Share

Bab 3: Nyumpahin Majikan

Laura menggantikan aktivitas Si Mbak senior yang sedang menyuapi Kenzo lantaran wanita paruh baya itu sedang menuju ke kamar kecil. Namun aktivitasnya kini terhenti pada saat Fero memanggilnya.

"Laura,” ucapnya seraya berjalan mendekat.

Laura menoleh, “Ya, kenapa, Kak?”

“Kamu dipanggil sama Abang di ruangannya.”

Laura terdiam beberapa saat sebelum akhirnya gadis itu menjawab dengan suara pelan, “Aku takut,” katanya Laura tanpa bisa menyembunyikan raut wajahnya yang demikian.

“Dia emang punya wajah yang lebih seram daripada aku, tapi aslinya baik.”

Laura menyerahkan piring makan Kenzo kemudian menatap Fero. “Aku akan menemuinya,” ujar Laura kemudian setelah membulatkan tekad. 

'Hanya begitu saja kamu takut, jangan cengeng! Kamu pemberani!'

“Ya, itu ruangannya.” Fero menunjuk ke arah samping kolam renang, tepat di bagian paling ujung. “Kamu ketuk saja pintunya.”

Laura beranjak berdiri, lantas mendekati pintu tersebut. Dalam hatinya meneriaki nasibnya yang begitu buruk. Kenapa ia bisa sampai berada di sini dan menjadi serupa dengan seorang budak, begitulah istilahnya.

Jatuhlah semua harga dirinya yang ia junjung tinggi. Sebelumnya, Laura tidak pernah mengenal kemiskinan. Ini sangat berat baginya. Niscaya jika Laura tak terus mengalihkan pikirannya dari semua penderitaannya tersebut, maka dia akan menjadi manusia yang benar-benar gila.

Matanya terpejam, tangannya terangkat untuk mengetuk. Namun ketika tangannya bergerak untuk mengetuk pintu tersebut, tiba-tiba tangannya merasa di cekal sehingga ia cepat-cepat membuka mata.

“Eh, maaf, Pak.” Laura buru-buru menarik tangan. Kulitnya langsung meremang merasakan sentuhan halus tangan berotot tersebut. Ia mengagumi wajahnya yang rupawan meskipun tak menunjukkannya. 

GGS: Ganteng-Ganteng Seram.

Ivan menatapnya, “Lain kali kalau mau mengetuk pintu jangan sambil merem.”

"Heee ...." Laura hanya meringis malu.

“Masuklah! Kamu lama sekali,” titahnya tak terbantahkan.

Dengan langkah berat, Laura mengekori tubuh tegap dan punggung lebar orang bau kentut itu ke ruangannya yang tidak terlalu sempit, juga tak terlalu lebar. Pas sekali untuk ditempati sendiri. Di dalamnya, terdapat satu meja kerja, dua kursi menghadap meja, dan satu sofa berwarna abu-abu memanjang yang hanya bisa diduduki dua orang.

“Duduk!” katanya bermaksud mempersilakan. Hanya saja kata dan nada yang digunakan terlalu singkat.

Laura menarik kursi, lantas duduk di depannya. Gadis itu mencoba menutupi kegugupannya dengan memilin jari di bawah meja. Dia tak ubahnya seperti calon karyawan yang sedang di interview oleh seorang HRD.

“Berapa usiamu?” 

“Hah?” Laura tergagap. 

Kenapa hal yang ditanyakan pertama kali adalah umur? Hei, yang benar saja!

“Oh, mau dua puluh tiga tahun, Pak,” jawabnya tak berapa lama. Dalam hati Laura bertanya-tanya. Apa perlu lelaki ini mengetahui umurnya? Bukannya yang terpenting dalam menjadi seorang Nanny adalah bisa menjaga anaknya dengan baik, berapa pun usia orang itu.

“Kalau Bapak sendiri berapa?” tanya Laura dengan konyol.

“Apa perlu saya jawab?”

“Tapi Bapak juga menanyakan umurku.”

“Iya karena saya akan memperkerjakanmu. Bagaimana mungkin saya tidak mengetahui umurmu. Kamu akan menjaga putraku nantinya.”

“Peace Pak.” Laura mengacungkan dua jarinya ke atas membentuk huruf V. 

‘Ya Tuhan, galak sekali. Aku nggak janji bisa bertahan di sini lebih lama, ya.’

“Ya sudah, mana KTP-mu.”

Lantaran Laura tak kunjung bergerak, Ivan kembali mengulang. “Saya butuh KTP-mu karena saya membutuhkannya. Saya ingin tahu asal-usul kamu dari mana. Karena saya tidak ingin orang sembarangan merawat anak saya,mengerti?”

‘Tidak jelas asal-usulnya? Yang benar saja! Aku anak dari perusahaan Adinata Grup. Semua orang mengenalku. Hanya kau saja yang tidak mengenalku!’

Walaupun sebenarnya Laura tidak suka diperlakukan demikian, namun Laura segera dapat memahami. Dirinya bukan siapa-siapa lagi sekarang. Dia buka keluarga terpandang seperti dulu lagi terkecuali hanya tinggal nama saja.

Dengan berat hati, Laura menyodorkan KTP-nya kepada lelaki tersebut. Namun bukannya dikembalikan, Ivan malah mengantong kartu tersebut ke dalam sakunya.

Laura kebingungan, “Yah, Pak, kok dimasukin?”

“Saya akan mengembalikannya setelah saya percaya kamu benar-benar orang baik-baik. Saya menerimamu di sini hanya untuk sementara waktu. Saya akan melihat potensi kamu selama sebulan ke depan. Kalau kinerjamu baik, kamu akan menandatangani surat kontrak kerja di sini selama satu tahun. Kalau tidak, silahkan cari pekerjaan di tempat lain.”

“Tapi KTP-ku ...,” ujar Laura setengah mengeluh. 

“Bukankah sudah kujelaskan tadi?” tanya Ivan dengan sorot mata menajam. “Apa kau masih belum mengerti juga?” 

Ivan beranjak berdiri dan memasukkan beberapa barang-barang keperluannya ke dalam tas. “Saya harus berangkat sekarang,” katanya lagi kemudian berlalu dari hadapannya. Namun sebelum ia benar-benar keluar dari pintu, lelaki itu kembali menoleh dan menunjuk kuku tangan Laura. “Oh, iya, saya tidak mau kamu memelihara kukumu yang panjang itu karena bisa melukai anak saya. Di mana kamarmu, di mana tempatmu, nanti Mbak Mira yang akan menunjukkannya.”

“Tapi—” baru saja Laura memuka mulut, Ivan langsung memotong.

“Jangan banyak bertanya, saya buru-buru,” katanya lagi sebelum pria itu benar-benar pergi dari hadapannya.

“Ih ..., resek banget, sih!” kesal Laura mengentakkan kakinyake lantai. “Amit-amit jabang bayi. Naudzubilahimindzalik, jangan sampai anak keturunanku kayak dia. Dasar mulut cabe! Aku doain dapat jodohnya cabe beneran!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status