Share

Bab 4: Masih Sangat Belia

Ivan yang telah berpakaian rapi itu kini mendekati putranya yang sedang sarapan bersama adiknya. “Papa mau berangkat dulu, Ken,” pamit Ivansembari mencium salah satu pipi Kenzo yang tumpah-tumpah.

Ya, dia memang bocah yang berat badannya lumayan berat. Matanya sipit, rambut kepalanya lebat serta mempunyai gigi yang ompong di bagian tengahnya karena terlalu banyak makan coklat dan candy.

“Dadah, Papa,” balas Kenzo dengan suara yang kurang jelas lantaran mulutnya penuh dengan kunyahan makanan.

“Apa kamu tidak bisa menyuapi anak-anak, Fer? Mulut Kenzo sampai penuh seperti ini?” Ivan keheranan melihat bagaimana Fero menyuapi anaknya yang terlihat asal-asalan. “Bisakah kau menyuapkannya sedikit demi sedikit?”

“Ah, buktinya dia diam saja, tidak protes. Hanya kau saja yang terlalu banyak aturan,” balas Fero tak mau mengalah.

“Dia diam karena dia tidak mengerti,” kata Ivan kemudian.

Fero hanya mengangkat bahunya. “I dont care,” ucapnya sambil meletakkan piring makanan ke meja.

"Sudahlah, aku juga mau pulang,” kata Fero kemudian ikut melenggang seperti Ivan keluar rumah.

“Mau ke mana lagi kamu?” tanya Ivan. Namun terdengar seperti sebuah peringatan. Meski Fero tak benar-benar menanggapinya.

“Mau ke rumah pacarku, lah.”

“Apa kelakuanmu akan selalu seperti ini?” Ivan memperingatkan adiknya yang masih terus bermain-main di usianya yang sudah cukup dewasa.

Seharusnya—dia sudah ikut menjadi bagian dari keberlangsungan berbagai usaha yang sedang dijalankan oleh Ayah mereka. Namun Fero tidak pernah memikirkan hal ini dan Ayahnya pun sudah tidak mau memedulikannya lagi. Beliau sudah terlalu lelah dengan sikapnya.

“Jangan menyalahkanku kalau dirimu sendiri belum tentu benar,” tegas Fero menjawab ucapan Ivan, membuat Abangnya terdiam seketika.

Terkadang Ivan juga merasa demikian. Seakan tak layak mengomentari kehidupan orang lain lantaran kehidupannya juga teramat buruk. Dan Kenzo adalah saksi bisu betapa kelamnya dunia masa lalunya.

Agak lama keduanya terdiam, sebelum akhirnya Fero kembali berujar, “Aku pulang dulu, Bang. Semoga kau cocok sama dia, ya. Jangan ganti-ganti orang terus kalau kau tidak mau pusing mencari gantinya.”

Fero mendekatkan diri ke wajah Abangnya dan berkata setengah berbisik, “Dia cantiknya melebihi rata-rata, Bang. Aku harap kau tidak hanya memperkerjakannya saja untuk merawat anakmu, tapi meminangnya menjadi istri. Biar bisa merawatmu juga.” Fero menepuk pundaknya sebelum akhirnya mendahuluinya menuju ke mobil. Lantas meninggalkan pelataran rumah ini.

Ivan tak mengangguk, tak juga menggubris apa yang barusan Fero katakan. Tidak semudah itu mencari istri, apalagi lelaki yang sudah mempunyai status seperti dirinya.

Lagi pula setiap orang yang akan menjalin komitmen pasti harus melalui banyak proses untuk saling mengenal dan semua itu harus jelas, siapa dia, dari mana asal-usulnya, bibit bebet serta bobotnya. Bukan asal comot celup seperti teh sari melati.

Beberapa menit berlalu. Ivan kini sudah sampai di gedung kantor (central room). Lelaki itu tengah berjalan di tengah-tengah puluhan meja sejajar rapi yang membentuk barisan seperti susunan meja anak sekolah.

Hanya saja ruangannya dibagi menjadi empat deret meja. Dua deret sebelah kanan dan dua deret sebelah kiri yang masing-masing berhadapan. Tengah-tengahnya diberi space lebar untuk lalu lintas.

Sederet karyawan mejanya diberi pembatas setinggi hidung agar bisa dengan mudah saling untuk tetap terhubung.

Semua yang melihat Ivan sontak menyapa dan membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan. Dia berada di sini sekarang, sebagai atasan mereka, direktur utama Wijaya group. Salah satu perusahaan properti di Indonesia.

Dia sudah berada di depan lift yang langsung menghubungkannya ke lantai ruangannya. Begitu sampai di lantai yang dituju, ibu jarinya menekan mesin mini yang ada di dekat pintu, membuat otomatis pintu terbuka.

Jadwal atau agenda hari ini sudah tersusun rapi di meja, seorang asisten telah mempersiapkannya sebelum ia datang.

“Apa jadwal hari ini terlalu padat, Pak? Kalau iya bisa saya cancel salah satunya atau saya atur ulang kembali,” ujar sang asistennya yang bernama Deni.

“Tidak perlu, begitu saja. Saya akan menghubungimu lagi kalau perlu.”

“Baik, kalau begitu saya kembali ke ruangan,” pamit Deni undur diri.

Begitu Deni keluar, Ivan memasukkan tangannya ke dalam kantong saku jasnya untuk mengambil ponsel. Namun tiba-tiba, ada yang terjatuh dari sana hingga menyentuh lantai dan menimbulkan bunyi. Yakni sebuah kartu identitas atau KTP seorang gadis yang mulai hari ini akan menjadi Nanny putranya.

Ivan berjongkok untuk mengambil benda tersebut, kemudian membaca tulisan yang tertera di sana.

Yang menjelaskan :

Nama : Laura Stepin Adinata

Tempat tanggal lahir : 09 09 199X

Tanpa sadar, bibir itu mengulum senyum. “Nama yang bagus, tapi masih muda sekali.”

Berbeda jauh dengannya yang kini telah berusia kepala tiga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status