Laura harus terhempas dari rumahnya ketika Ayahnya mengalami kebangkrutan. Hingga akhirnya, karena keadaan yang mendesak membuatnya terpaksa menjadi Nanny di rumah seorang Duda beranak satu yang sikapnya begitu menyebalkan. Tidak pernah Laura bayangkan sebelumnya bakalan serumah dengan lelaki menyebalkan itu hingga tak jarang mereka terlibat cekcok hampir setiap harinya. Tapi tanpa mereka sadari, perlahan cinta mulai tumbuh. "Tante? Apa Tante mau jadi Mommy aku?" tanya bocah kecil yang bernama Kenzo. Anak berusia tiga tahun yang selama beberapa lama ini menjadi anak asuhnya.
View MoreTaksi baru saja melesat setelah menurunkan seorang gadis elite. Roda koper mewah yang biasanya berputar di lantai licin itu kini harus diseret di atas aspal kering mengikuti ke mana pun pemiliknya pergi.
Aspal jalan menghitam pekat. Basah menimbulkan becek dan genangan air sana sini. Langit masih kelabu, dan dari bayang suram awan tersebut masih menebarkan percikan air menimpa wajah cantiknya.
“Sial banget sih, hidup gue. Tenyom tenyom tenyom!” ujarnya terus mengumpat. Tenyom adalah kata monyet yang dibalik.
Gadis muda itu bernama Laura Stepin, masih sangat muda berusia dua puluh dua tahun. Dia sedang menjalani masa-masa sulit. Akibat kecurangan rekan kerja Ayahnya, perusahaan Adinata Grup mengalami kerugian yang sangat besar hingga nyaris gulung tikar.
Sebenarnya—ada dua orang rekannya yang lain menawarkan bantuan, namun karena jumlahnya terlalu besar, Adinata, Ayah dari Laura menolaknya dengan berbagai alasan. Entah apa penyebab yang lain, Laura tidak tahu dan enggan mengetahuinya. Apa yang dilihatnya, sudah bisa mewakili semua pertanyaan.
Laura seperti terhempas begitu dalam, kehidupannya sekarang begitu menyedihkan. Laura pikir kehidupannya akan selalu menyenangkan bagai seorang putri raja yang bisa memiliki apa pun dalam sekejap saja hanya dengan satu jentikan jari. Tapi kini—lihatlah nasibnya menyedihkan sekali. Dia seperti seorang gelandangan.
Teman-temannya menjauhinya begitu tahu ia sudah Jatuh miskin. Bahkan tidak mau menggubris teleponnya sama sekali. Benar-benar teman kurang ajar.
Sekarang Laura baru tahu, bagaimana mereka sebenarnya. Mereka bukan sebenar-benarnya teman karena semua meninggalkannya di saat sedang kesusahan begini.
Laura menatap rumah bercat tembok warna abu-abu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Rumah sepupunya yang bernama Yuna.
Dia mengambil gawainya, lalu menghubungi seorang gadis yang umurnya hampir sama dengannya, “Yun, aku ada di dekat rumah kamu sekarang.”
“Hah, kamu ada di sekitar sini? Di mana?”
“Depan rumah kamu, ada di bawah pohon.”
“Tunggu-tunggu, sebentar.”
Tak berapa lama kemudian, suara dari seberang kembali menyahut, “Kamu lihat ke atas deh sekarang.”
Laura mendongakkan kepalanya ke atas, dia melihat sebelah tangan melambai-lambai. Milik seorang gadis yang sedang ia hubungi sekarang ini.
“Kamu ngapain bawa-bawa koper?”
"Nanti aku ceritain. Aku masuk, ya.”
“Masuklah. Rumah nggak aku kunci, kok. Soalnya aku lagi nungguin kesayanganku.”
Panggilan ditutup, Laura masuk ke dalam gerbang. Lantas masuk ke dalam rumah untuk menemui sang sepupu yang kini berada di atas balkon.
“Yuna,” ucap Laura begitu mereka bertemu. Keduanya langsung berpelukan erat.
Yuna merenggangkan pelukan, “Aku udah, tahu kemaren Papa aku bilang katanya Om Adi bangkrut. Tapi aku nggak tahu kamu sampai pergi dari rumah begini.”
“Iya, aku mau mandiri, Yun. Boleh ‘kan? Selama beberapa hari ini aku nginap di sini?”
“Boleh, tapi jangan lama-lama, ya. Soalnya aku malas menampung orang terlalu lama di rumahku. Aku juga punya privasi yang nggak boleh kamu tahu,” jawab Yuna.
Dari kasak-kusuk yang Laura dengar, katanya Yuna sering memasukkan para pejabat masuk ke dalam rumah. Pekerjaannya memang begitu setelah orang tuanya tiada—untuk apalagi kalau bukan untuk bertahan hidup?
“Tunggu sampai aku dapat kerja, ya. Kasih waktu aku tiga hari, gimana?”
Yuna tampak berpikir.
“Aku kan saudaramu, Yun. Bukan orang lain. Jadi tolong dipertimbangkan,” sambung Laura lagi.
“Kartu kreditku dah mencapai limit karena aku terlalu boros.” Itu juga salah satu penyebab Ayahnya tak memiliki tabungan yang cukup untuk menopang perusahaan yang kolaps.
“Baiklah, maksimal hanya tiga hari. Setelah itu, dapat kerjaan atau nggak, kamu tetap harus pergi. Tapi aku nggak mau melepasmu begitu aja, kok. Pasti aku bantu carikan kamu tempat tinggal yang murah di sekitar sini. Aku bakalan kasih kamu pegangan juga.”
‘Baiknya jangan, deh. Takut uang haram,' batin Laura. “Nggak usah, sedikitnya aku masih pegang, kok, Yun. Makasih, ya.”
Selanjutnya, Yuna memberitahukan Laura, di mana dia harus beristirahat sekarang. Mereka juga terlibat obrolan ringan seputar apa tujuan ke depannya nanti. Ya, paling tidak, Laura harus segera melamar kerja untuk menopang hidupnya sendiri.
***
Laura kini sedang berada di depan laptopnya matanya menatap awas layar berukuran kurang lebih enam belas inci tersebut. Satu tangannya memegangi kepalanya.
Pusing. Sudah dua hari berlalu, namun masih belum menemukan lowongan kerja yang cocok. Belum lagi ia memikirkan nasib ayahnya yang sekarang tinggal di rumah adiknya yang lain.
Ting tong!
Bel berbunyi, Laura sontak menghentikan aktivitasnya. Menuju ke pintu melihat siapa yang datang. “Ya, cari siapa ya, Mas?”
“Kamu siapa? Yuna mana?”
“Aku sepupunya, Yuna ada di dalam.”
Tanpa izin, tanpa bas-basi lelaki itu masuk begitu saja ke dalam rumah.
“Aku pacarnya, udah biasa. Jadi nggak usah heran,” katanya tanpa Laura bertanya. “Sayang!” panggil lelaki itu kepada Yuna, “turun, aku dah di bawah.”
“Ya sebentar!” seru Yuna dari atas, tak berapa lama kemudian gadis itu turun, tetapi sudah dengan memakai pakaian siap pergi.
“Tumben datang lebih cepat,” kata Yuna menatap lelaki di depannya.
“Iya, aku ingin cepat-cepat bertemu denganmu.”
“Receh banget, sih.” Yuna memutar bola matanya malas. “Eh, kenalin, ini sepupuku. Kamu udah kenalan?”
Lelaki yang bertubuh sedang itu langsung mengulurkan tangannya, “Fero.”
“Laura,” balas Laura yang juga menjabat tangannya.
“Dia lagi tidur di sini, sementara,” Yuna menyahut.
“Pantas aku nggak boleh tidu—”
“Sstttt!” sergah Yuna. Namun terlambat, Laura sudah mengetahui maksud ucapan Fero barusan.
“Kamu ada info lowongan nggak? Dia butuh lowongan. Secepatnya.” Sambil menatap ke arah Laura.
“Aku nggak punya info lowongan pekerjaan yang cocok untukmu. Nyari kerja itu nggak gampang. Lagi pula gadis berpenampilan sepertimu, memangnya mau kerja serabutan?”
“Aku bisa apa aja, kok,” Laura menyela. “Yang penting secepatnya.”
“Secepatnya?” ulang Fero sambil mengernyit. Agak lama pria itu berpikir, setelahnya mengatakan, “Jadi Nanny di rumah abangku, mau?”
Laura tampak berpikir. Bukankah Nanny adalah pengasuh anak-anak?
“Abangku bukan duda bukan seorang suami juga. Entah apa sebutan yang pas buat dia. Tapi dia lagi nyari nanny buat anaknya yang berumur tiga tahunan kalau aku nggak salah. Kalau kamu mau, aku antarkan kamu ke rumahnya besok.”
“Ya, aku mau,” kata Laura tanpa pikir panjang. Yang terpenting adalah secepatnya pergi dari rumah ini. Dia tidak enak jika terus-terusan menumpang.
***
To be continued.
Perempuan itu membuka cadarnya dan terlihatlah wajah yang setengahnya rusak yang tidak diketahui apa sebabnya. Entah karena kecelakaan, atau memang berasal dari kalbu.“Aku Nadia,” katanya dengan lirih dan bersamaan dengan air mata yang mencuat keluar tanpa bisa dikendalikan, “seharusnya kau mengenaliku.”Ivan tertegun. Matanya menyorot dalam perempuan yang sedang menggarap dia mengenalinya. Bibirnya kelu untuk berucap. Tubuhnya memaku karena keterkejutannya.Kini pikirannya membayang kenangan beberapa tahun silam. Tepatnya di sebuah hotel dalam keadaan sangat tersiksa karena jebakan obat perangsang uang ditaruh ke dalam minumannya.Di sanalah ia menyeret seorang wanita tak bersalah untuk menjadi sasarannya dan menyebabkan Kenzo terlahir di dunia. Namun ia tak menyangka, seperti inilah bentuk wanita yang telah ia lukai.“Kamu ....” Ivan berdecak dan menggeleng, “kenapa kamu harus bersembunyi? Aku mencarimu selama ini.”“Karena sebab inilah aku selalu bersembunyi dari kalian,” jawab Na
Ivan tidak bisa menahan amarahnya tatkala pria itu mendengar Mira mengatakan, bahwa Nia membawa anaknya pergi kira-kira semenjak dua jam yang lalu tanpa izinnya dan tanpa ia melihat sama sekali kepergiannya.Rasa panik, cemas, gelisah, sakit bercampur menjadi satu. Entah bagaimana cara membuatdirinya menjadi lebih baik. Dia hampir saja tidak bisa menguasai dirinya lagi.“Memangnya dari tadi kamu ada di mana?” tanya Ivan dengan nada meninggi.“Saya tadi ada di atas. Saya pikir mereka hanya main bersama di halaman rumah. Tapi tahu-tahu sudah nggak ada suara apa-apa lagi. Sudah saya cari ke sekeliling, sudah saya telepon dia juga. Tapi ponselnya memang nggak aktif lagi.”“Ceroboh kamu!”“Maafkan saya, Pak. Saya janji akan bertanggung jawab mencari Nia.”“Melalui apa?”“Saya akan berusaha menghubungi keluarga-keluarganya, Pak.”“Ivan!” seru Laura menghentikan suaminya yang sedang kalap, “kamu nggak boleh bersikap seperti itu sama orang yang lebih tua. Nggak ada gunanya juga kamu marah-mar
“Ini bener?” tanya Laura memastikan. Dia mengambil stick itu dari tangan Ivan untuk ia pastikan sendiri hasil tes ulang tersebut. “Kok di aku nggak nampak tadi?”“Penggunaannya kurang benar.”“Masa, sih? Aku sesuai petunjuk, kok.” Mata Laura berkaca-kaca saat ini, hingga satu kedipan saja buliran itu langsung menetes. “Aku nggak tahu harus ngomong apa.”“Harus bersyukur, itu saja,” jawab Ivan kemudian. Lagi-lagi pria itu mencium keningnya dengan begitu lembut dan dalam.Rasa sayangnya berkali-kali lipat bertambah besar untuk istrinya. Tidak ada yang kurang lagi dalam hidup Ivan.Dia sudah mapan, punya anak laki-laki yang tampan, punya istri cantik, kaya, dan muda, dan sekarang akan di anugerahi lagi buah cinta dari pernikahan mereka.“Kita ke kamar,” kata Ivan menggendong tubuh Laura yang masih dalam keadaan lemas karena perutnya wara-wiri terkuras.“Aku bisa jalan sendiri. Aku nggak selemah itu kali, Om tua,” ucap Laura merasa keberatan diperlakukan seposesif ini.“Saya akan menjagam
Setelah menduga kemungkinan besar bahwa Laura sedang mengandung, pria itu langsung mengeluarkan motor dari garasinya, berniat untuk menuju ke apotek terdekat.Ivan bukanlah orang yang suka menunggu. Percuma saja dia menyuruh seseorang untuk membelikan alat tes kehamilan kepada Deni atau siapa pun jika ujung-ujungnya mendapat jawaban mengecewakan, misal: ‘nanti kalau sempat’ atau ‘sebentar lagi’ tapi lama, begitulah kiranya dan alasan macam-macam lainnya.Pun jika ia memesan online, pasti akan membutuhkan waktu yang lama juga. Tidak ada yang lebih cepat daripada itu selain harus berangkat sendiri. Toh, tidak terlalu jauh juga, pikirnya.Deru kendaraan motor besar itu mulai berbunyi setelah dinyalakan. Namun baru ia akan menarik gasnya, Laura berlari-lari kecil untuk mendekatinya. Ivan mendadak ngeri melihat Laura berlarian seperti itu. Takut dia sampai terjatuh.“Jangan lari-lari, Laura,” ucap Ivan memperingatinya.“Aku mau ikut,” rengeknya sudah seperti anak kecil saja. Dia mendekati m
Ivan memejamkan matanya merasakan sebuah kenikmatan yang tiada duanya. Lepas sudah semua beban yang menyiksanya selama Laura sakit.Mengatur nafasnya yang memburu, Ivan kembali mengecup bibir Laura dan melumatnya penuh perasaan. Bagian atas mau pun bawah secara bergantian. Setelah itu, ia memberi jeda sesaat sebelum melepaskan diri.Pria itu membiarkan semua benihnya masuk terlebih dahulu ke dalam rahim istrinya agar kelak dapat tumbuh menjadi zuriat di sana.Sembari menunggu beberapa menit lamanya, Ivan meletakkan kepalanya di atas dada Laura, kemudian perempuan itu menyambutnya dengan usapan-usapan lembut di kepalanya dengan sangat sayang.“Thank you, Sayang. Kamu yang terbaik,” ucap Ivan dengan napas yang masih terengah-engah.Laura tak menjawab dia hanya mengangguk dan dapat Ivan rasakan karena dagu wanita itu menempel di kepalanya.Lima menit setelah berkata demikian, Ivan menjatuhkan diri ke samping sang istri.“Aku harus membersihkan diri lebih dulu. Takut kalau ada seseorang y
Begitu terlihat mobil mewah berhenti di depan rumah Laura, satu security penjaga rumah Laura membukakan pintu gerbang.Beliau Pak Raman, tersenyum menyambut Laura dan menyapa keduanya.“Ya Allah, Non. Akhirnya saya bisa ketemu sama Non Laura lagi. Makin cantik lagi,” katanya dengan raut wajah yang begitu bahagia.“Pak Raman ... gimana kabarnya Pak, Raman?” tanya balik Laura dari dalam mobil. Wanita itu tersenyum ramah, masih dengan memangku Kenzo yang tidur nyenyak di pangkuannya.“Alhamdulillah baik, Non. Selamat untuk Non Laura dan Pak Ivan, atas pernikahannya semoga langgeng, akur terus dan cepat diberi momongan.”“Terima kasih Pak Raman,” jawab Laura. Sedangkan Ivan menanggapinya dengan kepala yang agak ditundukkan.Pembicaraan dicukupkan sementara, Ivan kembali melanjutkan laju mobilnya agar segera dapat terparkir di halaman rumah itu.Lagi pula tidak nyaman juga mengobrol dengan mobil di tengah-tengah jalan begini.Terbayar sudah rasa rindu Laura terhadap rumah ini. Matanya mena
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments