Share

Nasib si Bungsu
Nasib si Bungsu
Penulis: Ayu_Kusuma20

Uang untuk kontrol Bapak

Nasib si Bungsu.

(Saat masa jaya orang tua telah habis).

"Jadwal kontrol Bapak tiga hari lagi, kamu sudah dapat uang buat biaya rental mobil?" tanya Ibuku saat aku baru saja pulang.

"Yusup usahain ya Bu, semoga ada rezekinya," jawabku. Sambil melepas jaket yang selalu menemaniku mencari rupiah.

"Kalau gak ada ya udah, gak apa-apa. Paling Bapakmu teriak-teriak kalau lagi kumat karena obatnya habis!" ucap Ibu sambil berlalu pergi.

Aku tahu Ibu pasti kecewa, lalu bagaimana lagi, aku sudah berusaha keras, dalam hati aku merasa gagal. Uang sebesar lima ratus ribu saja tidak mampu aku cari.

Mungkin bagi orang lain tidak seberapa, tapi untukku yang hanya berprofesi sebagai ojek online uang lima ratus ribu sangatlah besar. Apalagi akhir-akhir ini orderan sangat sepi tidak seperti biasanya.

Aku duduk termenung di atas sofa lusuh, mataku menatap tiga bingkai besar yang terpajang di dinding, foto ketiga Kakakku saat wisuda. Mereka terlihat sangat gagah dengan toga yang dipakainya.

Aku adalah bungsu dari empat bersaudara, kami semua laki-laki.

Sebagai manusia terkadang aku merasa iri pada ketiga Kakakku itu, yang lahir dan tumbuh di saat orang tuaku sedang berada di puncak kesuksesan. Sehingga mereka bisa mendapat pendidikan sampai perguruan tinggi dan karena itu mereka bisa mendapat pekerjaan bagus dengan gaji yang besar.

Tidak sepertiku, jangankan sarjana, lulus SMA saja tidak. Saat baru menerima surat kelulusan SMP, Bapak langsung berbicara padaku bahwa dia sudah tidak sanggup lagi menyekolahkanku. Karena usahanya sudah benar-benar bangkrut, dan untuk bekerja pun rasanya tidak mungkin disebabkan usia Bapak yang sudah tidak lagi muda.

Dulu, kedua orang tuaku termasuk orang paling kaya di Kampung ini, memilik toko grosir, mebel kayu, serta peternakan ayam potong. Sehingga tidak sulit bagi mereka membiayai ketiga Kakakku untuk mencari ilmu, dua dari ketiga Kakakku kuliah di Perguruan Tinggi Negeri pastinya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi satu persatu usaha mereka mengalami penurunan bahkan sampai bangkrut.

Kini tidak ada satu pun usaha yang tersisa, harta benda sudah tidak mereka punya selain rumah tua yang kami tempati sekarang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hanya mengandalkan hasil dari aku narik.

Aku masih ingat, aset terakhir yang Bapak milikki adalah tanah yang berada perisis di belakang rumah, dan itu sudah terjual untuk menambah biaya Kakakku yang nomor tiga menikah.

Aku membuka ponsel, kucari nomor Bang Adi, Bang Harun, dan Bang Jejen, dengan ragu aku menulis pesan kepada mereka.

[Assalamualaikum Bang, apa kabar? Bang, tanggal 6 Bapak kontrol ke RS, aku belum dapat uang buat ongkosnya, maaf apa boleh aku pinjam uang Abang dulu? nanti kalau ada rezeki aku ganti]

Itulah pesan yang kukirim pada mereka, semua pesan langsung terkirim, hanya saja belum ada satu pun yang membaca terlihat dari dua centangnya belum berwarna biru.

Ting Nung

Bang Jejen yang pertama membalas pesanku.

[Gak ada, tanggal 11 nanti Alifa ulang tahun, mau dirayain di K*C]

Alifa adalah anak Bang Jejen satu-satunya. Apapun yang anaknya minta pasti akan diberikannya.

[Oh iya Bang, baik kalau gitu, maaf udah ganggu]

Balasku.

Hanya dua centang biru, tidak ada balasan lagi.

Aku masih menanti jawaban dari Bang Harun dan Bang Adi, berharap mereka bisa membantu.

Ting nung.

Notifikasi pesan dari Bang Harun. Rupanya ia mengirimkan pesan suara.

"Jangan mentang-mentang gaji Abangmu besar jadi seenaknya, kamu kan tahu Bang Harun punya anak Istri, belum cicilan rumah, mobil, biaya sekolah tiga keponakan kamu, belum keperluan sehari-hari, kamu enak masih bujangan gak punya tanggungan, makanya cari kerja yang benar jangan ngojol doang," bukan bang Harun yang berbicara, melainkan Kak Mery, Kakak Iparku. Aku kenal dengan suaranya.

[Iya, maaf Kak, aku bukan seenaknya, tapi benar-benar gak tahu lagi harus minta tolong ke siapa]

Balasku.

Harapanku kini tinggal Bang Adi, semoga saja kabar baik yang ku terima.

[Memangnya gak bisa pakai motor aja Sup? dibonceng sama kamu] balasan dari Bang Adi.

[Gak bisa Bang, Bapak udah gak kuat duduknya]

Sama seperti kedua Kakakku sebelumnya, Bang Adi pun hanya membaca pesan yang kukirim.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status