Aku menyesal pernah hampir menyerah mencintai istriku, Nancy. Namun setelah aku tahu dari ayah mertua tentang masa lalu Nancy dan selanjutnya kutelusuri sendiri kebenarannya, rasa cintaku pada wanita itu kian bertambah. Trauma yang diderita istriku tidak main-main. Apalagi dendam yang mungkin belum tercabut sampai ke akarnya, malah diperparah dengan kehadiran pria masa lalu itu di dekatnya.Tidak masalah bagiku jika dia membutuhkanku untuk membalaskan dendamnya pada pria bernama Elan Flaxen itu. Mantan suami Nancy yang menurut ayah mertua tidak sengaja melakukan segala hal yang berakibat fatal pada wanita itu.Namun aneh, sangat aneh walau itu begitu membuatku bahagia, saat suatu hari Nancy mulai berubah. Bukan sekadar ‘berubah’ tapi malah membuka diri sepenuhnya untukku. Lebih membingungkan lagi bagiku ketika akhirnya dia berniat melepas dendamnya pada Elan begitu saja.Awalnya, aku masih pesimis. Bukan tidak mempercayai Nancy, tapi aku tahu itu sulit. Trauma tidak mudah sembuh begitu
Suamiku ada di depanku. Dia masih sama. Tidak tertarik padaku.Apa tidak keterlaluan? Aku sudah menunggu. Bagiku memang ini belum terlalu lama, tapi aku mulai bosan. Bukan, lebih tepatnya aku lelah alih-alih bosan. Semua cara yang telah disarankan Nancy padaku telah kulakukan. Kecuali yang terakhir. Kutolak dengan halus, bukan berarti tidak menghargai usahanya untuk membantu. Aku hanya ingin berhenti, sungguh. Tidak ada keinginan lain yang kuinginkan saat ini, selain berhenti mengharapkan Elan mencintaiku.“Kenapa belum tidur?”Suara itu. Aku tersentak dalam mode singkat, lalu memalingkan tubuh. Memunggunginya yang sejak tadi sibuk dengan pekerjaan di layar laptop yang berada di atas pangkuannya.Dia tidak butuh jawabanku. Kesannya selalu begitu. Seolah bertanya hanya sekadar basa-basi atau bentuk formalitas saja.Sebenarnya, dia tidak pelit bicara padaku. Cuma, perkataannya tidak ada yang bisa menyenangkan hatiku. Selalu membuatku rendah diri. Bahkan selama bercinta yang telah kuusa
Untuk sekian lama, perasaanku membeku. Pada pria, sudah pasti. Siapa pun prianya, sama saja bagiku. Sampai pada beberapa waktu lalu, aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta kembali.Pada pria yang kini tengah berbaring sambil memeluk pinggangku. Posisinya miring menghadapku. Dia ... Andrian Heather. Suamiku. Suami yang akhirnya kuanggap setelah beberapa waktu kuabaikan, bahkan kuperlakukan sesukaku. Setiap kami bertemu.Kini, bukan kecanduan bercinta saja yang kurasakan padanya, tapi juga tidak pernah bosan-bosannya kutatapi wajah tidurnya seperti ini, setiap malam.Dia bahkan tidak tahu tentang hal ini. Andai dia sampai tahu, kupastikan dia akan panik dengan wajah memerah sampai ke telinga. Lucu dan manisnya suamiku. Sampai aku benar-benar lupa pada tujuan awalku.Elan Flaxen dan istrinya, Ignes Tangerine.Ignes mungkin tidak bersalah padaku, malah semakin ke sini aku merasa kian iba pada wanita itu. Apalagi sejak tahu bahwa Elan rupanya—mungkin saja—merasa bersalah dengan menyebut
Aku yakin, dia Fredeliba Mauren atau biasa kusapa Dee. Mantan—bukan, dia masih istriku. Dia menghilang dalam beberapa tahun lalu. Dalam kecelakaan itu.Aku mungkin perlu berulang kali memastikannya, tapi hatiku tidak perlu. Aku menyadarinya. Genee dan Gio Dalbert sebenarnya tidak perlu lagi mencari tahu.Meski telah berlalu sepuluh tahun sekalipun, aku tetap mengenali wanita yang dipanggil Ignes dengan panggilan ‘Nancy’ itu sebagai istriku yang hilang di peristiwa kebakaran beberapa tahun lalu.Keluarga Danny—kerabat dari pihak ibunya Dee—tidak akan bisa menipuku lagi. Bahkan keluarga Flaxen pun demikian.Mereka semua mungkin tahu bahwa Dee masih hidup. Berganti identitas dan merombak wajah sedemikian rupa, tapi tetap ada sisa yang bisa kukenali dengan baik.Tujuan keluargaku bersikap seolah tak tahu apa pun, memang untuk melindungi Dee, seolah aku akan menyakiti istriku demi bisa mencapai tujuanku.Kuakui memang. Keberadaan Dee bukan mengancam, tapi menyulitkanku. Ambisiku untuk jadi
Nancy dengan tampilan manis mengenakan gaun tidur panjang melewati lutut itu segera turun tangga dan menghampiri Ignes. Mengabaikan Elan yang mendadak kaku seperti patung batu karena melihat sahabat istrinya itu.Seperti tidak asing. Tapi, di mana?“Ignes, kau tak apa?” Memegangi kedua pundak Ignes, segera Nancy membawa wanita itu menjauh. Lagi, mengabaikan Elan Flaxen yang belum beranjak dengan mata fokus ke arahnya.“Tidak. Aku sangat terluka. Bawa aku bersamamu,” bisik Ignes, seolah dia ketakutan.Raut Nancy mendadak iba dan terus menuntun temannya itu sambil melirik sekilas melewati bahunya. Elan Flaxen yang telah menyakiti Ignes. Bukan orang lain. Tidak ada siapa pun yang bisa menyakiti Ignes, selain pria itu.“Kau akan menginap?” Shelly muncul dari lorong yang berada lurus dibelakang Elan.Saat berbalik dan menemukan Shelly di sana, Elan spontan mempertanyakan rasa penasarannya. “Wanita itu ....”Shelly menatap ke arah yang ditunjuk Elan. Punggung Nancy dan Ignes yang makin menj
Bukannya cemburu, Elan justru marah besar. Dengan tegas meminta Ignes kembali ke mansion keluarga Osvaldo tanpa berniat mengantarnya.“Cepat kembali dan ganti pakaianmu.”Tidak menurut, meski dengan mudah dia bisa meminta salah satu dari teman se-klub Mauve-nya, bahkan Nancy, untuk datang menjemput, tapi dia tidak mau melakukan hal itu.“Aku tidak mau.” Merasa dipermalukan di atas panggung, sampai tidak ditolong saat dia terjatuh dari tiang, benar-benar membuatnya sakit hati.Elan Flaxen tertawa hampa, sekaligus marah. “Jika ingin melakukan hal seperti itu, jangan di sini, Ignes. Lakukan di tempat di mana ayah dan ibumu bisa ikut melihat betapa liar putrinya di luaran.”Sakit hati karena ucapan suaminya yang tidak pernah manis, apalagi lembut untuknya selama mereka menikah, membuat Ignes melempari Elan dengan high heels yang tadi sempat dibawanya turun dari atas panggung.“Kau bisa dan aku tidak? Kau bebas merangkul dan menempel pada wanita di bandara, ketika tidak dalam pengawasan ay