Dia tertegun, marah, tapi segera menarik nafasnya dalam-dalam lalu menggelengkan kepala.
"Ya sudah, Kalau kau memang tidak mau masak ya tidak apa-apa, biar aku beli makanan di luar.""Baguslah, kalau begitu aku mau tidur," balasku.Sekali lagi lelaki itu terkejut, ia mungkin pura-pura ingin beli makanan di luar tapi begitu aku menuruti perkataannya, dia tertegun sendiri.Melihatku berjalan melewatinya dan pergi ke kamar utama lelaki itu hanya bisa tercengang, sekali lagi dia menatapku dengan tatapan tidak percaya dan langsung terduduk lemas.***Seperti biasa, ketika pria yang sudah bersama ibu selama 10 tahun terakhir ini tidur, maka ia akan sangat pulas sekali. Dia tertidur di sofa ruang keluarga sementara ponsel dan kunci mobilnya diletakkan di atas meja.Aku keluar kamar setelah salat tahajud, memeriksa keadaan rumah dan kemungkinan pintu yang belum dikunci saat dia pulang tadi, jujur aku lupa memeriksanya sebelum tidur.Setelah memastikan pintu, aku berjalan perlahan ke arah dirinya yang terdengar mendengkur halus dan pulas sekali.Perlahan kuulurkan tangan untuk meraih ponselnya di atas meja. Kuperiksa benda yang tidak pernah dikuncinya sekalipun. Lalu kucari nama kontak my Queen di sana.Aku ingin mencocokkan Apakah benar nomor itu adalah Nomor ibunya seperti yang tertera di ponselku atau berbeda. Aku berjalan ke kamar lalu meraih ponselku kemudian menyalahkannya. Mencoba menyesuaikan Apakah nomor itu sama atau tidak.Ternyata beda!Sudah pasti nomor yang benar adalah nomor yang kini ada di tanganku, sementara nomor asing yang diberi nama my Queen di dalam kontak mas Kevin pasti orang lain.Aku salin nomor ponsel itu ke ponselku, kemudian mengembalikan ponsel mas Kevin kemeja.Setelah menutup pintu kamar dan beralih ke tempat tidur, lagu kemudian mencoba melakukan panggilan pada nomor tersebut. Aku panggil sekali tidak ada jawaban, mungkin wajar karena ini pukul 03.00 malam tapi rasa penasaran itu belum juga menghilang, jadi aku mengulang kembali panggilanku.Untungnya di panggilan ketiga nomor itu mulai menjawab ponselnya."Halo, siapa ini?"Seorang wanita di seberang sana menjawab panggilan. Dia terdengar masih mengantuk dan lemas.Demi tak mampu lagi menahan rasa penasaran aku segera bertanya."Apa kau kenal dengan Kevin?""Uhm ... Hmm mas Kevin? Ini siapa?""Aku sedang bertanya padamu, apa kau mengenal Kevin?""Iya, aku mengenalnya.""Kau pacarnya?""Bukan.""Lantas?""Siapa kau tiba-tiba menelepon malam-malam begini dan bertanya tentang hubunganku dengan mas Kevin? Aku tidak berkewajiban untuk menjawab pertanyaan dari orang asing," balas wanita itu."Aku adalah istrinya dan Kevin adalah suamiku, Aku ingin tahu kenapa suamiku menyimpan nama kontakmu dengan sebutan ratuku. Apa kau dan dia punya hubungan?"Klik.Ponselku langsung dimatikan, panggilan belumlah usai tapi dia sudah mengakhirinya. Aku yang masih penasaran dan ada gejolak tertentu di hatiku mendorong diri ini untuk mengulang kembali panggilan tersebut Tapi Wanita itu sudah memblokir ponselku.Aku coba menghubunginya via W******p tapi ternyata diblokir juga.*Di meja ruang keluarga, ponsel suamiku bergetar, terus bergetar sementara pemiliknya tidak menyadarinya.Aku berjingkat ke sana dan memeriksa Siapa yang menelpon dan seperti yang kuduga, my Queen terpampang jelas di layar ponselnya."Kenapa kau memblokirku tapi malah menghubungi suamiku?""Aku ingin bicara dengan mas Kevin!""Apa sebelumnya dia mengaku kalau dia masih lajang?""Tidak, aku harus bicara dengannya.""Kalau begitu kau harus jawab pertanyaanku! Kau siapa!""Aku adalah sahabatnya.""Tidak ada persahabatan antara pria dan wanita kecuali mereka tertarik satu sama lain, atau salah satu menyukai lawan jenisnya!"Saat berdebat seperti itu tiba-tiba mas Kevin sadar dari tidurnya, kaget mendapati diriku memegang benda pipih dengan logo apel di belakangnya, kaget ia melihatku sedang berbicara di ponselnya."Dengan siapa kau bicara?""Dengan wanita yang kau namakan ratuku!"setelah rangkaian kesulitan hidup yang susah sekali dikembalikan untuk jadi lebih baik, perlahan aku mulai berjuang untuk Mila, mulai membuka hati dan serius mencintainya. mulai menerima kenyataan bahwa Fathia bukan jodohku dan istriku sekarang adalah Mila. Aku berhenti mengejar Fatia dan berharap dia akan bersimpati padaku, aku memutuskan untuk menerima kenyataan, berdamai dengan apa yang kumiliki dan menjalani apa yang bisa kujalani. Aku tahu aku punya banyak hutang pada Mas Fadli yang itu merupakan suami Fatia, meski ingin sekali keluar dari tempat ini tapi aku terikat kontrak dengan mereka sehingga aku harus bertahan untuk melunasi semua itu sembari bertahan hidup untuk istriku. Hutang pengobatan Mila juga masih ada padaku, berikut juga dengan PR untuk memperbaiki apartemen kami serta mengembalikan sisa uang pembeli yang tempo hari membatalkan pembeliannya. hidupku seakan di lantai oleh hutang-hutang yang tidak terhitung banyaknya. jika aku menanggapi itu dengan pikiran ke rumah
Besok hari, sebelum berangkat kerja aku mampir ke rumah ibuku, Aku ingin bicara sedikit dengan beliau dan mendiskusikan tentang istriku. ucapkan salam dan kebetulan Ibu sedang ada di meja makan, beliau sedang sarapan dan menikmati secangkir kopi bersama ayah. "selamat pagi bunda?" "pagi sayang." Ibu menerima kecupan dariku, dan ayah juga kucium tangannya. "tumben mampir kemari, biasanya kau akan langsung ke gudang dan pabrik kakakmu?""Aku rindu dengan ibu karena sudah lama tidak mampir, Aku benar-benar merindukan kalian.""ah kau ini...." Ibu menepuk bahuku sambil tertawa. "Bu aku ingin bicara sedikit denganmu.""ada apa?" Ibu mengalihkan perhatian dan menatapku. "meski sulit dan menyebalkan ... tapi aku benar-benar berharap Ibu mau memaafkan kami... Tolong maafkan aku dan berilah mila kesempatan untuk jadi menantu yang baik," pintaku dengan nada yang berhati-hati. "tumben bilang begitu?" Ayah yang heran menatap diri ini dengan lekat. "kemarin itu ucapan Bunda membuat istrik
karena diusir sedemikian rupa kami tidak punya pilihan lain selain pergi. ku bawa istriku kembali lalu bersama dengannya kami menaiki mobil perusahaan untuk kembali ke rumah. "kupikir ibumu ada benarnya Mas," desah wanita itu memecah keheningan di mobil kami. "apa maksudmu?""baginya menantunya hanya Mbak Fathia, dia menyayanginya dan wanita itu memang pantas mendapatkan kasih sayang yang besar.""tapi dia bukan lagi istriku, jadi Ibuku harus menerima kenyataan bahwa kamulah satu-satunya menantu." aku menggenggam tangannya, berusaha membuat dia tenang. terasa sekali kasarnya kulit karena bekas luka bakar, membuat hati ini terenyuh. aku tahu istriku salah terlalu banyak bersikap sombong dan arogan, tapi kekesalan jadi kecemburuannya setiap hari bertemu dengan Fathia terpatik gara-gara diriku. andai aku lebih bisa menjaga hati dan perasaannya mungkin semua musibah itu tidak akan terjadi. mungkin jika istriku akan lebih tenang tidak perlu terjadi musibah yang betul-betul membuat di
"sepertinya kau terkesan dengan kebaikan fatia barusan?"tanya istriku saat aku dan dia mencuci piring dan Fathia sudah pulang. "aku terkesan karena dia mau memaafkan kita dan mau turun tangan membersihkan tempat ini untuk membantumu," jawabku. "aku sendiri terpukau dengan kebaikan mantan istrimu itu. kupikir dia akan terus memusuhi kita tapi ternyata dia punya ketulusan yang tidak kubayangkan." istriku mencuci tangannya dan mengeringkannya disobek, aku tidak mengerti maksud tetapannya tapi sepertinya dia sedikit resah. "mungkin wajar saja jika kau masih mencintai dan berharap bisa berhubungan baik dengannya."aku segera meraih tanganmu lah begitu mendengar dia mengatakan hal tersebut. tersenyum diri ini sambil mengetuk keningnya dan kupeluk dia dengan erat. "dia memang sebaik itu tapi sekarang hanya kau satu-satunya cinta di hatiku.""tidak usah menghiburku dengan kalimat itu,"jawab Mila sambil mendorong dada ini dengan ujung jemarinya, wanita yang kulit wajahnya belum begitu rata
hampir 20 menit berkendara dengan segala kegalauan hati memikirkan apakah apartemen itu masih layak dihuni atau tidak mengingat hampir 1 tahun tidak di sana kupikir sudah ada beberapa bagian yang merembes, kamar mandi juga merembes dengan cat dinding yang sudah mengelupas, beberapa bagian dinding juga retak dan tidak layak, mereka juga lembab dan jamuran tapi aku bisa apa hanya itu satu-satunya tempat yang bisa dituju untuk sementara ini. mungkin aku bisa membayar kontrakan, tapi bagaimana aku akan mencukupi pengobatan Mila, sementara uang itu juga untuk makan dan transportasi sehari-hari. aku harus berusaha mencukupi gajiku ditambah dengan potongan perusahaan yang sempat ku pinjam untuk operasi istriku. kupandangi wajah Mila dan raut kesedihan yang terlihat di matanya, dia berkaca-kaca tapi wanita itu berusaha menyembunyikan kesedihannya. rumah ibunya terlalu nyaman selama ini kami tidak pernah berpisah dengan mereka jadi mungkin istriku harus membiasakan diri dan merasakan kerin
"mau kemana?" Tanya istriku cemas."aku mau pergi, sudah terlalu lama kita diinjak-injak, aku sudah tak sanggup lagi.""tapi...." Mila nampak ragu melihatku yang terus berkemas, dia sepertinya bimbang hendak tetap berada di sini ataukah ikut dengan suaminya yang tidak berdaya ini."aku tahu aku harus menghargai mertua, Aku tahu aku harus menjunjung mereka tapi ini benar-benar keterlaluan, Mil. aku masih punya harga diri.""sebagai orang tua mami pasti terlalu mengkhawatirkanku sehingga dia berkata seperti itu.""aku juga memposisikan diriku sebagai dia. Aku membayangkan putriku harus hidup dalam kesulitan bersama suami yang dicintainya. tapi, aku akan menahan diri dari ucapan menghina orang lain," balasku Dengan hati Yang benar-benar Sakit. ingin rasanya menangis tapi aku malu pada genderku sendiri. aku laki-laki yang harus terlihat tegar tapi ada kalanya perasaan ini rapuh dan sedih. "aku sudah berusaha sekuat tenaga Tapi saat tuhan hanya memberi terbatas, aku bisa apa!! Aku juga ma