Aku menyesal pernah hampir menyerah mencintai istriku, Nancy. Namun setelah aku tahu dari ayah mertua tentang masa lalu Nancy dan selanjutnya kutelusuri sendiri kebenarannya, rasa cintaku pada wanita itu kian bertambah. Trauma yang diderita istriku tidak main-main. Apalagi dendam yang mungkin belum tercabut sampai ke akarnya, malah diperparah dengan kehadiran pria masa lalu itu di dekatnya.Tidak masalah bagiku jika dia membutuhkanku untuk membalaskan dendamnya pada pria bernama Elan Flaxen itu. Mantan suami Nancy yang menurut ayah mertua tidak sengaja melakukan segala hal yang berakibat fatal pada wanita itu.Namun aneh, sangat aneh walau itu begitu membuatku bahagia, saat suatu hari Nancy mulai berubah. Bukan sekadar ‘berubah’ tapi malah membuka diri sepenuhnya untukku. Lebih membingungkan lagi bagiku ketika akhirnya dia berniat melepas dendamnya pada Elan begitu saja.Awalnya, aku masih pesimis. Bukan tidak mempercayai Nancy, tapi aku tahu itu sulit. Trauma tidak mudah sembuh begitu
“Aku berhasil, Nan!” Ignes terburu-buru menghampiri Nancy yang tengah bersandar di railing balkon. Nancy menyambutnya dengan senyum. “Sungguh?” “Mm-hm,” angguk Ignes bahagia. Sangat tidak menyangka bahwa saran perdana dari sahabat barunya itu berhasil dengan tidak terduga. “Apa kata suamimu?” “Dia bertanya, dari mana aku tahu bahwa dia menyukai parfum dengan aroma langka seperti yang kuhadiahkan itu?” Nancy berdiri tegak. Merubah posisi tangannya menjadi terlipat di depan dada. “Lalu, apa jawabanmu?” “Seperti permintaanmu, aku tidak mengatakan padanya, bahwa kau yang memberi saran untuk menghadiahinya parfum yang hanya diproduksi sebanyak seribu botol saja sejak pertama kali dirilis itu. Kukatakan, aku hanya menebak dari zodiaknya.” Ignes masih tersenyum lebar nan bahagia. “Bagus.” Nancy puas dengan jawaban Ignes. Dia menghela napas, lalu mendongak menatap langit malam tanpa bintang. “Nan, apa kau punya saran untuk hal lainnya?” Nancy tidak mengalihkan pandangannya dari langit
Nancy merebahkan dirinya di ranjang kebesarannya yang sebenarnya, bisa menampung lebih dari tiga tubuh dewasa sekaligus, tapi dia hanya ingin tidur sendirian malam ini. “Pergilah.” Nancy memerintah dengan suara pelan pada Andrian yang tampaknya enggan melangkah keluar dari sana. Dengan kepala yang sedikit terangkat dari bantalnya, dia melihat Andrian membungkuk, lalu berlutut di ujung ranjang. Tepat di bawah kakinya. Pria itu bersiap melepaskan pumps tujuh sentimeter yang masih terpasang di kedua kakinya. “Sudah kukatakan pergi, Andrian. Tolong, pergilah.” Nancy menahan gejolak amarahnya sambil melemparkan kembali kepalanya ke bantal. “Tapi, Nan—aduh!” Andrian mengaduh, ketika Nancy melempar bantalnya dan mengenai wajah Andrian. “Sudah kukatakan dengan begitu jelas, Andrian.” Andrian menghela napas. Sebelah pumps dengan warna hazelnut sudah berhasil dia lepaskan dari kaki kiri Nancy. “Kembalikan ke asalnya.” Nancy bicara dalam nada yang serius. Tanpa memandang Andrian. Matanya t
“Apa yang bisa kulakukan untukmu, Ignes?” Nancy menyibak selimut, turun dari ranjang sambil menarik plester di keningnya. Melangkah menuju cermin. Menunggu Ignes mengutarakan maksudnya. “Aku gagal bahkan sebelum mencoba.” “Benarkah? Bagaimana itu bisa terjadi?” Sambil mematut diri di cermin, Nancy mengusap keningnya yang melukiskan goresan kecil akibat dari permata di cincin Ignes. Masih sedikit perih. Ignes mulai mengeluh. “Semalam dia terlihat lelah. Kupikir, jika aku menggodanya dengan caramu, kemungkinan dia akan terpancing. Tapi sebelum niat itu terlaksana, dia sudah menarik selimut untuk tidur.” “Kau tidak mencegahnya?” Nancy mengulum senyum. Menahan tawa, tapi tidak yakin mampu bertahan sampai lebih dari satu menit. “Dia mengatakan padaku bahwa dia butuh istirahat yang cukup untuk mengikuti rapat pagi di kantor.” “Ah, sayang sekali. Itu bentuk penolakan yang halus, Ignes.” “Yah, kau benar. Dia memang tipikal pria yang tidak pintar menolak secara terang-terangan. Selalu m
Berhasil menyusul Elan ke kota Hue yang berjarak empat jam perjalanan darat dari Sand Dollar, Ignes menempati hotel yang sama dengan sang suami. Berkat cara jitunya dalam mengancam sekretaris Elan, Viria Minelli, dia merasa senang karena keberhasilannya menjadi lebih cepat dari dugaannya. Hal itu juga tidak lepas dari bantuan seorang informan terpercaya di dalam perusahaan ayahnya. Bukan sekedar memantau tindak tanduk suaminya untuk Ignes, si informan juga memperhatikan keadaan sekeliling. “Jika tidak mau kuadukan pada ayahku tentang kasus perselingkuhanmu dengan salah satu kepala divisi di Tangerine Company, beritahu aku ke mana tujuan perjalanan bisnis suamiku. Dan bila kau tidak pintar menutup mulutmu, aku sendiri yang akan melakukannya.” Ancaman Ignes selalu berhasil untuk siapa pun lawannya. Bagaimana mungkin ada yang berani membantah putri pemilik Tangerine Company? Si pewaris tunggal yang selalu menemukan cara agar bisa memandang rendah orang lain. Setelah mengirimkan lokas
Genee Dalbert, berdiri gelisah di tempatnya. Mengenakan sweater hijau tua lengkap dengan penutup kepala sambil tangannya bersembunyi di saku jaketnya. “Sudah lama menunggu?” Elan berbasa-basi. Menyapu seluruh sudut untuk memastikan keadaan aman terkendali. “Tidak. Lima menit lalu.” Genee pun ikut melihat setiap jangkauan mata. "Bisakah kita duduk di kafe seberang sana?" “Oke.” Elan bergerak lebih dulu. Membuat jarak. Karena tidak bisa dipastikan olehnya, kemungkinan mata-mata dari keluarga Tangerine ada untuk mengintainya. Karena Alvin Tangerine tidak sepenuhnya menyukai dan mempercayai dirinya. Mendapat tempat di sudut belakang kafe dengan penerangan yang redup, Genee melepas penutup kepalanya. “Masih belum ada kepastian. Dinata Danny sudah pindah ke negara lain. Dia ikut suaminya yang bertugas ke sana. Dan Darren Danny tidak bisa ditanyai apa pun karena sedang dalam keadaan berkabung. Kekasihnya meninggal dunia.” Elan mengangguk. Berusaha memahami bahwa keadaannya jauh lebih ti
"Parfum siapa yang kau gunakan?"Ignes sakit hati mendengarnya. Parfum siapa? Memangnya dia mencuri dari siapa?"Aku menggantinya beberapa hari lalu. Kau saja yang tidak menyadarinya."Elan terdiam. Meski tidak berniat kasar, dia tanpa sengaja kali ini menuduh Ignes dengan bahasa yang tidak menyenangkan. Seolah hanya seseorang 'itu' yang boleh menggunakan parfum beraroma khas yang pernah sempat menghilang jauh dari indera penciumannya, tapi kini muncul kembali seakan memaksanya untuk mengingat semua itu lagi sekarang."Sudah tengah malam. Besok pagi kita harus bersiap pulang. Ayo, ke kamar." Elan mengalah sebagai bentuk permintaan maafnya karena menggunakan kalimat tidak mengenakkan itu pada Ignes.Menurut, Ignes yang masih kesal, mengikuti Elan dari belakang. Rasa senang menggantikan kekesalannya, karena Elan membiarkannya masuk ke kamar."Walau sedikit memalukan, aku harus coba menggodanya lebih dulu." Tekad Ignes selaras dengan rasa tidak ingin gagal lagi malam ini.Menurunkan sendi
Terbangun dengan Nancy yang terlelap di sisinya, membuat Andrian terkejut sekaligus terpana.Terkejut karena Nancy sangat jarang berinisiatif untuk mendatangi dia di kamarnya seperti ini, apalagi sampai tidur sepanjang malam bersamanya.Terpana, sebab istrinya itu tidak pernah membosankan untuk dipandang. Entah karena dia yang terlalu jenuh melihat kecantikan wanita lain atau memang Nancy itu secantik apa yang ada dibayangannya.Yang jelas, ini momen langka yang sayang jika dilewatkan begitu saja.Saat melihat jam di dinding, Andrian mengeluh dalam hati.Sudah hampir jam masuk kantor.Tidak ada dalam sejarahnya seorang Andrian Heather yang disegani semua orang di Osvaldo Group, tiba terlambat di ruangannya.Dan sekali lagi dia memandang wajah sang istri. Rasa malas menghinggapinya. Benar-benar enggan beranjak dari tempat tidur untuk meninggalkan Nancy di sana sendirian.Ini momen yang ingin diabadikannya dalam ingatan. Memori terpenting yang indah, dikala rasa kesal akan sikap semena-m