, "Oh, jadi sekarang kalian mau main-main di belakang aku dan di rumah ibu pula. Luar biasa," ucapnya sinis sambil bertepuk tangan.Terdengar ibu menghela napas berat. "Arumi itu anak saya, dan ini rumah saya. Jadi siapa pun yang datang ke rumah ini bukan urusan kamu." Tiba-tiba ibu bersuara begitu keras. Seumur-umur baru kali ini aku mendengar ibu berbicara sekeras itu."Pulang!" bang Agam mendekat dan menarik tangan Mona. Bukan Mona namanya jika langsung menurut.Ia meronta dan melepaskan tangannya dari cekalan bang

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Mengunjungi Ibu

    "Rum, maaf, boleh aku bertanya seuatu yang sedikit sensitif?" Tiba-tiba Hilman menyela dengan wajah yang tampak sungkan di tengah pembicaraan kami tentang konsep kafe.Aku hanya menautkan alis dengan sedikit anggukan samar, belum mampu menerka Hilman akan menanyakan apa."Maaf sebelumnya," ucapnya ragu-ragu."Benarkah jika Mona menikah dengan suamimu?" pungkasnya cepat seakan takut keraguannya sesaat tadi membuatnya tidak jadi mengeluarkan pertanyaannya ini."Mantan suami," jawabku cepat dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Aku ingin membuat Hilman tidak merasa bersalah dengan pertanyaannya, menunjukkan jika aku baik-baik saja."Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan wajah iba."Santai saja, Man, nggak perlu mukanya begitu!" balasku tertawa."Jujur, mungkin jika pembicaraan ini kita lakukan dia tahun lalu, aku akan meneteskan air mata. Tapi, tidak dengan sekarang, Man. Kini, aku sudah berdamai dengan masa laluku itu." Aku menarik napas dan menjeda kalimat sejenak.Dengan memfokusk

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Syarat Arumi

    "Kamu serius?" Mata Bang Agam tampak dipenuhi binar-binar harap."Ada syaratnya." Kuulangi sekali lagi."Apa syaratnya?""Pertama, Mona tidak boleh tahu aku yang memberikan modal. Kedua, setiap bulan keuntungan dari toko nantinya kirimkan ke rekeningku, Abang hanya boleh mengambil untuk Ibu dan sedikit untuk diri Abang sendiri. Ketiga, aku tidak mau keuntungan tersebut Abang gunakan untuk menafkahi Mona satu rupiah pun. Bagaimana?" Aku tersenyum tipis menatap Bang Agam dengan mengerutkan dahi. Mungkin lebih tepatnya aku menyeringai bukan tersenyum.Setelah sekian menit berlalu, akhirnya Bang Agam mengangguk juga. Tentu saja, aku bersorak dalam hati karena aku masih manusia biasa belum menjadi malaikat yang bisa serta merta melupakan semua kesakitan yang pernah menghampiri hidupku."Baiklah, mari ikut aku Bang, kita buat kontrak dan sekaligus kuitansinya sekarang!" Aku berdiri memanggil pelayan warung kopi. Setelah membayar tagihan minuman kami, aku melangkah terlebih dulu. Ada suatu r

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Ngopi Bareng Agam

    "Bang Agam!""Apa kabar, Arumi?""Alhamdulillah, seperti yang Abang lihat.""Abang kenapa di sini? bukannya toko Abang di sebelah sana?" lanjutku bertanya sembari mengarahkan telunjuk ke ujung kanan jalan tempat toko pakaian besar milik Bang Agam.Bang Agam hanya menggeleng sebagai jawaban, "banyak yang terjadi dalam dua tahun ini, Arumi," ucapnya kemudian dengan tatapan menerawang."Abang sekarang bekerja di toko itu," lanjutnya menunjuk toko tempat pramuniaganya tadi meremehkanku seolah aku tidak akan sanggup membayar harga sebuah baju yang terpajang di manekinnya."Bekerja?" ejaku lirih. Bagaimana mungkin seorang Bang Agam bekerja di toko orang."Ceritanya panjang, Rum. Bisakah kita bicara sebentar?"Reflek aku mengangguk."Ayo, kalau begitu!"Aku mengikuti langkah Bang Agam yang berjalan cepat."Kita mau bicara di mana?" tanyaku cepat sebelum Bang Agam sempat menyeberang jalan."Di sudut sana ada warung kopi, kita bicara di sana saja ya, kamu sudah sarapan?""Sudah."***Warung ko

  • Naik Kelas Setelah Ditindas   Pernikahan Adam (2)

    Menahan sesak sendirian tanpa ada satu orang pun yang menyadarinya sungguh tak enak. Sekuat mungkin aku berusaha agar air mata tak menampakkan dirinya. Setidaknya, jangan di sini."Ima, jangan jalan-jalan dong, Sayang!" Aku mengikuti ke mana pun Delima melangkah dari depan. Sebenarnya jika tak kuikuti, Delima tak akan berlarian seperti ini, hanya saja kegiatan ini lah yang dapat kulakukan agar terlihat seolah aku biasa saja.Dengan tidak begitu khusu' menghadirkan hati pada prosesi sakral ini, aku menenangkan diriku sendiri."Sah."Koor suara sedikit menggema, lalu memantul ke dinding hati, membuatnya semakin hancur berantakan. Kupejamkan mata dan menelan saliva kuat berulang-ulang. Tenang Arumi, rasa ini akan segera hilang," bisik hati menguatkan.Adam, seseorang yang telah menemani sejak aku bayi, menjaga setulus hati hingga aku benar-benar tak menyadari jika rasanya bukan lagi sebatas kakak-adik. Aku yang bodoh, dan ini adalah yang terbaik, Adam berhak bahagia setelah semua yang te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status