Laura menggantikan aktivitas Si Mbak senior yang sedang menyuapi Kenzo lantaran wanita paruh baya itu sedang menuju ke kamar kecil. Namun aktivitasnya kini terhenti pada saat Fero memanggilnya.
"Laura,” ucapnya seraya berjalan mendekat.Laura menoleh, “Ya, kenapa, Kak?”“Kamu dipanggil sama Abang di ruangannya.”Laura terdiam beberapa saat sebelum akhirnya gadis itu menjawab dengan suara pelan, “Aku takut,” katanya Laura tanpa bisa menyembunyikan raut wajahnya yang demikian.“Dia emang punya wajah yang lebih seram daripada aku, tapi aslinya baik.”Laura menyerahkan piring makan Kenzo kemudian menatap Fero. “Aku akan menemuinya,” ujar Laura kemudian setelah membulatkan tekad. 'Hanya begitu saja kamu takut, jangan cengeng! Kamu pemberani!'“Ya, itu ruangannya.” Fero menunjuk ke arah samping kolam renang, tepat di bagian paling ujung. “Kamu ketuk saja pintunya.”Laura beranjak berdiri, lantas mendekati pintu tersebut. Dalam hatinya meneriaki nasibnya yang begitu buruk. Kenapa ia bisa sampai berada di sini dan menjadi serupa dengan seorang budak, begitulah istilahnya.Jatuhlah semua harga dirinya yang ia junjung tinggi. Sebelumnya, Laura tidak pernah mengenal kemiskinan. Ini sangat berat baginya. Niscaya jika Laura tak terus mengalihkan pikirannya dari semua penderitaannya tersebut, maka dia akan menjadi manusia yang benar-benar gila.Matanya terpejam, tangannya terangkat untuk mengetuk. Namun ketika tangannya bergerak untuk mengetuk pintu tersebut, tiba-tiba tangannya merasa di cekal sehingga ia cepat-cepat membuka mata.“Eh, maaf, Pak.” Laura buru-buru menarik tangan. Kulitnya langsung meremang merasakan sentuhan halus tangan berotot tersebut. Ia mengagumi wajahnya yang rupawan meskipun tak menunjukkannya. GGS: Ganteng-Ganteng Seram.Ivan menatapnya, “Lain kali kalau mau mengetuk pintu jangan sambil merem.”"Heee ...." Laura hanya meringis malu.“Masuklah! Kamu lama sekali,” titahnya tak terbantahkan.Dengan langkah berat, Laura mengekori tubuh tegap dan punggung lebar orang bau kentut itu ke ruangannya yang tidak terlalu sempit, juga tak terlalu lebar. Pas sekali untuk ditempati sendiri. Di dalamnya, terdapat satu meja kerja, dua kursi menghadap meja, dan satu sofa berwarna abu-abu memanjang yang hanya bisa diduduki dua orang.“Duduk!” katanya bermaksud mempersilakan. Hanya saja kata dan nada yang digunakan terlalu singkat.Laura menarik kursi, lantas duduk di depannya. Gadis itu mencoba menutupi kegugupannya dengan memilin jari di bawah meja. Dia tak ubahnya seperti calon karyawan yang sedang di interview oleh seorang HRD.“Berapa usiamu?” “Hah?” Laura tergagap. Kenapa hal yang ditanyakan pertama kali adalah umur? Hei, yang benar saja!“Oh, mau dua puluh tiga tahun, Pak,” jawabnya tak berapa lama. Dalam hati Laura bertanya-tanya. Apa perlu lelaki ini mengetahui umurnya? Bukannya yang terpenting dalam menjadi seorang Nanny adalah bisa menjaga anaknya dengan baik, berapa pun usia orang itu.“Kalau Bapak sendiri berapa?” tanya Laura dengan konyol.“Apa perlu saya jawab?”“Tapi Bapak juga menanyakan umurku.”“Iya karena saya akan memperkerjakanmu. Bagaimana mungkin saya tidak mengetahui umurmu. Kamu akan menjaga putraku nantinya.”“Peace Pak.” Laura mengacungkan dua jarinya ke atas membentuk huruf V. ‘Ya Tuhan, galak sekali. Aku nggak janji bisa bertahan di sini lebih lama, ya.’“Ya sudah, mana KTP-mu.”Lantaran Laura tak kunjung bergerak, Ivan kembali mengulang. “Saya butuh KTP-mu karena saya membutuhkannya. Saya ingin tahu asal-usul kamu dari mana. Karena saya tidak ingin orang sembarangan merawat anak saya,mengerti?”‘Tidak jelas asal-usulnya? Yang benar saja! Aku anak dari perusahaan Adinata Grup. Semua orang mengenalku. Hanya kau saja yang tidak mengenalku!’Walaupun sebenarnya Laura tidak suka diperlakukan demikian, namun Laura segera dapat memahami. Dirinya bukan siapa-siapa lagi sekarang. Dia buka keluarga terpandang seperti dulu lagi terkecuali hanya tinggal nama saja.Dengan berat hati, Laura menyodorkan KTP-nya kepada lelaki tersebut. Namun bukannya dikembalikan, Ivan malah mengantong kartu tersebut ke dalam sakunya.Laura kebingungan, “Yah, Pak, kok dimasukin?”“Saya akan mengembalikannya setelah saya percaya kamu benar-benar orang baik-baik. Saya menerimamu di sini hanya untuk sementara waktu. Saya akan melihat potensi kamu selama sebulan ke depan. Kalau kinerjamu baik, kamu akan menandatangani surat kontrak kerja di sini selama satu tahun. Kalau tidak, silahkan cari pekerjaan di tempat lain.”“Tapi KTP-ku ...,” ujar Laura setengah mengeluh. “Bukankah sudah kujelaskan tadi?” tanya Ivan dengan sorot mata menajam. “Apa kau masih belum mengerti juga?” Ivan beranjak berdiri dan memasukkan beberapa barang-barang keperluannya ke dalam tas. “Saya harus berangkat sekarang,” katanya lagi kemudian berlalu dari hadapannya. Namun sebelum ia benar-benar keluar dari pintu, lelaki itu kembali menoleh dan menunjuk kuku tangan Laura. “Oh, iya, saya tidak mau kamu memelihara kukumu yang panjang itu karena bisa melukai anak saya. Di mana kamarmu, di mana tempatmu, nanti Mbak Mira yang akan menunjukkannya.”“Tapi—” baru saja Laura memuka mulut, Ivan langsung memotong.“Jangan banyak bertanya, saya buru-buru,” katanya lagi sebelum pria itu benar-benar pergi dari hadapannya.“Ih ..., resek banget, sih!” kesal Laura mengentakkan kakinyake lantai. “Amit-amit jabang bayi. Naudzubilahimindzalik, jangan sampai anak keturunanku kayak dia. Dasar mulut cabe! Aku doain dapat jodohnya cabe beneran!”Ivan yang telah berpakaian rapi itu kini mendekati putranya yang sedang sarapan bersama adiknya. “Papa mau berangkat dulu, Ken,” pamit Ivansembari mencium salah satu pipi Kenzo yang tumpah-tumpah.Ya, dia memang bocah yang berat badannya lumayan berat. Matanya sipit, rambut kepalanya lebat serta mempunyai gigi yang ompong di bagian tengahnya karena terlalu banyak makan coklat dan candy.“Dadah, Papa,” balas Kenzo dengan suara yang kurang jelas lantaran mulutnya penuh dengan kunyahan makanan.“Apa kamu tidak bisa menyuapi anak-anak, Fer? Mulut Kenzo sampai penuh seperti ini?” Ivan keheranan melihat bagaimana Fero menyuapi anaknya yang terlihat asal-asalan. “Bisakah kau menyuapkannya sedikit demi sedikit?”“Ah, buktinya dia diam saja, tidak protes. Hanya kau saja yang terlalu banyak aturan,” balas Fero tak mau mengalah.“Dia diam karena dia tidak mengerti,” kata Ivan kemudian.Fero hanya mengangkat bahunya. “I dont care,” ucapnya sambil meletakkan piring makanan ke meja."Sudahlah, aku
“Ini kamarmu, Laura,” kata Mira menunjukkan kamar untuk teman barunya.Sebuah kamar petak berukuran tiga kali dua meter. Tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit. Di sana terletak kasur singgle bed, pas untuk ditempati sendiri.Lumayan bersih dan nyaman meskipun tidak menggunakan AC. Namun, apakah Laura bisa tahan tidur di tempat seperti ini? Tetapi ia juga tidak mungkin melayangkan protes, sebab memang tidak sepatutnya dia mengatakan hal itu mengingat siapa dirinya sekarang yang juga sama dengan posisi Mira.“Kenapa? Jelek ya, kamarnya,” ujar Mira lagi lantaran sekian lama gadis itu berdiri terdiam tanpa melihat ke dalam tanpa menyahuti perkataannya.“Tidak, Mbak Mira. Ini cukup untukku,” kata Laura kemudian. Memasuki kamarnya dan meletakkan kopernya di sana.“Ya sudah, kau bereskanlah dulu pakaianmu. Ganti pakaianmu dengan pakaian yang lebih mudah digunakan untuk bekerja. Agar langkahmu tidak kesusahan.”Mira melihat keseluruhan pakaian yang Laura kenakan. Dress merah dengan poto
Takut? Tentu saja. Bahkan bukan hanya itu yang Laura rasakan. Tetapi juga sangat malu karena kedapatan masuk ke kamar orang tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada sang pemilik.‘Kenzo ... kamu kecil-kecil udah pinter ngerjain orang!’ Laura bersungut-sungut dalam hati. Dan apabila dilihat menggunakan mata batin, mungkin telinganya juga berasap.Laura masih menutup matanya rapat-rapat. Sebab dia mendapati lelaki itu tadi tengah bertelanjang dada. Astaga, ternoda sudah matanya yang bersih suci, dan murni itu.Bingung dengan apa yang harus ia lakukan. Perlahan, ia membuka matanya. Namun ternyata sudah tidak ada lagi orang di depannya. Ivan telah pergi.Laura menggigit bibirnya, pikirannya kalut dan bercabang tak karu-karuan. Hari pertama kerja sudah ketiban banyak sekali kesialan-kesialan.Ia hanya terus berdoa mudah-mudahan lelaki itu tak marah atau menuduhnya dengan prasangka yang tidak-tidak. Hanya berniat mengambil tisu basah saja jadi panjang begini ceritanya.Gadis itu mulai kelu
Menuju ke belakang, Laura kembali melihat sosok Ivan lagi yang sedang berada di meja makan menikmati makan siangnya. Namun berbeda dengan tadi karena dia sudah mengenakan bajunya secara lengkap.Rupanya, lelaki itu pulang pada saat dia tengah tertidur pulas di atas. Kemudian mandi pada saat Laura turun dan tanpa sengaja terpergok olehnya.Kerja apa dia jam segini pulang tapi banyak duit?Jangan-jangan dia punya pesugihan babi ngepet.Astaga! Laura langsung menggeleng menghilangkan pikiran buruknya yang sedang semena-mena menuduh orang lain. Mana mungkin Om tua itu ngepet? Masa ganteng-ganteng jadi ....Laura melintas menuju ke belakang dan menarik kursi di sana, serta merta mengisi perutnya dengan makan siang yang sebelumnya sudah Mira masakkan. Tidak terbayang sebelum ia datang, bagaimana repotnya wanita itu sendirian mengurus rumah sebesar ini sambil menjaga Kenzo. Kasihan sekali.***Selesai sudah pekerjaannya hari ini. Tepat pukul jam sembilan malam, Laura naik ke kamarnya dan men
“Astaga!”Hari sudah cukup siang pada saat Laura terbangun dan mendapati dirinya berada di kamar yang berbeda. Laura juga menepuk keningnya berkali-kali setelah melihat gorden jendela yang sudah terbuka dan terlihat cahaya yang masuk.Siapa yang membuka gorden jendela? Laura bertanya-tanya dalam wajah yang begitu panik.Jangan-jangan....Sontak Laura melihat tubuhnya yang cukup berantakan, bajunya sedikit tersingkap dan terlihat sedikit bagian perutnya.Tetapi kemudian dia berusaha berpikir positif, “Ah, emang Gue pikirin. Yang penting nggak kenapa-kenapa.”Dilihatnya ke samping, Kenzo masih tertidur pulas dengan posisi memeluk lengannya. Tangan Laura terangkat untuk memindahkan tangan mungil Kenzo secara perlahan. Lantas detik itu juga tubuhnya melompat ke bawah dan berlari ke atas untuk memasuki kamar mandi.Sementara Ivan yang melihat Laura langsung berdecak. Kepalanya menggeleng melihat kelakuan Nanny barunya tersebut. Tidur sembarangan, bangun kesiangan, melintas seperti angin ke
Usai dasi terpasang dengan rapi di pakaiannya, Laura memundurkan tubuhnya. Berada di dekat lelaki dewasa seperti Ivan membuat tubuhnya tidak baik-baik saja. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan meski tak tahu apa penyebabnya.Jantungnya berdegup lebih cepat, napasnya terasa jadi lebih pendek-pendek, otaknya jadi bodoh, hidungnya pun seperti tersumbat mencium harum parfum maskulin yang menguar dari tubuh lelaki di depannya.‘Lagian nyuruhnya aneh-aneh aja. Masa disuruh pakein dasi. Ini mah tugasnya seorang istri. Amit-amit jabang kura-kura jangan sampai aku nikah sama si Om tua ini. Meskipun lumayan, tapi memangnya nggak ada boejangan lagi di dunia ini? Wekk!’“Makasih,” kata Ivan terhadapnya. Sedangkan Laura hanya mengangguk.Tetapi kali ini dapat Laura akui bahwa mereka sudah bisa sedikit mencair. Keakrabankah yang terjalin? Atau memang Laura sendiri tipe gadis yang gampang akrab dengan setiap orang?Mendengar Kenzo menangis membuat keduanya sontak menoleh. Ternyata bos kecil tersebut s
Kurang lebih lima menit kemudian Laura turun dengan keadaan sudah berganti pakaian. Gadis itu memakai dress warna peach dengan pita yang terikat di belakangnya. Sedangkan rambutnya yang agak pirang dan panjang itu dibiarkan tergerai begitu saja.Untuk menambah kesan manis dan simpel, Laura hanya mengambil sedikit rambut bagian luar kanan kirinya, lalu di satukan ke belakang dengan memakai jepit rambut yang berukuran kecil.Ivan menatap gadis yang baru saja tersebut. Tanpa Laura ketahui, Ielaki itu sudah memandanginya selama beberapa lama karena merasa ‘tersepona’ dengan penampilan Laura saat ini.Laura tidak tampak berumur 23 tahun, dia malah justru seperti seorang gadis SMA yang baru saja tamat sekolah. Wajahnya imut, tubuhnya kecil, bulu matanya lentik dan bibirnya ... merah, kecil, namun sedikit tebal di bagian bawahnya seperti bibir Donald Duck yang sering di tonton anaknya di televisi, begitulah yang sedang Ivan umpamakan.“Jadi berangkat nggak, sih?” Laura bertanya kepada lelaki
Keduanya termenung dengan apa yang mereka lakukan saat ini. Salah tingkah, Laura segera memundurkan tubuhnya. ‘Apa aku sudah gila?’ batinnya begitu heran. Bahkan jantungnya kini terasa melompat seperti akan keluar dari tempatnya. Sudah jelas-jelas, Kenzo memanggil ‘Papanya’, namun kenapa dia malah menyodorkan tubuhnya ke sana?Laura hanya tak ingin nanti Ivan salah mengira bahwa ia dengan berkelakuan seperti ini lantaran sedang berusaha menggodanya. Ah, ini sangat memalukan sekali.“Saya nggak bermaksud ngapa-ngapain, kok, Pak. Jangan salah sangka,” kata Laura membela diri agar Ivan tak berpikir macam-macam.Ivan hanya menatapnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya pria tersebut menundukkan pandangannya lagi ke bawah. Memastikan keadaan anaknya yang tadi memanggilnya. Tetapi rupanya, Kenzo hanya mengigau saja.Terdengar helaan napas dalam dari pria itu, sebelum akhirnya dia menegakkan tubuhnya kembali. Namun tatapannya masih enggan berpaling dari putranya tersebut.“Aku harap ka