Untuk sekian lama, perasaanku membeku. Pada pria, sudah pasti. Siapa pun prianya, sama saja bagiku. Sampai pada beberapa waktu lalu, aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta kembali.Pada pria yang kini tengah berbaring sambil memeluk pinggangku. Posisinya miring menghadapku. Dia ... Andrian Heather. Suamiku. Suami yang akhirnya kuanggap setelah beberapa waktu kuabaikan, bahkan kuperlakukan sesukaku. Setiap kami bertemu.Kini, bukan kecanduan bercinta saja yang kurasakan padanya, tapi juga tidak pernah bosan-bosannya kutatapi wajah tidurnya seperti ini, setiap malam.Dia bahkan tidak tahu tentang hal ini. Andai dia sampai tahu, kupastikan dia akan panik dengan wajah memerah sampai ke telinga. Lucu dan manisnya suamiku. Sampai aku benar-benar lupa pada tujuan awalku.Elan Flaxen dan istrinya, Ignes Tangerine.Ignes mungkin tidak bersalah padaku, malah semakin ke sini aku merasa kian iba pada wanita itu. Apalagi sejak tahu bahwa Elan rupanya—mungkin saja—merasa bersalah dengan menyebut
Suamiku ada di depanku. Dia masih sama. Tidak tertarik padaku.Apa tidak keterlaluan? Aku sudah menunggu. Bagiku memang ini belum terlalu lama, tapi aku mulai bosan. Bukan, lebih tepatnya aku lelah alih-alih bosan. Semua cara yang telah disarankan Nancy padaku telah kulakukan. Kecuali yang terakhir. Kutolak dengan halus, bukan berarti tidak menghargai usahanya untuk membantu. Aku hanya ingin berhenti, sungguh. Tidak ada keinginan lain yang kuinginkan saat ini, selain berhenti mengharapkan Elan mencintaiku.“Kenapa belum tidur?”Suara itu. Aku tersentak dalam mode singkat, lalu memalingkan tubuh. Memunggunginya yang sejak tadi sibuk dengan pekerjaan di layar laptop yang berada di atas pangkuannya.Dia tidak butuh jawabanku. Kesannya selalu begitu. Seolah bertanya hanya sekadar basa-basi atau bentuk formalitas saja.Sebenarnya, dia tidak pelit bicara padaku. Cuma, perkataannya tidak ada yang bisa menyenangkan hatiku. Selalu membuatku rendah diri. Bahkan selama bercinta yang telah kuusa
Aku menyesal pernah hampir menyerah mencintai istriku, Nancy. Namun setelah aku tahu dari ayah mertua tentang masa lalu Nancy dan selanjutnya kutelusuri sendiri kebenarannya, rasa cintaku pada wanita itu kian bertambah. Trauma yang diderita istriku tidak main-main. Apalagi dendam yang mungkin belum tercabut sampai ke akarnya, malah diperparah dengan kehadiran pria masa lalu itu di dekatnya.Tidak masalah bagiku jika dia membutuhkanku untuk membalaskan dendamnya pada pria bernama Elan Flaxen itu. Mantan suami Nancy yang menurut ayah mertua tidak sengaja melakukan segala hal yang berakibat fatal pada wanita itu.Namun aneh, sangat aneh walau itu begitu membuatku bahagia, saat suatu hari Nancy mulai berubah. Bukan sekadar ‘berubah’ tapi malah membuka diri sepenuhnya untukku. Lebih membingungkan lagi bagiku ketika akhirnya dia berniat melepas dendamnya pada Elan begitu saja.Awalnya, aku masih pesimis. Bukan tidak mempercayai Nancy, tapi aku tahu itu sulit. Trauma tidak mudah sembuh begitu
“Aku berhasil, Nan!” Ignes terburu-buru menghampiri Nancy yang tengah bersandar di railing balkon. Nancy menyambutnya dengan senyum. “Sungguh?” “Mm-hm,” angguk Ignes bahagia. Sangat tidak menyangka bahwa saran perdana dari sahabat barunya itu berhasil dengan tidak terduga. “Apa kata suamimu?” “Dia bertanya, dari mana aku tahu bahwa dia menyukai parfum dengan aroma langka seperti yang kuhadiahkan itu?” Nancy berdiri tegak. Merubah posisi tangannya menjadi terlipat di depan dada. “Lalu, apa jawabanmu?” “Seperti permintaanmu, aku tidak mengatakan padanya, bahwa kau yang memberi saran untuk menghadiahinya parfum yang hanya diproduksi sebanyak seribu botol saja sejak pertama kali dirilis itu. Kukatakan, aku hanya menebak dari zodiaknya.” Ignes masih tersenyum lebar nan bahagia. “Bagus.” Nancy puas dengan jawaban Ignes. Dia menghela napas, lalu mendongak menatap langit malam tanpa bintang. “Nan, apa kau punya saran untuk hal lainnya?” Nancy tidak mengalihkan pandangannya dari langit
Nancy merebahkan dirinya di ranjang kebesarannya yang sebenarnya, bisa menampung lebih dari tiga tubuh dewasa sekaligus, tapi dia hanya ingin tidur sendirian malam ini. “Pergilah.” Nancy memerintah dengan suara pelan pada Andrian yang tampaknya enggan melangkah keluar dari sana. Dengan kepala yang sedikit terangkat dari bantalnya, dia melihat Andrian membungkuk, lalu berlutut di ujung ranjang. Tepat di bawah kakinya. Pria itu bersiap melepaskan pumps tujuh sentimeter yang masih terpasang di kedua kakinya. “Sudah kukatakan pergi, Andrian. Tolong, pergilah.” Nancy menahan gejolak amarahnya sambil melemparkan kembali kepalanya ke bantal. “Tapi, Nan—aduh!” Andrian mengaduh, ketika Nancy melempar bantalnya dan mengenai wajah Andrian. “Sudah kukatakan dengan begitu jelas, Andrian.” Andrian menghela napas. Sebelah pumps dengan warna hazelnut sudah berhasil dia lepaskan dari kaki kiri Nancy. “Kembalikan ke asalnya.” Nancy bicara dalam nada yang serius. Tanpa memandang Andrian. Matanya t
“Apa yang bisa kulakukan untukmu, Ignes?” Nancy menyibak selimut, turun dari ranjang sambil menarik plester di keningnya. Melangkah menuju cermin. Menunggu Ignes mengutarakan maksudnya. “Aku gagal bahkan sebelum mencoba.” “Benarkah? Bagaimana itu bisa terjadi?” Sambil mematut diri di cermin, Nancy mengusap keningnya yang melukiskan goresan kecil akibat dari permata di cincin Ignes. Masih sedikit perih. Ignes mulai mengeluh. “Semalam dia terlihat lelah. Kupikir, jika aku menggodanya dengan caramu, kemungkinan dia akan terpancing. Tapi sebelum niat itu terlaksana, dia sudah menarik selimut untuk tidur.” “Kau tidak mencegahnya?” Nancy mengulum senyum. Menahan tawa, tapi tidak yakin mampu bertahan sampai lebih dari satu menit. “Dia mengatakan padaku bahwa dia butuh istirahat yang cukup untuk mengikuti rapat pagi di kantor.” “Ah, sayang sekali. Itu bentuk penolakan yang halus, Ignes.” “Yah, kau benar. Dia memang tipikal pria yang tidak pintar menolak secara terang-terangan. Selalu m
Berhasil menyusul Elan ke kota Hue yang berjarak empat jam perjalanan darat dari Sand Dollar, Ignes menempati hotel yang sama dengan sang suami. Berkat cara jitunya dalam mengancam sekretaris Elan, Viria Minelli, dia merasa senang karena keberhasilannya menjadi lebih cepat dari dugaannya. Hal itu juga tidak lepas dari bantuan seorang informan terpercaya di dalam perusahaan ayahnya. Bukan sekedar memantau tindak tanduk suaminya untuk Ignes, si informan juga memperhatikan keadaan sekeliling. “Jika tidak mau kuadukan pada ayahku tentang kasus perselingkuhanmu dengan salah satu kepala divisi di Tangerine Company, beritahu aku ke mana tujuan perjalanan bisnis suamiku. Dan bila kau tidak pintar menutup mulutmu, aku sendiri yang akan melakukannya.” Ancaman Ignes selalu berhasil untuk siapa pun lawannya. Bagaimana mungkin ada yang berani membantah putri pemilik Tangerine Company? Si pewaris tunggal yang selalu menemukan cara agar bisa memandang rendah orang lain. Setelah mengirimkan lokas
Genee Dalbert, berdiri gelisah di tempatnya. Mengenakan sweater hijau tua lengkap dengan penutup kepala sambil tangannya bersembunyi di saku jaketnya. “Sudah lama menunggu?” Elan berbasa-basi. Menyapu seluruh sudut untuk memastikan keadaan aman terkendali. “Tidak. Lima menit lalu.” Genee pun ikut melihat setiap jangkauan mata. "Bisakah kita duduk di kafe seberang sana?" “Oke.” Elan bergerak lebih dulu. Membuat jarak. Karena tidak bisa dipastikan olehnya, kemungkinan mata-mata dari keluarga Tangerine ada untuk mengintainya. Karena Alvin Tangerine tidak sepenuhnya menyukai dan mempercayai dirinya. Mendapat tempat di sudut belakang kafe dengan penerangan yang redup, Genee melepas penutup kepalanya. “Masih belum ada kepastian. Dinata Danny sudah pindah ke negara lain. Dia ikut suaminya yang bertugas ke sana. Dan Darren Danny tidak bisa ditanyai apa pun karena sedang dalam keadaan berkabung. Kekasihnya meninggal dunia.” Elan mengangguk. Berusaha memahami bahwa keadaannya jauh lebih ti