“Ini kamarmu, Laura,” kata Mira menunjukkan kamar untuk teman barunya.
Sebuah kamar petak berukuran tiga kali dua meter. Tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Di sana terletak kasur singgle bed, pas untuk ditempati sendiri.Lumayan bersih dan nyaman meskipun tidak menggunakan AC. Namun, apakah Laura bisa tahan tidur di tempat seperti ini? Tetapi ia juga tidak mungkin melayangkan protes, sebab memang tidak sepatutnya dia mengatakan hal itu mengingat siapa dirinya sekarang yang juga sama dengan posisi Mira.“Kenapa? Jelek ya, kamarnya,” ujar Mira lagi lantaran sekian lama gadis itu berdiri terdiam tanpa melihat ke dalam tanpa menyahuti perkataannya.“Tidak, Mbak Mira. Ini cukup untukku,” kata Laura kemudian. Memasuki kamarnya dan meletakkan kopernya di sana.“Ya sudah, kau bereskanlah dulu pakaianmu. Ganti pakaianmu dengan pakaian yang lebih mudah digunakan untuk bekerja. Agar langkahmu tidak kesusahan.”Mira melihat keseluruhan pakaian yang Laura kenakan. Dress merah dengan potongan di atas lutut. Memang agak longgar di bagian bawahnya, namun cukup membuat pahanya terekspos sehingga harus berhati-hati jika ia berjongkok.“Baiklah, oke.” Laura mengangguk-anggukkan kepalanya.“Apa Laura juga sudah makan?” Mira bertanya lagi, “kalau belum, nanti ambil sendiri, ya, di belakang. Kalau begitu, saya tinggal dulu.”“Iya, Mbak.”Selepas Mira pergi, Laura langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur yang berukuran mini tersebut. Dengan tanpa sadar, matanya justru terpejam, lalu tidur sampai beberapa jam kemudian. Membiarkan Mira kerepotan sendiri.Laura baru bangun ketika waktu adzan dzuhur menjelang. Dengan cepat kilat gadis itu mandi sebelum akhirnya turun ke bawah menampakkan diri.“Laura, apa kamu sakit? Kamu kan hari ini sudah harus mulai bekerja, kenapa kamu malah tidur, saya kerepotan sendirian,” gerutu Mbak Mira pada saat gadis itu mendekat.Wanita dewasa yang diperkirakan berusia pertengahan baya tersebut sedang kepayahan sendiri mengurus Kenzo.Sementara lantainya berantakan. Belum sempat dibereskan dari tadi pagi seperti yang terakhir kali Laura lihat.“Aku ketiduran, Mbak. Maaf, ya. Habis aku capek banget,” jawab Laura merasa tidak enak.Mira tampak kesal dan berkata dengan agak ketus, “Bantu aku jaga Kenzo, aku mau membereskan rumah. Jangan meleng dia lumayan aktif, kasih dia makan, kasih dia susu sebagaimana tugasmu menjadi seorang Nanny. Kamu mengerti kan?”“Baik, Mbak. Maaf, ya,” kata Laura lagi semakin merasa tidak enak.“Ya, kali ini aku maafkan. Tapi lain kali jangan kamu ulangi lagi Laura.” Mira langsung pergi ke belakang selepas dia berbicara seperti itu.Tinggallah Laura dengan anak asuhnya. Dia kebingungan. Apa yang pertama kali harus ia lakukan mendapati anak sekecil ini? Kapan jam dia tidur? Kapan dia harus menyuapinya makan atau minum susu? Kapan dia harus mandi?Ah, ini memusingkan sekali. Ia benar-benar tidak berpengalaman tentang ini selain shoping di Mall, makan-makan enak dan liburan menghabiskan uang Papanya.Astaga! Kenapa dia harus menjadi wanita yang sedemikian menyedihkan?Tidak pernah dalam benaknya berpikir jika suatu saat nanti akan menjadi seorang pengasuh.Ternyata mudah sekali Tuhan mengambil segala yang dia punya. Bahkanhanya dalam sekejap saja.Laura mendekat, berjongkok melihat anak asuhnya yang sedang fokus bermain dengan mulutnya yang cerumut karena makanan yang dia makan belepotan sampai ke pipi-pipinya.Gadis itu melihat ke sekeliling mencari-cari tisu basah. Tetapi tampaknya hanya ada tisu kering. Lantaran tak ingin terlalu banyak bertanya, Laura mengedar ke seluruh ruangan, mencari-cari kamar Kenzo. Sayangnya, ia tetap tidak tahu di mana benda itu berada.“Ken ...,” Laura menyerah dan akhirnya memutuskan untuk bertanya.Bocah itu menoleh sekilas.“Kamar Kenzo ada di mana?”“Kamarnya Kenjo ada di sana!” jawabnya sambil tangannya mengacung ke kamar yang tadi pagi terlihat ada Ivan keluar dari sana.“Oh, iya, pinter sekali ini, anak gemoy ....” Laura mencubit pipinya dengan sangat gemas. Kemudian berdiri untuk memasuki kamar itu.Awalnya, dia kurang yakin dengan kamar ini. Apa iya mereka tidur di dalam kamar yang sama? Batinnya bertanya-tanya.Namun ia tetap memasuki kamar tersebut dengan mudah karena tidak dikunci.Sesampainya di dalam, Laura menatap ke sekeliling. Mencari-cari di mana letak tisu basah tersebut.Tetapi sebelum menemukannya, dia malah tertegun dengan kamar ini.Kalau ini adalah kamar Kenzo, kenapa tidak ada ciri khas kamar anak kecil di dalamnya? Sebab yang ada hanya tatanan ruangan yang simpel dengan harum khas laki-laki, serta merta terpajang beberapa lukisan abstrak dan warna cat dinding yang cenderung gelap.Apa Kenzo sedang mengerjainya?Tetapi hanya sekilas Laura memikirkan hal demikian. Karena selanjutnya, ia telah menemukan apa yang dicari di kamar ini.“Nah, itu dia tisunya,” ujarnya seraya meraih tisu basah bergambar baby itu di atas nakas. Namun pada saat ia berbalik arah, Laura berteriak keras dan sontak menjatuhkan tisu basahnya ke lantai.Lantaran tiba-tiba, Laura hampir bertubrukan dengan seorang laki-laki.Perempuan itu membuka cadarnya dan terlihatlah wajah yang setengahnya rusak yang tidak diketahui apa sebabnya. Entah karena kecelakaan, atau memang berasal dari kalbu.“Aku Nadia,” katanya dengan lirih dan bersamaan dengan air mata yang mencuat keluar tanpa bisa dikendalikan, “seharusnya kau mengenaliku.”Ivan tertegun. Matanya menyorot dalam perempuan yang sedang menggarap dia mengenalinya. Bibirnya kelu untuk berucap. Tubuhnya memaku karena keterkejutannya.Kini pikirannya membayang kenangan beberapa tahun silam. Tepatnya di sebuah hotel dalam keadaan sangat tersiksa karena jebakan obat perangsang uang ditaruh ke dalam minumannya.Di sanalah ia menyeret seorang wanita tak bersalah untuk menjadi sasarannya dan menyebabkan Kenzo terlahir di dunia. Namun ia tak menyangka, seperti inilah bentuk wanita yang telah ia lukai.“Kamu ....” Ivan berdecak dan menggeleng, “kenapa kamu harus bersembunyi? Aku mencarimu selama ini.”“Karena sebab inilah aku selalu bersembunyi dari kalian,” jawab Na
Ivan tidak bisa menahan amarahnya tatkala pria itu mendengar Mira mengatakan, bahwa Nia membawa anaknya pergi kira-kira semenjak dua jam yang lalu tanpa izinnya dan tanpa ia melihat sama sekali kepergiannya.Rasa panik, cemas, gelisah, sakit bercampur menjadi satu. Entah bagaimana cara membuatdirinya menjadi lebih baik. Dia hampir saja tidak bisa menguasai dirinya lagi.“Memangnya dari tadi kamu ada di mana?” tanya Ivan dengan nada meninggi.“Saya tadi ada di atas. Saya pikir mereka hanya main bersama di halaman rumah. Tapi tahu-tahu sudah nggak ada suara apa-apa lagi. Sudah saya cari ke sekeliling, sudah saya telepon dia juga. Tapi ponselnya memang nggak aktif lagi.”“Ceroboh kamu!”“Maafkan saya, Pak. Saya janji akan bertanggung jawab mencari Nia.”“Melalui apa?”“Saya akan berusaha menghubungi keluarga-keluarganya, Pak.”“Ivan!” seru Laura menghentikan suaminya yang sedang kalap, “kamu nggak boleh bersikap seperti itu sama orang yang lebih tua. Nggak ada gunanya juga kamu marah-mar
“Ini bener?” tanya Laura memastikan. Dia mengambil stick itu dari tangan Ivan untuk ia pastikan sendiri hasil tes ulang tersebut. “Kok di aku nggak nampak tadi?”“Penggunaannya kurang benar.”“Masa, sih? Aku sesuai petunjuk, kok.” Mata Laura berkaca-kaca saat ini, hingga satu kedipan saja buliran itu langsung menetes. “Aku nggak tahu harus ngomong apa.”“Harus bersyukur, itu saja,” jawab Ivan kemudian. Lagi-lagi pria itu mencium keningnya dengan begitu lembut dan dalam.Rasa sayangnya berkali-kali lipat bertambah besar untuk istrinya. Tidak ada yang kurang lagi dalam hidup Ivan.Dia sudah mapan, punya anak laki-laki yang tampan, punya istri cantik, kaya, dan muda, dan sekarang akan di anugerahi lagi buah cinta dari pernikahan mereka.“Kita ke kamar,” kata Ivan menggendong tubuh Laura yang masih dalam keadaan lemas karena perutnya wara-wiri terkuras.“Aku bisa jalan sendiri. Aku nggak selemah itu kali, Om tua,” ucap Laura merasa keberatan diperlakukan seposesif ini.“Saya akan menjagam
Setelah menduga kemungkinan besar bahwa Laura sedang mengandung, pria itu langsung mengeluarkan motor dari garasinya, berniat untuk menuju ke apotek terdekat.Ivan bukanlah orang yang suka menunggu. Percuma saja dia menyuruh seseorang untuk membelikan alat tes kehamilan kepada Deni atau siapa pun jika ujung-ujungnya mendapat jawaban mengecewakan, misal: ‘nanti kalau sempat’ atau ‘sebentar lagi’ tapi lama, begitulah kiranya dan alasan macam-macam lainnya.Pun jika ia memesan online, pasti akan membutuhkan waktu yang lama juga. Tidak ada yang lebih cepat daripada itu selain harus berangkat sendiri. Toh, tidak terlalu jauh juga, pikirnya.Deru kendaraan motor besar itu mulai berbunyi setelah dinyalakan. Namun baru ia akan menarik gasnya, Laura berlari-lari kecil untuk mendekatinya. Ivan mendadak ngeri melihat Laura berlarian seperti itu. Takut dia sampai terjatuh.“Jangan lari-lari, Laura,” ucap Ivan memperingatinya.“Aku mau ikut,” rengeknya sudah seperti anak kecil saja. Dia mendekati m
Ivan memejamkan matanya merasakan sebuah kenikmatan yang tiada duanya. Lepas sudah semua beban yang menyiksanya selama Laura sakit.Mengatur nafasnya yang memburu, Ivan kembali mengecup bibir Laura dan melumatnya penuh perasaan. Bagian atas mau pun bawah secara bergantian. Setelah itu, ia memberi jeda sesaat sebelum melepaskan diri.Pria itu membiarkan semua benihnya masuk terlebih dahulu ke dalam rahim istrinya agar kelak dapat tumbuh menjadi zuriat di sana.Sembari menunggu beberapa menit lamanya, Ivan meletakkan kepalanya di atas dada Laura, kemudian perempuan itu menyambutnya dengan usapan-usapan lembut di kepalanya dengan sangat sayang.“Thank you, Sayang. Kamu yang terbaik,” ucap Ivan dengan napas yang masih terengah-engah.Laura tak menjawab dia hanya mengangguk dan dapat Ivan rasakan karena dagu wanita itu menempel di kepalanya.Lima menit setelah berkata demikian, Ivan menjatuhkan diri ke samping sang istri.“Aku harus membersihkan diri lebih dulu. Takut kalau ada seseorang y
Begitu terlihat mobil mewah berhenti di depan rumah Laura, satu security penjaga rumah Laura membukakan pintu gerbang.Beliau Pak Raman, tersenyum menyambut Laura dan menyapa keduanya.“Ya Allah, Non. Akhirnya saya bisa ketemu sama Non Laura lagi. Makin cantik lagi,” katanya dengan raut wajah yang begitu bahagia.“Pak Raman ... gimana kabarnya Pak, Raman?” tanya balik Laura dari dalam mobil. Wanita itu tersenyum ramah, masih dengan memangku Kenzo yang tidur nyenyak di pangkuannya.“Alhamdulillah baik, Non. Selamat untuk Non Laura dan Pak Ivan, atas pernikahannya semoga langgeng, akur terus dan cepat diberi momongan.”“Terima kasih Pak Raman,” jawab Laura. Sedangkan Ivan menanggapinya dengan kepala yang agak ditundukkan.Pembicaraan dicukupkan sementara, Ivan kembali melanjutkan laju mobilnya agar segera dapat terparkir di halaman rumah itu.Lagi pula tidak nyaman juga mengobrol dengan mobil di tengah-tengah jalan begini.Terbayar sudah rasa rindu Laura terhadap rumah ini. Matanya mena