Share

Tatapan

Author: Sarinah
last update Last Updated: 2022-08-23 17:23:21

Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru

Bab 2

Ponsel di sampingku terus bergetar, segera aku meraih dan membukanya. Ternyata pesan dari grup wali murid. Aku memang membuatnya dengan tujuan untuk mempermudah komunikasi. Satu per satu pesan aku baca hingga pada bagian akhir satu pesan membuatku terhenyak.

[ Selamat malam, Bunda ….] Pesan dari mantan sekaligus wali muridku.

Apa-apaan ini? Mendadak grup menjadi ramai saat mantanku mulai memperkenalkan diri dan juga mengirim fotonya. Memang, dari sekian banyak chat para wali murid mengirimkan foto mereka katanya sebagai bentuk perkenalan. Aku masih menyimak saja chat yang terus datang bergantian.

[ Salam kenal Bunda semua. Perkenalkan saya papanya Zivanna. Sepertinya hanya saya yang bukan Bunda ]

[ Iya, lainnya memang Bunda semua ]

[ Salam kenal, Papa Zi ]

[ Salam kenal juga Papa Zi, saya Bundanya Izza nantinya kita akan sering bertemu. Saya single parents. ]

Duh, baca chat itu aku jadi malu sendiri. Bundanya Izza adalah seorang orang tua tunggal. Dia tetangga yang rumahnya berada paling ujung. Orangnya cantik tapi menurut dari cerita sedikit genit.

"Katanya capek, malah mainan hp terus," ucapan protes dari suamiku membuatku harus meletakkan benda pipih di tanganku.

"Iya, ini mau tidur."

"Ai, kamu sudah minum pil nya?" Baru saja pamitan tidur suara dari ibu mertua yang sudah berdiri di ambang pintu mengagetkanku. Sebenarnya tidak ada pintu hanya ada gorden multifungsi yang dijadikan pintu.

"Sudah, Bu," jawabku lirih. Inginku untuk melawan perintahnya tapi sayangnya aku belum berani.

"Bagus, kalian itu masih susah jadi jangan punya anak dulu. Ibu juga nggak mau kalian repotkan dengan titipan bayi!" Pernikahanku sudah menginjak 2 tahun dan ibu mertua tidak mengijinkan untuk punya anak, padahal justru aku sudah sangat menginginkannya.

Entah sudah berapa kali ibu mertuaku mengatakan hal seperti itu, rasanya sudah di luar kepala. Bahkan bisa aku pastikan jika sekarang ibu akan masuk dan duduk di samping suamiku.

Satu langkah, dua langkah dan akhirnya yang jadi tebakanku benar. Ibu duduk tepat di sampingku.

Plak!

Satu pukulan mendarat di kaki yang sedianya sedang dipijat. Segera aku menarik kakiku dan mengusapnya. Perih.

"Istri macam apa kamu?! Bisa-bisanya sudah seperti bos, nyuruh suami buat pijat? Enak, ya? Harusnya kamu yang pijat suami bukannya kebalik kaya gini!" Rasanya dadaku bergemuruh mendengar ibu memarahiku. Matanya melotot menatapku tajam.

"Bu, bukan Ai yang yang minta tapi Adit yang memang mau pijitin Ai," ucap suamiku membela.

"Halah! Nggak usah sok membelanya!"

"Nggak, Bu, serius, Adit nggak membela siapa-siapa. Tadi itu Ai pulangnya udah sore, dia pasti capek makannya Adit pijitin." Suamiku berusaha membujuk ibunya. Tangan yang tadi berada di betis kini berpindah di bahu ibu. Terlihat jika ibu merasa keenakan dengan pijatan Mas Adit, matanya merem melek lidahnya keluar masuk, hidungnya kembang kempis. Ups.

"Yang capek itu kamu bukan dia! Dia itu kerjanya cuma duduk, nulis, nyanyi-nyanyi sama anak kecil, sedangkan kamu … kamu itu kerjanya berat, angkat besi, angkat semen belum angkat beban hidup. Kamu juga harus menanggung dia yang makannya banyak!" Saat mengatakan, mata ibu melirikku dengan jelas. Ibu memang merendahkan aku banget. Aku itu istrinya Mas Adit otomatis aku itu tanggung jawabnya, dan soal makan, aku masih dalam batas wajar porsinya.

"Sebelah sini,loh, Dit pijitinnya. Tadi itu Ibu capek banget seharian beres-beres rumah nggak ada yang bantu. Pagi masak air, siang nyapu, sorenya ke warung," jelas wanita paruh baya itu.

"Iya, Adit tahu."

"Oh, ya, Dit, tadi di warung ada yang jualan gamis. Ibu suka banget sama bajunya, jadi Ibu ambil dua. Lumayan buat ganti-gantian kalau ke pengajian. Ibu itu malu, kalau datang ke pengajian gamisnya itu-itu terus mana udah buluk." Panjang lebar ibu menjelaskan dengan muka yang dibuat sedih tapi aku tahu ke mana arah pembicaraannya. Tunggu bentar lagi, pasti tebakanku benar.

"Dit, nanti kamu yang nyicil gamis buat Ibu, ya." Nah, kan, sesuai dengan tebakanku. Sudah sering soalnya, entah daster, panci, sprei, pokoknya kalau ada tetangga yang beli pasti Ibu pengin. Padahal barang-barang yang Ibu beli juga entah dipakai apa nggak. Termasuk soal gamis, baru beberapa minggu yang lalu ibu kredit gamis dan mungkin malah belum pernah dipakai sama ibu dan sekarang sudah mengambil kredit gamis lagi.

"Iya, nanti Adit yang nyicil. Memangnya berapa harga gamisnya?" Jawaban yang keluar dari mulut suamiku juga sudah bisa aku tebak. Pokoknya mudah banget suamiku mengiyakan permintaannya ibunya.

"Nggak mahal kok, cuma delapan ratus ribu dua." What? Delapan ratus ribu nggak mahal? Aku sampai menelan ludah mendengarnya. "Temponya dua bulan, tenang saja."

"Maaf, Bu … Ai pamit tidur dulu, udah ngantuk." Tak tahan rasanya mendengar percakapan antara ibu dan anak itu. Sebenarnya memang sudah biasa tapi rasanya aku kecewa saja sama suamiku. Kalau uang kami banyak mungkin tak masalah tapi keuangan kami itu seringnya nombok. Gaji Mas Adit itu kecil, namanya juga hanya kuli di toko bangunan. Kalian tahu, kalau aku berangkat ke sekolah aku hanya bawa uang sepuluh ribu? Belum lagi kalau apes seperti tadi, bannya bocor. Untung saja masih ada lebihan uang dari hari kemarin yang aku kumpulkan.

Tidak lama setelah Mas Adit menyanggupi permintaan, Ibu keluar dari kamar dan lingkaran di perut sudah aku rasakan.

"Dek, marah, ya?" Tidak, aku pedulikan pertanyaan dari suamiku justru aku semakin erat memeluk bantal guling.

"Dek …." Pokoknya, bodo amat!

"Dek … jangan marah, Mas tahu kalau sekarang kamu marah sama, Mas. Tapi, mau gimana lagi? Masa, Mas mau nolak permintaan Ibu?"

"Mas, apa Mas nggak bisa sedikit saja tidak terlalu mengiyakan segala permintaan ibu? Gamis, loh, Mas … Mas tahu sendiri kalau beberapa minggu yang lalu baru ibu beli gamis dan entah sudah dipakai apa belum. Ibu itu cuma gengsi, cuma mau pamer!" Tanpa menatap aku akhirnya berbicara.

"Iya, Mas, tahu … tapi yang minta ibu. Kamu tahu sendiri orang tua Mas tinggal ibu." Ah, selalu saja itu alasannya. Muak rasanya! Lebih baik aku tidur saja daripada tambah ribut.

Pagi menjelang, aku sudah bersiap untuk berangkat. Perasaan dongkol masih terbawa sampai pagi, jadi ada rasa malas untuk bicara. Biarlah, barangkali kalau aku mogok bicara Mas Adit akan sadar.

Saat sudah siap di atas motor tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku. Ternyata itu Mbak Ani—kakak iparku.

"Ai, titip Dena, ya …," pinta Mbak Ani. Ya, Dena—anaknya alias keponakanku—memang Mbak Ani masukkan ke TK yang sama dengan sekolahku.

"Loh, Dena mau berangkat pakai baju tidur?" Aku bertanya setelah melihat Dena masih memakai piyama, rambutnya yang panjang masih terurai acak-acakan dan bekas Iler yang menggaris di sudut bibirnya.

"Ya, nggak. Masa anakku yang cantik kaya gini ke sekolah, nanti kamu mandiin dulu sama tolong baju seragamnya disetrika juga. Bajunya di dalam tas. Mbak udah terlambat berangkat kerja soalnya." Mbak Ani berkata seraya menyerahkan tas padaku.

"Tapi, Mbak–"

"Pokoknya titip Dena!" teriak Mbak Ani yang sudah melangkah pergi. Kalau sudah seperti ini aku bisa apa? Mana mungkin juga aku tega tinggalin Dena sendirian.

Tas punggung yang sudah aku pakai kulepas dan ditaruh di atas meja, sepatu yang sudah terpasang di kaki juga aku lepas, setelahnya tempat yang aku tuju adalah kamar mandi.

Selesai memandikan Dena, gegas aku kembali bersiap untuk ke sekolah.

"Tante, Dena belum sarapan," ucap gadis kecil yang sudah rapi. Ya ampun, ini bagaimana Mbak Ani? Udah tahu kalau Dena hari ini mulai sekolah, eh malah nggak ada persiapan.

"Tante bikin nasi goreng, Dena mau?" Gadis kecil berkuncir satu itu mengangguk. Kemudian aku mengarahkannya menuju ke meja makan dan setelahnya dia sibuk dengan nasi goreng di piringnya. Dena makan dengan lahap, sesekali aku melihat pada jam di atas pintu kamarku. Sudah jam tujuh, aku pasti terlambat.

"Tante, boleh nambah?" pinta Dena. Dia menyodorkan piring kosongnya padaku.

"Boleh." Kuambil separuh dari jumlah sepiring porsi nasi goreng yang tersisa. Sebenarnya itu untuk ibu tapi masa iya, Dena minta nggak dikasih.

Pukul delapan aku sudah sampai di sekolah dan sudah pasti terlambat. Benar saja, sudah ada Bu Eli yang berada di kelasku. Segera, aku masuk ke kelas dan meminta maaf pada Bu Eli.

***

Selesai sudah kegiatan mengajarku hari ini, anak-anak segera aku antar menuju ke depan tempat orang tua mereka menjemput. Kebanyakan yang menjemput adalah ibu-ibu. Anak-anak langsung menghambur mendekat pada ibunya.

Di sampingku berdiri Zivanna dan Dena. Tinggal mereka yang belum dijemput.

"Zivanna belum dijemput sama papah?" Bundanya Izza mendekat, dia mengusap rambut Zivanna.

"Belum," jawab Zivanna seraya menggelengkan kepala.

"Nanti Bu Guru temenin Zivanna sampai papanya datang," ucapku.

"Nggak usah, biar saya saja yang tunggu."

"Begitu? Kebetulan kalau begitu, sekalian tungguin Dena bisa? Ibunya belum jemput."

"Nggak bisa, repot! Zivanna aja!" tolak Bunda Izza dengan tegas.

"Papa …!" teriak Zivanna seraya melambaikan tangan. Seketika aku menoleh dan benar saja Mas Reza alias papanya Zivanna alias lagi mantanku kini berjalan mendekat. Menggunakan jas warna hitam serta kacamata yang juga berwarna hitam dia berjalan dengan gagah. Senyumnya menampilkan deretan gigi yang putih dan rata mirip waktu dia menjemput saat aku pulang kuliah.

Astaghfirullah hal adzim. Untung aku segera sadar sebelum tanganku justru ikut melambai. Ish, apa-apaan aku? Bisa-bisanya justru malah jadi ingat masa lalu?

"Maaf, Bu, saya terlambat jemput," ucap Mas Reza. Matanya menatapku dengan teduh tapi buru-buru aku mengalihkan pandangan.

"Eh, nggak apa-apa. Saya loh, yang tadinya mau temenin Zivanna sampai Papa Zi datang." Bundanya Izza menyerobot sebelum aku sempat menjawab. Mulutku yang tadinya sudah terbuka kini kututup kembali sebelum lalat dan gajah keburu masuk.

"Terima kasih. Maaf sepertinya saya belum mengenal–"

"Saya Bundanya Izza, yang semalam di grup sama chat pribadi tapi belum dibalas sama Papa Zi."

"Oh, jadi ini Bundanya Izza? Salam kenal, Bun." Bundanya Izza tersenyum sumringah seraya mengibaskan rambut hasil bondingan berwarna blondenya.

"Kalau begitu, saya pamit duluan. Sekali lagi, terima kasih sudah menunggu Zivanna. Bu Nana, ayo pulang sekalian," ajak Mas Reza sukses membuat mata ini mendelik.

"Nama saya Aisyah biasa dipanggil Bu Ai," jawabku.

"Maaf, saya lupa Nana itu panggilan Zivanna jadi kebiasaan," kilah Mas Reza.

"Bu Ai bawa motor dan masih ada pekerjaan, nggak mungkin kalau mau ikut. Tapi saya mau pulang, saya aja yang ikut sama Papa Zi," sela Bundanya Izza.

"Nah, betul. Silahkan Papanya Zivanna bareng sama Bundanya Izza saja, saya ada pekerjaan," jawabku seraya tersenyum geli. Sedangkan Mas Reza justru terlihat kaget.

"Aduh, maaf, saya lupa kalau ada jadwal meeting. Sepertinya saya harus pergi. Sekali lagi terima kasih sudah menunggu Zivanna. Saya permisi."

Mas Reza kemudian berlalu pergi sedangkan Bundanya Izza mengejar Mas Reza sampai tangan anaknya ditarik dengan paksa. Sepertinya ada yang ingin melakukan pendekatan. Aku hanya tertawa dalam hati melihatnya.

"Dena, mama kok nggak jemput-jemput?" tanyaku pada keponakan yang tangannya terus memegang tanganku.

"Kata mama, pulangnya sama Tante," jawabnya semakin membuatku menarik nafas. Sepertinya Mbak Ani sengaja menitipkan Dena padaku. Padahal pekerjaannya sebagai ART bisa disela dengan menjemput Dena. Rumah majikannya juga nggak jauh dari sekolah. Sudahlah, lebih baik aku selesaikan pekerjaanku saja daripada mikirin yang lain.

***

Selesai dengan semua pekerjaan aku sudah bersiap dengan motor bututku. Dena yang sudah lelah menungguku sudah duduk membonceng di belakang.

Perjalanan lima belas menit sudah aku tempuh untuk sampai ke rumah. Namun, saat baru sampai di depan rumah terlihat jika ibu sedang bersama dengan dua orang pria berpakaian hitam. Entah siapa mereka. Hanya saja terlihat jika mereka sedang tidak baik-baik saja. Dena kemudian turun begitu juga denganku yang sudah mematikan mesin motor.

"Assalamualaikum," sapaku.

"Nah, ini dia …, ambil saja motornya untuk melunasi hutangku!" ucap Ibu.

Apa? Apa-apaan Ibu? Tidak! Aku tidak akan menyerahkan motorku. Lihat saja kalau sampai motorku diambil, aku akan lawan mereka. Enak saja mau ambil motor seenak jidat mereka, gelut juga aku ladenin!

🌹🌹🌹

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 80 Jalankan rencana

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 79 Aku mau kembali

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 78 Modus

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 77 Ibu peri ngambek?

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 76 Hilangnya nurani

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya

  • Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa Baru    Bab 75 Kita ke pengadilan

    Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status