Jani menundukkan kepalanya, terisak lirih mendengar ucapan dari Maya. “Maafkan aku, Ma. Aku terlalu menyalahkan diri aku sendiri karena tidak bisa menepati janjiku untuk menunggu Mas Ray—”
“Jani. Berhenti mengharapkan Rayhan. Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu. Andai pun masih hidup, seharusnya dia sudah kembali pada kamu, pada kita semua,” ucap Maya dengan suara lembut, sambil memegang pundak menantunya dengan penuh kelembutan.
Jani kembali terisak. “Tapi, jasad Mas Rayhan belum juga ditemukan, Ma. Mana mungkin aku bisa percaya jika dia telah pergi. Aku masih berharap penuh jika dia masih hidup dan menolongku dari pernikahan ini.”
Maya tersenyum lirih. “Ya. Andai itu terjadi. Tapi, semuanya mustahil. Mobil Rayhan terbakar, hancur berkeping-keping, jatuh ke dalam jurang yang curam. Mungkin jasadnya sudah terbawa arus sungai yang saat itu sedang meluap.”
Menghela napas dengan panjang, Maya melanjutkan, “Jangan terlalu larut dalam duka atas kepergian dia, Sayang. Mama juga sedih. Tapi, mau bagaimana lagi. Semuanya sudah terjadi. Kita tidak bisa memutar waktu dan memperbaiki keadaan di masa itu.”
Jani mengadahkan kepalanya dan menatap wajah ibu mertuanya dengan tatapan penuh keraguan. “Ma. Apa benar, yang Mama katakan pada Mas Arga tadi?”
Maya mengerutkan keningnya. “Yang mana?” tanyanya, terlihat sedikit bingung.
Jani menghela napas dengan panjang, lalu menelan saliva dengan pelan. “Maaf, jika aku sudah lancang mendengar obrolan Mama dengan Mas Arga. Tapi, apa benar … Mama dan Papa memiliki bukti jika Mas Arga lah yang telah membunuh Mas Rayhan? Jika memang benar begitu, apa motif dia membunuh adik kandungnya sendiri, Ma?”
Maya tersenyum tipis. “Kamu tidak perlu tahu alasan di balik itu semua. Karena nasi sudah menjadi bubur. Rayhan sudah meninggal, Mama dan Papa tidak cepat mencegahnya.”
Setelah mengatakan itu, Maya langsung pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Seolah ia tengah menghindar dari pertanyaan dari Jani. Seolah ia tidak ingin memberi tahu apa pun kepada perempuan itu tentang kematian Rayhan yang cukup mengenaskan itu.
Jani menelan saliva dengan pelan, merenungi kata-kata Maya. “Sepertinya hanya aku, yang tidak tahu apa pun tentang semua ini. Semuanya menutupi kasus ini bahkan Papa enggan memasukan dia ke penjara. Harusnya, nyawa dibayar dengan nyawa. Bukankah ini tidak adil?” ujarnya dalam hati, merasa semakin terjerat dalam teka-teki yang tak kunjung terpecahkan.
Jani merasakan ketakutan menghampirinya saat Arga mendekapnya dengan kasar. Matanya mencari jalan keluar, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak dari cengkeraman suaminya yang kuat.
“Mas! Kamu gila, huh?! Aku tidak mau! Lepaskan aku!” pekik Jani meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari dekapan Arga yang semakin erat.
Arga hanya menggelengkan kepala, mengabaikan permohonan Jani. “Kamu tidak mengerti, Jani. Aku memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik untukmu.”
Jani bisa merasakan napas Arga yang berat di lehernya. Panik mulai merayap di dalam dirinya. “Kamu tidak boleh melakukan ini, Mas! Lepaskan aku!” Desakannya terdengar putus asa.
Tetapi Arga tidak mendengarkan. Sebaliknya, cengkeramannya semakin kuat. “Kamu tidak bisa kabur dariku, Jani. Kamu adalah istriku sekarang. Kamu milikku.”
Jani mencoba membebaskan diri, tetapi sia-sia. Dengan putus asa, dia mencoba memukul Arga, tapi tangannya dicegah oleh lengan suaminya yang kuat.
“Jangan mencoba melawan aku, Jani,” desis Arga, wajahnya penuh dengan kemarahan.
Jani merasakan dirinya terjebak dalam situasi yang mencekam. Tak ada yang bisa dia lakukan selain berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman Arga yang semakin mengencang. Tetapi dia tidak bisa melawan sendirian.
Kedua belah tangan Jani berusaha keras mencari jalan keluar dari dekapan Arga. Dalam kepanikan, dia berteriak minta tolong, berharap ada yang mendengar dan menyelamatkannya dari nasib yang mengerikan.
Namun, ruangan tetap sunyi. Hanya suara mereka berdua yang terdengar, teriakan Jani yang putus asa dan suara desakan Arga yang penuh dengan keinginan untuk mengontrolnya.
Rasa takut melanda Jani saat Arga menunjukkan wajah gelapnya yang penuh dengan nafsu. Tubuhnya gemetar ketika dia melihat senyuman seram di wajah suaminya.
“Dosa, jika kamu menolaknya, Jani! Lagi pula, tidak akan ada yang memarahi kita jika melakukan ini. Kamu sudah berani bermain-main denganku! Itu artinya, kamu harus menerima semua yang akan kulakukan padamu.”
Senyum menyeringai menyeramkan membuat tubuh Jani bergidik ngeri. “Aku tidak mau! Meskipun kamu suamiku, bukan berarti seenaknya kamu menyentuhku!” pekiknya lagi.
Namun, Arga tak peduli. Didorongnya tubuh perempuan itu kemudian menarik paksa dress yang dikenakan oleh Jani hingga membuat perempuan itu kini hanya mengenakan bra dan celana dalam saja.
“Aku mohon jangan sentuh aku lagi! Aku tidak mau,” ucapnya lirih.
Arga tersenyum miring. “Sudah lama sekali aku mendambakan tubuh indah kamu ini, Jani. Dan sekarang, kamu tidak akan bisa lari dariku!” ucapnya lalu meraup bibir perempuan itu dengan ganas.
Jani menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pikiran tak karuan. Ucapan dari lelaki itu membuatnya bingung. Apa maksud dari ucapan lelaki itu padanya. Bukankah selama ini Arga tampak tak menyukainya.
Ciumannya turun ke bawah. Meninggalkan jejaknya di ceruk leher putih nan halus milik istrinya itu.
Tangan Jani terus meronta. Namun, tidak bisa. Tubuh atletis Arga yang tegap dan tinggi itu tak bisa digerakan oleh tangan mungil Jani.
Ia hanya pasrah, hanya bisa menangis dalam gerayangan yang dilakukan oleh Arga kepadanya.
Bra berwarna hitam itu dilepas begitu saja oleh Arga. Lalu menenggelamkan bibirnya di atas pucuk merah muda dan menikmatinya dengan penuh.
“Eumph! Mas … hentikan!” lirih Jani sembari menitikan air matanya.
Usia kandungan Jani sudah memasuki usia sembilan bulan. Sudah sangat buncit dan kini tengah memeriksa kandungannya dan melihat kondisinya di monitor USG.“Posisi bayinya sudah sangat baik. Perkiraan melahirkannya sekitar dua sampai empat hari lagi,” ucap dr. Mira memberi tahu.Jani menerbitkan senyumnya. “Syukurlah kalau posisinya sudah baik. Saya lega mendengarnya, Dok. Dua sampai empat hari lagi ya, Dok?”“Betul, Ibu. Dua sampai empat hari lagi Anda akan melahirkan.”Jani menghela napasnya kemudian menoleh pada Rayhan yang tengah mengusapi punggung tangannya itu sembari menatap layar monitor USG yang tengah menampilkan wajah calon anaknya itu.Sepulang dari rumah sakit, Jani dan Rayhan mampir ke restoran dulu untuk makan siang bersama.“Mas. Dua sampai empat hari ke depan kamu nggak ke mana-mana, kan?” tanya Jani memastikan kalau Rayhan akan ada saat dia melahirkan nan
Malam harinya. Samuel teringat akan wajah perempuan lugu yang tengah mencari pekerjaan tadi pagi di rumah sakit.Kini, ia tak perlu memikirkan kondisi Rayhan kembali karena lelaki itu sudah sembuh dari obat yang sudah dia berikan pada Rayhan dulu.“Kenapa itu cewek nggak bisa hilang dari pikiran gue, sih? Kasihan banget ya, mimik mukanya. Kayak tertekan gitu.”Samuel menghela napasnya dengan panjang. “Semoga aja dia bisa menguasai kerjaannya di kantor nanti. Paling, gue yang harus sabar kalau nanti banyak yang salah.”Samuel kemudian menutup matanya sebab jam sudah menunjuk angka satu pagi. Ia harus ke kantor untuk interview Vira yang sudah ia tunjuk sebagai calon pengganti Tata.Pukul 07.00 WIB.Jani merasa perutnya seperti ini memuntahkan sesuatu. Baru saja ia bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja tenggorokannya terasa pahit. Ia pun segera masuk ke dalam kamar mandi dan memuntahkan cairan kuni
Keesokan harinya, Jani dan sang suami pergi ke rumah sakit bersama-sama. Pun dengan Samuel yang dari jam sembilan sudah ada di rumah hendak ikut dengan adik dan iparnya itu.Bahkan Samuel juga yang menggendong Elvan saat tiba di rumah sakit. Dan kini tengah menunggu Jani dan Rayhan yang sudah masuk ke dalam ruangan dokter.“Elvan mau makan apa? Biar Om belikan,” tanya Samuel kepada keponakannya itu.Elvan menggelengkan kepalanya. “Udah makan, Om. Nggak lapel.”“Ooh!” Samuel menyunggingkan senyumnya menatap keponakannya itu. “Elvan, sayang nggak, sama Om?”Elvan mengangguk. “Sayang, Om.”“Bagus. Anak pintar. Kalau sama Mama dan Papa?”“Sayang banget.”Samuel lantas tertawa mendengarnya. “Lucu banget sih, kamu ini. Nggak pantes rasanya kalau bapak kamu itu si Arga. Nggak ada pantes-pantesnya sumpah, dah!”
Satu minggu berlalu. Keluarga kecil yang tengah liburan itu sekarang sudah kembali ke Jakarta.Pun dengan Samuel. Lelaki itu juga ikut cuti selama satu minggu itu. Sebab terlalu penat dirinya dengan pekerjaan yang setiap hari tak pernah ada habisnya.Di sebuah taman di halaman depan rumah. Jani dan Elvan tengah bermain bersama dengan anak dari dua sahabatnya yang sedang berkunjung ke sana."Jani. Gue mau nanya tentang Rayhan ke elo."Jani menolehkan kepalanya kepada Ellena. "Kenapa El?" tanyanya kemudian.Ellena menghela napasnya dengan panjang seraya menatap Jani dengan lekat. "Elo pernah bilang kalau Rayhan akan sembuh dari cacat kesuburannya karena ulah kakak elo waktu itu."Jadi menganggukkan kepalanya. "Iya. So?" tanyanya kembali."Yaa ... sekarang kan, udah lima tahun. Kalian udah periksa lagi ke dokternya?""Oh, itu. Iyaa. Gue dan Mas Rayhan rencana besok mau ke rumah sakit untuk periksa lagi. Semoga
Pukul 20.00 WIB.Kejutan yang akan diberikan oleh Rayhan kepada Jani sebentar lagi akan dimulai. Lelaki itu tengah menunggu Janu yang masih menidurkan anaknya."Woy!"Rayhan menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat Samuel ada di sana."Kok kamu ada di sini?" tanya Rayhan bingung.Samuel menyunggingkan senyumnya. "Gue nanya sekretaris elo, katanya elo cuti selama seminggu karena mau liburan ke Bali. Ya udah, gue susul aja ke sini. Emangnya Jani nggak bilang, kalau gue tadi telepon dia?"Rayhan menggeleng dengan pelan. Ia kemudian menerbitkan senyumnya dengan lebar. Punya ide untuk menjaga Elvan selama dia dan Jani dinner."Kebetulan kamu datang ke sini, aku mau minta tolong sama kamu buat jagain Elvan di sini. Nanti jam sembilan aku dan Jani mau dinner."Samuel lantas menyunggingkan bibirnya. "Beber aja dugaan gue. Pasti, bakalan disuruh jagain Elvan." Ia pun mendengus kasar.Rayh
Sudah tiba di Bali ….Suasana yang indah, yang akhirnya bisa Jani rasakan lagi setelah sekian lama tak pernah mengunjungi tempat itu. Betapa bahagianya ia akhirnya bisa liburan bersama keluarga kecilnya.“Bagus banget pemandangannya. Udah lama banget nggak pernah ke sini. Banyak perubahan juga,” ucap Jani sembari memandang pantai yang indah dan bersih di depan matanya.Tangan Rayhan kemudian melingkar di pinggang Jani, menghampiri perempuan itu setelah menidurkan Elvan di kamar sebab anak itu masih tidur dengan lelapnya.“Makasih ya, Mas. Udah bawa aku dan Elvan ke sini. Seneng banget akhirnya bisa liburan lagi,” ucap Jani berterima kasih kepada suaminya itu.Cup!Rayhan mencium pipi Jani. “Sama-sama. Aku juga sama, seneng akhirnya bisa bawa kamu dan Elvan liburan ke tempat yang cukup jauh. Biasanya keliling mall atau taman saja. Maafin, karena terlalu sibuk dan lupa liburan.”