Ivan yang telah berpakaian rapi itu kini mendekati putranya yang sedang sarapan bersama adiknya. “Papa mau berangkat dulu, Ken,” pamit Ivansembari mencium salah satu pipi Kenzo yang tumpah-tumpah.
Ya, dia memang bocah yang berat badannya lumayan berat. Matanya sipit, rambut kepalanya lebat serta mempunyai gigi yang ompong di bagian tengahnya karena terlalu banyak makan coklat dan candy.“Dadah, Papa,” balas Kenzo dengan suara yang kurang jelas lantaran mulutnya penuh dengan kunyahan makanan.“Apa kamu tidak bisa menyuapi anak-anak, Fer? Mulut Kenzo sampai penuh seperti ini?” Ivan keheranan melihat bagaimana Fero menyuapi anaknya yang terlihat asal-asalan. “Bisakah kau menyuapkannya sedikit demi sedikit?”“Ah, buktinya dia diam saja, tidak protes. Hanya kau saja yang terlalu banyak aturan,” balas Fero tak mau mengalah.“Dia diam karena dia tidak mengerti,” kata Ivan kemudian.Fero hanya mengangkat bahunya. “I dont care,” ucapnya sambil meletakkan piring makanan ke meja."Sudahlah, aku juga mau pulang,” kata Fero kemudian ikut melenggang seperti Ivan keluar rumah.“Mau ke mana lagi kamu?” tanya Ivan. Namun terdengar seperti sebuah peringatan. Meski Fero tak benar-benar menanggapinya.“Mau ke rumah pacarku, lah.”“Apa kelakuanmu akan selalu seperti ini?” Ivan memperingatkan adiknya yang masih terus bermain-main di usianya yang sudah cukup dewasa.Seharusnya—dia sudah ikut menjadi bagian dari keberlangsungan berbagai usaha yang sedang dijalankan oleh Ayah mereka. Namun Fero tidak pernah memikirkan hal ini dan Ayahnya pun sudah tidak mau memedulikannya lagi. Beliau sudah terlalu lelah dengan sikapnya.“Jangan menyalahkanku kalau dirimu sendiri belum tentu benar,” tegas Fero menjawab ucapan Ivan, membuat Abangnya terdiam seketika.Terkadang Ivan juga merasa demikian. Seakan tak layak mengomentari kehidupan orang lain lantaran kehidupannya juga teramat buruk. Dan Kenzo adalah saksi bisu betapa kelamnya dunia masa lalunya.Agak lama keduanya terdiam, sebelum akhirnya Fero kembali berujar, “Aku pulang dulu, Bang. Semoga kau cocok sama dia, ya. Jangan ganti-ganti orang terus kalau kau tidak mau pusing mencari gantinya.”Fero mendekatkan diri ke wajah Abangnya dan berkata setengah berbisik, “Dia cantiknya melebihi rata-rata, Bang. Aku harap kau tidak hanya memperkerjakannya saja untuk merawat anakmu, tapi meminangnya menjadi istri. Biar bisa merawatmu juga.” Fero menepuk pundaknya sebelum akhirnya mendahuluinya menuju ke mobil. Lantas meninggalkan pelataran rumah ini.Ivan tak mengangguk, tak juga menggubris apa yang barusan Fero katakan. Tidak semudah itu mencari istri, apalagi lelaki yang sudah mempunyai status seperti dirinya.Lagi pula setiap orang yang akan menjalin komitmen pasti harus melalui banyak proses untuk saling mengenal dan semua itu harus jelas, siapa dia, dari mana asal-usulnya, bibit bebet serta bobotnya. Bukan asal comot celup seperti teh sari melati.Beberapa menit berlalu. Ivan kini sudah sampai di gedung kantor (central room). Lelaki itu tengah berjalan di tengah-tengah puluhan meja sejajar rapi yang membentuk barisan seperti susunan meja anak sekolah.Hanya saja ruangannya dibagi menjadi empat deret meja. Dua deret sebelah kanan dan dua deret sebelah kiri yang masing-masing berhadapan. Tengah-tengahnya diberi space lebar untuk lalu lintas.Sederet karyawan mejanya diberi pembatas setinggi hidung agar bisa dengan mudah saling untuk tetap terhubung.Semua yang melihat Ivan sontak menyapa dan membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan. Dia berada di sini sekarang, sebagai atasan mereka, direktur utama Wijaya group. Salah satu perusahaan properti di Indonesia.Dia sudah berada di depan lift yang langsung menghubungkannya ke lantai ruangannya. Begitu sampai di lantai yang dituju, ibu jarinya menekan mesin mini yang ada di dekat pintu, membuat otomatis pintu terbuka.Jadwal atau agenda hari ini sudah tersusun rapi di meja, seorang asisten telah mempersiapkannya sebelum ia datang.“Apa jadwal hari ini terlalu padat, Pak? Kalau iya bisa saya cancel salah satunya atau saya atur ulang kembali,” ujar sang asistennya yang bernama Deni.“Tidak perlu, begitu saja. Saya akan menghubungimu lagi kalau perlu.”“Baik, kalau begitu saya kembali ke ruangan,” pamit Deni undur diri.Begitu Deni keluar, Ivan memasukkan tangannya ke dalam kantong saku jasnya untuk mengambil ponsel. Namun tiba-tiba, ada yang terjatuh dari sana hingga menyentuh lantai dan menimbulkan bunyi. Yakni sebuah kartu identitas atau KTP seorang gadis yang mulai hari ini akan menjadi Nanny putranya.Ivan berjongkok untuk mengambil benda tersebut, kemudian membaca tulisan yang tertera di sana.Yang menjelaskan :Nama : Laura Stepin AdinataTempat tanggal lahir : 09 09 199XTanpa sadar, bibir itu mengulum senyum. “Nama yang bagus, tapi masih muda sekali.”Berbeda jauh dengannya yang kini telah berusia kepala tiga.“Ini kamarmu, Laura,” kata Mira menunjukkan kamar untuk teman barunya.Sebuah kamar petak berukuran tiga kali dua meter. Tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Di sana terletak kasur singgle bed, pas untuk ditempati sendiri.Lumayan bersih dan nyaman meskipun tidak menggunakan AC. Namun, apakah Laura bisa tahan tidur di tempat seperti ini? Tetapi ia juga tidak mungkin melayangkan protes, sebab memang tidak sepatutnya dia mengatakan hal itu mengingat siapa dirinya sekarang yang juga sama dengan posisi Mira.“Kenapa? Jelek ya, kamarnya,” ujar Mira lagi lantaran sekian lama gadis itu berdiri terdiam tanpa melihat ke dalam tanpa menyahuti perkataannya.“Tidak, Mbak Mira. Ini cukup untukku,” kata Laura kemudian. Memasuki kamarnya dan meletakkan kopernya di sana.“Ya sudah, kau bereskanlah dulu pakaianmu. Ganti pakaianmu dengan pakaian yang lebih mudah digunakan untuk bekerja. Agar langkahmu tidak kesusahan.”Mira melihat keseluruhan pakaian yang Laura kenakan. Dress merah dengan poto
Takut? Tentu saja. Bahkan bukan hanya itu yang Laura rasakan. Tetapi juga sangat malu karena kedapatan masuk ke kamar orang tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada sang pemilik.‘Kenzo ... kamu kecil-kecil udah pinter ngerjain orang!’ Laura bersungut-sungut dalam hati. Dan apabila dilihat menggunakan mata batin, mungkin telinganya juga berasap.Laura masih menutup matanya rapat-rapat. Sebab dia mendapati lelaki itu tadi tengah bertelanjang dada. Astaga, ternoda sudah matanya yang bersih suci, dan murni itu.Bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Perlahan, ia membuka matanya. Namun ternyata sudah tidak ada lagi orang di depannya. Ivan telah pergi.Laura menggigit bibirnya, pikirannya kalut dan bercabang tak karu-karuan. Hari pertama kerja sudah ketiban banyak sekali kesialan-kesialan.Ia hanya terus berdoa mudah-mudahan lelaki itu tak marah atau menuduhnya dengan prasangka yang tidak-tidak. Hanya berniat mengambil tisu basah saja jadi panjang begini ceritanya.Gadis itu mulai kelu
Menuju ke belakang, Laura kembali melihat sosok Ivan lagi yang sedang berada di meja makan menikmati makan siangnya. Namun berbeda dengan tadi karena dia sudah mengenakan bajunya secara lengkap.Rupanya, lelaki itu pulang pada saat dia tengah tertidur pulas di atas. Kemudian mandi pada saat Laura turun dan tanpa sengaja terpergok olehnya.Kerja apa dia jam segini pulang tapi banyak duit?Jangan-jangan dia punya pesugihan babi ngepet.Astaga! Laura langsung menggeleng menghilangkan pikiran buruknya yang sedang semena-mena menuduh orang lain. Mana mungkin Om tua itu ngepet? Masa ganteng-ganteng jadi ....Laura melintas menuju ke belakang dan menarik kursi di sana, serta merta mengisi perutnya dengan makan siang yang sebelumnya sudah Mira masakkan. Tidak terbayang sebelum ia datang, bagaimana repotnya wanita itu sendirian mengurus rumah sebesar ini sambil menjaga Kenzo. Kasihan sekali.***Selesai sudah pekerjaannya hari ini. Tepat pukul jam sembilan malam, Laura naik ke kamarnya dan men
“Astaga!”Hari sudah cukup siang pada saat Laura terbangun dan mendapati dirinya berada di kamar yang berbeda. Laura juga menepuk keningnya berkali-kali setelah melihat gorden jendela yang sudah terbuka dan terlihat cahaya yang masuk.Siapa yang membuka gorden jendela? Laura bertanya-tanya dalam wajah yang begitu panik.Jangan-jangan....Sontak Laura melihat tubuhnya yang cukup berantakan, bajunya sedikit tersingkap dan terlihat sedikit bagian perutnya.Tetapi kemudian dia berusaha berpikir positif, “Ah, emang Gue pikirin. Yang penting nggak kenapa-kenapa.”Dilihatnya ke samping, Kenzo masih tertidur pulas dengan posisi memeluk lengannya. Tangan Laura terangkat untuk memindahkan tangan mungil Kenzo secara perlahan. Lantas detik itu juga tubuhnya melompat ke bawah dan berlari ke atas untuk memasuki kamar mandi.Sementara Ivan yang melihat Laura langsung berdecak. Kepalanya menggeleng melihat kelakuan Nanny barunya tersebut. Tidur sembarangan, bangun kesiangan, melintas seperti angin ke
Usai dasi terpasang dengan rapi di pakaiannya, Laura memundurkan tubuhnya. Berada di dekat lelaki dewasa seperti Ivan membuat tubuhnya tidak baik-baik saja. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan meski tak tahu apa penyebabnya.Jantungnya berdegup lebih cepat, napasnya terasa jadi lebih pendek-pendek, otaknya jadi bodoh, hidungnya pun seperti tersumbat mencium harum parfum maskulin yang menguar dari tubuh lelaki di depannya.‘Lagian nyuruhnya aneh-aneh aja. Masa disuruh pakein dasi. Ini mah tugasnya seorang istri. Amit-amit jabang kura-kura jangan sampai aku nikah sama si Om tua ini. Meskipun lumayan, tapi memangnya nggak ada boejangan lagi di dunia ini? Wekk!’“Makasih,” kata Ivan terhadapnya. Sedangkan Laura hanya mengangguk.Tetapi kali ini dapat Laura akui bahwa mereka sudah bisa sedikit mencair. Keakrabankah yang terjalin? Atau memang Laura sendiri tipe gadis yang gampang akrab dengan setiap orang?Mendengar Kenzo menangis membuat keduanya sontak menoleh. Ternyata bos kecil tersebut s
Kurang lebih lima menit kemudian Laura turun dengan keadaan sudah berganti pakaian. Gadis itu memakai dress warna peach dengan pita yang terikat di belakangnya. Sedangkan rambutnya yang agak pirang dan panjang itu dibiarkan tergerai begitu saja.Untuk menambah kesan manis dan simpel, Laura hanya mengambil sedikit rambut bagian luar kanan kirinya, lalu di satukan ke belakang dengan memakai jepit rambut yang berukuran kecil.Ivan menatap gadis yang baru saja tersebut. Tanpa Laura ketahui, Ielaki itu sudah memandanginya selama beberapa lama karena merasa ‘tersepona’ dengan penampilan Laura saat ini.Laura tidak tampak berumur 23 tahun, dia malah justru seperti seorang gadis SMA yang baru saja tamat sekolah. Wajahnya imut, tubuhnya kecil, bulu matanya lentik dan bibirnya ... merah, kecil, namun sedikit tebal di bagian bawahnya seperti bibir Donald Duck yang sering di tonton anaknya di televisi, begitulah yang sedang Ivan umpamakan.“Jadi berangkat nggak, sih?” Laura bertanya kepada lelaki
Keduanya termenung dengan apa yang mereka lakukan saat ini. Salah tingkah, Laura segera memundurkan tubuhnya. ‘Apa aku sudah gila?’ batinnya begitu heran. Bahkan jantungnya kini terasa melompat seperti akan keluar dari tempatnya. Sudah jelas-jelas, Kenzo memanggil ‘Papanya’, namun kenapa dia malah menyodorkan tubuhnya ke sana?Laura hanya tak ingin nanti Ivan salah mengira bahwa ia dengan berkelakuan seperti ini lantaran sedang berusaha menggodanya. Ah, ini sangat memalukan sekali.“Saya nggak bermaksud ngapa-ngapain, kok, Pak. Jangan salah sangka,” kata Laura membela diri agar Ivan tak berpikir macam-macam.Ivan hanya menatapnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya pria tersebut menundukkan pandangannya lagi ke bawah. Memastikan keadaan anaknya yang tadi memanggilnya. Tetapi rupanya, Kenzo hanya mengigau saja.Terdengar helaan napas dalam dari pria itu, sebelum akhirnya dia menegakkan tubuhnya kembali. Namun tatapannya masih enggan berpaling dari putranya tersebut.“Aku harap ka
Hari telah beranjak siang, matahari mulai naik merangkak ke atas kepala, yang sinarnya mencapai kedalaman ruangan-ruangan gedung melalui kaca jendela.Kedua manusia berisik; Laura dan Kenzo sudah bangun beberapa puluh menit yang lalu dan kini sedang duduk di sofa besar, tidak jauh dari meja kerja Ivan berada.Memang tidak mengganggu, mereka sedang membuat dunia sendiri dengan cara bercanda dan saling menggelitik tubuh masing-masing. Tetapi lagi-lagi membuat fokus Ivan menjadi ambyar tak karu-karuan adalah karena merasa tertarik dengan keseruan mereka.Bibirtegas Ivan mengulum senyum membayangkan kehidupannya di masa depan nanti. Akankah seperti ini? Tetapi dengan ia bergabung bersama mereka di sana.Terkadang Ivan bertanya-tanya sendiri. Siapakah kira-kira orang yang akan menjadi jodohnya kelak? Rasanya sangat sulit sekali mencari wanita yang benar-benar tulus mencintainya selain mempunyai maksud tertentu. Dan ini sudah ia buktikan selama beberapa kali sehingga ia lebih memilih untuk